Minggu, 21 Desember 2008

3 Pilar ekonomi dan krisis keuangan global

Kategori : Opinion
Oleh : Roy Sanjaya

Krisis keuangan global kini telah memberikan dampaknya pada sektor perekonomian Indonesia, maka berdasarkan dari hal di atas, saya akan memberikan beberapa penjelasan mengenai apa dan bagaimana solusi yang bisa dilakukan sekaligus memberikan penjelasan pada tiga pilar ekonomi yang menjadi artikel kali ini.

Tiga Pilar ekonomi dan krisis keuangan global

Ekonomi adalah sebuah bidang yang sangat krusial dalam sebuah negara, jika sebuah negara diibaratkan sebagai sebuah rumah, maka ekonomi itu adalah ibarat landasan dan tiang dari rumah itu yang sangat harus dijaga oleh sang pemilik agar rumah tersebut dapat kokoh berdiri dalam waktu yang lama. Hal yang sama juga berlaku bagi ekonomi, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ekonomi adalah penggerak dari semua bidang dalam negara seperti :
- Politik
- Hukum
- Kebudayaan
serta penjaga agar seluruh unsur dari negara yang berdasarkan pada Konferensi Montevideo adalah sebagai berikut :
- Pemerintah yang berdaulat
- Wilayah
- Rakyat
- Kemampuan untuk berkomunikasi dengan negara lain.
tentunya semua argumen ini berdasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di dunia yang dalam hal ini dibuktikan dari runtuhnya negara Uni Soviet pada tahun 1991 yang disebabkan oleh kondisi keuangan negara yang sangat parah pada saat itu dan krisis yang dialami oleh Indonesia pada tahun 1965 yang salah satunya disebabkan oleh nilai rupiah yang sangat terpuruk. Ekonomi negara terpuruk, satu negara dapat bubar, kebijakan politik negara dapat berubah dan banyak hal yang dapat terjadi.
Berkaitan dengan hal itu, pertama-tama perlu kita ketahui bahwa perekonomian Indonesia digerakkan oleh 3 pilar, yakni :
1. Negara dengan BUMN-nya
2. Swasta
3. Koperasi dan UKM
Dan krisis yang dialami oleh Indonesia adalah selalu berada disekitar 3 pilar ini. Dalam kaitannya dengan krisis keuangan yang sedang dihadapi oleh dunia termasuk Indonesia pada dewasa ini, tampak bahwa pemerintah sekarang sepertinya tidak bisa belajar dari kesalahan yang dilakukan oleh Orba dalam membangun ekonomi Indonesia sebab pertumbuhan yang ada pada saat sekarang adalah bukan pertumbuhan secara riil melainkan pertumbuhan ekonomi konglomerasi dimana pertumbuhan ekonomi konglomerasi adalah suatu bentuk pertumbuhan ekonomi yang hanya diwakili oleh sebagian kelompok (kelompok ini disebut konglomerat) yang menutup keadaan ekonomi kelompok lain yang kurang sehingga pertumbuhan yang ada adalah meningkat dalam beberapa hal, mis: GDP.
Pemerintah juga tampak terlalu percaya pada sistem ekonomi kapitalis dimana seperti yang kita ketahui bahwa sistem ekonomi seperti ini adalah sistem ekonomi yang memberikan kebebasan pada para pihak untuk memupuk modal/kapital secara sebesar-besarnya tanpa adanya suatu upaya kontrol. Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa sistem ekonomi kapitalis adalah suatu wahana yang paling mudah untuk mengembangkan perekonomian suatu negara (contoh : RRT, Vietnam, Inggris, dll) akan tetapi perlu kita ingat bahwa ada beberapa hal yang disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalis yang semuanya bersumber dari keuangan yang menyebabkan Marx membuat sistem sosialisme. Masalah itu adalah begitu besarnya perbedaan antara pihak yang mampu secara ekonomi dengan pihak yang kurang mampu secara ekonomi dalam kehidupan yang implikasi berikutnya adalah begitu dominannya kaum mampu terhadap yang kurang mampu, seperti yang digambarkan oleh John Perkins dalam bukunya yang berjudul The Confession of the Economic Hitman mengenai kondisi buruh dan lingkungan di sekitar pabrik Nike di Indonesia yang sangat menyedihkan (Upah rendah dan lingkungan yang jorok) dan yang paling hebat dari begitu percayanya pemerintah terhadap sistem ekonomi Kapitalis ini adalah penjualan asset negara kepada pihak asing dan dalam beberapa kali pembicaraan juga yang sangat ironis adalah sikap pemerintah yang justru bangga terhadap penjualan asset itu padahal jika kita menilik pada konstitusi negara Indonesia (UUD'45) jelas sudah ditegaskan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah berdasarkan asas kekeluargaan dan bukan dibangun atas dasar individualisme, egoisme dan liberalisme sehingga jelas mengingat bahwa batang tubuh UUD'45 tentunya adalah sarana untuk mewujudkan cita-cita negara (terutama dalam hal mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur) tidak akan berjalan dengan baik jika mengandalkan sistem ekonomi seperti ini.
Jika kemudian dikatakan bahwa tujuan negara adalah sebuah utopia juga memang tidak salah sebab definisi dari adil dan makmur itu juga adalah relatif akan tetapi pertanyaan yang timbul kemudian tentunya adalah apakah bisa dikatakan adil dan makmur jika :
- Orang mampu menekan yang kurang mampu
- Menggunakan sistem ekonomi yang laksana hukum rimba
Dikatakan demikian dan terbatas pada hal ekonomi karena ekonomi adalah dasar manusia untuk melakukan sesuatu (ingat history of materialism) meskipun terdapat beberapa pengecualian (misal pada para nabi ). Situasi ekonomi dapat membuat manusia menjadi manusia yang paling beringas.
Jika dikatakan bahwa sistem ekonomi kapitalis adalah berhasil, perlu kita lihat negara ini:
- Iran, Arab Saudi dan beberapa negara Timur Tengah lain dengan Ekonomi Syariahnya
- Kuba dengan Komunismenya
Dan lihat juga beberapa kegilaan sistem kapitalis di negara berikut :
- Indonesia dari Orba sampai sekarang.
- Kuba pada masa sebelum Fidel Castro.
- Iran pada masa kekuasaan Shah.
Dari hal-hal di atas seharusnya pemerintah bukannya bangga dengan sistem kapitalisnya dan menitik beratkan semuanya kepada sektor swasta dan lebih menitik beratkan pada sektor koperasi dan UKM dengan melaksanakan sistem ekonomi kerakyatan yang lebih mengedapankan rakyat sebagai kumpulan SDM untuk membangun ekonomi negara dan melepaskan pilar swasta untuk berkembang sendiri sebab pada dasarnya mereka adalah kelompok yang sudah tinggal landas dan mandiri dengan pengecualian pada bidang perbankan yang masih memerlukan peranan BI sebagai bank sentral dan tentunya dengan beberapa pembatasan dan itupun mengenai beberapa hal tertentu yang mengarah pada kepentingan nasional (misal :ketenagakerjaan dan mengenai peran asing). Membenahi BUMN dan TIDAK MENJUAL BUMN PADA SEKTOR ASING sebab seperti yang diinginkan oleh Bung Karno dalam konsep BERDIKARI-nya dimana memenuhi kebutuhan sendiri dengan tenaga sendiri dan kerja sama yang sederajat dengan bangsa lain (jika menelaah pada isi pidato Nawaksara). serta melakukan konsep seperti yang diutarakan oleh Bung Hatta dengan Koperasinya dan Che Guevara dengan pemikirannya untuk memajukan UKM untuk membangun perekonomian. Beberapa caranya dapat berupa:
- Membantu Koperasi dan UKM untuk memasarkan barang hasil produksinya (jika bergerak dalam bidang produksi)-> perlu ditingkatkan lagi.
- Memberikan pinjaman untuk mengembangkan usaha -> masih harus diefektifkan
- Meningkatkan kualitas SDM dengan TIDAK MEMBATASI KESEMPATAN PENDIDIKAN
- Mengeluarkan kebijakan bukan berdasarkan pada kehendak "pemodal" dan lebih mengarah pada kepentingan nasional.
Adapun beberapa alasan yang menjadikan Koperasi dan UKM sebagai sarana untuk membangun perekonomian negara adalah :
- kedua sektor itu adalah sektor yang menjangkau penduduk dengan sangat efektif (baik dalam
hal peningkatan kesejahtraan dan perluasan pekerjaan).
- Koperasi adalah sesuai dengan konstitusi.
Dan bukannya justru mengutamakan investasi asing (beresiko) dan bursa saham (tidak nyata) yang serba dilanda ketidak jelasan dan ketidakpastian, terutama dalam hal ini adalah investasi asing dimana John Perkins dalam buku Confession of Economy Hitman mengutarakan bagaimana caranya yang waktu itu berdasarkan keinginan Amerika untuk membuat Indonesia :
- Terus berutang dan jika bisa dibangkrutkan
- Memihaknya dalam beberapa politik luar negeri Amerika, dan
- Menjadikan Indonesia berada di dalam pengaruh Amerika
Dimana diutarakan bahwa orang-orang seperti demikian masuk dan mengacaukan perekonomian melalui apa yang dikenal dengan nama investasi asing dimana pada umumnya data-data pertumbuhan ekonomi yang diajukan pada pemerintah dimanipulasi dengan sedemikian rupa agar perekonomian Indonesia tetap mengalami pertumbuhan yang meningkat akan tetapi sebenarnya menuju ke pertumbuhan ekonomi konglomerasi. Jadi dari keseluruhan ini pemerintah tetap harus berperan dalam menjaga perekonomian nasional dan :
- Membenahi BUMN
- Membiarkan sektor swasta bergerak sendiri dengan beberapa batasan
- Memajukan koperasi dan UKM sebagai sarana pembangun ekonomi negara paling utama.
- Mencegah penerapan sistem kapitalisme lebih jauh lagi
- Mengembangkan ekonomi kerakyatan
- BERDIKARI
Jika hal ini diterapkan maka Perekonomian Indonesia akan dapat bertahan dan bahkan terhindar dari krisis ekonomi dunia yang terjadi

catatan :
- Mengenai :
1. Pentingnya Indonesia dalam kepentingan luar negeri negara lain
2. BERDIKARI
3. Kebijakan untuk sektor swasta demi kepentingan nasional
4. Perjanjian pengeboran minyak yang ideal.

Akan dijelaskan lebih rinci di bagian lain.

Minggu , 21 Desember 2008

Sabtu, 25 Oktober 2008

Analisis asas pemerintahan yang baik dengan kaitannya dengan UU penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

By : Roy sanjaya
Category : Law

Dalam kaitannya dengan asas-asas yang telah dibicarakan sebelumnya, Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme, apabila diperhatikan dengan seksama rupa-rupanya telah memuat asas-asas pemerintahan yang baik sebagaimana yang tercantum dalam pasal 3 yang bunyinya sebagai berikut:

Pasal 3

Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi:
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;
3. Asas Kepentingan Umum;
4. Asas Keterbukaan;
5. Asas Proporsionalitas;
6. Asas Profesionalitas; dan
7. Asas Akuntabilitas.

Yang mana sebenarnya telah mencakup kedua kategori asas pemerintahan yang baik apabila melihat pada penjelasan sebelumnya di atas jika dilihat dari sudut pandang sebagai berikut. Pertama yang akan dibahas adalah mengenai asas kepastian hukum. Perihall asas ini adalah serupa dengan asas pemerintahan yang baik yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa suatu penyelenggara Negara dalam menjalankan kinerjanya harus dapat menggunakan wewenangnya sebaik mungkin dengan cara menghindari cara-cara yang menyebabkan hukum suatu Negara goncang. Goncangnya suatu Negara dalam hal ini adalah goncangan dalam hukum yang mengatur sebuah Negara, sebab seperti yang kita ketahui hukum adalah salah satu landasan sekaligus tiang Negara apabila mengacu pada pendapat Prof. Miriam Budiarjo dalam buku Dasar-dasar ilmu Politik. Berikut ini adalah pengertian asas kepastian umum menurut penjelasan pasal 3 angka1 UU no.28 tahun 1999:

“Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas
dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara “

Asas yang kedua adalah perihal asas tertib penyelenggaraan Negara, yang dimaksud dengan asas ini apabila mengacu pada penjelasan UU no.28 tahun 1999 adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara. Asas ini mencakup banyak hal yang terdapat dalam asas pemerintahan yang baik, sebab asas ini memiliki suatu hubungan atau kaitan dengan asas yang lain sebab apabila semua asas itu dijalankan, maka asas ini tentunya terlaksana sebab akan tercipta suatu pemerintahan yang teratur dalam menjalankan wewenangnya dengan mengikuti peraturan yang telah dibuatnya dan dapat menjaga suatu keadaan yang seimbang antara unsur-unsur yang ada dalam suatu Negara serta dapat mengendalikan semua aspek-aspek yang vital dalam kehidupan bernegara (misal:ekonomi, politik, agama). Asas ini lebih mengacu pada visi yang ingin diharapkan dapat dicapai dalam rangka mencapai tujuan dari Negara Indonesia.
Sedangkan asas yang berikutnya adalah asas kepentingan yang seperti tertulis dalam penjelasan dan artinya secara umum, asas ini dimaksudkan agar pemerintah senatiasa mendahulukan kepentingan umum dalam melakukan kegiatannya. Dalam asas ini terlihat jelas bahwa seluruh asas yang berkaitan dengan Asas yang perihal prosedur atau proses pengambilan keputusan yang apabila dilanggar secara otomatis membuat keputusan yang bersangkutan menjadi batal demi hukum yang mana telah dijabarkan sebelumnya. Asas ini lantas diperkuat dalam beberapa pasal dalam UU no.28 tahun 1999 seperti pada pasal 8 (yang mana menyangkut asas yang memberikan hak pada rakyat untuk membela kepentingannya).
Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah Yang dimaksud dengan “Asas Keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. Tampak dengan jelas asas non-diskriminatif tercakup dalam asas ini dan asas tidak sewenang-wenang dan asas pelarangan penyalah gunaan kekuasaan juga tercakup didalamnya sebab peyelenggaraan pemerintah yang transparan adalah salah satu cara untuk mencegah penyalah gunaan kekuasaan dan kesewenangan pemerintah dalam bertindak. Asas ini diterapkan dalam pasal 5 UU no.28 tahun 1999 tentang kewajiban pejabat Negara.
Asas proporsionalitas dan asas profesionalitas adalah dua asas yang menyangkut penyelenggara Negara itu sendiri dimana asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban sedangkan asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian dengan berdasar pada kode etik menurut UU yang berlaku. Kedua asas ini mencerminkan asas pelarangan penyalah gunaan kekuasaan sebab penyalahgunaan kekuasaan itu sendiri adalah penyalah gunaan wewenang dan hak kewajiban yang melekat pada pemerintah dalam hubungannya dengan rakyat.yang dalam hal ini tunduk pada hukum dan kekuasaan Negara itu sendiri.
Asas yang terakhir adalah asas akuntabilitas, asas akuntabilitas adalah asas yang menekankan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Kesimpulan yang bisa diambil dari penjelasan asas penyelenggaraan Negara berdasarkan pada UU no.28 tahun 1999 adalah bahwa Negara telah mencakup semua asas pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraannya dalam arti ideal, hanya saja masalahnya ada pada pelaksanaan asas itu sendiri dalam kebutuhan praktik dimana seringkali ruh atau esensi dari UU itu sendiri seringkali disimpangkan sebagai akibat dari pengaruh politik dalam pemerintahan yang berimbas pada penegakkan hukum itu sendiri, yang tercermin dalam beberapa “perbuatan” yang controversial (misal: pilih tebang dalam pemberantasan korupsi, kapitalisme dalam ekonomi) dimana ruh dari peraturan itu, pemerintahan yang transparan, tahu batasan wewenangnya dan lain sebagainya menjadi terbatas pada sebuah utopia. Pelaksanaan yang baik telah dilakukan, pemberantasan korupsi, peran serta masyarakat yang marak, transparansi yang baik. Tetapi kebudayaan nepotisme masih tercermin dengan tegas dan kewajiban pejabat Negara sering dilupakan dan terkesan dijadikan sebagai suatu yang berat sehingga ketidakmampuan melakukan kewajiban itu seringkali dijadikan alasan dalam menuntut hak. Jadi pada dasarnya Ruhnya sudah ada, tercermin dalam undang-undang, akan tetapi tidak didorong oleh nafsu yang dalam hal ini adalah hasrat (sebab nafsu seringkalo dikonotasikan negatif) dalam mencapai ruh itu sendiri yang hakikatnya adalah kebebasan (dalam hal ini adalah lepas dari KKN dan diskriminasi) walaupun kita semua memahami bahwa sebuah Negara tentunya terdiri dari bermacam-macam hasrat yang membentuknya sebagai Negara tetapi sungguh tidak bisa dijadikan alasan jika hal itu menjadi ketidakberdayaan Negara sebab bagaimana Negara bisa ada jika rakyat tidak memiliki hasrat yang mendorong perbuatan untuk membentuk Negara (dalam hal ini sesuai dengan Hegel dalam buku Filsafat Sejarah). Negara yang demikian adalah gagal dalam mengarahkan tujuan rakyatnya pada satu hal. Yang dibutuhkan oleh Negara dalam mencapai tujuan utama dari UU ini adalah keseriusan pelaksanaan, misi untuk mencapai visi UU itu sendiri.


Sumber : Hukum Administrasi negara, DAsar-dasar Ilmu Politik, Filsafat Sejarah, UU
no.28 tahun 1999

Asas pemerintahan yang baik

By : Roy sanjaya
Category : Law


Dalam hal penyelenggaraan pemerintahan yang baik, asas ini dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :
1. Asas perihal prosedur atau proses pengambilan keputusan yang apabila
dilanggar secara otomatis membuat keputusan yang bersangkutan menjadi
batal demi hukum.
Yang termasuk dalam asas ini adalah:
- Asas yang melarang kepentingan pribadi terlibat dalam putusan
Administrasi Negara. Baik langsung dan tidak langsung.
- Asas yang memberi kesempatan pada rakyat untuk membela
kepentingannya apabila merasa dirugikan akibat putusan itu.
- Asas yang menyatakan bahwa pertimbangan wajib cocok dengan
atau membenarkan dictum daripada keputusan itu.
2. Asas yang mengenai kebenaran dari fakta-fakta yang dipakai sebagai dasar
pembuatan keputusan. Yang termasuk asas ini meliputi :
- Asas larangan kesewenang-wenangan.
- Asas larangan detournement de pouvoir. (penyalahgunaan wewenang)
- Asas kepastian hukum
- Asas larangan melakukan diskriminasi hukum
- Asas batal karena kecerobohan pejabat yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan kesewenang-wenangan dalam hal ini adalah suatu perbuatan atau keputusan administrasi Negara yang tidak mempertimbangkan semua factor yang relevan dengan kasus yang bersangkutan, akibat hal itu adalah suatu ketimpangan.

Sumber : Hukum Administrasi negara

Kamis, 25 September 2008

Teori-teori yang memberi dasar-dasar hukum bagi kekuasaan negara

By                    : Roy Sanjaya
Category         : Law

Secara garis besar, teori kekuasaan negara itu dibagi dalam 3 golongan besar:
1. Teori Teokrasi
    a. Langsung
         Dalam teori ini, yang berkuasa secara langsung di dalam negara adalah Tuhan dan negara
         ini ada karena kehendak Tuhan sehingga yang ada kemudian adalah Tuhanlah yang 
         memerintah negara secara langsung melalui raja sebagai wakilnya di bumi.
    b. Tidak langsung
        Dalam hal ini, raja memerintah atas nama Tuhan sehingga secara tidak langsung Tuhanlah
        yang berkuasa di negara itu. Konsep negara dalam teori ini adalah negara sebagai
        pemberian Tuhan.
2. Teori kekuasaan
     a. Jasmaniah
         Tokoh yang mengusung teori ini adalah Nicollo Machiavelli dan Thomas Hobbes. Dalam
         teori ini, syarat seorang raja adalah memiliki fisik yang kuat dan negara ada untuk :
           - Mencegah perang semesta
           - Mengendalikan manusia
          Dan dalam teori ini, untuk mencapai tujuan negara adalah halal untuk menggunakan
          segala cara.
     b. Ekonomi
          Pengusung teori ini adalah Karl Marx yang berpandangan bahwa negara adalah alat
          kekuasaan bagi segolongan manusia di dalam masyarakat untuk menindas golongan lain
          guna mencapai tujuan. Yang menjadi fokus penekanan dalam teori ini adalah
          pertentangan kelas. Adapun dasar dari teori ini adalah sejarah materialisme dimana teori
          itu memandang sejarah manusia adalah dipengaruhi oleh kebendaan.
3. Teori Yuridis
     a. Patriachaal
          Teori ini didasarkan pada hukum keluarga pada zaman dahulu dimana dalam hukum itu
          dikenal suatu sistem yang bernama primus interpares. Teori ini adalah cikap bakal dari
          monarki.
     b. Patrimonial
         Teori ini bersumber dari konsep patrimonium (hak milik) dimana yang diatur adalah
         wilayah yang menjadi hak milik raja. Teori ini merupakan cikal bakal dari feodalisme
         dimana raja bisa memberikan wilayah pada bawahannya (tuan tanah). Dari hal itu, tuan
         tanah memiliki hak:
            - Mengangkat kades.
            - Memungut pajak
            - Mengerahkan tenaga rakyat.
     c. Teori Perjanjian
         Penekanan teori ini adalah pengembalian kekuasaan dari raja pada rakyat. Ada 3 orang
         tokoh pengusung teori ini:
         1. Thomas Hobbes
             Dalam pemahamannya, manusia selalu hidup dalam ketakutan dan sesungguhnya
             negara karena perjanjian rakyat tidak ada sehingga secara tidak langsung teori Hobbes
             menghalalkan kekuasaan raja karena rakyat menyerahkan semua haknya termasuk
             HAM. Konsep pemerintahan yang dibawa oleh Hobbes adalah monarki absolut.
         2. John Locke
             Dalam pandangannya, raja melindungi hak rakyat sebab untuk itulah rakyat
             menyerahkan haknya (hanya saja HAM tidak diserahkan). Sistem yang diusung adalah
             monarki konstitusional. Ada dua macam perjanjian:
              - Panctum uniones (membentuk kekuasaan antara individu)
              - Panctum Subyektiones ( penyerahan kekuasaan raja pada rakyat)
         3. Jean Jacques Rousseau
              DAlam pandangannya, raja hanyalah mandataris dari rakyat dan rakyat tidak pernah
              menyerahkan kekuasaannya pada raja.

sumber            : ilmu negara

 

Selasa, 23 September 2008

Syarat sahnya suatu perikatan

By                 : Roy Sanjaya
Category      : Law
Ada 4 syarat untuk sahnya suatu perikatan:
1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya.
    Yang dimaksudkan dengan sepakat adalah bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian
    itu harus sepakat, setuju atas hal-hal pokok dari perjanjian tersebut.
2. Cakap untuk mengadakan suatu perjanjian
    Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah cakap para pihak menurut hukum, yaitu orang yang
    sudah dewasa dan sehat akal pikirannya. Adapun orang-orang yang tidak cakap menurut
   hukum dengan mengacu pada ketentuan pasal 1330 KUHPer adalah:
       a. Belum dewasa
       b. Berada di bawah pengampuan
       c. pihak lain yang dilarang oleh UU
3. Tentang hal tertentu
    Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa dalam suatu perjanjian, haruslah ada apa yang
    dijanjikan sehingga perjanjian itu melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang
    terlibat.
4. Klausa yang halal
    Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku di
    masyarakat.
 
Sumber           : Hukum Perikatan
 

Senin, 22 September 2008

Wanprestasi

By : Roy Sanjaya
Category : Law

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang buruk. Hal itu terjadi disebabkan karena pihak debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya.
Dikenal empat macam wanprestasi, yaitu :
• Tidak melakukan apa yang disanggupi atau dilakukannya.
• Melakukan apa yang diwajibkan padanya, tapi tidak semestinya.
• Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
• Melakukan sesuatu yang oleh perjanjian yang bersangkutan tidak boleh dilakukan olehnya.
Tentunya terhadap pihak yang melakukan wanprestasi dapat dikenakan sanksi, ada empat macam sanksi terhadap wanprestasi :
• Meminta ganti kerugian.
• Pembatalan perjanjian.
• Peralihan resiko.
• Membayar biaya perkara jika sampai disampaikan di depan hakim.
Dalam memahami perihal suatu wanprestasi telah terjadi, tentunya semua itu menuntut adanya pembuktian untuk mengindikasikan hal tersebut, dalam hal ini apabila perjanjian itu tidak ditulis kapan waktu pelaksanaan prestasinya, maka untuk dapat menuntut pelaksanaan dari prestasi itu terhadap pihak kreditur harus terlebih dahulu ditagih.
Adapun maksud dari penagihan itu adalah sebagai peringatan bahwa kepada debitur, kreditur menghendaki pelaksanaan dari perjanjian yang telah terjadi. Jika dalam hal ini, prestasi itu tidak bisa dilaksanakan maka kepada kreditur diberikan jangka waktu yang pantas guna melaksanakan prestasi yang dimintakan padanya.
Semua hal yang telah disebutkan diatas ( perihal jangka waktu) tentunya didasarkan pada ketentuan pada pasal 1238 KUHPer yang berbunyi sebagai berikut :
“Si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat perintah atau dengan
akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus dinanggap
lalai dengan lewatnya waktu yang telah ditentukan.”
Dengan melihat ketentuan pasal yang ada diatas, pertanyaan yang muncul adalah Apa yang dimaksud dengan surat perintah itu? Yang dimaksud dengan surat perintah itu adalah surat peringatan resmi dari seorang juru sita pengadilan. Bentuk surat peringatan itu dapat berbentuk tertulis maupun lisan selama isi surat itu adalah cukup jelas menyatakan agar prestasi dilakukan secepatnya oleh kreditur, meski demikian ada baiknya jika menggunakan bentuk surat tertulis untuk memudahkan pembuktian.
Sebelumnya, telah dijelaskan bahwa ada empat macam sanksi dalam hal wanprestasi. Dalam hal ganti kerugian, ganti kerugia sering diperinci dalam tiga unsur :
• biaya
• rugi
• bunga.
Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Sementara itu, yang dimaksud dengan rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian pihak debitur dan yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian atas hilangnya keuntungan yang telah dihitung oleh kreditur.
Meski demikian, ada beberapa pembatasan yang dapat dikenakan atas apa yang dapat dimintakan ganti kerugian pada debitur, dalam KUHPer ada dua buah ketentuan pasal yang dapat digunakan sebagai pembatasan:
- pasal 1247 :
“ Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang
nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian
dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan
karena suatu tipu daya yang dilakukan olehnya.”
- pasal 1248 :
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena
tipu daya si berutang , penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar
mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan
yang telah terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang
merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian.”
Jadi kesimpulannya adalah, yang dapat dimintakan ganti kerugian adalah hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan kerugian langsung sebagai akibat dari wanprestasi.
Salah satu sanksi dalam wanprestasi adalah berbentuk pembatalan perjanjian. Tujuan dari pengenaan sanksi ini adalah untuk mengembalikan keadaan kreditur dan debitur pada keadaan semula dimana perjanjian yang bersangkutan belum diadakan. Pengaturan tentang pasal ini ada pada pasal 1266 KUHPer tentang perikatan bersyarat yang berisi ketentuan sebagai berikut :
“ Syarat batal dinggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal-balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si penggugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan.”
Sanksi yang ketiga adalah berbentuk peralihan hak, Berdasarkan pada pasal 1237 ayat 2 KUHPer, yang dimaksud dengan resiko adalah :
kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar
kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek
perjanjian.
Hal ini terjadi karena kelalaian dari kreditur itu sendiri.
Sanksi yang terakhir berhubungan dengan wanprestasi adalah tentang pembebanan biaya perkara apabila perkara itu telah sampai di depan hakim, sanksi ini telah tersimpul dalam suatu peraturan hukum acara terutama pada pasal 181 ayat 1 HIR.
Dalam kaitannya dengan pengajuan perkara wanprestasi ke muka peradilan, dengan mengacu pada pasal 1267 KUHPer, ada beberapa macam tuntutan yang dapat diajukan oleh kreditur yaitu:
• Pemenuhan isi perjanjian.
• Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian
• Ganti kerugian
• Pembatalan perjanjian
• Pembatalan disertai ganti kerugian.
Meski demikian, semua itu masih memberikan kesempatan pada pihak debitur untuk memberikan pembelaannya untuk mencegah tuntutan itu dijatuhkan padanya.

Sumber : Hukum Perikatan.

Minggu, 21 September 2008

Pengertian Negara

By                   : Roy Sanjaya
Category        : Law

Pengertian negara dalam suatu masa senantiasa berubah mengikuti perubahan zaman, berikut ini adalah perkembangan dari pengertian tentang negara.

Pengertian negara mulai dibicarakan pada zaman Yunani Kuno, pada masa itu Aristoteles memberikan suatu pengertian tentang negara akan tetapi semua itu masih mengacu pada kehidupan polis (negara kota). Menurutnya, negara adalah seuatu negara hukum yang didalamnya ada sajumlah warga negara yang ikut serta dalam suatu permusyawaratan negara. Konsep yang digunakan dalam pengertian negara pada Zaman Yunani Kuno  adalah polis dan pemikiran bahwa yang memerintah negara adalah pikiran yang adil serta pemikiran bahwa penguasa ada untuk menjaga keseimbangan.

Tujuan negara dalam zaman Yunani Kuno menurut Aristoteles adalah untuk mendidik warga negaranya agar menjadi lebih baik, lantas apa yang menentukan baik/buruknya suatu hal? yang menentukan itu semua adalah moral yang jelas mempengaruhi undang-undang pada masa itu. Pengertian tentang negara hukum pada masa Yunani Kuno merupakan cita-cita yang hendak dicapai oleh negara hukum.

Pada masa abad pertengahan, peranan negara adalah kecil artinya. Adapun tokoh yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pengertian negara adalah Santo Agustinus yang membagi negara dalam 2 jenis, yaitu :
1. Civitas Dei (negara berdasar Tuhan)
2. Civitas Diaboli ( Negara iblis)

Perkembangan berikutnya adalah pada zaman Rennaisans di mana negara mulai mendapat peranan yang besar dalam perkembangannya. Ada beberapa tokoh yang berpengaruh seperti Nicollo Machiavelli, Thomas Hobbes, John Locke, dan JJ Rousseau.

Adapun yang konsep yang diusung oleh Nicollo Machiavelli adalah negara kekuasaan (berdasarkan buku Il Principle) dimana ia lebih memandang negara dari sudut kenyataan dengan memusatkan negara pada raja sebagai pemegang kekuasaan. Konsep yang terkenal adalah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan sehingga hal ini akan memunculkan sikap raja yang sewenang-wenang dalam memerintah.

Berbeda dengan Machiavelli, teori lain yang diusung baik oleh Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau adalah teori yang lebih dikenal dengan nama teori perjanjian sosial, hanya saja perbedaan diantara ketiga ahli itu terletak pada konsep dasar manusia.

Menurut Hobbes, negara bertujuan untuk mengatur manusia yang homo homini lopus (serigala bagi manusia lain) untuk mencegah apa yang dinamakannya dengan bellum omnium contra omnes (perang semesta). Dalam kaitannya dengan hal itu, maka negara dibentuk oleh perjanjian oleh rakyat pada suatu pihak dengan menyerahkan sebagian atau bahkan semua haknya pada pihak itu yang nantinya dikenal dengan sebutan raja. Dalam hal ini, apabila haknya diserahkan semua, maka yang tercipta adalah monarki mutlak.

John Locke berpendapat bahwa negara dibentuk dari perjanjian rakyat dan hanya sebagian hak rakyat yang diserahkan pada penguasa. Yang tidak bisa diserahkan adalah HAM sehingga bisa dilihat bahwa pendapat John Locke lebih mengarah pada sistem monarki konstitusional.

Rousseau berpendapat hampir serupa dengan John Locke hanya saja perbedaannya terletak pada hal hak yang diserahkan oleh rakyat pada penguasa, menurut Rousseau tidak ada hak rakyat yang diserahkan sehingga yang berkuasa atas negara adalah rakyat itu sendiri. Dari hal ini lalu menimbulkan apa yang dinamakan bahwa penguasa adalah mandataris dari rakyat dan kalaupun hak rakyat diserahkan, maka tujuannya adalah agar penguasa memiliki wewenang untuk melindungi hak rakyat. Dari pendapat ini, paham Rousseau dikenal dengan konsep kedaulatan rakyat.

Pada perkembangan pengertian negara, juga terdapat pengertian lain yang dipengaruhi oleh paham tertentu seperti paham sosialisme yang diusung oleh Karl Marx dan Engels dimana mereka berpendapat bahwa demokrasi hanya dicapai oleh kaum borjuis sehingga hanya segelintir orang yang bisa menikmati tujuan negara itu sendiri yang dalam hal ini kaum buruh /proletar menjadi diabaikan, maka oleh karena hal ini, konsep yang benar adalah sistem diktator proletariat. Dari hal di atas, negara bertujuan sebagai alat kekuasaan satu golongan.

Adapula konsep pengarang yang berpendapat tentang pengertian negara seperti Logemann yang berpendapat bahwa negara adalah organisasi kewibawaan sehingga tampak bahwa ia lebih menitik beratkan pada wibawa, sebab :
- Wibawa membuat negara abadi
- Sehingga semua kebijakannya diikuti oleh rakyatnya.
Meski demikian, kelemahan dari konsep negara Logemann adalah hanya memandang wibawa tanpa memandang maksud buruk di belakangnya.

Adapun pengertian negara menurut Kranenburg adalah lebih mengarah pada konsep negara nasional dimana ia memandang negara sebagai suatu organisasi yang timbul atas kehendak bangsanya sendiri.

Dari penjabaran di atas, maka secara umum dapat dikatakan bahwa negara adalah alat untuk mencapai tujuan dan perlu dipahami juga bahwa negara memiliki sifat khusus.

Berkenaan dengan sifat khusus itu, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa sifat khusus negara meliputi :
-sifat memaksa
-sifat monopoli
-sifat mencakup semua

Sumber  : Ilmu Negara

Sabtu, 20 September 2008

Penyidikan

By : Roy Sanjaya
Category : Law

Penyidikan memiliki arti sebagai rangkaian tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang guna mencari serta mengumpulkan bukti-bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadikan terang tindak pidana yang terjadi sekaligus menemukan tersangka. Dalam sebuah upaya penyidikan, penekanannya diberikan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang dilakukan menjadi terang serta dapat menemukan pelakunya.

Berdasarkan pada pasal 6 KUHAP yang menjadi pejabat penyidik adalah pejabat penyidik kepolisian Negara (baik pejabat penuh maupun pembantu) dan penyidik PNS. Pada pejabat penyidik kepolisian ditetapkan sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf a. Syarat pejabat penyidik penuh adalah memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan, yaitu :
1. Pangkat : pembantu letnan dua polisi atau
2. Berpangkat bintara di bawah pembantu letnan dua jika pangkat letnan dua di sector kepolisian tidak ada.
3. Ditunjuk dan diangkat oleh kapolri.

Sementara itu, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai penyidik pembantu :
1. Sekurangnya berpangkat sersan dua polisi
2. atau PNS dalam lingkungan kepolisian Negara dengan syarat minimal pangkat pengatur muda.
3. Diangkat oleh kapolri atas usul pimpinan kesatuan.

Sedangkan untuk petugas penyidik PNS, diatur dalam pasal 6 ayat (1) huruf b. Kedudukan dan wewenang penyidik PNS dalam menjalankan tugasnya adalah :
1. Berkedudukan di bawah koordinasi kepolisian dan pengawas penyidik Polri.
2. Untuk kepentingan penyidik, penyidik kepolisan memberikan petunjuk pada penyidik PNS dan memberi bantuan yang diperlukan.
3. Penyidik PNS tertentu harus melaporkan pada penyidik kepolisian tentang adanya suatu tindakan yang disidik jika dari penyidikan itu ditemukan bukti kuat untuk diajukan ke penuntut umum.
4. Hasil penyidikan penyidik PNS harus diajukan kepada penuntut umum.

Dalam pasal 1 butir 24 dikatakan bahwa laporan adalah pemberitahuan yang disampaika oleh seseorang karena hak atau kewajibannya dengan berdasarkan pada UU kepada pejabat yang berwenang tentang telah/ sedang/ diduga akan terjadi tindak pidana, sementara itu yang dimaksud dengan pengaduan adalah dengan merujuk pada ketentuan pasal 1 butir 25 dimana dikatakan bahwa pengaduan adalah pemberitahuan yang disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang merugikannya.

Perbedaan antara apa yang dinamakan pengaduan dan permohonan ada pada jenis pidana materiilnya.

Dalam lingkup hukum acara pidana, dikenal istilah tertangkap tangan yang dengan berdasar pada ketentuan pasal 1 butir 19 KUHAP adalah :
1. Sedang melakukan tindak pidana, pelaku dipergoki oleh orang lain.
2. atau segera beberapa saat tindak pidana dilakukan.
3. atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya.
4. atau sesaat kemudian pada orang tersebut ditemukan benda yang diduga keras dilakukan untuk melakukan tindak pidananya.

Masih dalam perihal tertangkap tangan, dalam tertangkap tangan, pasal 111 KUHAP memberikan beberapa cara penyelesaian seperti :
1. Tiap orang berhak untuk menangkapnya.
2. Bagi pihak yang berkewajiban dengan keamanan, melakukan penagkapan itu adalah hal yang wajib.
3. Bagi yang berwenang melakukan penangkapan harus segera menyerahkan barang bukti dan tersangkap kepada penyidik.
4. Segera setelah tersangka diserahkan. Penyidik wajib melakukan tindakan lain yang dirasa perlu.
5. Setelah penyelidik/ penyidik mendapat laporan tentang tertangkap tangan, mereka wajib :
a. datang dan memeriksan TKP
b. Berwenang untuk melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat tersebut selama pemeriksaan di tempat itu belum selesai.
6. Tentang sifat larangan untuk tidak meninggalkan TKP, sifat hal itu adalah imperatif atau memaksa.
7. Perihal tentang untuk tidak meninggalkan TKP, hal itu dbatasinya dengan sebatas :
a. Di tempat kejadian saja dan tidak diperluas ke tempat lain.
b. Batas waktu pelarangan.

Pemanggilan.

Dalam hal pemanggilan, yang dipanggil adalah :
1. tersangka
2. saksi

Adapun berkaitan dengan surat pemanggilan itu adalah :
A. Panggilan berbentuk surat panggilan.
B. Pemanggilan memperhatikan tenggat waktu yang wajar dan layak.

Tata cara pemanggilan adalah sebagai berikut :
A. dilakukan langsung di tempat tinggal orang yang dipanggil.
B. Jika tidak diketahui, maka panggilan disampaikan ke tempat tinggal terakhir.
C. dilakukan dengan bertemu sendiri dengan orang yang dipanggil.
D. Petugas yang mencatat dan membuat laporan jika panggilan telah disampaikan dan diterima langsung oleh yang bersangkutan.
E. Petugas membubuhkan tanda tangan.

Perlu diketahui bahwa memenuhi panggilan adalah suatu kewajiban hukum, jika tidak maka akan dibebankan hukum pada yang bersangkutan dengan berdasarkan pada pasal 112 ayat (2) KUHAP.

DAlam hal ini, penyidik berkewajiban untuk memberitahu kepada :
1. Penuntut umum
2. Tersangka atau keluarganya.

Sedangkan kedudukan penasihat hukum dalam penyidikan adalah :
1. Bersifat pasif.
2. Dapat mengikuti jalannya pemeriksaan.

Tata cara pemeriksaan pengadilan meliputi :
1. Pemeriksaan terhadap tersangka :
a. jawaban / keterangan yang diberikan tersangka kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun juga dan dengan bentuk apapun juga.
b. penyidik mencatat dengan seteliti-telitinya keterangan tersangka.

Jika tersangka ditahan, hak tersangka adalah untuk segera mendapatkan pemeriksaan pada satu pihak dengan kewajiban penyidik tanpa tempo sau hari setelah penahanan harus melakukan pemeriksaan. Meski demikian, jaminan akan terlaksananya ketentuan itu dalam praktek penegakkan hukum masih dapat diragukan karena pelanggaran atas ketentuan itu tidak ada sanksinya , paling-paling dapat dimintakan ganti kerugian pada praperadilan atas alasan yang ditunjukkan pada pasal 95 ayat (2) KUHAP yakni berdasarkan alasan tindakan atau perlakuan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang.

Pengajuan pada praperadilan atau permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penahanan diatur dalam pasal 124 KUHAP yang menentukan :
1. Bagi seseorang tersangka yang dikenakan penahanan oleh penyidik dalam pemeriksaan .
2. Keberatan diajukan pada praperadilan.
3. Yang dapat mengajukan keberadaan pada praperadilan adalah tersangka/ keluarga/ penasihat hukum.

Selama pemeriksaan berlangsung di muka penyidik, tersangka dapat mengajukan pada penyidik agar diperiksa saksi yang menguntungkan baginya. Apabila ada, penyidik memeriksa saksi tersebut dan keterangannya diperiksa dalam BAP. Pemeriksaan terhadap saksi yang menguntungkan sifatnya adalah wajib dan sesuai dengan ketentuan pasal 116 ayat (4). Pemeriksaan terhadap saksi ahli juga diperlukan.

Berikut ini adalah hal penting dalam tata cara pemeriksaan saksi :
A. Dalam memberikan keterangan pada penyidik harus bebas dari segala macam tekanan.
B. Saksi dapat diperiksa di rumahnya jika berhalangan.
C. Saksi yang berada di luar wilayah hukum penyidik, dapat didelegasikan oleh pejabat wilayah hukum di mana saksi itu berada.
D. Saksi diperiksa tanpa sumpah.
E. Saksi diperiksa sendiri-sendiri.
F. Keterangan yang diberikan saksi dicatat dalam BAP.
G. BAP saksi ditandatangani oleh penyidik dan saksi.

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti yang sah, keterangan saksi yang sesuai dengan kepentingan yudisial berpedoman pada penyelesaian pasal 1 butir 27 dihubungkan dengan pasal 46 ayat (2) KUHAP :
A. memberikan keterangan yang sebenarnya sehubungan dengan tindak pidana yang sedang diperiksa.
B. keterangan saksi yang relevan untuk kepentingan yudisial.

Dalam hal pemeriksaan saksi ahli, ada hal yang ditentukan oleh UU :
Keterangan langsung dihadapan penyidik:
1. Sifat keterangan diberikan menurut pengetahuan.
2. Sebelum dilakukan pemeriksaan disumpah terlebih dahulu.
3. Ahli dapat menolak memberikan keterangan jika memang ada suatu hal yang mengharuskan.

Bentuk keterangan tertulis dan tata cara hal itu pada pemeriksaan ahli diatur dalam pasal 133 KUHAP. Adapun hal-hal lain yang bisa dilakukan adalah :
1. Bedah mayat (pasal 134 KUHAP)
2. Penggalian mayat (Pasal 135 KUHAP)

Adapun penyelidikan dapat dihentikan dengan alasan (pasal 109 ayat (2)):
1. Bukti tidak cukup
2. PEristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana.
3. Penghentian demi hukum, sebab :
a. Ne bis in idem
b. tersangka meninggal dunia (pasal 77 KUHP)

Dalam pemberitahuan penghentian penyidikan, pasal 109 ayat 2 KUHAP mengaturnya dengan ketentuan :
1. Jika yang menghentikan adalah penyidik kepolisian, disampaikan pada:
a. Penuntut umum
b. Tersangka/keluarganya
2. Jika yang menghentikannya adalah penyidik PNS :
a. Penyidik kepolisian.
B. Penuntut umum.

Bahkan dalam angka 11 lampiran kep. Menkeh no.M:14-PW03/1983, juga diwajibkan untuk memberitahukan pada :
A. penasihat hukum
B. saksi maupun korban

Jika tidak disetujui, dapat diajukan suatu keberatan atas penghentian perkara penyidikan berdasarkan apa yang diatur dalam pasal:
A. Pasal 77 huruf M KUHAP
B. pasal 78 ayat 1 KUHAP
C. Pasal 80 KUHAP

Sumber : Hukum acara pidana

Jumat, 19 September 2008

Perkembangan dan definisi ilmu politik

By                        : Roy Sanjaya
Category             : Politic
    
Jika ilmu politik dipandang terbatas sebagai salah satu cabang dari ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus serta ruang lingkup yang jelas, maka ilmu politik baru muncul pada abad ke19 dimana ilmu politik berkembang pesat seperti ilmu sosial lainnya.
    Meski demikian, jika ilmu politik ditinjau dari ruang lingkup yang lebih luas yakni sebagai pembahasan rasional dari segi aspek kehidupan negara dan kehidupan politik, maka ilmu politik bisa dikatakan sebagai ilmu yang umurnya paling tua, hal ini tampak pada beberapa peradaban yang telah memulai pembahasan mengenai politik, sebut saja seperti peradaban Yunani Kuno dimana pemikiran mengenai negara dimulai, peradaban India Kuno (tampak dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra) dan peradaban China Kuno yang tampak pada tulisan para filsufnya seperti Confucius, Mencius dan Shang Yang (dengan Mazhab Legalisnya) dan kebudayaan Indonesia sendiri tampak dari adanya beberapa kitab seperti NegaraKertagama dan Babad Tanah Jawi.
     Kembali pada ilmu politik pada abad ke-19, di negara-negara di benua Eropa seperti jerman, Austria dan Prancis, pembahasan tentang politik banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum sehingga oleh karena itu, yang menjadi pembahasan adalah negara padahal perlu diingat bahwa pembahasan negara juga merupakan pembahasan dalam ilmu hukum dalam mata kuliah ilmu negara, sedangkan di Inggris, politik dimasukkan dalam filsafat dan pembahasannya tidak lepas dari sejarah.
    Dalam perkembangannya ilmu politik mulai menjadi disiplin  ilmu tersendiri sejak didirikannya Ecoles Libres des Sciences Politiques di Paris dan London School of Economics dan Political Science di Inggris.
    Perkembangan yang berbeda terjadi di USA dimana ilmu politik justru banyak dipengaruhi oleh sosiologi dan terminologi.
    Perkembangan ilmu politik paling pesat terjadi selama perang dunia ke 2 dimana mulai dipelajari sebagai bidang yang berdiri sendiri secara utuh dengan adanya pendirian FISIP di beberapa universitas.
    Sebenarnya perkembangan ilmu politik sesudah perang dunia ke dua lebih dikarenakan oleh adanya dorongan kuat dari beberapa badan seperti UNESCO yang menuntut adanya keseragaman pada terminologi dan metodologi ilmu politik dimana hal ini lantas mendorong diadakannya suatu survey ilmu politik di beberapa negara yang dipimpin oleh W.Ebenstein dari Pricenton University USA yang hasilnya lantas dibahas oleh  beberapa ahli dalam pertemuan di Paris yang menghasilkan buku berjudul Contemporary Political Science pada tahun 1948. Adapun tindak lanjut dari hasil pertemuan itu adalah  UNESCO bersama dengan International Political Science Association melakukan penelitian secara mendalam di beberapa negara seperti  India, Mexico dan Polandia yang hasilnya dibahas dalam konferensi di Cambridge dimana hasilnya disusun oleh W.A Robinson.
    Dalam perkembangannya ilmu politik juga dipengaruhi oleh penemuan dalam beberapa ilmu lain seperti antropologi, sosiologi, ekonomi dan psikologi.
    
Sumber                : Dasar-dasar ilmu politik

Kamis, 18 September 2008

Kaum Marxis ikut pemilu, benar atau salah?

by                          : Roy Sanjaya
category               : Opinion
Pengantar:
Beberapa saat yang lalu saya sempat menjumpai pertanyaan ini terpampang pada sebuah forum di internet (yang sayangnya saya lupa namanya) yang mempertanyakan hal ini. Oleh karena itu adalah suatu hal yang sangat menarik bagi saya untuk memberikan pendapat saya sehubungan dengan hal-hal yang ada di atas. Perlu diingat bahwa keberadaan opini saya ini bukanlah suatu dukungan atas Marxisme atau sejenisnya tapi hanya pandangan saya dilihat dari kacamata orang ketiga yang berada di luar ruang lingkup itu apalagi dengan mengingat bahwa Indonesia adalah negara berdasar pancasila yang senantiasa diingatkan oleh Presiden Soekarno dalam beberapa pidatonya.

Dalam kaitannya dengan kedudukan kaum Marxis di pemerintahan Indonesia

Berbicara tentang keterlibatan kaum marxis dalam pemerintahan. Saya memandang bahwa tak ada yang salah dalam keterlibatan itu, bahkan sebenarnya ada beberapa poin positif yang dapat digunakan oleh kaum marxis dalam menjalankan tujuannya dengan mendapatkan posisi di pemerintahan. Hal ini dikarenakan makna dari suatu revolusi itu sendiri, menurut saya suatu revolusi tidaklah suatu hal yang harus selalu berlangsung dari luar pemerintahan, akan tetapi bisa juga terjadi dari dalam pemerintahan itu sendiri sebagaimana cara yang pernah digunakan oleh PKI pada pemerintahan silam. Bahkan akanlah sangat efektif dalam menwujudkan apa yang menjadi tujuan marxis jika dilakukan dari dalam pemerintahan.
Meski demikian, hal itu juga perlu dikaitkan dengan cara serta upaya yang perlu digunakan oleh kaum marxis dalam memperbesar pengaruhnya sebab berbicara tentang pemerintahan sebenarnya hanyalah berbicara tentang pengaruh dalam membawa negara pada suatu arah yang diinginkan, oleh karena itu dirasa perlu juga untuk tidak hanya menduduki badan DPR saja melainkan harus mampu untuk menempatkan posisi kaum marxis di dalam beberapa badan kekuasaan lain.
DAlam kaitannya dengan hal ini, maka saya bisa melihat suatu reaksi berantai dalam mencapai kekuasaan tertinggi dan dalam mencapai sebuah kekuasaan yang diinginkan, cara2 radikal bukanlah suatu cara efektif lagi untuk bisa mencapai tujuan (ingat beberapa ormas pendukung pemerintah) dan cara itu tentunya akanlah sangat efektif jika kita memulai dari badan legislatif yang pada beberapa tahun ini tampil dominan dalam kegiatan negara dan bahkan terkadang tampak diatas badan eksekutif. Atas dasar inilah akan dirasa sangat efektif jika semua ini dimulai dari DPR sebagai awal dalam mendominasi.
Perihal konsistensinya dalam pemerintahan, hal ini sebenarnya kembali pada kaum marxis yang menduduki posisi dalam pemerintahan yang berkuasa, apakah mereka akan disilaukan oleh kehidupan borjuis yang sekarang menguasai pemerintahan serta kelompok kanan yang turut mendukungnya (saya melihat adalah demikian). Meski demikian, bagaimana caranya sebab sebagaimana kita tahu bahwa sebagian besar kaum penguasa sangat bertentangan dengan kaum marxis? Akankah gerak gerik kaum marxis menjadi terbatas? jelas ya....hal ini juga mengingat keberhasilan pemerintah mengindoktrinasi masyarakat untuk menciptakan suatu pandangan bahwa anti Marxis. Jadi bagaimana agar tampak konsisten?
Machiavelli dalam buku The Prince secara garis besarnya adalah halal untuk menggunakan segala cara guna mencapai tujuannya sebagaimana Stalin dalam mempertahankan kekuasaannya. Jadi bagaimana dan apa kaitannya dengan konsistensi kaum Marxis di pemerintahan? Seorang yang memiliki akal tentunya tidak akan terang-terangan mengakui hal itu di depan pemerintah bukan? Jadi berkoalisi dan bahkan mendukung salah satu pihak kuat dalam pemerintahan tidaklah selalu dikatakan sebagai penyimpangan mengingat bukanlah tidak mungkin untuk mencantumkan gagasan-gagasan Marxis dalam setiap langkah pemerintah dalam hal itu.
Hal ini juga perlu mendapat dukungan dari kaum Marxis di luar lingkunga kekuasaan seperti layaknya beberapa serikat buruh (yang murni adalah serikat buruh) sebagai perpanjangan tangan kaum marxis di pemerintahan kepada masyarakat guna memperkuat pengaruh kaum marxis tidak hanya di dalam tetapi di luar. Jadi secara garis besarnya adalah jika kaum marxis mendapat bagian dalam kekuasaannya bukan berarti ini menjadi anggota kaum berkuasa akan tetapi lebih pada memperkuat pengaruh dari marxisme itu sendiri sebab kedudukan serta kuatnya posisi pemerintah dalam masyarakat menjadikan pengaruh serta eksistensi marxisme itu sendiri menjadi lebih subur berkaitan dengan wewenang besar pemerintah atas nasib rakyatnya itu sendiri sehingga cara meluaskan pengaruh dalam masyarakat adalah lebih terbuka dibanding jika kaum marxis berada di luar pemerintahan.

sekian dan terima kasih...

Tugas pemerintah dalam ketenagakerjaan

By                 : Roy Sanjaya
Category     : Law

Berbicara tentang peran pemerintah dalam ketenagakerjaan, dalam UU No.13  tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mengatur peran pemerintah, yaitu dalam hal :

1. perencanaan tenaga kerja
2. perluasan kesempatan kerja
3. pembinaan
4. pengawasan

Peran pemerintah dalam hal ini adalah sesuai dengan fungsinya yang diatur dalam pasal 102 ayat 1 UU no.13 tahun 2003, yakni:

- Menetapkan kebijakan
- Memberikan pelayanan
- Melaksanakan pengawasan, serta
- Melakukan penindakan terhadap segala pelanggaran peraturan ketenagakerjaan.

1. Perencanaan tenaga kerja
    Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja melalui pendekatan perencanaan tenaga kerja nasional, daerah dan sektoral, yaitu : pendekatan secara makro (penjelasan pasal 7 UU no.13 tahun 2003)
    Perencanaan kerja meliputi :
A. perencanaan tenaga kerja makro (skala nasional), dan
B. Perencanaan tenaga kerja mikro. (skala instansi/ perusahaan)
    Tampak jelas bahwa yang membedakan antara perencanaan tenaga kerja makro dan mikro ada pada ruang lingkup atau cakupannya.
    Dalam perencanaan tenaga kerja, hal itu disusun dengan berdasarkan informasi sebagai berikut :
a. penduduk dan tenaga kerja.
b. kesempatan kerja
c. pelatihan kerja
d. produktivitas tenaga kerja.
e. hubungan industrial.
f. kondisi lingkungan kerja.
g. pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja.
h. JAMSOSTEK

2. Perluasan kesempatan kerja.
     Pada pasal 41 UU no.13 tahun 2003 telah ditetapkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja. Pengawasan serta pelaksanaan kebijakan ini tidak hanya dibebankan pada pemerintah semata, tapi juga dibebankan pada masyarakat.
    Tanggung jawab pemerintah dalam perluasan kesempatan ini meliputi di dalam dan di luar hubungan kerja.
    
3. Pembinaan.
    Penjelasan pasal 173 UU  no.13 tahun 2003 mengatakan bahwa pembinaan adalah kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik untuk meningkatkan dan mengembangkan semua kegiatan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan. Dalam pelaksanaan hal ini, pemerintah bekerjasama dengan pengusaha, serikat buruh serta organisasi profesi terkait.
     Adapun dalam pasal 29 UU no.13 tahun 2003 menentukan bahwa pembinaan ketenagakerjaan itu meliputi :
- relevansi
- kualitas
- efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja
- produktivitas

4. Pengawasan
     Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan perundangan dalam bidang ketenagakerjaan. Yang berwenang dalam hal ini adalah pegawai pengawasan ketenagakerjaan yang memiliki kompetensi dan independensi sehubungan dengan pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan.
     Tugas pelaksana pengawas ketenagakerjaan adalah:
1. wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan kepada menaker,
    khusus bagi unit kerja pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.
2. wajib merahasiakan segala suatu yang menurut sifatnya adalah patut dirahasiakan serta
    tidak melakukan penyalah gunaan wewenang.

Sumber      : Sumber Hukum Ketenagakerjaan 2003

Rabu, 17 September 2008

Konstitusi

By                 : Roy Sanjaya
Category     : Law
      Yang dimaksud dengan konstitusi adalah suatu hukum dasar baik tertulis maupun tidak tertulis. Hukum dasar tidak tertulis disebut konvensi, konvensi adalah kebiasaan ketatanegaraan/ aturan-aturan dasar yang timbul serta terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.
      Dalam memahami pengertian konstitusi, suatu konstitusi dibagi atas 3 tingkat :

1. Pengertian sosial politik

    Dalam tahap ini, konstitusi belum merupakan suatu pengertian hukum dan baru sebatas mencerminkan keadaan sosial politik suatu bangsa. Konstitusi dalam hal ini memiliki pengertian hukum sekunder sebab yang primer dalam hal ini adalah bangunan masyarakat.

2. Pengertian hukum

    Dalam hal ini, konstitusi menjadi keputusan dari suatu keputusan normatif yang kemudian harus berlaku. Dalam pengertian politik, hal ini dapat diartikan sebagai suatu kenyataan yang berlaku serta memiliki sanksi jika dilanggar. Konstitusi pada tahap ini mulai mengandung pengertian hukum yang tidak selalu tertulis.
     Hukum yang ada dapat ditulis untuk :
      a. Mencapai kesatuan hukum
      b. Kesederhanaan hukum
      c. Kepastian hukum

3. Sebagai peraturan hukum

    Konstitusi dalam pengertian ini telah menjadi suatu bentuk peraturan hukum yang tertulis dan dalam hal ini, suatu undang-undang dasar merupakan salah satu bagian dari konstitusi.

    Dalam membicarakan konstitusi, banyak pihak yang mengartikan konstitusi adalah sama dengan UUD. Hal itu sebenarnya lebih diakibatkan dari :
    1. kodifikasi
    2. UUD = pedoman untuk memerintah

    Menurut Laselle, konstitusi memiliki 2 pengertian:
1. Konstitusi antara kekuasaan yang terdapat dalam masyarakat (faktor kekuatan riil)
2. Apa yang ditulis di atas kertas tentang lembaga negara dan prinsip-prinsip memerintah
    dalam suatu negara.

    Adapun pengertian konstitusi menurut Carl Schmitt adalah sebagai berikut :
1. Konstitusi dalam arti absolut
    Dalam pengertian ini konstitusi mencakup seluruh keadaan atau struktur dalam negara itu. Dalam hal ini, konstitusi menentukan segala yang ada dalam negara itu.

2. Konstitusi dalam arti relatif
    Hal ini ditimbulkan dari adanya proses relatifening dalam konstitusi itu sendiri yang dikarenakan oleh konsititusi yang dianggap sebagai suatu naskah penting yang sulit diubah-ubah dan dengan sendirinya menjamin kepastian hukum dalam suatu negara.

3.Konstitusi dalam arti positif
    Dalam pengertian ini, konstitusi merupakan suatu bentuk keputusan tertinggi dari rakyat suatu negara.

4. Konstitusi dalam arti ideal
    Konstitusi dalam pengertian ini awalnya adalah ideal bagi kaum borjuis di mana dalam pengertian ini, konstitusi adalah wadah untuk menampung ide yang dicantumkan satu persatu sebagai isi konsitusi yang sebagaimana dimaksud dalam pengertian konstitusi dalam arti relatif.

    Berdasarkan pada pendapat Prof. K.C. Wheare, sifat dari suatu konstitusi adalah :
1. tertulis dan tidak tertulis
2. Fleksibel atau rigid
     Hal ini berkaitan dengan mudah atau tidaknya suatu konstitusi diamandemen, meski demikian, jika suatu konstitusi terlalu sering diamandemen maka bukanlah tidak mungkin jika hal itu memicu suatu bentuk kemerosotan. Hal itu disebabkan karena mengubah konstitusi dapat berarti :
1. Seacara artifisial dipaksa dibuat
    Hal ini dilakukan dengan cara-cara yang ilegal (misal :revolusi)
2. Kehidupan sosial masyarakat yang sudah berubah.
     Berkaitan dengan perubahan konstitusi yang dijelaskan di atas, Georg Jellinek membedakan perubahan konstitusi dalam 2 hal :

1. verfassungsanderung
    Dalam hal ini, perubahan konstitusi dilakukan dengan sengaja sesuai dengan ketentuan yang ada dalam konstitusi yang bersangkutan (dalam hal ini adalah UUD)

2. verfassungwandlung
    Perubahan dilakukan dengan cara selain cara dalam verfassungsanderung.

    Berdasarkan fungsinya, konsitusi dibagi menjadi 2:
1. Membagi kekuasaan negara, dan
2. Membatasi kekuasaan pemerintah dalam suatu negara.
    Dalam kaitannya dengan fungsi konstitusi dalam membagi kekuasaan negara, ada dua bentuk pembagian kekuasaan, yaitu:

A. Vertikal
     Merupakan pembagian berdasarkan tingkatnya. Ada 3 jenis konstitusi berdasarkan hal ini:
     1. Konstitusi unitaris
          Merupakan bentuk konstitusi yang ada di negara kesatuan.
     2. Konstitusi federalis
          Merupakan bentuk konstitusi yang ada di bentuk negara federal
     3. Konstitusi konfederalis
          Konstitusi ini ada dalam negara konfederasi (sekarang sudah tidak ada).

B. Horizontal
    Merupakan bentuk pembagian kekuasaan menurut fungsinya

    Berbicara tentang tujuan konstitusi, sebenarnya tujuan tiap negara dalam konstitusi adalah memelihara serta mengembangkan kesejahteraan serta keselamatan warga negaranya.
     Ada tiga tingkatan dalam pelaksanaan sebuah konstitusi :
1. Normatif
    Konstitusi dijalankan sebagaimana mestinya.
2. Nominal
    Konstitusi tidak dijalankan dan hanya namanya saja.
3. Semantik
    Konstitusi dilaksanakan dan diperlakukan penuh tapi hanya untuk memberi bentuk dan tempat yang ada guna melaksanakan kekuasaan politik.

Selasa, 16 September 2008

Format surat kuasa untuk mengajukan gugatan

By                     : Roy Sanjaya
Category        : Law

Berikut ini adalah contoh format surat kuasa untuk mengajukan gugatan:



Surat Kuasa

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama :

Umur :

Pekerjaan :

Alamat :

Dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor kuasa tersebut di bawah ini serta menerangkan bahwa dengan ini memberi kuasa kepada :

(isi nama advokat yang bersangkutan)

Advokat/Asisten Advokat/Pembela Umum/Asisten Pembela Umum pada Kantor Hukum (isi nama law firm) yang beralamat di (isi alamatnya) untuk bertindak secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

KHUSUS

Untuk dan atas nama pemberi kuasa mengajukan gugatan, replik,  pembuktian dan kesimpulan di (isi nama pengadilan) mengenai (isi jenis perkara) terhadap Tn/Ny (isi nama pihak lain) pekerjaan (isi bentuk pekerjaannya), bertempat tinggal di (isi alamat tergugat).

Berkenaan dengan hal itu, penerima kuasa diberikan hak untuk menghadap di muka Pengadilan serta badan – badan kehakiman atau pejabat lainnya yang berkaitan dengan perkara yang telah disebutkan di atas serta menandatangai semua surat-surat yang dianggap perlu oleh penerima kuasa sehubungan dengan perkara tersebut.

Surat kuasa ini diberikan dengan hak substitusi sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.


Jakarta, (tanggal)

Penerima Kuasa                Pemberi Kuasa

                                        "materai 6000 rupiah"


(______________) (_______________)


Senin, 15 September 2008

Pembuktian

By                      : Roy Sanjaya and partners
Category           : Law

A. Arti Pembuktian
Yang dimaksud dengan “membuktikan” ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengkataan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanya diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka Hakim atau Pengadilan.
Pembuktian hanyalah diperlukan, apabila timbul suatu perselisihan. Jika tidak ada seseorang yang menyangkal bahwa hak milik seseorang atas tanah yang dimilikinya, maka ia tidak perlu membuktikan bahwa tanah tersebut itu adalah miliknya. Semua perselisihan mengenai hak milik, utang piutang atau warisan dinamakan perselisihan mengenai hak-hak perdata adalah semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang Hakim atau Pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini Hakim atau Pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini Hakim atau Pengadilan Perdata yang merupakan alat kelengkapan dalam suatu Negara Hukum yang ditugaskan untuk menetapkan perhubungan hukum yang sebenarnya antara dua pihak yang terlibat dalam perselisihan atau persengketaan. Hakim mempunyai wewenang untuk menetapkan bahwa tanah yang dimiliki seseorang adalah benar-benar secara sah dan meyakinkan adalah miliknya.
Tugas Hakim atau Pengadilan adalah menetapkan hukum untuk suatu keadaan tertentu melalui dalil-dalil yang diajukan masing-masing pihak untuk kemudian menjadi pertimbangan Hakim untuk memutuskan pihak siapa yang menang dan pihak siapa yang kalah. Dalam memeriksa suatu perkara, Hakim harus mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian yang merupakan Hukum Pembuktian. Ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan akan timbul apabila Hakim, dalam melaksanakan tugasnya diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya. Keyakinan Hakim harus didukung dengan alat bukti dimana masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya yang dikemukakan kepada Hakim yang diwajibkan memutusi perkara mereka itu.
Hukum pembuktian pada dasarnya merupakan suatu bagian daripada Hukum Acara karena ia memberikan aturan-aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka Hakim, akan tetapi tidak pada tempatnya untuk dimasukkan dalam B.W. yang pada dasarnya hanya mengatur hukum materil. Akan tetapi ada suatu pendapat bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materiil dan hukum acara formil (yang memuat aturan-aturan yang benar-benar semata-mata mengenai formalitas saja yang harus diperhatikan di pengadilan atau dengan kata lain bagaimana cara melaksanakan hukum perdata materil yang terdapat di dalam B.W.).Pendapat ini dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan.
Untuk memudahkan kita dalam memahami hal pembuktian yang sedang dibahas saat ini, maka penulis akan memberikan sebuah contoh sebagai berikut, misalnya saja jika seseorang menggugat orang lain agar orang ini dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah yang merupakan harta peninggalan ayahnya, tetapi pendirian ini disangkal oleh pihak tergugat, akibatnya orang yang menggugat diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia adalah ahli waris yang sah dari yang meninggal dan tanah tersebut adalah secara sah milik si pewaris. Jika ia telah berhasil membuktikan hal tersebut dan pihak tergugat masih saja membantah haknya dengan dalil bahwa tanah tersebut dibelinya secara sah melalui akta jual beli tanah maka si tergugat wajib membuktikan adanya jual beli tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1865 B.W. yang menyatakan :

“ Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”

Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat-syarat sebagai berikut :
1. diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti
2. Reability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu)
3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta
4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan

B. Sistem Pembuktian
Pada umumnya dikenal dua sistem pembuktian yaitu sistem negatif sistem positif. Dalam hukum acara pidana dikenal sistem pembuktian negatif dimana yang dicari adalah kebenaran yang materiil atau kebenaran yang sesungguhnya sedangkan dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif di mana yang dicari adalah kebenaran yang formal
Sistem negatif adalah sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, haruslah memenuhi dua syarat mutlak :
- alat bukti yang cukup, dan
- keyakinan hakim
Dengan demikian, tersedianya alat bukti saja belum cukup untuk menjatuhkan hukuman pada seorang tersangka. Sebaliknya, meskipun hakim sudah cukup yakin akan kesalahan tersangka, jika tidak tersedia alat bukti yang cukup, maka pidana belum dapat dijatuhkan oleh hakim. Sistem pembuktian negatif ini diberlakukan secara eksplisit oleh KUHAP melalui Pasal 183 yang menyatakan sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang saha, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sistem pembuktian perdata berlaku secara positif, maka yang dicari oleh hakim adalah suatu kebenaran formal sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsur keyakinan hakim dalam sistem pembuktian perdata tidak berperan. Dalam sistem pembuktian ini yang dicari adalah kebenaran formal jadi bukan kebenaran yang sesungguhnya, bahkan suatu kebenaran yang bersifat kemungkinan saja sudah mencukupi, maka suatu kebenaran yang sesungguhnya sulit diwujudkan dalam praktik.

C. Macam-Macam Alat Bukti
Dilihat dari segi kedekatan antara alat bukti dan fakta yang akan dibuktikannya, terdapat dua macam alat bukti yaitu :
1. Alat bukti langsung (direct evidence)
Alat bukti langsung adalah alat bukti di mana saksi melihat langsung fakta yang akan dibuktikan sehingga fakta tersebut terbukti langsung (dalam satu tahap saja) dengan adanya alat bukti tersebut. Contohnya adalah manakala saksi melihat langsung bahwa si pelaku kejahatan mencabut pistolnya dan menembak korban, saksi mendengar bunyi letusan dan kemudian melihat langsung korban terkapar

2. Alat bukti tidak langsung (indirect evidence) atau alat bukti sirkumstansial
Alat bukti tidak langsung adalah suatu alat bukti di mana antara fakta yang terjadi dan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat hubungannya setelah ditarik kesimpulan-kesimpulan tertentu. Contohnya adalah manakala di tempat kejadian saksi untuk kasus pembunuhan melihat korban tersungkur dengan darah di perutnya dan di dekatnya terlihat tersangka memegang pisau yang berlumuran darah, dan kemudian pelaku melarikan diri. Jadi, saksi sebenarnya tidak melihat dengan matanya sendiri tentang proses terjadinya pembunuhan tersebut, tetapi dari keterangan dalam kesaksiannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa korban dibunuh oleh tersangka dengan pisau.
Sedangkan dilihat dari segi fisik dari alat bukti, alat bukti tersebut dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu :
1. Alat bukti testimonial,adalah pembuktian yang diucapkan (oral testimony) yang diberikan oleh saksi di depan pengadilan.
2. Alat bukti berwujud (tangible evidence), adalah model-model alat bukti yang dapat dilihat wujudnya/bentuknya, yang pada prinsipnya terdiri atas dua macam, yaitu :
a. alat bukti riil
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan alat bukti riil adalah sejenis alat bukti yang merupakan benda yang nyata ada di tempat kejadian, misalnya pisau yang digunakan untuk membunuh
b. alat bukti demonstratif
Alat bukti yang merupakan benda yang nyata tetapi bukan benda yang ada di tempat kejadian, misalnya alat bantu visual atau audio visual, foto, gambar, grafik, model anatomi tubuh dan sebagainya.
3. Alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial, adalah jenis alat bukti yang merupakan gabungan dari 2 jenis alat bukti sebelumnya. Contoh dari jenis alat bukti ini adalah transkrip dari keterangan saksi atau transkrip dari siding sebelumnya dalam kasus yang lain.
Meskipun dalam kenyataannya, di samping alat bukti konvensional yang sudah lama dikenal seperti alat bukti surat, saksi, pengakuan dan sebagainya sangat banyak modal alat bukti yang non konvensional dimana alat bukti tersebut tidak terantisipasi pada saat H.I.R atau KUHAP terbentuk. Oleh sebab itu dapat atau tidak diterimanya alat bukti tersebut di pengadilan, masih mengandung banyak perdebatan maka agar hukum pembuktian itu tidak tertinggal, alat bukti non konvensional seperti alat bukti elektronik dan sainstifik harus dipertimbangkan hakim untuk diterima sebagai alat bukti di pengadilan. Perlu diketahui karena banyak alat bukti nonkonvensional tersebut yang canggih dan sangat berorientasi pada perkembangan teknologi, maka banyak di antaranya yang dapat memberikan nilai pembuktian yang akura, bahakan melebihi dari keakuratan alat bukti konvensional. Sebagai contoh, model pembuktian kejahatan melalui alat canggih yang disebut dengan tes DNA yang jauh lebih akurat dibandingkan dengan pembuktian konvensional yang menggunakan saksi mata.


D. Bentuk-Bentuk Alat Bukti

Menurut pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas :
a. Bukti tulisan
b. Bukti dengan saksi-saksi
c. Persangkaan-persangkaan
d. Pengakuan, dan
e. Sumpah
Ketentuan tentang alat bukti perdata bersifat hukum memaksa artinya segala jenis alat bukti yang sudah diatur dalam pasal tersebut tidak dapat ditambah maupun dikurangi. Hanya saja, dalam ketentuan hukum perdata terdapat modael alat bukti yang terbuka ujung (open end) yang memungkinkan masuknya berbagai alat bukti baru sesuai dengan perkembangan teknologi, termasuk alat bukti yang sangat bersifat sainstifik dan/atau eksperimental. Alat bukti yang terbuka ujung tersebut adalah alat bukti persangkaan dalam hukum acara perdata dan alat bukti petunjuk dalam hukum acara pidana. Dalam suatu perkara perdata, alat bukti yang utama adalah tulisan sedangkan dalam suatu perkara pidana kesaksian. Keadaan yang demikian dapat dimengerti, dalam lalu lintas keperdataan yaitu dalam jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya, orang-orang memang dengan sengaja membuat alat bukti berhubung dengan kemungkinan diperlukannya bukti-bukti itu di kemudian hari. Oleh sebab itu, dalam suatu masyrakat yang sudah maju, tanda-tanda atau bukti yang paling tepat dalam hal perdata adalah bukti tulisan.
Di samping tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti, ada juga tulisan-tulisan yang dibuat tanpa maksud yang demikian tetapi pada sewaktu-waktu dapat dipakai juga dalam suatu pembuktian, misalnya surat menyurat biasa, catatan-catatan pembukuan dan lain-lain. Contoh tulisan yang dimaksud meliputi kwitansi, surat perjanjian, surat menyurat, surat Hak Milik, surat tanda kelahiran dan sebagainya. Biasanya apabila seorang dimintai surat tanda bukti, maka surat tanda bukti ini dimaksudkan untuk dikemudian hari dipakai terhadap orang yang memberikan tanda bukti tersebut. Jadi kesimpulannya tulisan itu akan menjadi ukti terhadap si penulis.
Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan maka pihak yang diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang-orang yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Orang-orang tersebut disebut sebagai saksi. Adalah mungkn bahwa orang-orang tadi pada waktu terjadi peristiwa tersebut, dengan sengaja telah diminta untuk menyaksikan kejadian yang berlangsung itu. Adapula orang-orang yang secara kebetulan melihat atau mengalami persitiwa yang dipersengketakan itu.
Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka diusahakan untuk membuktikan peistiwa-peristiwa lain yang ada hubungan erat dengan peristiwa yang harus dibuktikan tadi. Menyimpulkan terbuktinya suatu peristiwa dari terbuktinya peristiwa lain dinamakan persangkaan. Sebenarnya hal persangkaan ini bukanlah suatu barang bukti, untuk memudahkannya digunakan contoh apabila tidak mungkin untuk membuktikan secara langsung bahwa pasti barang sudah diterima oleh si pembeli, maka diusahakan membuktikan pengiriman barang-barang seperti itu kepada orang lain. Jika peristiwa pengiriman barang dari gudang dan peristiwa penawaran yang dilakukan oleh pembeli kepada orang lain tadi dianggap terbukti oleh hakim, maka Hakim dapat pula menyimpulkan terbuktinya penerimaan barang oleh si pembeli. Dari contoh yang penulis berikan, pihak penjual sebenarnya tidak berhasil atau mampu membuktikan peristiwa penerimaan barang. Ia hanya dapat membuktikan pengiriman barang dan penawaran yang dilakukan oleh pembeli. Meski demikian persangkaan dapat dijadikan bukti dalam beberapa perkara pertada, contoh dari perkara perdata dimana persangkaan dijadikan sebagai bukti adalah peristiwa perzinahan, yang perlu dibuktikan dalam suatu perkara perceraian. Dalam perkara-perkara perceraian semacam itu telah ada suatu yurisprudensi, bahwa dari terbutinya bahwa dua orang, laki-laki dan perempuan menginap dalam suatu kamar di mana hanya ada satu tempat tidur, dapat dianggap terbukti bahwa mereka melakukan suatu perzinahan.
Kalau pembuktian dengan menggunakan tulisan dan kesaksian itu merupakan pembuktian secara langsung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan pembuktian secara tidak langsung. Dari contoh yang telah diberikan sebelumnya, kesimpulan tentang terbuktinya peristiwa yang dipersengketakan ditarik oleh hakim yang sedang memeriksa perkara. Di samping itu ada pula ketentuan-ketentuan undang-undang yang mengambil kesimpulan-kesimpulan seperti yang dilakukan oleh hakim tadi. Ini dinamakan persangkaan Undang-undang sedangkan kesimplan yang ditarik oleh haki tadi dinamakan persangkaan hakim.
Apa yang dinamakan persangkaan-persangkaan hakim dalam perkara perdata itu adalah sama dengan apa yang dinamakan pembuktian dengan petunjuk-petunjuk dalam perkara pidana.
Seorang saksi jika diminta memberikan kesaksian tentang sesuatu harus disumpah untuk menguatkan kesaksian itu. Dalam perkara perdata, sumpah itu juga dapat dibebankan kepada salah satu pihak yang bersengketa. Satu pihak dapat memerintahkan pihak lawannya untuk bersumpah tentang sesuatu hal yang menjadi perselisihan, misalnya hal sudah atau belum dibayarnya suatu utang. Juga Hakim diberikan wewenang untuk membebani sumpah kepada salah satu pihak. Dengan sendirinya pembebanan sumpah tadu baru dilakukan apabila tidak didapatkan bukti-bukti lain.
Penyebutan alat-alat bukti dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak melarang alat-alat bukti lainnya. Tidak dilarang misalnya mengajukan bukti-bukti yang berupa tanda-tanda yang bukan tulisan misalnya Pasal 1887 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata misalnya menyebutkan “tongkat berkelar”.
Perlu kiranya diperhatikan bahwa Undang-Undang Mahkamah Agung yang sudah modern (tahun 1950) dalam hukum acaranya dalam tingkat pertama untuk memeriksa perkara-perkara pidana, dalam pasal 78 menyatakan sebagai alat-alat bukti yang sah :
1. Pengetahuan hakim
2. Keterangan terdakwa
3. Keterangan saksi
4. Keterangan orang ahli
5. Surat-surat

a. Bukti Tulisan
Bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan sering kali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisahan dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berupa tulisan.
Salah satu bukti tulisan adalah akte. Suatu akte adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Dengan demikian unsur-unsur yang penting untuk suatu akte ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatangan tulisan itu Syarat penandatanganan dapat kita lihat pada pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang memuat ketentuan :

“Ketentuan-ketentuan tentang kekuatan pembuktian daripada tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka.”

Dalam pasal-pasal yang dimaksudkan itu, perkataan “ yang ditandatangani ” hanya dituliskan di belakang perkataan “akte” , dan tidak dibelakang “surat-surat, regester-regester, surat-surat rumah tangga dan lain-lain tulisan”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka surat perjanjian jual beli adalah adalah suatu akte. Hal yang serupa juga berlaku pada perjanjian sewa-menyewa. Bahkan sepucuk kuitansi adalah suatu akte, karena ia sebagai bukti dari pelunasan suatu hutang dan ia ditandatangani oleh si berpiutang.
Dengan demikian maka tulisan-tulisan itu dapat dibagi dalam dua golongan: akte dan tulisan-tulisan lain. Yang penting dari suatu akte memang penandatangannya itu. Dengan menaruh tandatangannya, seorang dianggap menanggung tentang kebenaran apa yang ditulis dalam akte itu.
Diantara surat-surat atau tulisan-tulisan yang dinamakan akte tadi, ada suatu golongan yang dinamakan akte otentik.
Suatu akte otentik ialah suatu akte yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana akte itu dibuatnya (pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 165 RIB atau pasal 285 RDS). Akte-akte lainnya, yang jadi yang bukan otentik dinamakan akte di bawah tangan.
Menurut pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu akte otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Akte otentik itu merupakan suatu bukti yang “mengikat” dan ia memberikan sesuatu yang bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian.
Suatu akte otentik sebenarnya memiliki 3 macam kekuatan :
1. Membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte tadi (karena pembuktian formil)
2. Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang telah disebutkan disitu telah terjadi (kekuatan pembuktian materiel atau yang kita namakan kekuatan pembuktian “mengikat”);
3. Membuktikan tidak saja antara pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akte kedua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum (notaries) dan menerangkan apa yang ditulis dalam akte tersebut.




b. Bukti dengan saksi

Jika bukti tulisan tidak ada, maka dalam perkara perdata orang berusaha mendapatkan saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan di muka sidang hakim.
Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka hakim tadi, ada pula yang memang dulu dengan sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum sedang dilangsungkan, menyaksikan suatu pembagian warisan, menyaksikan suatu pernikahan dan lain sebagainya.
Dulu dalam perundangan-undangan kita ada suatu larangan mengajukan kesaksian untuk membuktikan suatu perjanjian yang mengandung suatu perikatan atau pembebasan utang yang melebihi suatu jumlah, yaitu tiga ratus rupiah. Dengan demikian perjanjian semacam itu hanya boleh dibuktikan secara tertulis, artinya kalau perjanjian disangkal. Pembatasan tersebut sudah dihapuskan sejak tahun 1925. Dalam Code Civil pembatasan yang semacam itu masih ada.
Oleh Pasal 1902 Kitab UndangUndang Hukum Perdata ditetapkan bahwa, dalam segala hal dimana oleh undang-undang diperintahkan suatu pembuktian dengan tulisan, namun itu, jika ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan, diperkenankan pembuktian dengan saksi-saksi, kecuali apabila tiap pembuktian lain selainnya tulisan dikecualikan. Adapun yang dinamakan “permulaan pembuktian dengan tulisan” itu ialah semua akte tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan diajukan yang membenarkan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang diajukan seseorang. Menurut yurisprudensi, perkataan “akte tertulis” di sini harus ditafsirkan sebagai tulisan saja.
Dimaksudkan bahwa seorang saksi itu akan menerangkan tentang apa yang dilihat atau dialaminya sendiri. Dan lagi tiap kesaksian itu harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan itu. Setiap saksi diwajibkan, menurut cara agamanya bersumpah atau berjanji bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. Karena itu menjadi saksi dalam suatu perkara di muka Hakim tidak boleh dianggap sebagai suatu hal yang enteng saja. Terhadap siapa yang dengan sengaja memberikan suatu keterangan palsu di atas sumpah, diancam suatu pidana menurut Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai seorang yang melakukan tindak pidana sumpah palsu.
Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi diwajibkan memberikan kesaksian. Bahwa memberikan itu merupakan suatu kewajiban, dapat kita lihat dari adanya sanksi-sanksi terhadap seorang yang tidak memenuhi panggilan untuk dijadikan saksi. Menurut undang-undang orang itu dapat :
1. Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggil saksi
2. Secara paksa dibawa ke pengadilan
3. Dimasukkan dalam penyanderaan
Namun ada beberapa orang yang karena terlalu dekat hubungannya dengan salah satu pihak atau karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya, dapat dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian. Mereka ini adalah :
1. Siapa yang mempunyai pertalian darah dalam garis samping dalam derajat kedua atau semenda dengan salah satu pihak
2. Siapa yang mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis samping dalam derajat kedua dengan suami atau istri salah satu pihak
3. Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian (Pasal 1909 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
Di samping golongan orang yang tersebut di atas, terdapat segolongan orang yang tidak boleh memberikan kesaksian, karena hubungannya yang terlalu sangat dekat dengan salah satu pihak. Mereka itu adalah para anggota keluarga dan semenda dalam garis lurus dari salah satu pihak dan suami atau istri sekalipun telah bercerai.
Namun orang-orang ini boleh menjadi saksi dalam beberapa macam perkara khusus, yaitu :
1. Perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak
2. Perkara mengenai nafkah, termasuk pembiayaan, pemeliharaan dan pendidikan seorang anak belum dewasa
3. Perkara mengenai pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orangtua atau wali
4. Perkara mengenai suatu persetujuan perburuhan
Dalam perkara-perkara tersebut, malahan orang-orang yang karena hubungan yang terlalu dekat sebenarnya boleh minta pembebasan untuk menjadi saksi, di sini tidak boleh minta pembebasan.(Pasal 1910 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Meskipun tidak ada suatu pasal undang-undang yang menetapkan syarat-syarat untuk dapat diterima sebagai saksi di muka Pengadilan, namun dapat kita simpulkan bahwa undang-undang menghendaki bahwa seseorang saksi harus sudah mencapai usia lima tahun dan berpikiran sehat. Sebab undang-undang dalam pasal 1912 Kitab Undang-undang Hukum Perdata melarang hakim untuk menerima orang sebagai saksi yang belum mencapai usia tersebut dan orang yang tidak berpikiran sehat. Begitu pula dilarang untuk menerima sebagai saksi seorang yang selama perkara sedang berlangsung, atas perintah Hakim telah dimasukkan dalam tahanan.
Namun demikian, Hakim dibolehkan mendengar orang-orang yang tidak memenuhi syarat tadi tanpa penyumpahan, tetapi keterangan-keterangan yang mereka berikan itu hanya dapat dianggap sebagai “penjelasan” dan tidak sekali sebagai suatu kesaksian. Hakim dapat menggunakan penjelasan tadi untuk mengetahui dan mendapatkan petunjuk-petunjuk kea rah peristiwa yang dapat dibuktikan lebih lanjut dengan alat-alat bukti yang biasa.
Menurut Pasal 1905 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain tidak boleh dipercaya di muka Pengadilan. Maksudnya ialah, bahwa jika suatu dalil dibantah di muka Hakim, sedangkan pihak yang mengemukakan dalil itu hanya dapat mengajukan seorang saksi tanpa bukti lainnya, maka tak boleh Hakim menganggap dalil tadi terbukti. Tetapi aturan tersebut tidak melarang Hakim untuk menganggap sesuatu peristiwa yang tidak didalilkan terbukti dengan keterangan seorang saksi. Adanya kemungkinan membuktikan suatu dalil dengan persangkaan-persangkaan dan adanya yang dinamakan pembuktian berantai(Pasal 1906 KUHPer) menunjukkan bahwa menurut undang-undang diperbolehkan untuk membuktikan peristiwa-peristiwa yang berdiri sendiri dengan keterangan satu orang saksi. Saksi dilarang untuk menarik kesimpulan-kesimpulan atau menurut istilah Pasal 1907 KUHPer memberikan “pendapat atau perkiraan-perkiraan”. Jika ada beberapa orang saksi yang menerangkan bahwa mereka mendengar dari tergugat bahwa ia telah membeli tanah sengketa, maka Hakim tidak boleh menganggap pembelian itu terbukti sebab jumlah dari berbagai keterangan yang masing-masing kosong itu amsih tetap nihil.

c. Persangkaan-Persangkaan
Yang dimaksud dengan persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah terkenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal artinya belum terbukti. Bila yang menarik kesimpulan itu Hakim, maka persangkaan itu dinamakan persangkaan Hakim sedangkan apabila yang menarik kesimpulan itu undang-undang maka persangkaan itu dinamakan persangkaan undang-undang. Salah satu contoh persangkaan undang-undang adalah Mengenai pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan nafkah, bungan pinjaman uang dan pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek maka dengan adanya tiga surat tanda pembayaran secara berturut-turut terbitlah suatu persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang lebih dahulu telah dibayar lunas, melainkan jika dibuktikan sebaliknya (Pasal 1394 KUHPer).

d. Pengakuan
Sebenarnya, pengakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu alat bukti, karena apabila dalil-dalil yang dikemukakan oleh suatu pihak diakui oleh pihak lawan , maka pihak yang mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan diakuinya dalil-dalil tadi, pihak yang mengajukan dalil-dalil itu dibebaskan dari pembuktian. Pembuktian itu hanya perlu diadakan terhadap dalil-dalil yang dibantah atau disangkal. Malahan kalau semua dalil yang dikemukakan itu diakui, dapat dikatakan tidak ada suatu perselisihan . Dan dalam perkara perdata itu, tidak menyangkal diartikan sebagai mengakui atau membenarkan dalilnya pihak lawan.
Pengakuan yang dilakukan di muka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seorang yang khusus dikuasakan untuk itu (pasal 1925 KUHPer). Artinya adalah, bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu sebagai benar dan meluluskan (mengabulkan) segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut.
Mengingat pengakuan tersebut dilakukan di muka sidang hakim. Pengakuan harus diucapkan oleh tergugat sendiri atau oleh seseorang yang khusus dikuasakan untuk itu dan pengakuan yang telah diucapkan tidak dapat ditarik kembali kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa itu telah dilakukan sebagai akibat dari suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi.
Pengakuan yang dilakukan di luar sidang peradilan tidak merupakan suatu bukti yang mengikat, akan tetapi hanya sebagai bukti bebas (Pasal 1927, 1928 KUHPer). Pengakuan di luar pengadilan dapat dilakukan dengan bentuk tertulis, akan tetapi pengakuan itu tetap hanya sebagai bukti yang mengikat.

“Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang melakukannya.”

Demikian isi dari pasal 1924 ayat 1 KUHPer. Pengakuan yang merupakan bukti mengikat dan sempurna adalah pengakuan yang bulat terhadap dalil-dalil pihak lawan, yang mengandung pula pengakuan terhadap tuntutan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut. Pengakuan yang demikian itu juga dinamakan pengakuan murni. Sebetulnya dalam keadaan yang demikian itu sudah tidak ada perselisihan lagi.
Di sampingnya pengakuan yang bulat atau murni tadi, ada pula pengakuan terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan tetapi disertai dengan suatu uraian yang bertujuan melumpuhkan suatu tuntutan yang didasarkan pada dalil-dalil tadi, yaitu dengan mengajukan peristiwa-peristiwa yang membebaskan dari tuntutan.
Yang dimaksud dengan larangan memisah-misahkan pengakuan adalah larangan untuk memecah-mecah jawaban yang diberikan oleh suatu pihak atas dalil yang dikemukakan oleh pihak lawan. Hal ini dikarenakan bahwa memecah-mecahkan pengakuan dapat merugikan orang yang memberikan jawaban tadi.

e. Sumpah
Dalam perkara perdata, sumpah juga digunakan sebagai alat pembuktian yang dikemukakan oleh salah satu pihak.
Dalam perkara perdata, sumpah yang diangkat oleh salah satu pihak di muka Hakim itu, ada dua macam:
1. Sumpah yang oleh pihak yang satu diperintahkan kepada pihak lawan untuk menggantungkan putusan perkara padanya; sumpah ini dinamakan sumpah pemutus atau decissoir.
2. Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak (pasal 1929 KUHPer).
Sumpah pemutus (Decissoir) dapat diperintahkan tentang segala persengketaan yang berupa apapun juga, selainnya tentang hal-hal yang para pihak tidak berkuasa mengadakan suatu perdamaian atau hal-hal di mana pengakuan mereka tidak boleh diperhatikan.
Sumpah yang diperintahkan oleh hakim dinamakan sumpah suppletoir atau sumpah tambahan karena itu dipergunakan oleh hakim untuk menambah pembuktian yang dianggapnya kurang meyakinkan.
Hakim dapat memerintahkan sumpah tambahan apabila:
1. Tuntutan maupun tangkisan tidak terbukti dengan sempurna
2. Tuntutan maupun tangkisan itu juga tidak sama sekali tak tebukti
Hal di atas sesuai dengan pasal 1941 KUHPer.

Minggu, 14 September 2008

Permohonan/ Voluntair

By               : Roy Sanjaya
Category   : Law

Dalam sistem peradilan perdata, dikenal istilah yang bernama permohonan. Permohonan biasa disebut dengan voluntair dengan merujuk pada pasal 2 ayat 1 UU no.14 tahun 1970 ( yang diubah dengan UU no.35 tahun 1999) yang mengatakan bahwa :

“Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair.”

Yang dimaksud dengan permohonan/ voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani oleh pemohon ataupun kuasanya yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Berikut ini adalah ciri-ciri dari permohonan/ voluntair :

1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak
Dari hal ini, sifat dari permohonan/voluntair adalah murni untuk
menyelesaikan permohonan tentang suatu masalah perdata yang pada
prinsipnya memerlukan suatu kepastian hukum dan apa yang
dipermasalahkan oleh pemohon tidak bertentangan dengan
kepentingan orang lain.
2. Permasalahan yang dimohonkan suatu penyesuaian pada Pengadilan
Negeri yang pada hakikatnya tanpa ada suatu sengketa dengan pihak
lain.
Dalam hal permohonan/voluntair, tidak dibenarkan adanya pengajuan
permohonan/voluntair akan penyelesaian sengketa maupun
penyerahan/ pembayaran ganti kerugian.
3. Tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan, sifat permohonan/
voluntair adalah ex-parte.

Adapun landasan hukum dari yurisdiksi voluntair adalah :

- Pasal 2 dan penjelasan pasal 2 ayat (1) UU no.14 tahun 1970.
Dalam hal ini, meskipun UU diatas sudah diganti dengan UU no.4 tahun
2004, penjelasan pasal 2 dari UU no.14 tahun 1970 dianggap masih
relevan. Isi dari ketentuan itu adalah :
a. Pada prinsipnya; penyelenggaraan kekuasaan kehakiman melalui
badan-badan peradilan bidang perdata tugas pokoknya adalah
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan padanya.
b. Secara eksepsional. Penjelasan pasal 2 ayat (1) UU no.14 tahun
1970, memberi kewenangan/ yurisdiksi voluntair kepada pengadilan.

Hal yang telah tertulis di atas juga diperkuat dengan keputusan MA no.319 K/Pdt/1984 yang dikatakan adalah sesuai dengan ketentuan yang tertulis pada Pasal 2 UU no.14 tahun 1970. Tugas pokok pengadilan adalah mengadili dan memutus sengketa yang termasuk di dalamnya adalah gugatan voluntair. Dari ketentuan inilah, pada Pengadilan Negeri diberi suatu kewenangan voluntair untuk menyelesaikan perkara yang bersifat ex-parte dalam keadaan :

1. Sangat terbatas / sangat eksepsional dalam perkara tertentu saja.
2. Masalah yang bersangkutan dapat diselesaikan secara voluntair melalui
bentuk permohonan.

Agar dapat memahami yurisdiksi voluntair , ada beberapa penjelasan sehubungan dengan yurisdiksi voluntair :

1. Penetapan MA no.5 Pen/Sep/1975 (Juni 1973) dalam kasus Forest
Product Co.Ltd.
Adapun isi putusan itu adalah berupa suatu penegasan :
1. Pernyataan secara deklaratoir tentang sahnya RUPS dan susunan
pengurus serta tidak mengikatnya perjanjian melalui gugatan
voluntair, bertentangan dengan asas prosensual.
2. Secara Prosensual, ketetapan voluntair yang diajukan Pengadilan
Negeri dalam kasus ini harus berdasarkan pada gugatan
contentiosa.
3. Yurisdiksi voluntair hanya sah jika diatur oleh UU.
2. Putusan PK No./PK/AG/1990, 22 Jan 1991
Isi putusan itu antara lain :
1. Permohonan/ voluntair hanya bisa diterima pengadilan apabila
untuk itu ada ketentuan UU yang mengatur secara khusus.
2. Dalam kaitannya dengan ahli waris dan pembagian harta warisan,
tidak ada dasar hukum untuk diperiksa secara voluntair.
3. Catatan Prof. Asikin Kusumaatmadja atas Putusan MA No.3139
K/Pdt/1984 tanggal 25 Nov 1987, yang mengatakan:
1. Masalah pokok peradilan, memeriksa dan mengadili perkara yang
sifatnya sengketa.
2. Di samping itu juga berwenang untuk memeriksa dan mengadili
perkara yang memiliki ruang lingkup yurisdiksi voluntair, akan tetapi
terbatas oleh hal-hal yang ditentukan dalam UU.
4. Pendapat Prof. Sudargo Gautama
Pendapat itu mengatakan bahwa jika dalm hal terjadinya suatu
penyelesaian secara voluntair tentang suatu perkara yang
mengandung sengketa :
1. Telah terjadi proses ex-parte
2. Penyelesaian sengketa melanggar tertib beracara yang baik dan
sekaligus melanggar asas audi alteram partem.
3. Padahal seharusnya, pihak yag terkena permohonan voluntair
dalam hal ini harus didengar oleh para pihak.
5. Putusan MA lain, seperti :
1. Putusan MA no.1210 K/Pdt/ 1985, 30 Juni 1987:
Pengadilan Negeri yang telah memeriksa dan memutus
permohonan secara voluntair padahal di dalamnya terkandung
sengketa tidak ada dasar hukumnya.
2. Putusan MA no.130 K/ Sep/ 1957, 5 Nov 1957
Permohonan / voluntair yang diajukan meminta agar pengadilan
memutuskan siapa ahli waris dan pembagian waris sesudah
melampaui batas kewenangan.
3. Putusan MA No.1391 K/Sep/1974, 6 Apr 1978
Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili permohonan
penetapan hak atas tanah tanpa adanya sengketa atas tanah
tersebut.

Jadi, bisa dikatakan bahwa yurisdiksi voluntair tidak meliputi penyelesaian sengketa hak fundamentum potendi dan beberapa pasal ketentuan UU yang dapat dijadikan landasan permohonan.

Yang dimaksud dengan asas fundamentum potendi/ postita (disebut juga dengan postitum) permohonan tidaklah serumit gugatan perkasa contentiosa. Landasan hukum dan peristiwa yang menjadi dasar permohonan cukup dan memuat penjelasan hubungan hukum acara permohonan dengan permasalahan hukum yang dipersoalkan.

Petitum Permohonan

Petitum permohonan haruslah mengacu pada penyelesaian kepentingan pemohon secara sepihak dan tentunya tidak boleh melanggar/ melampaui hak orang lain. Adapun acuannya adalah sebagai berikut :
1. Isi petitum merupakan permintaan yang sifatnya deklaratif
2. Petium tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai
pemohon.
3. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir (
mengandung hukum)
Hal ini adalah suatu konsekuensi lebih lanjut dari sifat ex-parte yang
benar-benar melekat pada permohonan.
4. Petitum permohonan harus dirinci satu persatu tentang hal-hal yang
dikehendaki pemohon ditetapkan pengadilan padanya.
5. Petitum tidak boleh bersifat compositur/ ex-aequo et bono.

Proses pemeriksaan permohonan/ voluntair :

1. Jalannya proses pemeriksaan secara ex-parte
Proses pemeriksaan permohonan hanya secara sepihak/ bersifat ex-parte dan yang hadir dalam proses persidangan hanyalah pemohon / kuasanya. Pada prinsipnya, proses ex-parte memiliki sifat yang sederhana:
1. Hanya mendengar keterangan pemohon / kuasanya sehubunga
dengan permohonan yang diajukan.
2. Memeriksa bukti surat / saksi yang diajukan pemohon.
3. Tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan.

2. Yang diperiksa di sidang hanya keterangan dan bukti pemohon.
Pemeriksaan tidak berlangsung secara contradictoir/ op tegenspraak. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa dalam proses pemeriksaan, tidak ada bantahan dari pihak lain. Yang ada hanya dalam proses pemeriksaan gugatan contensiosa yang berlangsung secara condemnatoir. Keterangan dan bukti yang diajukan oleh penggugat dapat dibantah dan dilumpuhkan oleh tergugat dan sebaliknya.

3. Tidak dipermasalahkan penegakkan seluruh asas persidangan
Asas-asas yang tetap ditegakkan adalah :
a. Asas kebebasan peradilan
b. Asas fair trial
Sedangkan itu, yang tidak perlu ditegakkan adalah :
a. Asas audi alteram pertem
b. Asas memberik kesempatan yang sama

4. Penegakkan prinsip pembuktian
Prinsip dan sistem pembuktian yang harus ditegakkan dan diterapkan adalah sebagai berikut :
1. Pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang ditentukan oleh UU
Menurut pasal 164 HIR (pasal 284 RGB) / pasal 1866 KUHPer, alat
bukti yang sah adalah :
a.Tulisan
b. Keterangan saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
2. Ajaran pembebanan pembuktian berdasarkan pasal 163 HIR (pasal
203 RGB) atau pasal 1865 KUHPer:
Beban wajib bukti dibebankan pada pemohon
3.Nilai kekuatan pembuktian yang sah harus mencapai batas minimal
pembuktian.
4. Yang menjadi alat bukti, hanyalah alat bukti yang memenuhi syarat
formal dan materiil.
Dalam penyelesaian perkara harus ditegakkan dan diterapkan oleh
pengadilan dalam memutus dan menyelesaikan perkara.

Putusan permohonan
Putusan yang berisi pertimbangan dan dictum penyelesaian permohonan haruslah dituangkan dalam bentuk penetapan yang biasa disebut dengan nama penetapan/ ketetapan. Dalam gugatan perdata yang bersifat partai, penyelesaiannya yang dijatuhkan adalah dalam bentuk keputusan/ vonis.

Yang dimaksud dengan dictum yang sifatnya declaratoir adalah dictum hanya berisi penegasan pernyataan/ deklarasi hukum tentang hal yang diminta. Dalam sebuah dictum yang sifatnya declaratoir, tidak boleh dicantumkan terhadap siapapun. Diktum deklaratoir tidak dapat memuat amanat konstitutif yang memuat suatu keadaan baru.

Kekuatan pembuktian penetapan.

I. Penetapan sebagai akta otentik
Setiap produk yang diterbitkan oleh pengadilan dalam menyelesaikan masalah yang ada merupakan sebuah akta otentik. Akta otentik itu sendiri memiliki arti sebagai akta resmi yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Hal ini adalah sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam pasal 1868 KUHPer.

II. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada penetapan permohonan
hanya terbatas pada diri pemohon.
Sesuai dengan sifat permohonan yang bercorak ex-parte, nilai kekuatan pembuktian yang melekat dalam penetapan sama dengan sifat ex-parte itu sendiri dalam arti sebagai berikut :
a. Nilai kekuatan pembuktian hanya melekat pada pemohon saja.
b. Tidak memiliki kekuatan untuk mengikat pihak ketiga.

III. Pada penetapan tidak melekat asas nebis in idem.
Hal ini adalah sesuai dengan ketentuan yang ada pada pasal 1917 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan asas nebis in idem adalah bahwa terhadap suatu kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya. Hal itu tentunya berbeda dengan ketetapan yang memiliki kekuatan untuk mengikat secara sepihak sehingga asas itu tidak melekat. Apabila ada pihak lain yang merasa dirugikan oleh penetapan itu, pihak yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan untuk melawannya.

Upaya hukum yang bisa dilakukan pada suatu ketetapan juga bermacam-macam :
1. Penetapan atas permohonan merupakan putusan tingkat pertama dan
terakhir.
2. Terhadap putusan peradilan tingkat pertama yang sifatnya pertama
dan terakhir, tidak dapat diajukan suatu upaya banding.
3. Upaya hukum yang bisa diajukan adalah kasasi.
Ketentuan ini merujuk secara analogis pada pasal 43 ayat (1) UU
no.14 tahun 1985 tentang MA, sebagaimana dengan yang diubah
dengan UU no.5 tahun 2004 . Pasal 43 ayat (1) UU no.14 tahun 1985
mengatakan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika
permohonan terhadap perkara telah menggunakan upaya banding,
kecuali ditentukan oleh UU. Oleh karena tidak mungkin perkara
tersebut disbanding, maka upaya hukum yang bisa dilakukan adalah
kasasi dengan merujuk pada ketentuan pasa 4 ayat (1) jo. Penjelasan
pasal 43 ayat (1) dari peraturan tersebut.

Apabila terjadi suatu pengajuan permohonan/ voluntair yang keliru, upaya hukum yang bisa diajukan oleh pihak yang dirugikan adalah :
1. Mengajukan perlawanan terhadap permohonan selama proses
pemeriksaan berlangsung.
Berdasarkan pada pasal 378 Rv/ pasal 195 ayat (6) HIR, perlawanan
dilakukan atas dasar untuk menghindari adanya ketetapan yang keliru.
Hak yang dimiliki oleh pihak yang dirugikan adalah :
a. Mengajukan perlawanan pihak ketiga yang sifatnya semu selama
proses pemeriksaan berlangsung.
b. Pihak yang merasa dirugkan bertindak sebagai :
- Pelawan ( pemohon menjadi terlawan)
c. Dasar perlawan diajukan kepada pengajuan permohonan tersebut.
d. Pelawan meminta agar permohonan ditolak dan diselesaikan secara
contrakdictoir.
2. Mengajukan gugatan perdata
Dalam hal ini :
a. Pihak yang dirugikan menjadi penggugat dan pemohon menjadi
tergugat.
b. Dalil gugatan yang bertitik tolak dari hubungan hukum yang terjalin
antara penggugat dengan permasalahan yang diajukan oleh
tergugat dalam permohonannya.
c. Mengajukan permintaan pembatalan pada MA atas penetapan
Hal ini merujuk pada penetapan MA no.5 Pen/Sep/ 1975 sebagai
preseden.
d. Mengajukan PK
Upayan ini dapat ditempu untuk mengoreksi maupun meluruskan kekeliruan yang timbul atas permohonan dengan berpedoman pada Putusan PK no.1 PK/Ag/1990 tanggal 22 Januari 1991.


Sumber : Hukum Acara Perdata