Selasa, 10 Februari 2009

Sosialisme Religius dan Anti-Neoliberalisme

Dikutip dari : http://arahkiri2009.blogspot.com/

Oleh : Rudi Hartono

Selama puluhan tahun, persoalan ideologi sudah lama ditinggalkan dalam tradisi berpolitik bagi para politisi dan partai-partai di Indonesia. Satu-satunya yang membimbing mereka adalah pragmatisme dan opportunisme. Tidak heran, jika selama puluhan tahun pula sistim politik di Indonesia dibangun diatas kesepakatan para elit untuk membagi kekuasaan, tanpa ada keterlibatan rakyat sedikitpun. Kekosongan konsep atau cita-cita bukan saja menggerogoti kehidupan partai, tetapi juga menciptakan “kekosongan orientasi” dari kekuasaan politik yang terbangun. Artinya, pencapaian tujuan kolektif rakyat Indonesia, yang seharusnya terbangun oleh kontestasi dari beragam ideology, mengalami kemacetan sehubungan dengan proyek de-ideologisasi.


Menjelang pemilu 2009, kontestasi ideology belum juga nampak. Beberapa spectrum politik yang mencoba mengidentifikasi diri sebagai nasionalis, religius, liberal, dan sosial demokrasi, maupun sosialis, juga belum menampakkan kaitan ideology dan praktik politik. praktik politik partai masih didominasi oleh kehendak mengolah kekuasaan untuk kepentingan segelintir elit, bukan mengelola kekuasaan bagi kepentingan rakyat.

Dalam kaitan ini, menarik untuk mengamati perkembangan positif di Partai Bintang Reformasi (PBR). Partai yang dikomandoi Bursah Zarnubi ini makin menarik bukan saja karena berani menampung banyak aktifis progressif, tetapi juga karena mulai mencoba mengidentifikasi perjuangan ideologisnya, tentu saja, dengan Sosialisme Religius. Konsep sosialisme religius kini semakin bergema, bahkan dalam Mukernas PBR pada akhir November lalu.

Neoliberalisme dan Kebutuhan Melahirkan Ideologi

Para penganut kapitalisme neoliberal selalu berkata, tidak ada alternatif lain diluar sistim kapitalisme, setidaknya dalam beberapa waktu kedepan. Para pendukung neoliberal berusaha keras menyangkal setiap upaya pencarian system alternatif, bahkan meremehkan setiap proposal-proposal untuk tatanan dunia baru. Akan tetapi, beberapa pengalaman krisis yang terakhir menunjukkan, kapitalisme sedang mengalami permasalahan serius dalam menjaga kelanjutan sistim ini.

Bahkan kegoyangan dalam sistim kapitalisme bukan saja nampak pada krisis yang berkolerasi dengan kehancuran peradaban umat manusia, ekologi, dan syarat-syarat hidup, tetapi seperti yang diungkapkan Walden Bello, system kapitalisme sedang mengalami kegoyangan ideologis. Para ideology terbaik dan gemilang dalam sejarah kapitalisme mutakhir ramai-ramai melakukan desersi, seperti Jeffrey Sachs, pengarang "Shock Treatment" Eropa Timur, sekarang menyerukan negara-negara berkembang untuk tidak usah membayar utangnya; Joseph Stiglitz, mantan ekonom utama Bank dunia, sekarang jadi pengritik paling pedas kepada IMF; Jagdish Bhagwati, yang memunculkan istilah "Kompleks Bendahara Wall Street" untuk menamai kepentingan yang membawa gelombang krisis finansial terus menerus sejak 1990; dan George Soros, seorang kapitalis paling piawai dan tersohor, kini menjadi musuh utama dari apa yang disebut "Fundamentalisme pasar".

Anehnya, kegoyangan ideology kapitalisme neoliberal di berbagai belahan dunia ternyata tidak atau kurang berpengaruh dalam kontestasi ideologi di Indonesia. dari sejumlah partai yang turut berkompetisi dalam pemilu, hampir tidak ada yang ambil bagian dalam perjuangan ideologi. Tidak heran, arena kontestasi pemilu bukannya melahirkan kontestasi ideology, yang tercermin dalam perdebatan program, visi perjuangan, dan konsep-konsep praksis, melainkan mengutamakan perang baliho, tanda gambar, dan iklan politik. akibatnya, iklan dan alat-alat peraga tidak dapat menjadi magnet untuk menarik minat rakyat untuk berpolitik, melainkan menciptakan kejenuhan, kemuakan, dan perasaan alergi berpolitik.

Di Indonesia, kendati kebijakan neoliberal terus mendapat perlawanan dan berlansung tanpa jeda, namun kekuatan politik alternatif yang diharapkan sebagai tantangan terhadap neoliberal belum juga muncul. Meskipun, sekarang ini semakin banyak yang mempersoalkan kegagalan neoliberal, tetapi kemunculan sebuah ideology alternatif tetap juga belum nampak.

Melawan Neoliberalisme

Konsep sosialisme religius, yang pertama kali diperkenalkan HOS Tjokroaminoto, dalam rangka mengimbangi perseteruan ideologis dengan pengikut SI Merah/ISDV, secara histories belum menemukan lapangan praksisnya. Meski diberi label memperjuangkan keadilan sosial, kesetaraan, dan anti-kapitalisme, sosialisme religius juga kurang teruji dalm proyek perubahan sosial. Berbeda halnya dengan Teologi Pembebasan; kebangkitan Amerika Latin sekarang ini sedikit banyak karena ada campur tangan teologi pembebasan.

Dalam pandangan PBR, tujuan menghidupkan sosialisme religius adalah memberi makna ideologis terhadap visi dan perjuangan PBR memperjuangkan kemandirian bangsa, sekaligus menyiapkan kerangka operasional untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik. Dalam hal ini, mau tidak mau, Sosialisme Religius ditangan PBR telah mengalami modifikasi sesuai dengan tuntutan situasi kontemporer dan lapangan baru dalam perjuangan politik.

Dalam sebuah wawancara dengan Kompas, Bursah Mengatakan, Ajaran-ajaran social dalam agama dibumikan dengan mengubah perjuangan budaya (culture struggle) yang selama ini dilakukan oleh organisasi massa dan parpol Isla, menjadi perjuangan social (social struggle). Semangat ritualitas digeser menjadi gerakan untuk menyejahterakan rakyat. Artinya, Bursah berkeinginan agar agama tidak lagi menjadi gerakan ritual semata, tetapi menjadi bagian dari perjuangan sosial. 

Tidak bisa dipungkiri, bahwa pertumbuhan dan perkembangan sistim kapitalisme benar-benar bertumpu pada; akumulasi profit. Mengenai hal ini, PBR jelas menyatakan bahwa akumulasi merupakan musuh kaum beragama. Disini, secara sepintas lalu, diketahui bahwa PBR hendak menyatakan bahwa sebenarnya kaum beragama juga hendaknya anti-kapitalis. Pendapat serupa pernah disampaikan oleh Jamil Wasti Syed, dalam Islam dan Sosial-Demokratik, Majalah Ummat, 1998. Ia berpendapat, di bawah sistem ekonomi Islam, barang-barang yang biasa digunakan manusia dan makhluk lainnya, seperti garam, air, dan rumput, tidak dikenai pajak. Negara yang menentukan harga dan barang-barang keperluan masyarakat agar tidak terjadi penimbunan keuntungan pada segelintir orang serta tak terjadi penipuan, misalnya jumlah timbangan barang atau penjual barang yang telah kadaluarsa.

Neoliberalisme hendak menghilangkan diskursus ”sosial” dalam berbagai kamus ekonomi, politik, dan kebudayaan. Sedangkan sosialisme religius, seperti hendak menagih peran sosial negara terhadap umat. 

Sosialisme religius-nya PBR juga hendak meniupkan semangat pembebasan nasional dalam gerak perjuangan politiknya. PBR berulang kali mengeritik, dan juga diperlihatkan dalam acara ”Partai Bicara” di Metro TV baru-baru ini, bahwa tipe kepemimpinan nasional sekarang ini lebih melayani kepentingan asing, sehingga dibutuhkan kepemimpinan nasional yang baru, yang mampu punya keberanian politik mengambil langkah-langkah demi kepentingan bangsa.

Tantangan Sosialisme Religius

Meskipun demikian, sosialisme religius akan segera menemukan kegagalan implementasi (praksis) jika terpisah dari perjuangan politik secara umum, yakni sebuah perjuangan sosial bagi lahirnya tatanan politik demokratis dan kerakyatan. Sosialisme religius tidak bisa sekedar menjadi ”spirit”, tetapi harus mampu menawarkan konsepsi praktis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat.

Menurut saya, ada beberapa hal yang menjadi tantangan serius bagi sosialisme religius dalam memenangkan diri sebagai ideologi alternatif, sekaligus mendapat dukungan luas dari rakyat, antara lain; 

Pertama, soal bagaimana sosialisme religius membuat posisi yang jelas, terang, dan terbuka berseberangan dengan neoliberalisme. PBR sebagai penganut sosialisme religius, harus berani menampilkan diri sebagai ”penentang” neoliberalisme dalam segala lini (arena). 

Kedua, soal bagaimana PBR dan caleg-calegnya menggunakan sentimen anti neoliberalisme, baik pada saat kampanye pemilihan maupun pada proses-proses politik di Parlemen. Praktik politik PBR, tentu saja, merupakan cerminan dari praktik sosialisme religius. 

Ketiga, soal bagaimana PBR menjadikan sosialisme religius sebagai ideologi massa. Artinya, sosialisme religius tidak hanya sekedar menjadi bahan kampanye politik atas, tetapi harus menjadi keyakinan politik massa luas. Disini, PBR dituntut menghadirkan sosialisme religius bukan saja pada kursus-kursus politik bagi para kader-kadernya di seluruh tingkatan, tetapi, yang terpenting, adalah menghadirkan sosialisme religius dalam denyut nadi ”perjuangan rakyat”.

Seperti yang dikatakan Arundhati Roy, seorang penulis India, pada pertemuan WSF lima tahun yang lalu, bahwa; apa yang paling urgen didiskuskan sekarang adalah strategi perlawanan, yaitu bagaimana menentukan target yang relevan dari setiap pertempuran yang nyata melawan kerusakan kapitalisme”. Kita tidak lagi membutuhkan proposal untuk mereformasi sistim ini, tetapi yang dibutuhkan adalah proposal untuk mengganti kerusakan terhadap sistim ini.

Rudi Hartono, Pengelola Berdikari Online dan Jurnal Arah Kiri.

Iklan Kampanye dan Pembelokan Realitas

Dikutip dari : http://arahkiri2009.blogspot.com/

Oleh: Rudi Hartono


Ada yang menarik akhir-akhir ini, terutama karena mendekatnya kontestasi pemilu, yaitu iklan-iklan partai yang kian marak di televisi. Kemunculan iklan ini kian gencar, hampir setiap sesi iklan di sela-sela acara TV, dan tumpuk menumpuk dengan iklan komersil. Bedanya, jika iklan komersil menawarkan brand image produk industri, maka iklan politik menawarkan brand image dari kancah politik. Inilah pemasaran politik.

Terkadang, jika dicermati, iklan-iklan ini sekedar mengumbar janji-janji sebagai daya tarik, tetapi kurang ilmiah, kurang objektif, dan kurang jujur dengan kenyataan. Tentu saja, hal semacam ini tidak mengajarkan pendidikan politik yang benar kepada rakyat, apalagi menanamkan kesadaran politik yang ilmiah dan objektif.


Rangsangan Memasang Iklan

Herbert Schiller, seorang tokoh kritis dalam ilmu komunikasi, dalam bukunya “Media ownership and control in the age of convergence”, menggambarkan adanya keterkaitan antara perkembangan media dalam sistim informasi dengan niat sejumlah korporasi yang hendak mengeruk keuntungan dari industri media, setidaknya paska perang dunia kedua. Partisipasi Indonesia (PI), sebuah lembaga survey berbasis di Jakarta, dalam penelitiannya tahun 2007 menemukan bahwa 70% rakyat Indonesia mengakses informasi dari media Audio visual. Peran dominan media dalam mengendalikan pemirsa juga dapat dilihat pada jangkauan media TV swasta nasional yang sudah mencapai 80% rakyat Indonesia.

Dengan “kekuasaan besar” di tangan media, terutama dalam mengarahkan persepsi masyarakat, maka sejumlah partai dan politisi pun tergiat memanfaatkan hal ini. Anggaran yang digelontorkan untuk ini pun tidak sedikit. Merujuk pada survey AC Nielsen, pada awalnya, Gerindra mengeluarkan dana iklan di bawah Rp 1 miliar. Namun, sejak Juli hingga Oktober, biaya iklan Gerindra per bulan mencapai Rp 8 miliar; Pada Juni dukungan terhadap Gerindra yang terekam survei LSI hanya pada tingkatan 1,0 persen. Namun, dukungan terhadap Gerindra meningkat menjadi 3,0 persen dan 4,0 persen pada September dan November. (KOMPAS, December 16, 2008)

Begitu juga dengan Partai Demokrat (PD). Dari Mei hingga Juli 2008, pengeluaran iklan PD di bawah Rp 1 miliar per bulan. Namun, mulai Agustus hingga Oktober, pengeluaran iklan secara konsisten meningkat dari Rp 8,29 miliar (Agustus); Rp 10,08 miliar (September); dan Rp 15,15 miliar (Oktober). 
Dari biaya iklan yang besar, melampaui dana alat peraga seperti baliho, poster, dan selebaran, para capres dan partai pendukungnya mendapatkan imbal –balik yang setimpal, berupa lonjakan popularitas.

blank campaign dan pembelokan realitas

Dari berbagai tema iklan yang diangkat partai, terdapat sejumlah keganjalan-keganjalan baik dari isi kampanye dan program, maupun prestasi yang disampaikan ternyata berbeda dengan fakta dan kenyataan sebenarnya. ada dua tipe iklan partai yang perlu dikritisi; 

Pertama, Ada iklan dengan isian kampanye yang kosong (Blank Campaign), lebih sloganistik, dan kurang menguraikan konsep dan program jalan keluar. Sebagai misal, iklan gerindra yang terlampau menyederhanakan persoalan, sehingga seolah-olah kemenangan gerindra akan menyelesaikan persoalan bangsa, tanpa mengkorfimasi apakah tawaran program dan kebijakan gerindra memang dapat mengatasi persoalan bangsa. 

Kedua, iklan yang disampaikan bersifat membelokkan realitas sebenarnya. Sebagai contoh iklan partai demokrat. Sebagai partai pemerintah, Demokrat boleh saja mati-matian berdiri membela SBY, tetapi tidak boleh melenceng dari koridor; pembelajaran politik kepada rakyat. Iklan Demokrat mengenai prestasi SBY menurunkan BBM dengan mengangsur tiga kali benar-benar pembodohan. Jika SBY konsisten berpatokan pada harga minyak dunia, maka ketika minyak dunia turun 50% lebih, maka seharusnya harga BBM juga turun 50% menjadi 3000-an rupiah, bukan 4.500 yang dibanggakan SBY. Pun dengan menurunkan BBM tiga kali, SBY tetap tidak bisa mengontrol harga kebutuhan pokok yang meroket, tarif angkutan yang tetap tinggi, maupun mencegah ancaman PHK massal terhadap 2 jutaan buruh akibat krisis global. 

Demikian pula dengan Iklan PKS yang seolah didukung hampir seluruh kalangan, termasuk anak punk (sub kultur), dan lain-lain. Menurut kami, ini juga membelokkan realitas, karena PKS tidak mungkin didukung semua sektor sosial mengingat PKS adalah partai eksklusif. Buktinya, PKS merupakan motor utama pengesahan UU pornografi yang memaksakan penyeragaman budaya nasional dan penafsiran tunggal terhadap ajaran moral.

Rudi Hartono, Pengelola Jurnal Arah Kiri dan Pemimpin Redaksi Berdikari online.

KEKEBALAN DAN KEISTIMEWAAN DIPLOMATIK

Category      : Law

By                 : Roy Sanjaya

LATAR BELAKANG


 Dimulai sejak abad ke-16 dan 17 di Eropa dimana pertukaran perwakilan diplomatik sudah dianggap sebagai hal yang umum saat itu, hal mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik sudah dapat diterima dalam praktik negara-negara dan pada abad ke-17 sudah dianggap sebagai sebuah kebiasaan internasional.
 Kekebalan dan keistimewaan diplomatik tidak terbatas ada kepala perwakilannya saja, akan tetapi juga terhadap anggota keluarganya yang tinggal bersamanya, diplomat lain yang menjadi anggota perwakilan dan kadang-kadang staf pembantu lain.
 Pada pertengahan abad ke 18, aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan diplomatik mulai diterapkan termasuk harta milik, gedung dan komunikasi para diplomat. Untuk menunjukkan kekebalan itu, dikenal istilah ekstrateritorialitas. Tujuan dari pengenaan ekstrateritorialitas itu adalah demi keperluan para perwakilan dalam menjalankan tugasnya dengan bebas dan optimal.
 Pada abad ke 20, kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu cenderung mengarah pada bentuk baru komunikasi diplomatik. Adapun beberapa kodifikasi dan aturan dalam hukum diplomatik, terutama :
1.Konvensi Havana mengenai pejabat diplomatik.
2.Harvard Research draft convention on diplomatic priveleges and immunities tahun 1932.

LANDASAN YURIDIS

Ada 3 teori mengenai landasan hukum dari kekebalan dan keistimewaan diplomatik, yaitu :
1.Teori ekstrateritorialitas
Diplomat dianggap seoalh-olah tidak meninggalkan negaranya. Teori ini didasarkan pada suatu fiksi dan bukan dari realitas sehingga banyak dikritik.
2.Teori representatif
Para pejabat diplomatik mewakili negara pengirim dan kepala negaranya, karena itulah ia mendapatkan hak istimewa dan kekebalan sebab dengan adanya pemberian itu, maka negara penerima dianggap menghormati kedaulatan negara pengirim. Teori ini berasal dari era kerajaan masa lalu. Meski demikian, pemberian hak-hak itu tidak memiliki batasan yang jelas dan acapkali menimbulkan kebingungan hukum.
3.Teori fungsional
Pemberian hak-hak kekebalan dan keistimewaan itu hanya didasarkan pada kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Teori ini dianggap dapat memberikan batasan atas semua hak-hak itu sehingga digunakan menjadi ketentuan dalam konvensi Wina 1961.

HAK DAN KEWENANGAN PEJABAT PERWAKILAN DIPLOMATIK
 Mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu dibagi menjadi dua, yaitu :
Inviolability
Diperuntukkan kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan terhadap semua gangguan yang merugikan serta mendapatkan perlindungan dari aparat negara yang berkepentingan.
Immunity
Kekebalan dari yurisdiksi negara penerima..
Kekebalan diplomatik adalah hal yang tidak dapat diganggu gugat, kekebalan diplomatik yang diberikan berdasarkan Konvensi Wina 1961 dapat dikelompokkan menjadi :
a. kekebalan terhadap diri pribadi
b. Kekebalan yurisdiksional
c. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi.
d. kekebalan kantor perwakilan dan rumah kediaman
e. kekebalan korespondensi (berkenaan dengan kerahasiaan dokumen).
f. kekebalan dan keistimewaan di negara ketiga.
g. penanggalan kekebalan diplomatik.
h. pembebasan dari pajak dan bea cukai/bea masuk.
 Berdasarkan pada konvensi Wina 1961 itu, kekebalan itu diberikan pada :
 a. pejabat perwakilan diplomatik.
 b. Staf pribadi
 c. Anggota keluarga pejabat diplomatik
 d. Kurir diplomatik dan lainnya.
 
BERAKHIRNYA KEKEBALAN DIPLOMATIK

Kekebalan diplomatik dimulai sejak (menurut Oppenheimer-Lauterpact) :
Pemerintah negara penerima telah memberikan agreement pada sang calon
dubes untuk diakreditasikan sebagai dubes di negara penerima.
Kedubes negara tersebut di negara pengirim telah memberikan visa diplomatik 
Kedatangan pertama dubes itu telah diberitahukan pertama kali pada kementrian luar negeri negara penerima.

Kekebalan diplomatik berakhir sejak : (menurut Starke) 
Pemanggilan kembali dari negaranya
Pemanggilan kembali atas permintaan negara penerima
Penyerahan paspor pada wakil dan staf serta para keluarganya sang diplomat pada pecahnya perang kedua negara yang bersangkutan
Selesainya tugas

Berakhirnya surat kepercayaan yang diberikan dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan dalam kepercayaan.

Sumber : Hukum Diplomatik, teori

TUGAS PERWAKILAN DIPLOMATIK

Category   : Law

By               : Roy Sanjaya

Pada dasarnya, tugas seorang perwakilan diplomatik adalah untuk mewakili kepentingan negara pengirim di negara penerima dan menjadi penghubung antarpemerintahan kedua negara.

 Berdasarkan pada pasal 3 Konvensi Wina 1961, tugas seorang perwakilan diplomatik meliputi :
1.Mewakili negara pengirim di negara penerima. (representasi)
2.Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum internasional. (proteksi)
3.Melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima. (Negosiasi)
4.Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada negara pengirim. 
5.Meningkatkan hubungan persahabatan antara dua negara serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

REPRESENTASI

 Menurut Gerhard von Glahn, yang dimaksud dengan representasi adalah tidak terbatas pada tugas seremonial saja, akan tetapi juga meliputi hak untuk meminta kejelasan (baik protes, meminta penjelasan dan melakukan penyelidikan) pada pemerintah negara setempat sebab ia mewakili kebijakan politik dari negara yang mengirimnya.
 Sementara itu, bagi Indonesia, hubungan luar negeri yang dilakukan oleh perwakilannya sesuai dengan politik luar negerinya yang bebas aktif yang dilakukan demi kepentingan nasional melalui diplomasi yang :
 -kreatif
 -aktif
 -antisipasif
 Dengan berpedoman pada hukum internasional yang berlaku.

PROTEKSI
 
 Proteksi itu juga menyangkut negara ketiga saat perwakilan diplomatik yang bersangkutan itu sedang transit di negara yang bersangkutan. Dalam perkembangannya dalam pembicaraan-pembicaraan di Sidang Umum PBB seiring dengan adanya peningkatan kegiatan terorisme, ada dua prinsip yang muncul dan sangat fundamental dalam hal itu, yaitu :
Semua negara harus melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional masing-
masing dengan menaati ketentuan konvensi termasuk peningkatannya.
Perlunya peningkatan tindakan-tindakan khusus guna melindungi individu-individu dan perwakilan karena ada kesenjangan-kesenjangan yang ada dalam aturan konvensi yang kini diserahkan kepada negara itu sendiri untuk menafsirkan dan melaksanakna tindakan khusus tentang proteksi melalui sistem perundangan nasional masing-masing negara.

NEGOSIASI

 Yang dapat duduk dalam sebuah perundingan pada umumnya adalah negara-negara yang berdaulat dan berkepentingan. Akan tetapi dapat diberlakukan satu pengecualian dimana apabila diizinkan oleh negara peserta yang lain, negara-negara yang belum merdeka dan mendapatkan kedaulatan penuh untuk duduk di perundingan.
 Seringkali jika perundingan itu dilakuka oleh utusan khusus, terutama untuk masalah-masalah yang sifatnya teknis.

MENGUMPULKAN DATA DENGAN CARA YANG SAH DAN MELAPORKANNYA KE NEGARA PENGIRIM.

 Hal ini adalah penting untuk dilakukan guna memperlancar kepengurusan kepentingan negaranya di luar negeri.

MENINGKATKAN HUBUNGAN PERSAHABATAN ANTARA DUA NEGARA

Dalam melaksanakan hubungan luar negeri, perlu untuk :
Memadukan seluruh potensi kerja sama daerah untuk menciptakan sinergi dalam melaksanakan hubungan luar negeri.
Mencari terobosan baru.
Menyediakan data yang diperlukan
Mencari mitra di luar negeri.
Mempromosikan potensi daerah di luar negeri.
Memfasilitasi penyelenggaraan hubungan luar negeri.
Memberi perlindungan pada semua kepentingan nasional di luar negeri.Mengarahkan kerjasama agar lebih efektif.

Sumber     : Hukum Diplomatik, teori