tag:blogger.com,1999:blog-73406320554024764812024-03-09T02:54:54.725+07:00ROY SANJAYA'S LEGAL AND POLITIX INFOIt's about law, politic, my opinion and my tipsHwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.comBlogger61125tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-9159788654527121252011-01-07T19:14:00.002+07:002011-01-07T19:35:26.858+07:00PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)<strong>A. Pengertian PKPU</strong><br />Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adapun PKPU ini sangat berkaitan erat dengan ketidakmampuan membayar (insolvensi) debitur terhadap hutang-hutangnya kepada pihak kreditor.<br /><p> Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tundaan pembayaran hutang (suspension of payment atau Surseance van Betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim Pengadilan Niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian dari hutangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi hutangnya tersebut. Jadi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ini pada dasarnya merupakan sejenis legal moratorium (rencana perdamaian).</p><p><br /><strong>B. Maksud dan Tujuan PKPU</strong><br />Adapun yang menjadi maksud dan tujuan PKPU adalah sesuai dengan yang tercantum pada ketentuan pasal 222 ayat (2) dan (3) UU No. 37 Tahun 2004 :</p><p><em><br />“(2) Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat <br />melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.<br />(3) Kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat<br />melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya."</em><br /><br />Dimana dari pasal tersebut dapat diartikan bahwa secara umum, maksud dari PKPU adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk memungkinkan seseorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.</p><p><br /><strong>C. Jenis-jenis PKPU</strong><br />Berdasarkan sifatnya, PKPU dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :</p><p><br /><strong>PKPU sementara</strong><br />Merupakan PKPU yang penetapannya dilakukan sebelum sidang dimulai, dan harus dikabulkan oleh pengadilan setelah pendaftaran dilakukan.<br /><strong>PKPU tetap</strong><br />Merupakan PKPU yang ditetapkan setelah sidang berdasarkan persetujuan dari para kreditor.</p><p><br /><strong>D. Para Pihak dalam PKPU</strong><br />Para pihak yang terkait dalam PKPU antara lain adalah sebagai berikut :</p><p><br /><strong>Debitor</strong><br />Berdasarkan pada ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004, yang dimaksud dengan debitor adalah orang yang mempunyai hutang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.<br />Sesuai dengan pasal 222 UU No. 37 tahun 2004, debitor yang mempunyai lebih dari satu kreditor dapat mengajukan PKPU bila ia tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Maksud pengajuan oleh debitor ini ialah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Debitor yang mengajukan ini dapat berupa debitor perorangan ataupun debitor badan hukum-<br /> <strong>2. Kreditor</strong><br />Berdasarkan pada ketentuan pasal 1 angka (2) UU No. 37 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.<br /><br /><br /><strong>Kreditor separatis</strong><br />Diatur dalam pasal 56 UU No. 37 Tahun 2004. Yang dimaksud dengan kreditor separatis adalah kreditur yang memiliki jaminan hutang kebendaan (hak jaminan), seperti pemegang hak tanggungan, hipotik, gadai, fidusia, dll.<br /><strong>Kreditor preferen</strong><br />Berdasarkan pada pasal 1139 dan pasal 1149 KUHPer, yang dimaksud dengan kreditor preferen adalah kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas sesuai dengan yang diatur oleh Undang-undang yang bersangkutan.<br /><strong>Kreditor konkuren</strong><br />Berdasarkan pada Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata. Kreditur golongan ini adalah semua Kreditur yang tidak masuk Kreditur separatis dan tidak termasuk Kreditur preferen.</p><p><br />Berdasarkan pada pasal 222 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya.</p><p><strong>3. Bank Indonesia</strong><br />Apabila debitor adalah sebuah bank, maka bank Indonesia yang berwenang mengajukan PKPU. (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)<br /> <strong>4. Badan pengawas pasar modal</strong><br />Apabila yang menjadi pihak debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)<br /><strong>5. Menteri Keuangan</strong><br />Apabila yang menjadi debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)<br /><strong>6. Hakim pengawas</strong><br />Selain mengangkat pengurus, setelah putusan PKPU sementara dikabulkan oleh pengadilan maka pada saat itu juga diangkat Hakim Pengawas. Tugas Hakim Pengawas ini pada dasarnya juga sama dengan tugas Hakim Pengawas dalam kepailitan, yaitu mengawasi jalannya proses PKPU. Apabila diminta oleh pengurus, Hakim pengawas dapat mendengar saksi atau memerintahkan pemerinsaan oleh ahli untuk menjelaskan keadaan yang menyangkut PKPU, dan saksi tersebut dipanggil sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Perdata. Hakim Pengawas setiap waktu dapat memasukkan ketentuan yang dianggap perlu untuk kepentingan Kreditor berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang tetap, berdasarkan:<br /><br />a. prakarsa Hakim Pengawas<br /><br />b. permintaan pengurus; atau<br /><br />c. permintaan satu atau lebih Kreditor.<br /><br /></p><p><strong>7. Pengurus</strong><br />Adapun dengan mengacu pada ketentuan yang terkandung dalam pasal 234 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, yang dapat menjadi pengurus adalah :<br />Perorangan yang berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta debitur.<br />Telah terdaftar pada departemen yang bersangkutan<br />Pengurus harus independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan debitor atau kurator. (Pasal 234 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004)<br /><strong>8.Panitia Kreditor</strong><br />Menurut Pasal 231, Pengadilan harus mengangkat panitia kreditor apabila :</p><p><br />a. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang <br />meliputi utang yang bersifat rumit atau banyak kreditor; atau<br /><br />b. Pengangkatan tersebut dikehendaki oleh kreditor yang <br />mewakili paling sedikit ½ (satu per dua) bagian dari seluruh tagihan yang diakui.<br />Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pengurus harus meminta dan mempertimbangkan saran dari panitia kreditor ini.<br /><br /><strong>9. Ahli</strong><br />Setelah PKPU dikabulkan Hakim Pengawas dapat mengangkat satu atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang keadaan harta Debitor dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Laporan ahli harus memuat pendapat yang disertai dengan alasan lengkap tentang keadaan harta Debitor dan dokumen yang telah diserahkan oleh Debitor serta tingkat kesanggupan atau kemampuan Debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada Kreditor, dan laporan tersebut harus sedapat mungkin menunjukkan tindakan yang harus diambil untuk dapat memenuhi tuntutan Kreditor. Laporan ahli harus disediakan oleh ahli tersebut di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma dan penyediaan laporan tersebut tanpa dipungut biaya.<br /><br /><strong><br />E. Prosedur PKPU<br /><br />E.1.Permohonan</strong><br /><br />Permohonan PKPU harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga di daerah tempat kedudukan hukum debitur dengan ketentuan :<br />Apabila debitur telah meninggalkan wilayah Negara Indonesia, pengadilan yang berwenang untuk menjatuhkan permohonan putusan atas PKPU adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitur.<br />Apabila debitur adalah persero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang untuk memutuskan.<br />Apabila debitur tidak berkedudukan di wilayah Negara Indonesia akan tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Indonesia, maka pengadilan yang berwenang memutuskannya adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitur.<br />Apabila debitur merupakan badan hukum, tempat kedudukannya hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.<br />Perlu diketahui juga bahwa permohonan ini juga harus dilampiri dengan rencana perdamaian.<br />Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat :<br /><br />- Sifat <br />- Jumlah piutang<br />- Jumlah hutang debitor beserta surat bukti secukupnya, <br />- Dan apabila yang mengajukan permohonan adalah kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.<br /><br /><strong>E.2. Surat permohonan</strong><br />Surat permohonan berikut lampirannya (bila ada) harus disediakan di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh setiap orang secara cuma-cuma.<br />Sistematika dari surat permohonan PKPU itu sendiri paling tidak memuat hal-hal sebagai berikut :<br /></p><p>a. Tempat dan tanggal permohonan<br /></p>b. Alamat pengadilan Niaga yang berwenang<br />c. Identitas Pemohon dan advokatnya<br />d. Uraian tentang alasan permohonan PKPU<br /><p>e. Permohonan </p><p>Berisikan antara lain :<br />Mengabulkan permohonan pemohon<br /><br />Menunjuk Hakim Pengawas dan Pengurus<br /></p><p><br />f. Tanda tangan debitor dan advokatnya<br /><br /> Sementara kelengkapan berkas yang harus disiapkan sebagai syarat permohonan PKPU pada Pengadilan Niaga, meliputi :<br /></p><br />a. Surat permohonan bermeterai yang ditujukan kepada Ketua<br /> Pengadilan Niaga<br />b. Identitas diri debitur<br />c. Permohonan harus ditandatangani oleh Debitur dan Penasehat <br /> Hukumnya<br />d. Surat kuasa khusus yang asli (penunjukkan kuasa pada orangnya<br /> bukan kepada Law Firmnya)<br />e. Ijin Penasehat Hukum/Kartu Penasehat Hukum<br />f. Nama dan tempat tinggal/kedudukan para kreditur konkuren disertai<br /> jumlah tagihannya masing-masing pada debitur<br />g. Neraca pembukuan terakhir<br />h. Rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh <br /><p> atau sebagian utang kepada Kreditur Konkuren (Jika ada).<br /></p><p><strong>E.3. Pemeriksaan</strong><br />Apabila permohonan PKPU dan kepailitan diperiksa pada saat yang bersamaan, maka permohonan PKPU haruslah diputus terlebih dahulu.<br /><br /><strong>E.4. PKPU sementara</strong><br />Sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 225 UU No. 37 Tahun 2004. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam PKPU sementara adalah sebagai berikut :<br />Dalam hal permohonan diajukan oleh debitor, pengadilan dalam waktu paling lambat 3 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan PKPU sementara dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor.<br />Dalam hal permohonan diajukan oleh kreditor, pengadilan dalam waktu paling lambat 20 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan PKPU utang sementara dan harus menunjuk hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor.<br />Segera setelah putusan PKPU sementara diucapkan, pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitor dan kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan. Dalam hal Debitor tidak hadir dalam sidang penundaan kewajiban pembayaran utang sementara berakhir dan Pengadilan wajib menyatakan Debitor Pailit dalam sidang yang sama.<br />Pengurus wajib segera mengumumkan putusan PKPU sementara dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2 surat kabar harian yang ditunjuk oleh hakim pengawas dan pengumuman tersebut juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu sidang tersebut, nama hakim pengawas dan nama serta alamat pengurus. Apabila pada waktu PKPU sementara diucapkan sudah diajukan rencana perdamaian oleh debitor, hal ini harus disebutkan dalam pengumuman tersebut, dan pengumuman tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 hari sebelum tanggal sidang yang direncanakan. PKPU sementara berlaku sejak tanggal putusan PKPU tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang.<br />Pada hari sidang Pengadilan harus mendengar Debitor, Hakim Pengawas, pengurus dan Kreditor yang hadir, wakilnya, atau kuasanya yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa. Dalam sidang itu setiap Kreditor berhak untuk hadir walaupun yang bersangkutan tidak menerima panggilan untuk itu.<br />Apabila rencana perdamaian dilampirkan pada PKPU sementara atau telah disampaikan oleh debitor sebelum sidang dilangsungkan, maka pemungutan suara tentang rencana perdamaian dilakukan, sepanjang belum ada putuan pengadilan yang menyatakan bahwa PKPU tersebut berakhir. jika kreditor belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian, atas permintaan debitor, kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan PKPU tetap dengan maksud untuk memungkinkan Debitor, pengurus, dan Kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya.<br /><br /></p><p><strong>E.5. PKPU tetap</strong><br />Adapun beberapa hal yang berkaitan dengan prosedur PKPU tetap adalah sebagai berikut :<br />Bila PKPU tetap tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan Niaga, maka dalam jangka waktu 45 hari terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan, maka debitor demi hukum dinyatakan pailit.<br />Setelah dilakukan pemeriksaan, Majelis Hakim dapat mengabulkan PKPU sementara menjadi PKPU tetap dengan syarat sebagai berikut :<br />Disetujui lebih dari 1/2 jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.<br />Disetujui lebih dari 1/2 jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.<br /><br /><strong>F. Akibat Hukum dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang</strong><br />Sejak diterimanya pemohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang oleh debitur, maka terjadilah beberapa akibat hukum terhadap debitur yang bersangkutan. Akibat hukum tersebut adalah sebagai berikut :<br /><br /></p><p><strong>Debitur Kehilangan Independensinya</strong><br />Berbeda dengan kepailitan dimana debitor menyerahkan kewenangan pengurusan harta kekayaan kepada kurator. Dalam PKPU, kewenangan dalam kepengurusan harta tersebut masih berada di tangan debitor itu sendiri. Hanya saja kebebasan debitor memang dibatasi dengan keberadaan pengurus selaku pengawas (Pasal 240 UU No. 37 Tahun 2004)<br /><strong>Jika Debitur Telah Minta Dirinya Pailit, Dia Tidak Dapat Lagi Minta Penundaan Pembayaran Hutang</strong><br />Apabila dalam persidangan debitur sudah langsung meminta dirinya untuk dipailitkan, maka ia tidak bisa lagi meminta PKPU untuk dilaksanakan.<br /><strong>Jika Penundaan Pembayaran Hutang Berakhir, Debitur Langsung Pailit</strong><br />Berdasarkan pada Pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga harus menyatakan debitur pailit selambat-lambatnya hari berikutnya (tanpa hak untuk mengajukan kasasi atau peninjauan kembali) apabila :<br />Jangka waktu PKPU sementara berakhir karena kreditur konkuren tidak menyetujui pemberian PKPU secara tetap.<br />Perpanjangan PKPU telah diberikan, akan tetapi sampai dengan tanggal batas terakhir penundaan pembayaran hutang (maksimum 270 hari) belum juga tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian.<br /><strong>Debitur Tidak Dapat Dipaksa Membayar Hutang dan Pelaksanaan Eksekusi DItangguhkan</strong><br />Sesuai dengan ketentuan Pasal 242 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 bahwa selama berlangsungnya PKPU, maka debitur tidak dapat dipaksa untuk membayar hutang-hutangnya serta semua tindakan eksekusi yang telah dimulai guna mendapatkan pelunasan hutang tersebut juga harus ditangguhkan.<br /><strong>Perkara yang Sedang Berjalan Ditangguhkan</strong><br />Berdasarkan pada Pasal 243 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, sebenarnya secara prinsip PKPU tidak menghentikan perkara yang sudah mulai diperiksa ataupun menghalangi pengajuan perkara yang baru. Akan tetapi, terhadap perkara yang semata-mata mengenai tuntutan pembayaran suatu piutang yang telah diakui oleh debitur, sementara kreditur tidak mempunyai kepentingan untuk mendapatkan suatu putusan guna melaksanakannya kepada pihak ketiga setelah dicatatnya pengakuan tersebut, maka hakim dapat menangguhkan pengambilan keputusan mengenai hal tersebut hingga berakhirnya PKPU.<br /><strong>Debitur Tidak Boleh Menjadi Penggugat atau Tergugat</strong><br />Berdasarkan pada Pasal 243 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, Debitur yang telah ditunda kewajibannya pembayaran hutangnya tidak boleh beracara di peradilan baik sebagai penggugat ataupun sebagai tergugat dalam perkara yang berhubungan dengan harta kekayaannya, kecuali dengan bantuan dari pihak pengurus.<br /><strong>Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku Bagi Kreditur Preferens</strong><br />Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 244 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 bahwa PKPU tidak berlaku bagi tagihan dari kreditur separatis, atau terhadap tagihan yang diistimewakan terhadap barang-barang tertentu milik debitur. Maka jelas bahwa terhadap debitur dengan hak istimewa, debitur juga harus membayar hutangnya secara penuh. Apabila pembayaran hutang tidak mencukupi dari jaminan tersebut, kreditur preferen masih mendapatkan haknya sebagai kreditur konkuren, termasuk di dalamnya hak untuk mengeluarkan suara selama PKPU.<br /><strong>Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku terhadap Beberapa Jenis Biaya Penting</strong><br />Dalam Pasal 244 dikatakan bahwa PKPU tidak berlaku terhadap beberapa jenis biaya tertentu (misal : tagihan yang dijamin dengan gadai)<br /><strong>Hak Retensi yang DIpunyai oleh Kreditur Tetap Berlaku</strong><br />Bahwa terhadap barang-barang yang ditahan oleh pihak kreditur wajib dikembalikan ke dalam harta pailit dengan membayar terhadap hutang yang bersangkutan jika hal tersebut menguntungkan harta pailit. (Pasal 245 UU No. 37 tahun 2004)<br /><strong>Berlaku Masa Penangguhan Eksekusi Hak Jaminan</strong><br />Seperti halnya kepailitan, PKPU juga mengenal apa yang disebut dengan masa penangguhan pelaksanaan eksekusi hak jaminan hutang. Hanya saja lama pelaksanaan masa penangguhannya berbeda dimana apabila kepailitan adalah selama 90 hari, maka lama masa penangguhan dalam PKPU adalah 270 hari (maksimum).<br />Diatur dalam pasal 246 UU No. 37 Tahun 2004.<br /><strong>Bisa Dilakukan Kompensasi</strong><br />Berdasarkan pada Pasal 247 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, kreditur dapat melakukan kompensasi atas hutang dan piutangnya terhadap debitur asalkan hutang piutang tersebut sudah terjadi sebelum mulai berlakunya PKPU.<br /><strong>Kepastian terhadap Perjanjian Timbal Balik</strong><br />Dalam PKPU, kreditur dapat meminta kepastian mengenai kelanjutan pelaksanaan perjanjian yang sifatnya timbal balik dalam waktu tertentu. Akan tetapi perlu juga diingat bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi perjanjian timbal balik yang prestasinya harus dilakukan sendiri oleh pihak debitur.<br /><strong>Perjanjian di Bursa Komoditi Berakhir</strong><br />Berdasarkan pada Pasal 250 UU No. 37 Tahun 2004, apabila telah dibuat suatu kontrak komoditi di bursa komoditi sementara penyerahan barang akan dilakukan di waktu tertentu dimana debitur telah mengajukan PKPU, maka kontrak tersebut menjadi hapus akan tetapi tidak menghilangkan hak bagi lawan untuk mengajukan klaim ganti rugi.<br /><strong>Debitur Dapat Mengakhiri Sewa-Menyewa</strong><br />Apabila keputusan pengadilan niaga tentang PKPU sementara , pihak debitur sebagai penyewa dapat mengakhiri sewa tersebut asalkan dilakukan pemberitahuan untuk pemutusan sewa dengan jangka waktu sebagai berikut (Pasal 251 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 :<br />Jangka waktu pemberitahuan sesuai dengan kontrak yang berlaku atau jika tidak ada dalam kontrak, maka<br />Jangka waktu pemberitahuan sesuai dengan kelaziman setempat, atau<br />Jangka waktu 3 bulan sudah dianggap cukup<br />Akan tetapi perlu diingat bahwa ketentuan ini hanya berlaku jika debitur adalah pihak penyewa.<br /><strong>Dapat Dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja</strong><br />Pasal 252 UU No. 37 Tahun 2004 mengatur tentang pemutusan hubungan kerja dalam hal PKPU. Adapun ini ditujukan untuk membantu debitor dalam melangsungkan kegiatan usahanya selama PKPU dilakukan.<br /><strong>Pembayaran kepada Debitur yang Telah Memperoleh Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Membebaskan Harta Kekayaan</strong><br />Salah satu akibat hukum dari PKPU adalah dalam hal pembayaran yang dilakukan kepada debitur yang ditunda kewajiban pembayaran hutangnya. Untuk hal itu berlaku kewajiban sebagai berikut :<br />Pembayaran atas hutang yang timbul sebelum putusan PKPU sementara dijatuhkan, tetapi pembayarannya dilakukan setelah putusan PKPU dan tapi diumumkan. Maka dalam hal ini tidak membebaskan si pembayar tersebut dari harta kekayaan, kecuali :<br />Dapat dibuktikan bahwa si pembayar tersebut tidak mengetahui tentang telah adanya putusan PKPU tersebut<br /><strong>Pembayaran tersebut sejauh membawa keuntungan terhadap harta kekayaan tersebut</strong><br />Apabila hutang itu telah dibayarkan setelah adanya putusan PKPU sementara, tetapi setelah adanya pengumuman sesuai dengan peraturan yang berlaku, si pembayar juga tidak dibebaskan dari kewajibannya terhadap harta kekayaan, kecuali :<br />Pembayar tidak mengetahui pengumuman PKPU sementara tersebut<br />Pembayaran tersebut sejauh membawa keuntungan bagi harta kekayaan.<br />Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku untuk Peserta Debitur dan Kreditur<br />Berdasarkan pada Pasal 254 UU No. 37 Tahun 2004, sejauh yang menyangkut dengan para peserta debitur dan garantor (penjamin), maka putusan PKPU dinyatakan tidak berlaku. Artinya garantor tetap berkewajiban penuh sebagai garantor, demikian juga dengan pihak peserta debitur untuk berkewajiban penuh sesuai kontrak dan / atau peraturan perundang-undangan yang berlaku<br /><strong>Tidak ada Actio Pauliana</strong><br />Berdasarkan pada Pasal 1341 KUHPerdata, yang dimaksud dengan Actio Pauliana adalah hak kreditor untuk mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang tidak wajib dilakukan oleh debitor dengan nama apapun yang merugikan para kreditor sepanjang dapat dibuktikan bahwa ketika perbuatan itu dilakukan baik debitor maupun pihak dengan atau untuk siapa debitor itu berbuat mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan para kreditor.<br />Adapun dalam hal PKPU, Actio Pauliana tidak dapat dilakukan.<br /><strong>Perbuatan Debitur Tidak Dapat DIbatalkan oleh Kurator</strong><br />Dalam hal PKPU, selama debitur diberikan kewenangan oleh pengurus sesuai dengan pasal 240 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, maka setelah debitur tersebut dinyatakan pailit, perbuatan debitur tersebut haruslah dianggap sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh kurator dan mengikat harta pailit.<br /><strong>Penundaan Kewajban Pembayaran Hutang Dapat Dilakukan Berkali-kali</strong><br />Tidak ada larangan untuk melakukan penundaan hutang lebih dari satu kali bagi debitur yang sama. Bahkan, apabila PKPU diajukan dalam 2 bulan semenjak berakhirnya PKPU yang pertama, berlaku ketentuan sebagai berikut :<br />Jangka waktu penangguhan eksekusi barang jaminan oleh pihak kreditur separatis seperti yang dimaksud dalam PAsal 42 dan Pasal 44 UU No. 37 Tahun 2004 berlaku terhitung sejak permulaan berlakunya PKPU yang pertama.<br />Perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh debitur atas kewenangan yang diberikan oleh pengurus dalam PKPU yang pertama, tetap berlaku terhadap PKPU yang kedua.<br /><strong>Berlaku Ketentuan Pidana</strong><br />Apabila debitur nekat atau karena ketidaktahuannya itu melakukan sendiri hal-hal terkait pengurusan harta kekayaan tanpa sepengetahuan pengurus, maka konsekuensinya adalah :<br />Perbuatan tersebut tidak membawa perngaruh terhadap harta debitur, kecuali membawa manfaat bagi harta debitur tersebut. (Pasal 240 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004)<br />Debitur dapat diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan karena melakukan pidana yang termasuk dalam pelanggaran terhadap ketertiban umum.<br /><br /></p><p><strong>G. Berakhirnya PKPU</strong><br />Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat diakhiri dengan berbagai macam cara, meliputi :<br /><br /></p><p><strong>Karena kesalahan debitur</strong><br />Sekalipun PKPU secara tetap telah disetujui baik oleh kreditur separatis maupun konkuren, PKPU tersebut dalam prosesnya dapat diakhiri oleh pengadilan atas inisiatif atau permohonan dari :</p><p><br />Hakim Pengawas<br />Pengurus<br />Satu atau lebih kreditur<br />Pengadilan Niaga<br />Dengan alasan sebagai berikut :<br /><em>- Debitur melakukan pengurusan harta kekayaan dengan itikad buruk<br />- Debitur mencoba merugikan kreditur</em></p><p><br />Debitur melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 226 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, yaitu Karena melakukan pengurusan harta tanpa diberikan kewenangan oleh pengurus<br />Debitur lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan oleh pengadilan niaga pada saat atau setelah PKPU ataupun lalai dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh para pengurus.<br /><strong>Keadaan harta debitur sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan PKPU</strong><br />Keadaan debitur sudah sedemikian rupa sehingga tidak bisa diharapkan lagi untuk memenuhi kewajiban kepada kreditur.<br /><strong>Dicabut karena keadaan harta debitur sudah membaik</strong><br />Berdasarkan pada pasal 259 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, apabila selama berlangsungnya PKPU debitur sudah merasa bahwa keadaan hartanya sudah membaik sehingga dia sudah dapat melakukan pembayaran-pembayaran atas hutang-hutangnya, maka debitur tersebut dapat mengajukan kepada pengadilan niaga agar penangguhan kewajiban pembayaran hutang dicabut. Tetapi dalam pencabutannya, Pengadilan niaga juga akan memanggil pengurus berkenaan dengan pengabulan permohonan pencabutan tersebut.<br /><strong>Karena tercapai perdamaian</strong><br />Diatur dalam pasal 281 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi apabila rencana persetujuan telah disetujui oleh kreditur konkuren dan kreditur separatis dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.<br /><strong>Karena rencana perdamaian ditolak</strong><br />Diatur dalam pasal 289 UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi apabila rencana perdamaian ditolak oleh kreditor separatis dan kreditor konkuren.<br /><strong>Karena perdamaian tidak disahkan oleh pengadilan niaga</strong><br />Diatur dalam pasal 285 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004. Hal ini dapat terjadi apabila :<br />Harta debitur, termasuk hak retensi, jauh lebih besar dari jumlah yang disetujui dalam perdamaian<br /><strong>Apabila pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin</strong><br />Perdamaian itu tercapai karena adanya penipuan atau persekongkolan antara satu dengan lain debitur, atau karena upaya-upaya tidak jujur yang lain<br />Biaya yang telah dikeluarkan oleh pengurus dan para ahli belum dibayar atau tidak diberikan jaminan yang cukup untuk membayarnya.<br /><strong>Karena PKPU dibatalkan</strong><br />Diatur dalam pasal 291 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi karena debitur lalai dalam melaksanakan isi perdamaian yang telah disepakati.<br /><strong>Masa PKPU terlampaui</strong><br />Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Apabila hingga batas waktu maksimal PKPU (270 hari), perdamaian belum juga memperoleh kekuatan yang pasti<br /><strong>Tidak tercapai perdamaian</strong><br />Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Apabila sampai denga hari yang ke-270, rencana perdamaian belum juga disetujui oleh para kreditur.<br /><strong>Karena PKPU secara tetap tidak disetujui oleh kreditur</strong><br />Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Proses PKPU dapat juga diakhiri apabila setelah jangka waktu 45 hari (jangka waktu untuk penundaan sementara kewajiban pembayaran hutang) para kreditur konkuren tidak menyetujui diberikannya PKPU secara tetap.</p><p><strong><br />DAFTAR PUSTAKA</strong><br /><br />Fuady, Munir. Dr., S.H., M.H., LL.M., Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek,<br />Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005.<br />Jono, S.H., Hukum Kepailitan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008<br />Sjahdeini, Sutan Remy. Prof.,Dr.,SH, Hukum Kepailitan Memahami Undang-<br />Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 2009.<br />Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.<br /><br /><br /></p>Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-52378972585311017172011-01-07T18:49:00.002+07:002011-01-07T19:12:50.950+07:00POSISI DOMINAN DAN PENYALAHGUNAANNYA<p>Manakala kita membicarakan posisi dominan, sebenarnya posisi dominan itu tidak dilarang dalam persaingan usaha apabila pencapaiannya diperoleh dengan persaingan usaha yang fair. Adapun konsep HPU adalah menjaga persaingan usaha yang sehat tetap terjadi di pasar yang bersangkutan dan mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan melalui persaingan usaha yang sehat dan efektif.<br /></p><p>Terdapat beberapa definisi terkait dengan posisi dominan, yang pertama adalah apabila dilihat dari perspektif ekonomi, yang dimaksud dengan posisi dominan adalah posisi yang ditempati oleh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar. Dengan pangsa pasar yang besar tersebut perusahaan memiliki market power. Dan dengan market power tersebut, perusahaan dominan dapat melakukan tindakan atau strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh perusahaan pesaingnya.<br /></p><p> Yang kedua adalah sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang larang praktek monopoli dan praktek persaingan usaha tidak sehat. Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan posisi dominan adalah suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak memiliki pesaing yang berarti atau suatu pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi daripada pesaingnya pada pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, akses pada pasokan barang atau penjualan serta kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Adapun jika kita cermati secara baik, ketentuan yang diberikan oleh undang-undang tersebut sebenarnya memberikan 4 syarat yang dimiliki oleh seorang pelaku usaha agar pelaku usaha tersebut harus mempunyai posisi dominan, yaitu pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan :</p><p><br />- Pangsa pasarnya<br />- Kemampuan keuangannya<br />- Kemampuan akses pada pasokan atau penjualan<br />- Kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.</p><p><br />Sehingga menurut hukum, dengan berdasarkan pada syarat-syarat tersebut. Hanya satu pesaing dengan posisi dominanlah yang dapat menguasai pasar bersangkutan. Namun UU No. 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara rinci apakah syarat-syarat tersebut harus dipenuhi secara kumulatif atau tidak. Akan tetapi, salah satu ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah bahwa jika pelaku usaha tersebut dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan secara mandiri tanpa harus memperhitungkan para pesaingnya. Kedudukan seperti ini kepemilikan pangsa pasarnya, atau karena kepemilikan pangsa pasar ditambah dengan kemampuan pengetahuan teknologinya, bahan baku atau modal, sehingga pelaku usaha tersebut mempunyai kekuasaan untuk menentukan harga atau mengontrol produksi atau pemasaran terhadap bagian penting dari produk yang diminta.<br /><br />Sehingga keadaan suatu pasar yang dapat dipengaruhi oleh satu pelaku usaha secara mandiri, karena pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi daripada pesaingnya dan kemampuan keuangan yang lebih kuat daripada pesaingnya serta mampu menetapkan harga dan mengatur pasokan di pasar yang bersangkutan. Dengan demikian, akibat tindakan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut pasar menjadi terdistorsi. Pelaku usaha tersebut secara independen tanpa mempertimbangkan keadaan pesaingnya dapat mempengaruhi pasar akibat penyalahgunaan posisi dominannya.<br /></p><p>Posisi dominan dapat dimiliki oleh satu pelaku usaha (monopolist) dan dapat juga dimiliki oleh dua atau lebih pelaku usaha (oligopoly).<br /></p><p><strong>1. Pangsa pasar</strong><br />Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli atau persentase jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.. Pasal 25 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 menetapkan bahwa satu pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar atau satu jenis barang atau jasa tertentu. Sedangkan dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan apabila menguasai 75% atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu.</p><p><br />Adapun ketentuan posisi dominan mengenai penguasaan pangsa pasar yang ditetapkan oleh pasal 25 ayat (2) tersebut mensyaratkan bahwa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut dapat mendistorsi pasar baik secara langsung maupun tidak langsung.<br /><br /><br />Pasal 25 ayat (1) menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominannya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :<br /><br /></p><p>- Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas, atau<br />- Membatasi pasar dan pengembangan teknologi<br />- Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.<br /><br /></p><p>Perlu diketahui bahwa secara normative ketentuan pasal 25 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 tersebut bersifat per se. Artinya, apabila suatu pelaku usaha sudah menguasai pangsa pasar 50% untuk satu pelaku usaha dan 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha, maka penguasaan pangsa pasar tersebut langsung dilarang. Akan tetapi, dalam prakteknya KPPU telah menerapkan ketentuan pasal 25 ayat (2) tersebut dengan pendekatan rule of reason. Hal ini dikarenakan secara praktis penerapan secara per se pasal 25 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 tersebut akan membatasi pertumbuhan pelaku usaha yang efisien serta inovatif dan kompetetitif di pasar yang bersangkutan.<br /><br /></p><p><strong>2. Kemampuan keuangan</strong><br />Salah satu unsur yang menyatakan bahwa suatu pelaku usaha mempunyai posisi dominan adalah apabila pelaku usaha mempunyai keuangan lebih besar dibandingkan dengan keuangan pelaku usaha pesaingnya. Pengertian kemampuan keuangan suatu pelaku usaha dapat dipahami khususnya kemampuan ekonomi pelaku usaha tersebut yang pada pokoknya mempunyai kemungkinan keuangan. Artinya, kemampuan keuangan yang dimiliki sendiri, untuk melakukan investasi sejumlah uang tertentu dan mempunyai akses menjual kepada pasar modal.<br /><br /></p><p>Terdapat beberapa faktor untuk dapat menetapkan pelaku usaha memiliki keuangan yang kuat dapat dilihat dari :</p><p><br />- modal dasar<br />- cash flow<br />- omset<br />- keuntungan<br />- batas kredit<br />- Akses ke pasar keuangan nasional dan internasional</p><p><strong><br />3. Kemampuan pada pasokan atau penjualan</strong><br /><br />Unsur kemampuan mengatur pasokan atau penjualan adalah salah satu cirri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Kemampuan ini dapat dilihat oleh suatu pelaku usaha biasanya, apabila pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa pasar pesaing-pesaingnya.</p><p><br />Jika pangsa pasar pelaku usaha sudah ditetapkan, mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi daripada pesaingnya, maka dapat ditentukan apakah pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar dalam persentase tertentu dapat melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan, yaitu melalui kemampuan pengaturan jumlah pasokan atau penjualan barang tertentu di pasar yang bersangkutan. Kemampuan pengaturan pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu menjadi salah satu bukti bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan. Akibatnya adalah pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan menguasai pasar dan pesaingnya tidak dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan.</p><p><br /><strong>4. Kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan</strong><br />Berdasarkan pada apa yang telah ditetapkan pada Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1999, pada prinsipnya kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan atas suatu barang atau jasa tertentu pada pasar yang bersangkutan mempunyai kesamaan dengan kemampuan mengatur pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu. Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan pada pasar yang bersangkutan. Oleh karena itu, penetapan siapa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan penting untuk dilakukan.</p><p><br /><strong>5. Penetapan posisi dominan</strong><br />Lembaga yang berwenang untuk menetapkan posisi dominan suatu pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan adalah KPPU. Sebelum suatu pelaku usaha ditetapkan mempunyai posisi dominan, KPPU terlebih dahulu harus melakukan investigasi terhadap pasar yang bersangkutan dengan pembatasan pasar yang bersangkutan.<br /></p><p><br />Adapun di dalam UU No. 5 Tahun 1999, metode pembatasan pasar yang bersangkutan ditetapkan dalam Pasal 1 No. 10 dimana berdasarkan pada ketentuan tersebut, pembatasan pasar yang bersangkutan untuk menentukan posisi dominan suatu pelaku usaha menggunakan pembatasan pasar berdasarkan :<br /></p><p><strong>Pasar produk atau secara obyektif</strong><br />Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk atau secara obyektif adalah dimana terdapat barang dan atau jasa yang sama atau sejenis, termasuk substitusinya. PAsal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1999 tidak memberikan penjelasan dan tidak ada petunjuk khusus mengenai barang yang sama atau sejenis serta barang substitusi. Untuk dapat menentukan apakah suatu barang dengan barang yang lain dapat dinyatakan sama atau dapat dinyatakan menjadi substitusi terhadap barang tertentu, perlu dilihat dari 4 aspek, yaitu :</p><p><br /><strong>Bentuk dan sifat barang</strong><br />Bentuk dan sifat fisik suatu barang merupakan petunjuk pertama dalam mengindentifikasi apakah suatu produk satu pasar atau satu produk secara obyektif<br /><strong>Fungsi barang</strong><br />Dilihat dari fungsi barang, apakah suatu barang atau produk dengan barang atau produk lain tersebut memliki fungsi yang sama bagi konsumen.<br /><strong>Harga</strong><br /><strong>Fleksibilitas barang bagi konsumen</strong><br />Dikenal juga dengan konsep kebutuhan konsumen. Unsur ini berhubungan dengan tingkah laku konsumen manakala apabila barang yang dikonsumsinya tidak ada di pasar, apakah ia mau untuk mengalihkan pemenuhannya pada produk lain yang sejenis / alternatif?<br /><strong>Secara geografis</strong><br />Berdasarkan pada ketentuan pasal 1 No. 10 UU No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan pasar bersangkutan dari segi daerah adalah jangkauan atau daerah pemasaran tertentu. Pembatasan pasar bersangkutan secara geografis ditentukan sejauh mana produsen memasarkan produknya seluas itulah dihitung produsen yang memasarkan barang / produk di wilayah tersebut. Fungsi pembatasan pasar secara geografis adalah untuk menghitung pangsa pasar bersangkutan secara objektif disekitar wilayah di mana barang tersebut dipasarkan. Oleh karena itu dapat terjadi, bahwa pasar suatu barang tertentu dapat mencapai pasar regional, nasional, internasional dan bahkan pasar global. Akan tetapi UU No. 5 Tahun 1999 sudah membatasi penerapannya hanya di dalam negeri saja.<br /><br /><br />Akan tetapi KPPU telah menetapkan bahwa jangkauan penerapan UU No. 5 Tahun 1999 tidak sebatas seluas wilayah Indonesia dimana pelaku usaha memiliki kedudukan hukumnya, tetapi juga pelaku usaha yang mempunyai kedudukan hukum di luar wilayah Indonesia, tetapi perilaku pelaku usaha tersebut mempunyai dampak terhadap persaingan usaha di pasar Indonesia.<br /><br />Setelah ditetapkan pasar produk suatu barang tertentu, kemudian ditetapkan pasar geografis produk tersebut, yaitu seluas mana produk-produk yang sama dan barang penggantinya dipasarkan, maka seluas wilayah itulah dihitung berapa jumlah pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha di wilayah tersebut, dan berapa pangsa pasar masing-masing pelaku usaha. Dari pasar geografis ini dapat disimpulkan pelaku usaha yang mana yang menguasai pangsa pasar di wilayah tersebut, pelaku usaha itulah yang memiliki posisi dominan di wilayah tersebut.<br /><br /></p><p><strong>Penyalahgunaan posisi dominan</strong><br />Pelaku usaha mempunyai posisi dominan tidak dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999, asalkan pencapaian posisi dominan tersebut dilakukan melalui persaingan usaha yang sehat. Yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 adalah manakala pelaku usaha tersebut menyalahgunaan posisi dominannya.</p><p><br />Pasal 25 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk menggunakan posisi dominannya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :<br /><br /><br /><strong>Mencegah atau menghalangi konsumen</strong><br />Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat melakukan suatu tindakan untuk mencegah atau menghalangi konsumen untuk memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat perdagangan.<br /><strong>Membatasi pasar dan perkembangan teknologi</strong><br />Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat membatasi pasar. Pengertian membatasi pasar di dalam ketentuan ini tidak dibatasi. Pengertian membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan sebagai penjual atau pembeli dapat diartikan dimana pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai kemungkinan besar untuk mendistorsi pasar yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya sulit untuk dapat bersaing di pasar yang bersangkutan.<br /><strong>Menghambat pesaing potensial</strong><br />Di dalam hukum persaingan usaha dikenal apa yang disebut dengan pesaing factual dan pesaing potensial. Pesaing factual adalah pelaku usaha-pelaku usaha yag melakukan kegiatan usaha yang sama di pasar yang bersangkutan. Sedangkan pesaing potensial adalah pelaku usaha yang mempunyai potensi yang ingin masuk ke pasar yang bersangkutan, baik oleh pelaku usaha dalam negeri maupun pelaku usaha dari luar negeri. Hambatan masuk pasar bagi pesaing potensial yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan hambatan masuk pasar oleh karena kebijakan-kebijakan Negara atau pemerintah.<br /> Adapun hambatan-hambatan tersebut dapat berupa perilaku-perilaku diskriminatif baik dalam segi harga dan non harga dan jual rugi.</p><p><strong>Hubungan afiliasi dengan pelaku usaha yang lain</strong><br />Adapun terkait dalam hal ini diatur dalam pasal 26 tentang jabatan rangkap dan pasal 27 tentang kepemilikan saham silang dalam UU No. 37 tahun 1999.</p><p><br /><strong>Jabatan rangkap</strong><br />Pasal 26 melarang komisaris dan direksi suatu perusahaan merangkap jabatan di perusahaan yang lain apabila perusahaan-perusahaan tersebut :<br /><strong>Berada dalam pasar bersangkutan yang sama<br />Memiliki kaitan erat dalam bidang atau jenis usaha</strong><br />Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.<br /><strong>Kepemilikan saham silang</strong><br />Hubungan afiliasi pelaku usaha yang satu dengan yang lain dapat dilihat dari aspek kepemilikan saham suatu pelaku usaha di dua atau lebih pelaku usaha yang bergerak di bidang usaha yang sama atau dengan pelaku usaha yang lain.<br /> Ketentuan pasal 27 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar yang bersangkutan atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan yang apabila mengakibatkan:<br />Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu<br />Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.<br />Akan tetapi untuk dapat menentukannya, harus diadakan suatu pembuktian terlebih dahulu. Jika memang terbukti, hal berikutnya yang harus dilakukan adalah dengan membuktikan apakah dengan adanya posisi dominan tersebut, pelaku usaha akan menyalahgunakannya sehingga pasar menjadi terganggu.<br /></p>Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-35923401611844732442011-01-07T18:32:00.002+07:002011-01-07T18:40:51.526+07:00KEGIATAN YANG DILARANG DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA<p><strong>A. Monopoli</strong></p><p><br /></p><p> Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan pembentukan hukum persaingan usaha. Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa sekalipun demikian, monopoli itu sendiri pada dasarnya bukanlah suatu bentuk kejahatan atau bertentangan dengan hukum apabila diperoleh dengan cara-cara yang fair dan tidak melanggar hukum. Monopoli baru dilarang apabila perusahaan yang memiliki monopoli itu melakukan monopolisasi.<br /></p><p> Istilah monopoli berasal dari bahasa Inggris, yaitu monopoly dan istilah tersebut menurut sejarahnya berasal dari bahasa Yunani, yakni “monos polein” yang berarti sendirian menjual. Istilah monopoli harus dibedakan dengan istilah monopolis yang berarti orang yang menjual produknya secara sendirian.<br /></p><p> Pengertian monopoli secara umum adalah jika ada satu pelaku usaha ternyata merupakan satu-satunya penjual bagi produk barang dan jasa tertentu, dan pada pasar tersebut tidak terdapat produk substitusi.<br /></p><p> Adapun pengertian monopoli menurut beberapa sumber adalah sebagai berikut :<br /></p><p><strong>a. Kamus ekonomi Collins</strong></p><p>“ salah satu jenis struktur pasar yang mempunyai sifat-sifat, bahwa satu perusahaan dengan banyak pembeli, kurangnya produk substitusi atau pengganti serta adanya pemblokiran pasar (barrier to entry) yang tidak dapat dimasuki oleh pelaku usaha lainnya.”<br /></p><strong>b. Black’s Law Dictionary</strong><br />“ Monopoly is a priveleges or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry out on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity”<br /><p><strong>c. Pass dan Bryan Lowes</strong><br /></p>Penyebab timbulnya monopoli itu sendiri adalah adanya hambatan untuk bisa memasuki pasar lain. Hal itu bisa saja terjadi dikarenakan :<br />a. Sumber kunci<br />b. Monopoli yang diciptakan pemerintah<br />c. Monopoli alamiah<br />d. Pasal 1 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999<br /><p>“Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau suatu kelompok pelaku usaha”<br /></p> Dan berdasarkan pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999, unsur-unsur monopoli adalah sebagai berikut :<br />- Adanya penguasaan atas produksi / pemasaran barang / penggunaan jasa tertentu<br />- Dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha<br />Unsur-unsur inipun kemudian dipertegas oleh ketentuan Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1999, dimana unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :<br />- Melakukan perbuatan penguasaan atas suatu produk<br />- Melakukan perbuatan atas pemasaran suatu produk<br />- Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli<br /><p>- Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek persaingan usaha yang tidak sehat.<br /></p>Ada beberapa unsur untuk membuktikan perbuatan monopoli tersebut terpenuhi :<br />- Tidak terdapat produk substitusinya<br />- Pelaku usaha yang lain sulit masuk ke dalam pasar persaingan terhadap produk yang sama dikarenakan hambatan masuk yang tinggi<br />- Pelaku usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar yang bersangkutan<br />- Satu atau satu kelompok pelaku usaha telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar suatu jenis produk.<br /><p> </p><p>Adapun dalam membicarakan monopoli, ada beberapa efek negatif dari dilaksanakannya monopoli oleh pelaku usaha. Efek negatif itu adalah sebagai berikut :<br /></p>- Praktek monopoli dapat memicu inflasi yang dapat merugikan masyarakat luas<br />- Pelaku usaha dapat menetapkan harga barang secara seenaknya pada konsumen<br />- Dapat menyebabkan eksploitasi daya beli konsumen dan tidak memberikan hak pilih terhadap konsumen<br />- Eksploitasi buruh<br />- Adanya pelimpahan beban inefisiensi terhadap konsumen<br />- Menciptakan pendapatan yang tidak merata.<br /><br /><strong>A.1. Praktek Monopoli</strong><br /><p> Pada dasarnya praktek monopoli merupakan pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa tertentu sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.<br /></p> Unsur-unsur dari praktek monopoli adalah sebagai berikut :<br />- Terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha<br />Adapun yang dimaksud dengan pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar barang atau jasa tertentu oleh satu atau lebih pelaku usaha yang dengan penguasaan itu pelaku usaha tersebut dapat menentukan harga barang atau jasa.<br />- Terjadinya penguasaan atas produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu<br />- Terjadinya persaingan usaha tidak sehat<br />Dapat terjadi bila persaingan yang terjadi di antara para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa dilakukan dengan tidak jujur atau melawan hukum serta dapat menghambat persaingan usaha.<br />- Tindakan tersebut merugikan kepentingan umum<br /><br />B. Monopsoni<br /><p> Monopsoni merupakan sebuah pasar dimana hanya terdapat seorang pembeli atau pembeli tunggal. Dalam pasar monopsoni, biasanya harga barang atau jasa akan lebih rendah dari harga pada pasar yang kompetitif. Biasanya pembeli tunggal ini akan menjual dengan cara monopoli atau dengan harga yang tinggi Pada kondisi inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul karena pembeli harus membayar dengan harga yang mahal dan juga terdapat potensi persaingan usaha yang tidak sehat.<br /></p><p> Berdasarkan pada pasal 18 UU No. 5 Tahun 1999, monopsoni merupakan suatu keadaan dimana suatu kelompok usaha menguasai pangsa pasar yang besar untuk membeli suatu produk, sehingga perilaku pembeli tunggal tersebut akan dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat, dn apabila pembeli tunggal tersebut menguasai lebih dari 50% pangsa pasar suatu jenis produk atau jasa. </p><p>Syarat-syarat pembuktian adanya monopsoni adalah :<br /></p>- Dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha<br />- Telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis produk tertentu.<br />Adapun monopsoni dalam UU No. 5 Tahun 1999 diatur dengan pendekatan rule of reason.<br /><br /><strong>C. Penguasaan Pasar</strong><br /><p> Pihak yang dapat melakukan penguasaan pasar adalah para pelaku usaha yang mempunyai market power, yaitu pelaku usaha yang dapat menguasai pasar sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa yang di pasar yang bersangkutan. Wujud penguasaan pasar yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 tersebut dalam bentuk penjualan barang dan/ jasa dengan cara :<br /></p><strong>a. Jual Rugi untuk mematikan pesaingnya</strong><br />Unsur-unsur yang harus diperhatikan sebelum menuduh pelaku usaha atau perusahaan memakai strategi ini :<br />* Harus membuktikan bahwa perusahaan tersebut menjual produknya dengan harga rugi. Jika perusahaan menjual dengan harga rendah, namun tidak merugi, maka perusahaan tersebut bersaing dengan sehat. Perusahaan tersebut dapat menjual dengan harga rendah karena jauh lebih efisien dari pesaing-pesaingnya<br />* Jika terbukti perusahaan menjual dengan harga rugi, masih harus dibuktikan bahwa perusahaan tersebut memiliki kemampuan yang memungkinkan untuk menjual rugi disebabkan ada kalanya penjual melakukan jual rugi untuk menghindari potensi kerugian yang lebih lanjut atau untuk sekedar mendapatkan dana untuk keluar dari pasar.<br />* Telah ditunjukkan bahwa perusahaan hanya akan menetapkan jual rugi jika perusahaan itu yakin akan dapat menutupi kerugian ditahap awal dengan menetapkan harga yang sangat tinggi pada tahap berikutnya.<br />b. Praktek penetapan biaya produksi secara curang serta biaya lainnya yang menjadi komponen harga barang.<br />c. Perang harga<br /><br /><strong>D. Persekongkolan</strong><br /> Secara yuridis, pengertian persekongkolan atau conspiracy ini diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 5 Tahun 1999 yakni : “sebagai bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol”.<br /><p> </p><p>Terdapat 3 bentuk perjanjian yang dilarang berdasarkan pada UU No. 5 Tahun 1999, yaitu :<br /></p>- Persekongkolan Tender (Pasal 22)<br />Berdasarkan pada penjelasan Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, tender merupakan tawaran untuk mengajukan harga, memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Kegiatan bersekongkol menentukan pemenang tender jelas merupakan perbuatan curang karena pada dasarnya tender dan pemenangnya tidak diatur dan bersifat rahasia.<br /><p>Ada 3 bentuk persekongkolan :<br /></p><strong>1. Persekongkolan horizontal</strong><br /> Dilakukan oleh antar penawar tender.<br /><strong>2. Persekongkolan vertikal</strong><br />Dilakukan antara penawar dengan panitia pelaksana tender.<br /><strong>3. Persekongkolan horizontal dan vertikal</strong><br />- Persekongkolan membocorkan rahasia dagang perusahaan (Pasal 23)<br />- Persekongkolan menghambat perdagangan (Pasal 24)<br /><p>Berdasarkan pada ketentuan Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha dilarang bersekongkol untuk :<br /></p>a. Menghambat pelaku usaha pesaing dalam memproduksi<br />b. Menghambat pemasaran, atau memproduksi dan memasarkan barang, jasa atau barang dan jasa dengan maksud agar barang, jasa, atau barang dan jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang atau menurun kualitasnya<br />c. Bertujuan untuk memperlambat waktu proses produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran barang, jasa atau barang dan jasa yang sebelumnya sudah dipersyaratkan, serta<br />d. Kegiatan persekongkolan seperti itu dapat menimbulkan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.<br /><p>Dan berdasarkan pada Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 itu juga, hambatan perdagangan tersebut secara ekonomis dapat dibedakan ke dalam :<br /></p><strong>1. Restrictive Trade Agreement</strong><br />Bentuk kolusi di antara para pemasok yang bertujuan untuk menghapus persaingan secara keseluruhan atau sebagian.<br /><strong>2. Restrictive Trade Practice</strong><br />Suatu alat untuk mengurangi atau menghilangkan persaingan usaha di antara para pemasok produk yang saling bersaing.Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-90482167836485849302010-11-09T23:00:00.005+07:002010-11-09T23:12:11.315+07:00Format Surat Kuasa Untuk Mengajukan Gugatan 2<p>Berikut ini adalah contoh lain dari surat kuasa untuk mengajukan gugatan :</p><p><strong> </strong></p><p><strong> SURAT KUASA KHUSUS</strong></p><p><strong> No. .../.../PDT/...</strong><br /></p><br /><br /><br />Yang bertanda tangan dibawah ini:<br /><br />Nama : <br />Pekerjaan : <br />Alamat : <br /><br />Selanjutnya disebut sebagai Pemberi Kuasa. Dengan ini memberikan kuasa penuh kepada :<br /><br />1. (nama penerima kuasa)<br />2. (nama penerima kuasa) <br /><br />Para advokat / penasihat hukum, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, berkantor pada (isi alamat). Pemberi Kuasa memilih kediaman hukum / domisili hukum di kantor tersebut diatas. Selanjutnya disebut sebagai Penerima Kuasa<br /><br /><br /><br /><strong> K H U S U S</strong><br /><br /><br /><br />Bertindak mewakili untuk dan atas nama pemberi kuasa dalam perkara wanprestasi terhadap (nama tergugat) beralamat (alamat tergugat) di Pengadilan Negeri (PN yang berwenang).<br /><br />Dan selanjutnya penerima kuasa :<br /><br />1. Dapat mengajukan gugatan, replik, pembuktian dan kesimpulan dalam perkara ini.<br />2. Dapat menghadap di muka Pengadilan serta badan – badan kehakiman atau pejabat lainnya yang berkaitan dengan perkara yang telah disebutkan di atas serta menandatangai semua surat-surat yang dianggap perlu oleh penerima kuasa sehubungan dengan perkara ini.<br /><br />Surat kuasa ini diberikan dengan hak substitusi dan hak retensi sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.<br /><br /><br />Jakarta, .........<br /><br />Penerima Kuasa Pemberi Kuasa<br /><br /><br /><br />(nama penerima kuasa) (nama pemberi kuasa) <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />(nama penerima kuasa)Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-15083080573161607422010-02-19T20:31:00.004+07:002010-02-19T20:48:13.888+07:00Tentang Hak Kebebasan Beragama<strong>A. LATAR BELAKANG</strong><br /> Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian atas UU No.1 /PNPS/1945 tentang Penyalahgunaan dan / atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama). Dalam pengujian undang-undang ini, tampak jelas jika pemerintah masih ingin melakukan pembatasan-pembatasan hak beragama tersebut dalam beberapa pendapat yang sangat menarik.<br /> Menteri Agama dalam hal ini berpendapat jika UU Penodaan Agama masih sangat dibutuhkan dengan tujuan untuk melindungi kemurnian agama yang diakui di Indonesia. Apabila Undang-undang ini dibatalkan, maka tidak akan ada lagi jaminan perlindungan hukum terhadap agama-agama tersebut. Akibatnya, penegak hukum kehilangan pijakan untuk menindak pelaku pencemaran agama dan masyarakat dikhawatirkan akan main hakim sendiri.<br /> Menurutnya kebebasan yang dimiliki oleh setiap warga negara tetap ada batasnya. Pendapat ini ditegaskan dengan pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap hak asasi manusia bisa dibatasi asalkan pembatasannya dilakukan melalui undang-undang sebagai wujud dari kehendak rakyat. Singkatnya sebuah kebebasan tidak dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya.<br /> Selain itu, Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik pun mengenal pembatasan tersebut.<br />Pasal 18 ayat (3) UU No.12 Tahun 2005 yang meratifikasi konvensi tersebut menyebutkan bahwa 'Kebebasan untuk mewujudkan salah satu agama atau kepercayaan dapat tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh hukum dan diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban, atau moral atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain'. <br /> Senada dengan Menteri Agama, Menteri Hukum dan HAM juga menegaskan bahwa pembatasan terhadap kebebasan hak beragama juga dibatasi. Ia justru berpendapat jika untuk bisa memahami hal demikian, perlu suatu pemahaman UUD 1945 yang lebih komprehensif.<br /> Akan tetapi sehubungan dengan hal dan materi yang ada di atas, maka kemudian membuat penulis menjadi bertanya-tanya perihal hak dan kebebasan beragama di Indonesia sehubungan dengan UU Penodaan Agama ini. Apakah selama ini Indonesia telah dapat menjamin kebebasan beragama masyarakatnya dengan baik? Atau Apakah hanya sebatas di atas kertas saja penerapannya?<br /> Hal inilah yang kemudian mendasari penulis untuk mengangkat masalah ini sebagai dasar penulisan makalah dengan tujuan memberikan titik terang atas pokok-pokok permasalahan yang kiranya perlu dijawab dalam makalah ini.<br /><br /><strong>B. RUMUSAN MASALAH</strong><br /> Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah :<br />1. Bagaimana peran negara Indonesia dalam melindungi hak-hak beragama sebagai bagian dari perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik warga negaranya?<br />2. Bagaimana penerapan hukum negara Indonesia dalam melindungi hak-hak beragama sebagai bagian dari perlindungan hak-hak sipil dan politik warga negaranya?<br /><br /><strong>C. PEMBAHASAN</strong><br /> Dalam membahas perihal hak kebebasan beragama di Indonesia tentunya tidak terlepas dari konsep demokrasi, HAM dan juga hak-hak sipil dan politik masyarakat. Adapun untuk bisa memahami hal-hal ini pertama-tama kita harus memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan HAM.<br /> Berdasarkan UU No. 39 tahun 1999, yang dimaksud HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib untuk dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Adapun pembatasan terhadap HAM tersebut dapat dibagi menjadi :<br /><em>1. Universal</em><br />HAM berlaku secara luas tanpa melihat perbedaan suku, agama, ras, kepercayaan, usia, latar belakang, jenis kelamin, warna kulit.<br /><em>2. Melekat (inherent)</em><br /><p>Hak tersebut bukan hasil pemberian kekuasaan/ orang lain dan tidak dapat dicabut dalam keadaan apapun juga.</p><p>Adapun ruang lingkup dari HAM adalah : <br /></p> a. Larangan Diskriminasi<br /> Prinsip non diskriminasi adalah suatu konsep sentral dalam kaidah hak asasi manusia. Prinsip tersebut dapat diketemukan dalam instrumen umum hak asasi manusia. Komite Hak Asasi Manusia telah menyatakan bahwa dengan mengacu pada persamaan jenis kelamin Kovenan International mengenai hak sipil dan politik tidak hanya memerlukan perlindungan tetapi juga memerlukan tindakan penguat yang dimaksudkan untuk menjamin perolehan positif hak-hak yang sama.<br /> b. Hak atas Penghidupan, Kemerdekaan, dan Keselamatan seseorang. <br /> c. Larangan penganiayaan<br /> Berkaitan dengan pelarangan atas penganiayaan atau perlakuan secara kejam dengan tak mengingat kemanusiaan ataupun cara perlakuan atau hukuman yang menghinakan.<br /> d. Hak Persamaan di Muka Hukum.<br /> Merupakan suatu klausul nondiskriminasi. Ada tiga aspek yang dicakup oleh ketentuan ini. Aspek pertama adalah persamaan di muka hukum. Aspek kedua yaitu perlindungan hukum yang sama, dan aspek ketiga adalah perlindungan dari diskriminasi.<br /> e. Hak Kebebasan Bergerak dan Berdiam<br /> Berkaitan dengan kebebasan memilih tempat tinggal dalam suatu Negara, kebebasan meninggalkan dan memasuki negerinya sendiri, hak untuk tidak dikeluarkan dari suatu negeri tanpa diberi kesempatan untuk menyanggah keputusan tersebut, dan bebas dari pengasingan.<br /> f. Hak atas Kebebasan Pikiran, Hati Nurani, dan Agama<br /><p> Berkenaan dengan kebebasan seseorang berpendapat dan memeluk suatu keyakinan tertentu.</p><p><br /></p> Adapun sesungguhnya konsep perlindungan HAM di Indonesia sendiri telah dikenal dalam UUD 1945 khususnya dalam Bab X A Undang-undang Dasar 1945 dimana dalam Bab X tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut :<br /><em>1. Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28 A)<br />2. Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah (Pasal 28 B ayat 1)<br />3. Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28 B ayat 2)<br />4. Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28 C ayat 1)<br />5. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya (Pasal 28 C ayat 1)<br />6. Hak untuk mengajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif (Pasal 28 C ayat 2)<br />7. Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 28 D ayat 1)<br />8. Hak utnuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 D ayat 3)<br />9. Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat 3)<br />10. Hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28 D ayat 4)<br />11. Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya (Pasal 28 E ayat 1)<br />12. Hak memilih pekerjaan (Pasal 28 E ayat 1)<br />13. Hak memilih kewarganegaraan (Pasal 28 E ayat 1)<br />14. Hak memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak untuk kembali (Pasal 28 E ayat 1)<br />15. Hak kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya (Pasal 28 E ayat 2)<br />16. Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E ayat 3)<br />17. Hak untuk berkomunikasi dan memeperoleh informasi (Pasal 28 F)<br />18. Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda (Pasal 28 G ayat 1)<br />19. Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia (Pasal 28 G ayat 1)<br />20. Hak untuk bebeas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28 G ayat 2)<br />21. Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28 H ayat 1)<br />22. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28 H ayat 1)<br />23. Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan (Pasal 28 H ayat 2)<br />24. Hak atas jaminan sosial (Pasal 28 H ayat 3)<br />25. Hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun (Pasal 28 H ayat 4)<br />26. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) (Pasal 28 I ayat 1)<br />27. Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut (Pasal 28 I ayat 2)<br />28. Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (Pasal 28 I ayat 3)<br />29. Perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (pasal 28 I ayat 4)<br />30. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (pasal 28I ayat 5)<br />31. Setiap orang wajib menghormati hak orang lain (pasal 28 J ayat 1)<br />32. Setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasanya wajib tunduk kepada pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang (pasal 28 J ayat 2)</em><br />Akan tetapi sebenarnya apabila kita tinjau hak-hak yang dikategorikan sebagai Hak Asasi Manusia tersebut, kita akan menemukan beberapa hak yang disebut sebagai hak-hak sipil dan politik.<br /> Lantas apa yang dimaksud dengan hak-hak sipil dan politik? Adapun yang dimaksud dengan hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara agar menusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik.<br /> Sedianya hak-hak sipil dan politik itu memiliki karakteristik sebagai berikut :<br /> 1. Dicapai dengan segera;<br /> 2. Negara bersifat pasif;<br /> 3. Dapat diajukan ke pengadilan;<br /> 4. Tidak bergantung pada sumber daya;<br /> 5. Non-ideologis.<br /> Lalu bagaimana HAM tersebut bisa berhubungan dengan hak-hak sipil dan politik? Adapun sebenarnya hak-hak sipil dan politik tersebut merupakan bagian kecil dari hak asasi manusia dimana hak-hak sipil dan politik itu meliputi :<br /> <em>1. Hak hidup;<br /> 2. Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi;<br /> 3. Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa;<br /> 4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi;<br /> 5. Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah;<br /> 6. Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum;<br /> 7. Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama;<br /> 8. Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi;<br /> 9. Hak untuk berkumpul dan berserikat;<br /> 10. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan.</em><br /> Tampak jelas jika hak kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama termasuk dalam hak -hak sipil dan politik sebagaimana tersebut diatas, maka berhubungan dengan topik yang penulis bahas kali ini. Hal ini kemudian membuat topik ini kiranya pantas dibawa dalam kajian tentang hukum dan HAM.<br /> Oleh karena itu marilah kita sekiranya segera menuju pada permasalahan pertama mengenai peran negara dalam melindungi hak-hak beragama sebagai bagian dari perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik warga negaranya? Sebenarnya apabila dicermati secara seksama, maka kita akan menemukan bahwa pemerintah sebenarnya sudah melakukan beberapa upaya secara hukum untuk dapat melindungi hak-hak kebebasan beragama rakyatnya. Hal itu tampak dari beberapa ketentuan hukum yang sedianya mengatur meliputi :<br /><strong>* Pasal 28 E Undang-undang Dasar 1945</strong><br /><em>“(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih <br />pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.<br /> (2)Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.<br /> (3)Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”</em><br /><strong>* Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945</strong><br /><em>“(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.<br /> (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya <br />masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”</em><br /><strong>* Pasal 22 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM</strong><br /><em>“(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat <br /> menurut agamanya dan kepercayaannya itu.<br /> (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing<br /> dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”</em><br /><strong>* UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights</strong><br />Adapun yang berkaitan dengan topik ini, pasal-pasal yang terkait dalam International Covenant On Civil And Political Rights:<br /><em>a. Article 2 :<br />“(1) Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and to ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.<br />(2) Where not already provided for by existing legislative or other measures, each State Party to the present Covenant undertakes to take the necessary steps, in accordance with its constitutional processes and with the provisions of the present Covenant, to adopt such laws or other measures as may be necessary to give effect to the rights recognized in the present Covenant.<br />(3) Each State Party to the present Covenant undertakes:<br />a. To ensure that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that the violation has been committed by persons acting in an official capacity;<br />b. To ensure that any person claiming such a remedy shall have his right thereto determined by competent judicial, administrative or legislative authorities, or by any other competent authority provided for by the legal system of the State, and to develop the possibilities of judicial remedy;<br />c. To ensure that the competent authorities shall enforce such remedies when granted.”<br /> b. Article 4<br /> “(1) In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin.<br /> (2) No derogation from articles 6, 7, 8 (paragraphs I and 2), 11, 15, 16 and 18 may be made under this provision.<br /> (3) Any State Party to the present Covenant availing itself of the right of derogation shall immediately inform the other States Parties to the present Covenant, through the intermediary of the Secretary-General of the United Nations, of the provisions from which it has derogated and of the reasons by which it was actuated. A further communication shall be made, through the same intermediary, on the date on which it terminates such derogation.”<br /> c. Article 18<br /> “(1) Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching.<br /> (2) No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.<br /> (3) Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.<br /> (4) The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.”</em><br />Sehingga beranjak dari hal ini, tampak dengan jelas apabila secara yuridis pemerintah sekiranya telah memberikan perlindungan yang cukup terhadap kebebasan hak beragama. Bahkan apabila hendak ditelusuri lebih lanjut secara hukum. Perlindungan terhadap hak kebebasan beragama (termasuk juga dalam hal ini adalah HAM secara keseluruhan) juga telah menjadi kewajiban pemerintah seperti yang tertuang dalam Pasal 8 UU No. 39 tahun 1999 :<br /> <em>“Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.”</em><br />Kemudian bagaimana dengan penerapan perlindungak hak kebebasan beragama tersebut di Indonesia oleh pemerintah? Hal inilah yang sebenarnya penulis coba untuk lebih mengkritisi sebab tidak bisa dipungkiri bahwa seringkali pelaksanaan hukum (entah itu terkait dengan HAM atau dengan hal-hal lain) berbeda antara teori dengan praktek. Dalam hal melindungi kebebasan beragama ini, timbul banyak pertanyaan:<br />* Apakah pelaksanaan perlindungan hak kebebasan beragama itu telah sesuai ?<br />* Apakah pelaksanaan perlindungan hak kebebasan beragama itu mencakup semua ?<br />* Dalam kaitannya dengan topik ini, apakah Undang-undang Penodaan Agama bertentangan dengan perlindungan hak kebebasan beragama?<br />Oleh karena itu marilah kita mulai dari pertanyaan pertama dalam hal perlindungan hak kebebasan beragama, sebenarnya apabila kita berbicara mengenai pelaksanaan hak kebebasan beragama tersebut, kita akan menemukan kenyataan bahwa sebenarnya pelaksanaan tersebut dapat terlaksana dengan baik. Hal ini tampak dari kerukunan antar umat beragama yang tampak di berbagai daerah dan kenyataan bahwa masyarakat masih dapat melaksanakan kegiatan ibadah dan berkeyakinan tanpa ada gangguan.<br /> Akan tetapi jawaban yang demikian akan menjadi berbeda apabila kita berbicara mengenai cakupan dari hak kebebasan beragama itu sendiri. Dalam pelaksanaannya seringkali hak kebebasan beragama itu hanya berlaku bagi sebagian orang saja. Tidak semua orang bisa menikmati kebebasan beragama tersebut secara utuh dan bahkan dalam berbagai macam kasus tidak jarang pemerintah justru menjadi pelaku atas pelanggaran hak kebebasan beragama itu sendiri (misal : pembiaran suatu pengrusakan dan penganiayaan umat agama tertentu oleh umat beragama lain). Masih banyak kasus yang seakan menyatakan jika hak kebebasan beragama tersebut hanya bisa dinikmati oleh sebagian kelompok saja, sebut saja salah satu yang cukup klasik adalah penerapan Peraturan Bersama Dua Menteri Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah dinilai gagal mengakomodasi hak umat beragama yang justru terkadang mempersulit umat beragama tertentu dalam melaksanakan kegiatan agamanya. Tidak jarang juga dalam berbagai kasus pemerintah justru kalah dengan desakan beberapa kelompok untuk melarang kebebasan umat beragama tertentu.<br /> Dan terakhir adalah berkaitan dengan UU Penodaan Agama. Memang sepintas apabila kita lihat undang-undang ini seakan membatasi hak-hak kebebasan beragama sesuai dengan apa yang penulis angkat dalam makalah ini, akan tetapi apabila kita melihatnya lebih lanjut maka kita akan menemukan bahwa sesungguhnya perihal kebebasan agama yang katanya dibatasi dalam UU Penodaan agama ini tidak terjadi.<br /> Mengapa demikian? Memang seringkali UU ini digunakan untuk menindas umat beragama dari aliran agama tertentu (atau sering disebut sebagai aliran sesat) akan tetapi apakah memang demikian? Apakah penindasan itu dibenarkan? Sebenarnya apabila kita berbicara dalam ruang lingkup 'penindasan' kita perlu ingat pada Penetapan Presiden No. 1/1965 yang kemudian melalui UU No. 5/1969, ditetapkan sebagai UU (UU No. 1/Pnps/1965) di mana disebutkan bahwa agama yang diakui di Indonesia ada 6 yaitu:<br />1. Islam<br />2. Kristen<br />3. Katholik<br />4. Hindu<br />5. Budha<br />6. Khonghucu<br />Tampak dalam hal ini bahwa sesungguhnya UU terkait penodaan agama itu justru melindungi umat dari agama-agama yang diakui tersebut dalam menjalankan ibadahnya (melindungi dari adanya penodaan agama lewat aliran-aliran keagamaan yang menyimpang atau penghinaan/ hal-hal lain yang termasuk). Dalam hal ini penulis agaknya sependapat dengan pendapat menteri agama yang menyatakan bahwa sedianya undang-undang ini diperlukan agar masyarakat tidak main hakim sendiri sehingga ketertiban umum bisa diterwujud. Hanya saja dalam pelaksanaannya saja yang masih harus diperbaiki lagi dengan berbagai macam pertimbangan perihal :<br />* Bagaimana dengan kepercayaan asli masyarakat setempat?<br />Perlu diketahui bahwa di Indonesia masih banyak kepercayaan masyarakat setempat yang terlepas dari keenam agama yang diakui oleh pemerintah.<br />* Pelaksanaanya<br />Apakah penerapan dari UU Penodaan agama tersebut dapat mencegah aksi main hakim sendiri oleh masyarakat?<br /><br /><strong>D. KESIMPULAN</strong><br /> Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi Hak-hak sipil dan politik (sebagai bagian dari HAM) secara keseluruhan tidak terkecuali dalam hal melindungi kebebasan beragama warga negaranya. Hal ini memang sedianya secara hukum telah dilakukan oleh pemerintah melalui beberapa peraturan seperti :<br />* UUD 1945<br />* UU No. 39 tahun 1999<br />* UU No.12 tahun 2005<br />Hanya saja kembali pada apa yang dikemukakan oleh Jean Jaques Rousseau dalam bukunya yang berjudul Du Contract Social, pemerintah yang sempurna tidak ada di dunia ini. Penerapannya perlindungan hak kebebasan beragama memang masih membutuhkan banyak perbaikan agar jangan sampai perlindungan hak kebebasan beragama tersebut bukan berdasarkan pada hukum tetapi pada demokrasi mayoritas.<br /> Dan dalam hal UU Penodaan Agama, dalam hal ini penulis sama sekali tidak menemukan suatu indikasi adanya suatu pengekangan atas hak kebebasan beragama itu, akan tetapi lagi-lagi masih ada beberapa hal yang harus dibenahi perihal pelaksanaannya.<br /><br /><strong>DAFTAR PUSTAKA</strong><br /> <em>Rousseau, Jean Jaques, 1712, Du Contract Social. Penguin Classics, London<br /> International Covenant on Civil and Political Rights<br /> Undang- Undang Dasar 1945<br /> Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia<br /> Undang- Undang No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights.<br /> http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=278&Itemid=51<br /> www. Google.com<br /> www. Hukumonline.com<br /> www. Kompas.com</em>Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-67922568286049582322010-01-29T20:55:00.001+07:002010-01-29T20:56:22.039+07:00Kudeta (Lain)<p>Oleh : Rudi Hartono</p><p>Disadur dari : http://arahkiri2009.blogspot.com/2010/01/kudeta-lain.html</p><p>Beredar isu mengenai kudeta pada tanggal 28 Januari nanti. Tidak jelas siapa yang menghembuskan, namun diketahui jelas bahwa ini hanya isu murahan. Secara histories, setiap pergantian kekuasaan di Indonesia selalu rentang dengan isu semacam itu, meskipun kemudian banyak yang tidak terbukti.<br /><br /><br />Di sini, saya tidak berbicara soal isu rencana kudeta dari kelompok-kelompok politik oposisi, yang menurut selebaran pendukung SBY, akan dilakukan oleh kelompok yang kalah dalam pemilu, pejabat yang kecewa, dan jenderal purnawirawan yang haus kekuasaan. (http://bandung.detik.com/read/2010/01/23/172508/1284592/486/garap-kecam-isu-kudeta-28-januari).<br /><br />Saya akan berbicara soal kudeta yang dilakukan oleh teknokrat pro-barat, yaitu para intelektual didikan barat, yang telah mengambil peran begitu besar dalam kebijakan politik dan ekonomi di negeri ini.<br /><br />Hasil Perjuangan Anti Kolonial<br /><br />Negara seperti Indonesia, yang berbeda dengan negeri kapitalis di Eropa, adalah hasil perjuangan anti-kolonial yang panjang. Sejak awal, negeri semacam ini mempromosikan pola hubungan egaliter dengan bangsa-bangsa lain, sesuatu yang sangat dekat pola pembangunan ala “sosialisme”. Dalam kaitan ini, mereka juga hendak meniadakan bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme, antara lama dan baru.<br /><br />Sehingga, pada awalnya, Indonesia mempromosikan kemandirian ekonomi terhadap modal-modal metropolitan, dan memang harus seperti itu pilihannya. Indonesia sendiri menjadi penggagas Konferensi Asia-Afrika, pertemuan multipolar pertama yang menegaskan sikap anti-imperialisme secara tegas, dan gerakan non-blok.<br /><br />Mao Tze Tung, dalam tulisan berjudul The Chinese Revolution and the Communist Party of China, membedakan dua tipe borjuis di negeri jajahan; borjuis besar (komprador) dan borjuis nasional. Para borjuis besar komprador menjadi pelayan bagi kapitalis, yang, pada gilirannya, akan memelihara eksistensi modalnya di negeri colonial. Sementara borjuis nasional tertindas oleh imperialism, dan perkembangannya di dalam negeri dibatasi oleh syarat-syarat feodalisme.<br /><br />Michael Kalecki, seorang ekonom terkenal, berusaha menjelaskan perbedaan di negeri dunia ketiga ini, Negara bekas jajahan. Negara dunia ketiga, menurut Kalecki, dihasilkan bukan oleh kebanyakan kaum borjuis mereka, melainkan kalangan borjuis kecil progressif. Menurutnya, borjuis sendiri lebih senang berintegrasi dengan imperialisme atau capital metropolitan. Negara paska-kolonial, pendek kata, merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan dari warisan perjuangan anti-kolonialnya.<br /><br />Kalangan borjuis tadi, yang kebanyakan menghendaki “satu lintasan” dengan modal metropol, akhirnya mencari segala macam cara untuk merapatkan Negara paska-kolonial dengan modal metropol. Salah satu caranya adalah melalui ilmu ekonomi. Ketika sudah merdeka, maka borjuis “tanpa keringat” itu minta jatah dalam porsi besar dalam struktur Negara baru. Ini pilihan terbaik untuk menjaga kelangsungan modal mereka, dan mengundang kembali kedatangan modal metropolitan.<br /><br />Menyadari arti penting ketergantungan dunia ketiga terhadap Negara-metropolitan, kaum borjuis itu kemudian mengirimkan anak-anak mereka, pemuda-pemuda polos, dan intelektual pilihan mereka untuk menimbah ilmu di Barat. Mereka bukan saja mempelajari perkembangan teknik dan ilmu pengetahuan, tetapi mendapat pendidikan khusus soal bagaimana mengambil alih “keputusan” ekonomi di negeri dunia ketiga. Di Indonesia, mereka diberi cap sebagai “mafia Barkeley”.<br /><br />Setelah kembali dari Eropa, para teknokrat baru ini mulai ditempatkan di pos-pos penting pemerintahan, dan mereka mulai mendesakkan usul “reformasi” ekonomi. Mereka membangun klik dengan para borjuis “tanpa keringat” tadi, dan dibelakang mereka telah berdiri kepentingan Negara-negara imperialis.<br /><br />Kudeta “Lain”<br /><br />Pada kenyataannya, para teknokrat ini telah melancarkan “kudeta” tertutup terhadap kekuasaan politik formal, bukan dengan todongan senjata dan mengerahkan tank-tank militer, tetapi pengambilan “tongkat komando” ekonomi. Selama kekuasaan Orde baru hingga saat ini, para teknokrat ini benar-benar menjadi dictator dalam kehidupan ekonomi, baik secara akademis maupun politis.<br /><br />Warisan perjuangan anti-kolonial telah dicampakkan, dimasukkan dalam peti museum sejarah, dan ideology serupa dicap ‘dekaden” dan ketinggalan jaman. Ada begitu banyak keputusan ekonomi berada di luar lembaga politik formal (eksekutif dan parlemen), melainkan diputuskan oleh semacam “senat virtual”—demikian Noam Chomsky menyebutnya. Sebagian besar keputusan-keputusan penting tidak lagi diadopsi oleh parlemen, melainkan oleh entitas2 yang berada di luar kontrolnya: agen-agen finansial internasional yang besar (IMF, World Bank), bank sentral yang otonom, korporasi transnasional besar dan organisasi keamanan nasional.<br /><br />Anda tentu menyadari, bahwa konstitusi kita masih menyisakan watak anti-kolonial-nya, seperti pasal 33 UUD 1945 itu. Akan tetapi, sejak dahulu, pasal-pasal anti-kolonial ini telah dicampakkan oleh para teknokrat pro-barat ini ke “keranjang sampah”. Sejak awal, perilaku dan tindak-tanduk mereka telah inkonstitusional. Namun mereka membayar ahli hukum untuk membenarkan tindakannya, meskipun masih ada banyak ahli hukum yang tak mau di bayar dan menentang. Untuk itu, seperti dikatakan Hebert Adam, manipulasi legalitas dapat mengantarkan seseorang atau kelompok politik untuk berkuasa, plus dengan dukungan hukum.<br /><br />Kalau kediktatoran politik ala Orde Baru berdiri selama 32 tahun, maka kediktatoran para teknokrat pro-barat ini masih berjalan efektif hingga saat ini. Hanya saja, paska pilpres kemaren, hegemoni mereka mulai diguncang oleh intelektual progressif—demikian saya menyebutnya.<br /><br />Anda tentu menyaksikan dalam rapat Pansus; bagaimana ekonom-ekonom pro-barat yang sudah berkuasa sejak puluhan tahun, mulai ditentang dan dikuliti kebusukannya oleh ekonom-ekonom yang, sedikit dan banyaknya, mewarisi semangat anti-kolonial. Ini, tentu saja, merupakan gejala mengeroposnya dinding tebal “hegemoni” ekonom arus utama—Neoklasik.<br /><br />Meskipun ini hanya di bidang ekonomi, tetapi apa bedanya dengan kudeta militer di bidang politik, toh korban dari pilihan kebijakan ekonomi ini tidaklah sedikit; seluruh rakyat Indonesia, selama puluhan tahun, dan---mengutip Budiono-- berdampak sistemik.<br /><br /><em>Penulis adalah peneliti di Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin Redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.</em><br /></p>Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-2074877794176982342010-01-29T20:50:00.001+07:002010-01-29T20:52:47.242+07:00Demokrasi versus Media Mainstream<p>oleh : Rudi Hartono</p><p>Disadur dari : http://arahkiri2009.blogspot.com/2010/01/demokrasi-versus-media.html</p><p>Teman saya pernah mengatakan: “ media itu suka membeserkan masalah-masalah kecil dan remeh temeh, namun seringkali mengecilkan persoalan-persoalan besar. Dan, menurut saya, ini semakin nampak ketika media berdiri melakukan pembelaan terhadap kekuatan-kekuatan besar di belakangnya; relasi pemilik media dan kekuasaan.<br /><br /><br />Dalam kasus George Aditjondro, misalnya, ketika meluncurkan buku “Gurita Cikeas”, media punya andil besar dalam melemparkan justifikasi bahwa buku ini kurang ilmiah, kurang valid, dan terkesan sekedar mencari sensasi. Ini didapatkan dari teknik media menghadirkan beberapa narasumber yang, dalam beberapa kasus, bertindak sebagai pembela kekuasaan.<br /><br />Dalam kasus lain, isu bailout Bank Century telah dikunci sedemikian rupa menjadi perdebatan soal apakah Bank Century berdampak sistemik atau tidak. Kenapa tidak membuka perdebatan untuk menelanjangi apakah bailout satu-satunya pilihan antisipatif terhadap krisis atau ada pilihan lain, misalnya.<br /><br />Objektif dan Netral<br /><br />Posisi media digambarkan sebagai objektif dan netral—tidak memihak dan berada di atas segala kepentingan kekuasaan. Media hanya berusaha menyampaikan kebenaran kepada publik, tidak lebih. Namun begitu, bercermin dengan situasi akhir-akhir ini, superioritas moral media dalam hubungannya dengan politik kelas dan negara adalah mitos terbesar dalam setiap demokrasi kapitalis.<br /><br />Terkait ini, menurut Edward S Herman dan Noam Chomsky, merupakan bentuk ketundukan media terhadap pemilik media dan klas berkuasa. Ini juga termasuk kontrol penguasa dan bisnis besar dalam bentuk kepemilikan langsung dan ketergantungan secara langsung media terhadap iklan dari pemerintah dan bisnis besar.<br /><br />Ini, pada akhirnya, mempengaruhi media dalam menggunakan narasumber untuk menjelaskan atau memposisikan sebuah persoalan krusial, seperti isu politik, ekonomi, dan persoalan sosial. Mereka seringkali menggunakan narasumber dari pejabat pemerintah, pengamat ‘independen’, dan think-thank kelas penguasa.<br /><br />Propoganda bisa efektif, kata Michael Parenti, sangat dipengaruhi oleh, antara lain, kemampuan membungkus kepalsuan. Pengaturan nada bicara, pakaian, pemaparan berita, pilihan fhoto, efek visual dapat menjadi unsur pendukung untuk mengontrol dan mengendalikan emosi pemirsa agar menyakini kebenaran informasi media.<br /><br />“Netral dan bebas dari kepentingan politik”, ini merupakan bentuk penyelundupan terhadap nilai-nilai yang kondusif bagi kepentingan bisnis dan kelompok politik yang dekat dengan mereka. Ini sekaligus menjadi mekanisme penyaringan (filter) terhadap isu-isu kontroversial yang perlu diangkat dan mana yang dikesampingkan.<br /><br />Dengan kepemilikan media di tangan segelintir tangan, yang juga merupakan turunan oligopoly media internasional, peran mereka semakin dominan dalam mengontrol akses informasi terhadap masyarakat. Di Indonesia, saluran informasi telah dimonopoli oleh segelintir tangan yang mengendalikan saluran TV besar dan Koran-koran cetak.<br /><br />Membunuh Demokrasi<br /><br />Bagi kaum demokrat, kontrol media di segelintir tangan dan keterkaitan mereka dengan ideologi kelas berkuasa adalah sebuah bencana. Demokrasi sangat bergantung kepada akses informasi dan pendidikan umum. Namun, ketika berada di bawah kontrol oligopolies dan oligarkhi, media telah menjadi senjata untuk memanipulasi informasi dan memberangus fikiran kritis di tengah masyarakat.<br /><br />Seperti dikatakan James Madison, “ Pemerintahan populer tanpa informas yang populer, atau cara memperolehnya, hanyalah sebuah prolog untuk sebuah “lelucon” atau “tragedy”, bahkan keduanya. Dari pengertian ini, kita coba balikkan, bahwa sebuah pemerintahan gagal dapat menjadikan berhasil, kalau media bisa mengubur informasi mengenai kegagalannya dan hanya menampakkan prestasi yang dibuat-buat.<br /><br />Dalam beberapa tahun terakhir, Menurut Noam Chomsky, keberhasilan demokrasi borjuis tidak lepas dari jasa media untuk menyakinkan masyarakat, bahwa gambaran dunia saat ini merupakan bentuk terbaik dan tidak ada pilihan lain yang lebih baik –There is Not Alternative (TINA). Di tangan media, sebuah propaganda besar-besaran disusun untuk mendiskreditkan ideologi atau fikiran-fikiran yang menawarkan masa depan. Mereka memvonis fikiran-fikiran tersebut sebagai ekstremisme, irasional, dan mesianik.<br /><br />Melalui kotak yang bernama televisi, ajaran-ajaran liberalisme disebar-luaskan kepada massa rakyat, berupa pola hidup, filosofi liberalisme, individualisme, sisnisme, dsb, yang, pada prakteknya, benar-benar efektif mendepolitisasi massa rakyat.<br /><br />Demokrasi jenis apapun, menurut Andrés Pérez Baltodano, selalu membutuhkan konsensus dari mayoritas luas mayarakat, tidak terkecuali demokrasi liberal. Dalam proyek ini, media kapitalis berfungsi sebagai “pabrik konsensus”, dimana berbagai kepentingan politis, ekonomis, dan ideolgis kelas dominan coba dipaksakan diterima secara sukarela oleh kelas-terhisap (mayoritas). Media massa di tangan segelintir elit, kata semiologist Buen Fernando, pasukan ideologi dari klas berkuasa, bersenjatakan fitnah, kebohongan, dan manipulasi informasi.<br /><br />Media Alternatif<br /><br />Kontrol segelintir elit terhadap media merupakan hasil perampasan elit-elit komersil terhadap sarana komunikasi. Akibatnya, mayoritas rakyat kehilangan akses terhadap sarana-sarana berkomunikasi yang massal, seperti TV, Radio, Koran, dsb. Lebih jauh lagi, klas berkuasa telah memperkuat persenjataan ideologisnya, sementara mayoritas kaum terhisap kehilangan saran untuk menyuarakan kepentingannya. Ini adalah makna penting media alternatif, yakni sebagai alat pertahanan ideologis rakyat kita menghadapi ideologi hegemonik klas berkuasa.<br /><br />Di Uruguay, lagi-lagi kita bercermin ke sana, gerakan progressif berhasil menghidupkan mesin-mesin propaganda, khususnya media massa, baik dalam perjuangan melawan kediktatoran maupun melawan neoliberalisme. FA memiliki sebuah koran berwarna bernama “La Juventud” (Pemuda). La Juventud diprakarsai oleh Gerakan 26 Maret (M 26), sebuah partai marxist di dalam Frente Amplio, dengan mengintegrasikan laporan sosial dan politik dengan fitur-fitur populer, seperti cuaca, sepak bola, hiburan, dan acara TV. Mereka sangat menonjolkan sepak bola, karena olahraga ini telah menjadi kegemaran rakyat di seluruh negeri.<br /><br />MLM, salah satu sayap dalam FA, juga berhasil mengorganisasikan radio alternative, yaitu CX 44 Radio Panamericana. Meskipun berhadapan dengan lisensi dan pembredelan pemerintah, radio ini tetap eksis sebagai jaringan radio bawah tanah (clandestein). Selain itu, FA juga masih memiliki jaringan radio lain, Radio 36 Centenary, yang aktif membuat diskusi dan sajian-sajian acara populer di telinga rakyat. Dengan kehadiran media-media alternative ini, sedikit 3,1 juta orang rutin menerima aksi berita dari kalangan pergerakan.<br /><br />Di El Salvador, gelora perjuangan media alternative juga cukup menggelora, dan punya andil dalam menemani perjuangan gerilya. Diario Co-Latina, sebuah majalah populer, sudah berkali-kali mengalami pembakaran, pemboman, dan akhirnya diambil alih pihak militer. Majalah ini sangat digemari pembaca, terutama karena bahasa-bahasa populer dan sajian yang menarik bagi kalangan bawah.<br /><br />Media lainnya, Radio Venceremos ( "Kami akan menang"), adalah radio yang sangat berkontribusi dalam perjuangan Sandinista. Radio ini bukan hanya menjadi penghubung bagi gerakan gerilya, tetapi juga bagi dunia internasional. Karena radio ini dapat disiarkan dalam lima bahasa.<br /><br />Saat ini, media-media alternatif tumbuh subur di berbagai kawasan perlawanan di Amerika Latin, seperti radio komunitas, surat kabar, jaringan penjual DVD perjuangan sosial, TV, dan lain sebagainya. Di Chili, pada bulan Juli 2009, telah berdiri jaringan media rakyat, yang mengaitkan berbagai media alternatif, seperti surat kabar, situs web, radio, dan Televisi.<br /><br />*) Penulis adalah Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), Pemimpin redaksi Berdikari Online, dan Pengelola Jurnal Arah Kiri.<br /></p>Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-24486190818055830992010-01-29T20:12:00.001+07:002010-01-29T20:14:34.115+07:00Prinsip Sistem Peradilan IndonesiaSecara pokok ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan, yaitu:<br /><strong>1.The Principle of judicial independence</strong><br /> Diwujudkan dalam sikap hakim yang bebas dalam memutus suatu perkara yang dihadapinya<br /><strong>2.The Principle of judicial impartiality</strong><br /> Diwujudkan dengan sikap hakim yang netral atau tidak memihak dalam menghadapi suatu perkara dimana sikap imparsial tersebut tidak terbatas pada tindakan hakim tetapi bagaimana sikap hakim tersebut dalam menjalankan tugasnya.<br /> Adapun kedua prinsip itu merupakan suatu prasyarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum modern, meski demikian dari perspektif hakim sendiri berkembang pula pemikiran mengenai prinsip-prinsip lain yang dianggap penting. Salah satu perkembangan atas prinsip-prinsip itu adalah apa yang tertuang dalam The Bangalore Principles yang meliputi:<br /> 1.Indepedensi<br /> 2.Ketidakberpihakan<br /> 3.Integritas<br /> Merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara yang menjalankan tugas jawabannya.<br /> 4.Kepantasan dan sopan santun<br /> 5.Kesetaraan<br /> Merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang.<br /> 6.Kecakapan dan keseksamaanHwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-60301226667012415262010-01-29T19:58:00.002+07:002010-01-29T20:09:56.844+07:00Sejarah Sistem Peradilan IndonesiaSistem peradilan nasional adalah suatu keseluruhan komponen peradilan nasional baik dari segi pihak-pihak dalam proses peradilan, hirarki kelembagaan peradilan maupun aspek-aspek lain yang bersifat prosedural dimana seluruh komponen tersebut saling berkait dengan sedemikian rupa, sehingga terwujud suatu keadilan hukum<br /> Adapun tujuan dari adanya suatu sistem peradilan nasional adalah untuk mewujudkan keadilan hukum bilamana sistemnya berfungsi dengan baik. Komponen-komponen itu antara lain sebagai berikut :<br /> <strong>a. Materi hukum materiil dan hukum acara.</strong><br /> Hukum materiil berisi himpunan peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah ataupun larangan-larangan, sedangkan yang dimaksud dengan hukum acara adalah himpunan peraturan yang memuat tata cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil dengan kata lain, suatu perkara ke muka pengadilan dan tata cara hakim memberi keputusan.<br /> <strong>b. Prosedural</strong><br /> Yakni proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam pengadilan<br /> c. Budaya hukum<br /> Para pihak yang berkait dalam proses peradilan <br /> d. Hirarki<br /> Kelembagaan peradilan merupakan susunan lembaga peradilan yang secara hirarki memiliki fungsi dan kewenangan sesuai dengan lingkungan peradilan masing- masing.<br /><p><strong>Sejarah</strong><br /></p> Sejarah sistem peradilan Indonesia dapat dibagi dalam beberapa tahap:<br /> <strong>1. Masa Kerajaan</strong><br /> - Sistem peradilan dikuasai sepenuhnya oleh raja karena konsep Trias Politica belum dikenal (kekuasaan raja masih absolut) dengan hukum adat daerah masing-masing sebagai hukum yang berlaku.<br /> - Perubahan terhadap sistem peradilan terjadi pada abad VII hingga abad XIV dimana penggunaan hukum adat juga ditambah dengan hukum agama Hindu. Pada masa ini mulai dikenal suatu bentuk pemisahan di antara peradilan raja dengan peradilan yang dilakukan oleh pejabat tertentu. Peradilan yang dilakukan oleh pejabat tertentu itu meliputi perkara pradata (perkara yang menjadi urusan raja) dan perkara padu (bukan urusan raja).<br /> - Perubahan berikutnya terjadi pada abad XIV dimana hukum di Indonesia mendapat pengaruh dari hukum Islam. Hukum Islam pada masa itu mulai menggantikan kedudukan hukum Hindu. Tempat pengadilan pada masa ini adalah di serambi Mesjid Agung. Perkara pada urusan pengadilan ini disebut kisas. Pimpinan pengadilan pada masa ini beralih dari raja pada penghulu sebagai perpanjangan tangan raja dengan dibantu oleh beberapa alim ulama sebagai anggotanya. Penyelesaian masalah dilakukan dengan cara musyawarah mufakat pada masa ini dan raja akan mengambil keputusan sesuai dengan usulan dari pengadilan.<br /><strong>2.Masa Kolonial Belanda</strong><br />Dibagi dalam 2 daerah :<br /> a. Daerah langsung<br /> Merupakan daerah yang diperintah langsung oleh Belanda. Peradilan itu meliputi :<br /> 1. Landraad<br /> 2. Raad van Justitie--> peradilan tingkat banding (tingkat pertama untuk orang Eropa)<br /> 3. Hooggerechtshof-->peradilan tingkat kasasi<br /> b. Daerah tidak langsung<br /> Merupakan daerah pemerintahan tidak langsung Belanda yang diwakili oleh raja-raja. Lembaga peradilannya meliputi:<br /> 1.Peradilan gubernemen<br /> 2.Peradilan swapraja<br /> Terhadap orang Indonesia, ada tiga peradilan pemerintah meliputi:<br /> 1.Peradilan distrik<br /> Untuk perkara ringan<br /> 2.Peradilan kabupaten<br /> Untuk perkara yang lebih besar<br /> 3.Landraad<br /> Ada suatu dualisme sistem peradilan.<br /><strong>3.Masa pendudukan Jepang</strong><br />Berdasarkan pada UU No. 14 tahun 1942, pemerintahan pendudukan Jepang mendirikan pengadilan-pengadilan sipil yang mengadili perkara pidana dan perdata. Pengadilan-pengadilan sipil itu antara lain:<br /> 1. Gunsei Hooin (pengadilan pemerintahan balatentara)<br /> Berlaku untuk semua penduduk Hindia Belanda<br /> 2.Semua badan pengadilan dan pengadilan dari pemerintah Hindia Belanda kecuali beberapa diantaranya yang diubah, seperti:<br /> - Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)<br /> - Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Hakim kepolisian)<br /> - Regentscahgerecht menjadi Ken Hooin (pengadilan kabupaten)<br />Dan berdasarkan UU No.34 tahun 1942 (Osamu Seirei), dibentuk pula :<br /> 1. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi)<br /> 2. Saikoo Hooin (pengadilan Agung)<br /> Akan tetapi sistem peradilan pada saat itu tidak dapat berlangsung dengan sebagaimana mestinya karena kebanyakan orang yang ditangkap oleh pemerintah pendudukan Jepang saat itu tidak pernah melalui proses pengadilan.<br /><strong>4.Masa Kemerdekaan</strong><br />Wilayah peradilan terbagi 3, yaitu:<br /> - Daerah yang dikuasai Republik<br /> Berdasarkan UU No.19 tahun 1948, peradilan Indonesia terdiri dari:<br /> a. Peradilan umum<br /> b. Peradilan TUN<br /> c. Peradilan ketentaraan<br /> Dilengkapi dengan kejaksaan dalam peradilan umum yang terdiri dari:<br /> a. Kejaksaan negeri<br /> b. Kejaksaan tinggi<br /> c. Kejaksaan agung<br /> - Daerah yang dikuasai Belanda<br /> Lembaga pengadilan yang dibentuk adalah berupa Landrechter- landrechter untuk menangani masalah-masalah perkara pidana sipil<br /> - Daerah negara-negara bagian:<br /> a. Negara Pasundan<br /> Lembaga peradilannya terdiri dari Pengadilan Negara dan Mahkamah Negara<br /> b.Negara Sumatra Timur<br /> Lembaga peradilannya terdiri dari Pengadilan Negara dan Mahkamah negara<br /> c. Negara Indonesia Timur<br /> Lembaga peradilannya terdiri dari :<br /> - Negorijrechtbanken<br /> - Districtsgerechten<br /> - Pengadilan Negara<br /> - Mahkamah JustitieHwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-89387331544346861382010-01-22T21:11:00.001+07:002010-01-22T21:13:44.166+07:00Analisis Putusan MA No. 1226 K/Sip/1977Putusan MA No. 1226 K/Sip/1977<br />Tanggal 22 Mei 1978<br /><br />A. Kaidah Hukum : Soal besarnya ganti rugi (karena meninggalnya anak penggugat oleh tidak hati- hatinya tergugat) dalam soal ini pada hakikatnya lebih merupakan soal kelayakan<br /> dan kepatutan, yang tidak dapat didekati dengan suatu hukum;<br /><br />B. Identitas Para Pihak :<br />1.Penggugat :<br />a. Nama : A. Thamrin<br />b. Alamat : Jln. Kebon Kosong 20 No. 5, Jakarta<br />2.Tergugat :<br />a. Tergugat 1 :<br />Nama : PT. Merantama;<br />Alamat : Jln. Garuda No. 30, Jakarta;<br /> b. Tergugat II :<br />Nama : Harun Al Rasjid;<br />Alamat : Jln. Menteng Belakang No. 62, Bogor;<br /><br />C. Duduk Perkara :<br />Bahwa pada tanggal 22/4/1971 pada jam 10.15 anak Penggugat yang pada waktu itu sedang mengendarai sepeda di Jln. Keramat Raya di depan gang Lontar di muka rumah No. 87 telah ditabrak oleh bus Meratama milik Tergugat I yang dalam hal ini dikendarai oleh Tergugat II;<br />Bahwa akibat kejadian itu, anak Penggugat meninggal seketika di tempat kejadian;<br />Bahwa pada tanggal 19 September 1973 Tergugat II telah dihukum secara pidana akibat perbuatannya tersebut;<br />Bahwa anak Penggugat adalah seorang anak yang diharapkan oleh keluarganya, dan karenanya pihak Penggugat merasa sangat dirugikan sehingga mengajukan gugatan ganti rugi;<br /><br />D. Putusan PN :<br /> a. Putusan :<br />Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;<br />Menghukum Tergugat I dan II secara tanggung renteng untuk membayar ganti kerugian pada Penggugat sebesar Rp 10.000.000,- ditambah dengan bunga sebesar 6% setahun sejak perkara ini diajukan di pengadilan sampai di bayar lunas;<br />Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada banding kasasi dan perlawanan lainnya;<br />Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara;<br /> b. Pertimbangan Hukum :<br />Bahwa nyawa manusia tidak dapat diukur dengan apapun dan mengenai masalah ganti kerugian itu hanya sekedar suatu bentuk kelayakan semata;<br /><br />E. Putusan PT :<br /> a. Putusan :<br />Menerima permohonan banding;<br />Menguatkan Putusan PN Jakarta Pusat;<br />Mengabulkan gugatan terbanding penggugat untuk sebagian;<br />Menghukum pembanding dahulu Tergugat I dan turut terbanding dahulu Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi kepada terbanding dahulu penggugat sebesar Rp 1.500.000,- ditambah dengan bunga sebesar 6% setahun sejak perkara ini diajukan di Pengadilan sampai dibayar lunas;<br />Menolak gugatan selebihnya;<br />Menghukum pembanding dahulu gugatan I untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkatan;<br /> b. Pertimbangan Hukum :<br />Bahwa menyebabkan matinya orang lain adalah suatu perbuatan melawan hukum, walaupun peristiwa itu terjadi secara tidak sengaja;<br />Tujuan lembaga ganti kerugian dalam hukum adat adalah untuk memulihkan perimbangan hukum;<br />Bahwa ganti rugi dapat diminta dalam bentuk uang;<br />Majikan bertanggung jawab atas perbuatan pegawainya dalam lingkup pekerjaan;<br /><br />F. Putusan MA (Kasasi) :<br /> a. Alasan Pengajuan Kasasi :<br />1.Penggugat :<br />- Bahwa meskipun Putusan PT sama dengan PN, kenapa jumlah ganti <br /> ruginya hanya sebesar Rp 1.500.000,-<br />- Bahwa keputusan hukum terhadap Tergugat II bukanlah suatu pemulihan<br /> terhadap keseimbangan dalam hukum adat;<br />2.Tergugat I :<br />- Bahwa PN dan PT tidak memperhatikan memori banding Tergugat bahwa :<br />- Tidak ada hubungan kerja antara Tergugat I dan Tergugat II;<br />- Tidak ada perbuatan melawan hukum dalam tabrakan tersebut;<br />- Tidak jelas apakah Tergugat II dapat dipertanggung jawabkan;<br /> - Bahwa tidak tepat putusan PT mendasarkan putusan pada hukum adat;<br /> - Bahwa PT salah dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa tidak perlu dipersoalkan lagi soal menyebabkan matinya orang lain adalah perbuatan melawan hukum;<br /> - Bahwa PN salah dalam keputusannya bahwa karena tidak disangkal<br /> kemudian dianggap terbukti (dalam hubungan kerja antara Tergugat I dan II);<br /> - Bahwa PN salah karena telah menyimpulkan adanya perbuatan melawan hukum atas dasar Tergugat II telah dihukum penjara 8 bulan dengan masa percobaan 2 tahun;<br /> - Bahwa karena tabrakan itu soal kecelakaan maka kesalahan hanya dapat ditimpakan pada sopir saja;<br /> b. Putusan Kasasi :<br />Menolak permohonan kasasi dari Penggugat dan Tergugat I dengan perbaikan putusan PT Jakarta Pusat tanggal 10 Januari 1977 No. 77/1976/PT. Perdata sehingga menjadi :<br />- Menghukum Tergugat I dan II secara tanggung renteng untuk membayar ganti <br /> kerugian pada Penggugat sebesar Rp 10.000.000,- ditambah dengan bunga sebesar <br /> 6% setahun sejak perkara ini diajukan di pengadilan sampai di bayar lunas;<br />Menghukum Tergugat I untuk membayar biaya perkara untuk kasasi;<br /> c. Pertimbangan Hukum :<br />Penggugat :<br />- Soal besarnya ganti rugi dalam soal ini pada hakikatnya lebih merupakan soal <br /> kelayakan dan kepatutan, yang tidak dapat didekati dengan ukuran apapun;<br />Tergugat I :<br /> - Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat tidak salah dalam menerapkan hukum<br /><br />G. Analisis<br /> Yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain (pasal 1365 KUHPer). Perbuatan melawan hukum memiliki 3 kategori, yaitu:<br />Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan<br />Perbuatan melawan hukum tanpa unsur kesalahan<br />Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.<br /> Dan perlu dipahami juga apabila perbuatan melawan hukum tidak disebabkan oleh wanprestasi kontrak.<br /> Dalam kasus ini, dapat kita lihat bahwasannya jika kasus ini disebabkan oleh perbuatan melawan hukum karena kelalaian yang dilakukan oleh Tergugat II yang saat itu terikat hubungan kerja dengan Tergugat I hingga menabrak anak dari Penggugat I. Seperti yang kita ketahui bahwa suatu bentuk kelalaian yang menyebabkan matinya seseorang telah diatur dalam KUHP, lantas jika memang demikian, apa hubungannya dengan perbuatan melawan hukum.<br /> Oleh karena itu perlu kita lihat unsur pasal 1365 KUHPer:<br />Setiap perbuatan<br />Bahwa yang dimaksud dengan perbuatan dalam hal ini tidak terbatas semata pada hal perdata tetapi juga menyangkut perbuatan lain apabila perbuatan itu dirasa bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku di masyarakat<br />Melanggar hukum<br />Membawa kerugian bagi orang lain<br />Bahwa dalam hal ini ada pihak lain yang dirugikan oleh karena perbuatan tersebut<br />Ganti Kerugian<br />Oleh karena kerugiannya yang ditanggung, pihak yang mengalami kerugian dalam meminta ganti rugi pada pelaku perbuatan tersebut secara perdata.<br /> Dilihat dari unsur pasal di atas, maka jelas bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat II termasuk dalam perbuatan melawan hukum dan dalam hal ini, putusan Pengadilan Tinggi menegaskannya.<br /> Dan melihat secara keseluruhan putusan ketiga lembaga pengadilan tersebut (PN, banding dan kasasi), dapat dikatakan jika ketiganya telah menerapkan hukum dengan benar (dimana dalam hal ini saya katakan jika saya setuju). Bahwa benar jika tujuan lembaga ganti kerugian dalam hukum adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan hukum. Dalam hal ini saya tegaskan bahwa bukankah itu adalah salah satu dari tujuan dari hukum itu sendiri, terlepas dari apakah itu hukum adat atau hukum negara.<br /> Bahwa dengan dibawanya Tergugat I sebagai salah satu pihak Tergugat juga adalah tepat karena hal ini juga sesuai dengan pasal 1367 KUHPer dimana dikatakan terutama sekali pada ayat (3) yang menyatakan bahwa :<br /> “Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka didalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.”<br /> Perlu diingat dalam hal ini saya menggunakan kaidah hukum yang lama dimana UU Ketenagakerjaan belum ada dan berlaku sebagai undang-undang. Unsur dari pasal itu adalah sebagai berikut:<br />Majikan-majikan<br />Dalam hal ini Tergugat I berperan sebagai majikan yang mempekerjakan Tergugat II sebagai seorang supir.<br />Mengangkat orang lain<br />Mewakili urusan-urusan mereka<br />Dalam hal ini Tergugat II mewakili kepentingan Tergugat I dalam melakukan pekerjaannya dalam bidang transportasi<br />Bertanggung jawab atas kerugian<br />Bawahan selama melakukan pekerjaan<br />Dalam hal ini Tergugat II melakukan kesalahan dengan menabrak anak Penggugat<br /> Jadi dari hal-hal yang saya sebutkan di atas, tampak jelas jika keterlibatan Tergugat I dalam hal ini adalah jelas sehingga apakah soal Tergugat I adalah pantas untuk menjadi Tergugat tidak usah dipertanyakan lagi.<br /> Dan juga adalah benar apabila ganti rugi itu tidak terbatas pada bentuk tertentu selama bentuk ganti rugi itu tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.<br /> Mengenai kaidah hukum yang dijadikan dasar baik oleh Pengadilan pada tingkat PN, banding dan kasasi bahwa :<br /> “Soal besarnya ganti rugi (karena meninggalnya anak penggugat oleh tidak hati-hatinya tergugat) dalam soal ini pada hakikatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan, yang tidak dapat didekati dengan suatu hukum”<br /> Hal itu adalah tepat sebab memang tidak ada suatu peraturan khusus yang menentukan besarnya jumlah ganti kerugian tersebut dan jika memang demikian, bagaimana cara menentukan besarnya jumlah ganti rugi tersebut? Tentunya kita tidak akan bisa menggunakan hukum oleh karenanya karena semuanya kembali pada masalah kepatutan dan kelayakan yang kiranya dapat diterima oleh kedua belah pihak.Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-74175487941154660902010-01-22T20:51:00.000+07:002010-01-22T20:52:40.673+07:00PERANAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN EKONOMITer Haar menyatakan bahwa untuk suatu kaidah hukum harus terlebih dahulu diakui sebagai suatu kebiasaan di dalam masyarakat, sehingga sudah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat yang bersangkutan. Pandangan seperti ini kiranya adalah sesuai dengan suatu pemikiran yang mengatakan bahwa hukum selalu tertatih-tatih mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat. Ketidakberdayaan tersebut juga meliputi kekurangmampuan hukum dalam mengikuti perkembangan ekonomi yang ada dan memperngaruhi masyarakat.<br /> Hal ini selanjutnya akan membawa kita pada pertanyaan akan kebenaran dari perkataan yang telah diajukan di atas, apakah memang benar demikian adanya? Dalam menanggapi hal ini, Roscoe Pound tidak sependapat dengan pendapat sebelumnya dengan teorinya yang berkata bahwa hukum adalah “hukum adalah alat perubahan social”.<br /> Berdasarkan teori tersebut, Roscoe Pound hendak menjelaskan bahwa sesungguhnya dalam masyarakat, hukum juga dapat mendahului perubahan yang ada, ia bahkan juga bisa merekayasa suatu keadaan yang tidak ada menjadi ada. Ada 4 macam fungsi hukum :<br />Hukum sebagai pemelihara ketertiban<br />Hukum sebagai sarana pembangunan<br />Hukum sebagai sarana penegak keadilan<br />Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat<br />Beranjak dari keempat fungsi hukum yang diatas, dimana keempat fungsi itu sesungguhnya saling berkaitan satu dengan yang lain. Hukum telah menjadi suatu sarana yang cukup penting dalam proses pembangunan. Kajian atas peranan hukum dalam pembangunan ekonomi itu sendiri kiranya terbagi dalam 2 kelompok, yaitu :<br />1.Satu kelompok yang hanya membahas norma-norma hukum yang berhubungan dengan ekonomi dan norma-norma hukum itu dikelompokkan dalam satu kelompok sebagai hukum ekonomi<br />2.Kelompok yang membahas bagaimana hukum itu berperan dalam pembangunan ekonomi tanpa mempersoalkan mana saja kelompok hukum yang termasuk dalam kelompok hukum ekonomi.<br />Sarjana hukum Indonesia kirannya lebih banyak termasuk dalam kelompok pertama seperti :<br />1.Dr. Sunaryati Hartono, S.H.<br />Hukum ekonomi merupakan penjabaran dari Hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi social sehingga hukum ekonomi memiliki 2 aspek:<br />a.Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi dalam arti peningkatan kehidupan ekonomi secara keseluruhan<br />b.Aspek pengaturan usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara merata di seluruh lapisan masyarakat.<br />2.Dr Rochmat Soemitro, S.H.<br />Hukum ekonomi adalah keseluruhan norma-norma yang dibuat oleh masyarakat sebagai satu personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan ekonomi di mana kepentingan individu dan kepentingan masyarakat saling berhadapan.<br />3.Sumantoro<br />Hukum ekonomi adalah seperangkat norma-norma yang mengatur hubungan kegiatan ekonomi, dan secara substansional sangat dipengaruhi oleh system ekonomi yang digunakan oleh Negara yang bersangkutan.<br />4.Dr. Daoed Joesoef<br />Hukum ekonomi adalah peraturan dan ketentuan umum yang menghadapkan kekuasaan pemerintah dengan pihak swasta yang menghendaki ekonomi bebas.<br />Lantas bagaimana dengan kelompok kedua? Dalam hal ini, Hans D. Jarass memberikan penekanan pada definisi regulation. Menurutnya, regulation sering dipakai dalam arti sebagai aktivitas pemerintahan yang berhubungan dengan ekonomi, sehingga de-regulation akan berarti pemerintah melepaskan keikutsertaannya dalam ekonomi.<br />Menurut Jarass, instrumen kebijakan ekonomi itu meliputi :<br />1.Uniateral regulation of private activity<br />Hukum adalah instrumen kebijakan yang mengikat<br />2.Taxation of private activity<br />Pengenaan pajak untuk kontrol aktivitas ekonomi<br />3.Consensual constrains<br />4.Removal or relaxation of unilateral regulation<br />5.Other public benefits<br />6.Public sector management<br />7.InformationHwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-88044692926775928002010-01-22T20:45:00.000+07:002010-01-22T20:46:48.040+07:00Kontrol Yuridis Dalam Perkembangan Pemikiran HukumKontrol yuridis merupakan bagian dari perkembangan hukum dalam kehidupan bernegara dari awal, hingga abad modern ini. Pemikiran zaman dahulu sampai dengan abad ke XVIII yang lebih mengutamakan hukum alam yang menyatakan bahwa : 'segala-galanya berasal dari Tuhan dan alam tela menghasilkan suatu bentuk kekuasaan yang absolut. Kekuasaan yang demikian telah membuat hakim juga menjadi absolut dimana apapun yang diputuskan oleh hakim menjadi hukum dan segala yang dikatakan oleh hakim mengenai putusan-putusannya juga menjadi hukum. Akibat dari hal itu adalah timbulnya absolutisme hakim.<br /> Dalam perkembangan berikutnya, muncul reaksi-reaksi terhadap absolutisme hakim tersebut sehingga timbullah pemikiran bahwa hal itu harus dicegah. Kekuasaan hakim perlu untuk dibatasi guna menghindari suatu kesewenang-wenangan, akibatnya adalah muncul suatu pemikiran tentang pembagian kekuasaan. Dalam pemikiran itu, kekuasaan negara dibagi menjadi 3, yaitu : eksekutif, legislatif dan yudikatif.<br /> Dalam pelaksanaan pembagian kekuasaan itu, ketiga kekuasaan itu haruslah berada di tangan-tangan yang terpisah tetapi tidak ditutup suatu kemungkinan dimana organ-organ itu juga melaksanakan kedua fungsi-fungsi yang lainnya. Hal itu berakibat pada kurang maksimalnya kinerja lembaga-lembaga itu demi memenuhi kepentingan rakyat.<br /> Perkembangan ilmu hukum juga memunculkan aliran positivisme hukum yang menghendaki agar segala sesuatu tentang hukum harus dituangkan dalam suatu kaidah tertulis atau kodifikasi. Pada aliran ini, hakim hanya berlaku sebagai corong undang-undang. Paham ini hidup dan berkembang di Eropa Kontinental yang disebut dengan sistem hukum Civil Law, sementara di negara-negara Anglo Saxon, perkembangannya menjadi berbeda dengan Eropa Kontinental dimana sistem yang berlaku justru adalah kebalikan dari Civil Law.<br /> Dalam sistem yang disebut dengan Common Law, pengaruh dari hukum tertulis tidaklah begitu populer karena hukum diperoleh dari proses pengadilan (yurisprudensi).<br /><br />PTUN Dalam Sistem Hukum Civil Law dan Common Law<br /><br />Perkembangan sistem hukum pada Negara Civil Law berbeda dengan perkembangan pada Negara Common Law. Negara-negara penganut Civil Law mempunyai pengadilan administrasi sebagai pranata tersendiri, contoh dari hal ini adalah Prancis.<br /> Prancis menggunakan suatu pranata khusus pengadilan administratif yang dikenal dengan nama Tribunal Administratif. Mereka berdasarkan ada hukum administratif. Adapun berbicara mengenai hal ini, perlu diketahu sekilas mengenai sejarahnya yang berawal dari lembaga penasihat kerajaan sebelum menjadi republik yang disebut Counseil D'Etat (semacam DPA) yang tugasnya adalah untuk mengawasi aparat-aparat kerajaan yang berbuat sewenang-wenang kepada rakyat. Dalam perkembangannya sendiri, lembaga ini kemudian berkembang menjadi Tribunal Administratif yang berpuncak pada Counsel D'Etat sebagai peradilan kasasi.<br /> Belanda sendiri memiliki bentuk peradilan yang serupa, yaitu Administratif Rechtpraak yang berpuncak pada Raad van Staat sementara di Italia adalah pada Counseil D'Etat. DI negara-negara tersebut peradilan kasasi untuk sengketa-sengketa administratif, adalah berbeda denan peradilan kasasi untuk sengketa-sengketa peradilan umum.<br /> Sementara di Indonesia, peradilan kita menganut sistem tunggal dimana pada tingkat kasasi hanya ada MA untuk semua perkara, atau dengan kata lain adalah hanya satu puncak peradilan saja, akan tetapi pada tingkatan pertama dan banding menganut sistem duality of jurisdiction.<br /> Dalam negara dengan sistem hukum Common Law, mereka tetap mempertahankan trias politica dimana masalah-masalah yang menyangkut sengketa hukum termasuk sengketa administrasi adalah tetap merupakan wewenang pengadilan. Penyelesaian sengketa hukum mereka tetap satu baik dalam tingkat pertama, banding maupun kasasi, yaitu melalui peradilan umum, tetapi mereka mengenal berbagai kuasi pengadilan di berbagai sektor pemerintahan untuk menyelasaikan sengketa administratif di tingkat awal.<br /> Pada tingkat pertama, sengketa administrasi diselesaikan di dalam berbagai kuasi-kuasi peradilan atau di lingkungan administrasi itu sendiri, dengan prosedur keberatan administrai dan banding administrasi. Yang bisa diselesaikan di peradilan umum hanya yang menyangkut judicial review saja, sedangkan yang dimaksud dengan merits review bukan merupakan wewenang dari pengadilan umum. Dalam hal ini, hakim harus memegang suatu prinsip bahwa hakim harus membatasi dirinya sendiri, tidak boleh terlalu jauh dari kursi pemerintahan, hakim tidak boleh bertindak seolah-olah menjadi atasan pemerintah dan sebagainya. Hal tersebut dikenal dengan 'batas-batas penilaian hakim' yang secara garis besar mengatakan bahwa hakim hanya berwenang pada segi yuridis tetapi tidak boleh meninjau kebijaksanaan pemerintah dari segi kebijakan.<br /> <br />Red and Green Light Theory<br /><br />Red Light Theory berasal dari suatu tradisi politik di abad ke 19 yang menjunjung tinggi paham Laissez faire yang menghendaki agar peran pemerintah dilakukan seminim mungkin terhadap hak-hak dan kegiatan-kegiatan individu. Penganut teori ini menghendaki agar sanksi-sanksi hukum diterapkan manakala telah terjadi penyalah gunaan kekuasaan yang tidak terkontrol lagi dan benar-benar mengancam kebebasan semua pihak.<br /> Sementara itu, green light theory berasal dari tradisi utilitarian yang berpendapat bahwa pengaruh-pengaruh politik dan sosiologi terhadap hukum tidak dapat dihindari. Penganut teori ini meragukan kualitas hakim pengadilan umum untuk menyidangkan suatu sengketa administrasi karena mereka tidak mendapatkan suatu pelatihan khusus tentang masalah-masalah pemerintahan. Mereka dapat memutus perkara administrasi jauh dari tujuan yang dikehendaki sehingga persoalan yang ada menjadi rumit. Dalam teori ini kewenangan pemerintah diperluas untuk membuat peraturan-peraturan sendiri, maupun pengawasan pengawasan sendiri, karena pembuat undang-undang (legislatif) dalam kenyataannya dianggap gagal untuk itu.<br /><br />Instrumen-instrumen Hukum di PTUN<br />1. Pengertian Sengketa Tata Usaha Negara (STUN)<br />a. Dalam undang-undang<br /> Yang dmaksud dengan kata sengketa dalam segi tata bahasa adalah 'sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan yang menjadi pertikaian dan perselisihan bahkan hingga menjadi perkara di pengadilan. Philipus M. Hadjon mengatakan jika sengketa di bidang hukum administrasi negara adalah sengketa yang lahir dari atau sebagai akibat pelaksanaan hukum administrasi negara oleh pemerintah. Atau, kompetensi peradilan administrasi negara adalah menyangkut perkara-perkara administrasi negara.<br /> Di dalam pengertian sengketa, tentunya ada pihak-pihak yang bersengketa baik dalam perkara perdata maupun dalam TUN. Dalam TUN disebut sebagai pihak penggugat dan tergugat. Dalam PTUN pihak penggugat terdiri dari orang atau badan hukum perdata, sedangkan pihak tergugat badan atau pejabat TUN. Kedua pihak tersebut mempunyai posisi yang permanen, artinya penggugat selalu orang atau badan hukum perdata sementara pihak tergugat selalu pihak pemerintah, tidak pernah sebaliknya. Oleh karena itu dalam PTUN tidak pernah ada gugatan rekonpensi yang memungkinkan pihak lawan untuk menjadi penggugat.<br /> STUN diatur dalam pasal 4 butir (4) UU no.5/1986. Dalam pasal tersebut, istilah sengketa yang dimaksud memiliki arti khusus sesuai dengan fungsi peradilan tata usaha negara, yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum. Dalam asas hukum tata usaha negara, kepada yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan dan dalam pasal itu, juga harus diingat bahwa sebenarnya tidak ada sengketa dalam PTUN tetapi yang ada adalah perbedaan pendapat dalam hal penerapan hukum.<br /><br />b. Berbagai perkembangan dalam praktik<br /> Dalam praktik di lapangan. Setelah terbentuknya PTUN, hakim-hakim berusaha untuk memperluas pengertian STUN dengan menafsirkan arti kata 'melaksanakan urusan pemerintahan' dari bunyi pasal 1 butir (2) UU no.5/1986 tersebut. Indroharto, S.H. Mengatakan bahwa tidak semua urusan pemerintahan itu dilakukan sendiri oleh pemerintah. Pemerintah tidak sanggup melaksanakan semua urusan pemerintahan. Semakin modern sebuah negara, semakin banyak urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada lembaga swasta dan bukan pemerintah.<br /><br />2. Gugatan Tata Usaha Negara (GTUN)<br /> Dalam PTUN, gugatan hanya ditujukan kepada badan atau pejabat tata usaha negara saja dan hanya mengenai KTUN. Namun, gugatan harus memenuhi unsur kepentingan. Tanpa adanya kepentingan tersebut, seseorang tidak dapat menggugat orang atau pihak lain di pengadilan.<br /><br />a. Alasan-alasan gugatan<br /> Alasan-alasan gugatan diatur dalam pasal 53 butir (2) UU no.5 /1986.<br /><br />b. Landasan Hukum<br /> Dasar hukum penggunaan AAUPB oleh hakim adalah pasal 14 ayat 1 UU no.14/1970 jo. No. 35/1999, yang melarang hakim untuk menolak semua perkara dengan alasan hukum tidak jelas. Pasal tersebut dihubungkan lagi dengan pasal 27 UU yang sama, yang mengatakan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat telah memberikan kewenangan bagi hakim untuk menggunakan hukum yang tidak tertulis.<br /> Adapun penggunaan hukum yang tidak tertulis itu diatur dalam AAUPB.Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-52678952417397349542010-01-22T20:08:00.001+07:002010-01-22T20:29:06.560+07:00ANALISIS PASAL 5, PASAL 6, DAN PASAL 7 UU NO. 20 TAHUN 2001A. Pasal 5<br /><br />“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun <br /> dan/atau pidana paling sedikit Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp<br /> 250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: <br /> a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau<br /> b. Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan oleh jabatannya.<br /> (2) Bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji <br /> sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau b, dipidana dengan pidana yang sama <br /> sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”<br /><br />Unsur dari pasal 5 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut :<br /> A. Setiap orang<br /> Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001)<br /> B. Memberi atau menjanjikan sesuatu<br /> Yang dimaksud dengan unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu dalam pasal ini adalah bahwa ada suatu hal yang dijanjikan pada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Pemerintahan yang bersangkutan. Jika demikian, maka apa yang dimaksud dengan “sesuatu” dalam pasal ini? Untuk dapat memahaminya kita perlu mengkaji kembali pasal 209 ayat (1) angka 1 KUHP yang merupakan asal dari Pasal 5 ayat (1) angka 1 yang memiliki bunyi pasal yang serupa dengan pasal 5 ayat (1) huruf a UU No.20 tahun 2001 dimana pasal 209 ayat (1) angka 1 KUHP tersebut memiliki kaitan dengan pasal 419 angka 1 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :<br /><br /> “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pegawa negeri:<br />1.Yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bajwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkanny supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang tidak bertentangan dengan kewajibannya.”<br /><br /> Kemudian bandingkan dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 12 huruf a UU No. 20 tahun 2001 yang berbunyi sebagai berikut :<br /><br /> “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah):<br /> a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertetangan dengan kewajibannya.”<br /><br /> Maka kita akan mendapati bahwa apa yang dimaksud dengan “sesuatu” dari unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu” tersebut adalah hadiah. Dalam kaitannya dengan hal di atas, Hoge Raad dalam putusannya tertanggal 25 April 1916 menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan “hadiah” adalah segala sesuatu yang memiliki arti. Dari hal tersebut maka kita akan sampai pada kesimpulan dimana “hadiah” tersebut bukanlah terbatas pada suatu benda berwujud.<br /> Dalam memberikan sebuah penjelasan lebih detail mengenai unsur “memberikan atau menjanjikan sesuatu”, ada 2 Yurisprudensi yang dapat digunakan untuk memberikan kejelasan atas unsur ini dan apakah suatu perbuatan yang memiliki unsur “memberikan atau menjanjikan sesuatu” tersebut dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. Yurisprudensi itu meliputi:<br /> a. Putusan MARI No. 145 K/Kr/1955<br /> Tidak mensyaratkan apakah sesuatu tersebut diterima atau ditolak oleh PNS atau Penyelenggara Negara yang diberi atau dijanjikan tersebut. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa percobaan untuk memberi atau menjanjikan sesuatu (dalam kata lain adalah menyuap) sudah cukup untuk membuat tindakan pelaku tindak pidana korupsi yang bersangkutan sebagai suatu tindak pidana.<br /> b. Putusan MARI No. 39 K/Kr/1963<br /> Pemberian tersebut tidak perlu dilakukan di waktu pegawai negeri yang bersangkutan sedang melakukan dinasnya, melainkan dapat dilakukan dimanapun juga sebagai kenalan.<br />C.Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara<br /> C.1. Pegawai Negeri<br /> Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah :<br />Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian.<br />Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP.<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;<br />Orang yang menerima gaji atau upah suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.<br /> C.2. Penyelenggara Negara<br /> Yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara dalam hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 UU No. 28 tahun 1999 meliputi :<br />Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara<br />Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara<br />Menteri<br />Gubernur<br />Hakim<br />Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku<br /> D. Dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.<br /> Dalam hukum pidana, unsur ini disebut sebagai “maksud selanjutnya” dimana suatu perbuatan tidak harus menunggu hingga pelaku tindak pidana selesai melakukan tindak pidananya., tetapi tetap harus dibuktikan dalam pengadilan.<br /> Seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dalam menjalankan tugasnya dinyatakan bertentangan dengan kewajibannya apabila:<br />Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara telah berbuat sesuatu tetapi sesuatu yang dilakukannya tersebut tidak merupakan kewajiban yang terdapat atau melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.<br />Pegawai Negeri atau Penyelengara Negara telah tidak berbuat sesuatu, padahal tidak berbuat sesuatu tersebut tidak merupakan kewajiban yang melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.<br /><br />Sedangkan pasal 5 ayat (1) huruf b memiliki unsur pasal sebagai berikut :<br /> A. Setiap orang<br /> Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001)<br /> B. Memberi sesuatu<br /> Yang dimaksud dengan “memberi sesuatu” dalam hal ini adalah berkaitan dengan apa yang dimaksud dalam pasal 12 huruf b UU No. 20 tahun 2001:<br /><br /><br /> “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah):<br /> a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertetangan dengan kewajibannya.<br /> b. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak<br /> melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan<br /> kewajibannya.”<br /><br /> adalah berkaitan dengan “hadiah”, yaitu sesuatu yang memiliki arti,<br /> C. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara<br /> C.1. Pegawai Negeri<br /> Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah :<br />Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian.<br />Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP.<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;<br />Orang yang menerima gaji atau upah suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.<br /> C.2. Penyelenggara Negara<br /> Yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara dalam hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 UU No. 28 tahun 1999 meliputi :<br />Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara<br />Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara<br />Menteri<br />Gubernur<br />Hakim<br />Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku<br /> D. Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.<br /> Adapun tujuan dari unsur ini adalah agar para Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara bertindak sesuai dengan wewenangnya masing-masing berdasarkan peraturan yang berlaku.<br /><br />Dan unsur dari pasal 5 ayat 2 meliputi :<br /> A. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Pemerintahan<br /> A.1. Pegawai Negeri<br /> Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah :<br />Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian.<br />Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP.<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;<br />Orang yang menerima gaji atau upah suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.<br /> A.2. Penyelenggara Negara<br /> Yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara dalam hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 UU No. 28 tahun 1999 meliputi :<br />Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara<br />Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara<br />Menteri<br />Gubernur<br />Hakim<br />Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku<br /> B. Menerima pemberian atau janji dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.<br /> Dalam hukum pidana, unsur ini disebut sebagai “maksud selanjutnya” dimana suatu perbuatan tidak harus menunggu hingga pelaku tindak pidana selesai melakukan tindak pidananya., tetapi tetap harus dibuktikan dalam pengadilan.<br /> Seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dalam menjalankan tugasnya dinyatakan bertentangan dengan kewajibannya apabila:<br />Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara telah berbuat sesuatu tetapi sesuatu yang dilakukannya tersebut tidak merupakan kewajiban yang terdapat atau melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.<br />Pegawai Negeri atau Penyelengara Negara telah tidak berbuat sesuatu, padahal tidak berbuat sesuatu tersebut tidak merupakan kewajiban yang melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.<br /> C. Menerima sesuatu karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan oleh jabatannya.<br /> Adapun tujuan dari unsur ini adalah agar para Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara bertindak sesuai dengan wewenangnya masing-masing berdasarkan peraturan yang berlaku.<br /><br />B. Pasal 6<br /><br />“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima <br /> belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta<br /> rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang<br /> yang:<br /> a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau<br /> b. Memberi atau menjanjikan kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.<br /> (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf <br /> a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) <br /> huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”<br /><br />Apabila diteliti lebih lanjut, unsur dari pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 20 tahun 2001 adalah sebagai berikut :<br /> A. Setiap orang<br /> Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001)<br /> B. Memberi atau menjanjikan sesuatu<br /> Yang dimaksud dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dalam hal ini adalah berkaitan dengan pasal 12 huruf a UU No.20 tahun 2001 yang merujuk “sesuatu” pada “hadiah” yang dijanjikan.<br /> C. Hakim<br /> Berdasarkan pada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 angka 8 KUHAP, maka :<br /><br /> “Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili.”<br /> <br /> Dan apabila merujuk pada ketentuan yang tertuang dalam pasal 2 UU No. 4 tahun 2004 dan UU No. 24 tahun 2003, maka yang dimaksud dengan hakim adalah :<br />1.Hakim pada semua lingkungan Peradilan, baik peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.<br />2.Hakim agung pada MA<br />3.Hakim konstitusi pada MK<br /> Tetapi tidak termasuk arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 30 tahun 1999 :<br /><br /> “Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase;”<br /><br /> D. Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.<br /> Merupakan unsur “maksud selanjutnya” dalam hukum pidana dimana dalam pelaksanaanya, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak harus sudah terpenuhi terlebih dahulu. Akan tetapi hal ini juga tetap harus dibuktikan dalam proses pengadilan.<br /><br />Sedangkan unsur dari pasal 6 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut:<br /> A. Setiap orang<br /> Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001).<br /> B. Memberi atau menjanjikan sesuatu<br /> Yang dimaksud dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dalam hal ini adalah berkaitan dengan pasal 12 huruf a UU No.20 tahun 2001 yang merujuk “sesuatu” pada “hadiah” yang dijanjikan.<br /> C. Advokat<br /> Berdasarkan pada penjelasa pasal 12 huruf d UU No. 20 tahun 2001, yang dimaksud dengan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dalam hal ini adalah UU No.18 tahun 2003).<br /> D. Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan padanya untuk diadili.<br /> Merupakan “maksud selanjutnya” dimana tidak menjadi syarat apakah advokat yang bersangkutan itu terpengaruh atau tidak. Akan tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan “nasihat dan pendapat” adalah berkaitan dengan kliennya baik di dalam maupun di luar persidangan.<br /><br />Dan unsur dari pasal 6 ayat (2) adalah:<br /> A. Hakim<br /> Merujuk pada ketentuan yang tertuang dalam pasal 2 UU No. 4 tahun 2004 dan UU No. 24 tahun 2003, maka yang dimaksud dengan hakim adalah :<br />1.Hakim pada semua lingkungan Peradilan, baik peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.<br />2.HakimHakim agung pada MA<br />3.Hakim konstitusi pada MK<br /> B. Menerima pemberian atau janji dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.<br /> Adapun tujuan dari unsur ini adalah agar para Hakim bertindak sesuai dengan wewenangnya masing-masing berdasarkan peraturan yang berlaku.<br /><br />ATAU<br /><br /> A. Advokat<br /> Berdasarkan pada penjelasa pasal 12 huruf d UU No. 20 tahun 2001, yang dimaksud dengan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dalam hal ini adalah UU No.18 tahun 2003).<br /> B. Menerima pemberian atau janji dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.<br /> Adapun tujuan dari unsur ini adalah agar para Advokat bertindak sesuai dengan wewenangnya masing-masing berdasarkan peraturan yang berlaku.<br /><br />C. Pasal 7<br /><br />“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun <br /> dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling<br /> banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):<br /> a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; <br /> b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; <br /> c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau <br /> d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. <br /> (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima <br /> penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara<br /> Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)<br /> huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat <br /> (1). “<br /><br />Unsur dari Pasal 7 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut :<br /> A. Pemborong; ahli bangunan pada waktu membuat bangunan; penjual bahan bangunan pada waktu menyerahkan bahan bangunan <br /> A.1. Pemborong<br /> Yang dimaksud dengan pemborong adalah pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian pemborongan pekerjaan untuk menyelenggarakan suatu bangunan bagi pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.<br /> A.2. Ahli Bangunan<br /> Yang dimaksud dengan ahli bangunan adalah orang yang oleh pemborong diserahi tugas untuk membuat gambar dan/atau yang bertanggung jawab untuk mengerjakan sebuah bangunan. (Tetapi terkadang pemborong dapat merangkap ahli bangunan).<br /> A.3. Penjual bahan bangunan pada waktu menyerahkan bahan bangunan <br /> Yang dimaksud dengan penjual bahan bangunan dalam hal ini adalah pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian jual beli untuk menyerahkan bahan bangunan dengan menerima harga yang telah ditentukan. <br /> B. Perbuatan Curang<br /> Perbuatan curang adalah perbuatan yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian. Unsur ini agaknya memiliki persamaan dengan wanprestasi dalam hukum perdata.<br /> C. Dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.<br /> Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi yang bersangkutan tidak sebatas pada perbuatan curang, tetapi juga menyangkut bahaya terhadap keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang. Perbuatan ini tidak harus terjadi terlebih dahulu untuk dapat dikatakan sebagai sebuah tindak pidana korupsi.<br /><br />Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf b :<br /> A. Setiap orang;<br /> Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001).<br /> B. Bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan;<br /> C. Membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselematan negara dalam keadaan perang.<br /> Yang menjadi titik berat dalam hal ini ada pada pemberian peluang bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.<br /><br />Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf c :<br /> A. Setiap orang;<br /> Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001).<br /> B. Pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara RI<br /> C. Melakukan perbuatan curang.<br /> Perbuatan curang adalah perbuatan dari “setiap orang” yang tidak memenuhi seluruh atau sebagian dari syarat-syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian RI.<br /> D. Dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.<br /> Yang menjadi titik berat dalam hal ini ada pada pemberian peluang bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.<br /><br />Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf d :<br /> A. Setiap orang;<br /> Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001).<br /> B. Bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara RI<br /> C. Membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselematan negara dalam keadaan perang.<br /> Yang menjadi titik berat dalam hal ini ada pada pemberian peluang bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.<br /><br />Sedangkan unsur dari Pasal 7 ayat (2) :<br /> A. Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian RI.<br /> Yang dimaksud dengan orang dalam hal ini adalah orang perseorangan dan dapat juga korporasi yang telah ditunjuk atau karena jabatan dan kewenangan yang melekat padanya menjadikannya berhak untuk menerima penyerahan barang tersebut.<br /> B. Membiarkan perbuatan curang yang dilakukan oleh penjual bahan bangunan pada waktu menyerahkan bangunan, atau “setiap orang” pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian RI.<br /> Yang menjadi titik berat dalam hal ini ada pada pemberian peluang bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.<br /> C. Perbuatan curang membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.<br /><br />D. Perbandingan Dengan UU Tindak Pidana Korupsi Negara Lain<br />Adapun dalam kaitannya dengan pasal-pasal yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, ada baiknya untuk mengenal UU tindak pidana korupsi negara lain, yang mana dalam analisa berikut mengambil perbandingan 2 negara, yaitu :<br /> a. Afrika Selatan ( Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004)<br /> b. Korea Selatan ( Act No. 6494, 2001)<br />Dimana dari kedua perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, kita akan menemukan bahwa UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya memuat suatu hal yang sama dengan kedua undang-undang tersebut, hanya saja di balik kesamaan tersebut ada beberapa hal yang membedakannya di samping perbedaan negara yang secara jelas telah membuatnya berbeda.<br /> Pertama-tama adalah baik kiranya jika kita membandingkan Undang-undang No.20 tahun 2001 dengan Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 milik Afrika selatan. Berbeda dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 mengatur segala hal tentang tindak pidana korupsi secara mendetail dimana tidak seperti UU No. 20 tahun 2001 yang hanya memuat tentang jenis tindakan serta hukumannya, Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 juga membahas mengenai cara persidangan yang harus dilakukan dalam menangani perkara yang bersangkutan. Pada tiap pasalnya juga tidak tertulis secara tegas tentang besarnya hukuman yang harus dijatuhkan. Besarnya hukuman yang harus dijatuhkan pada setiap kategori tindak pidana Korupsi pada Undang-undang tersebut dimuat dalam satu bagian tersendiri ( dimana dalam hal ini adalah bab 5, pasal 26).<br /> Lalu bagaimana dengan pasal 5, 6, 7 UU No. 20 tahun 2001? Apakah pada Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 juga memuat hal yang serupa? Jawabannya adalah “ya” tetapi tidak sepenuhnya. Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 memiliki pasal yang pada dasarnya adalah serupa. Yaitu meliputi:<br /> A. Pasal 4 ayat 1 Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 yang berbunyi sebagai berikut :<br /><br /> “4. ( 1 ) Any--<br /> (a) public officer who, directly or indirectly. accepts or agrees or offers to accept any gratification from any other person, whether for the benefit of himself or herself or for the benefit of another person; or<br /> (b) person who. directly or indirectly, gives or agrees or offers to give any gratification to a public officer, whether for the benefit of that public officer or 55 for the benefit of another person, in order to act, personally or by influencing another person so to act, in a manner-<br /> (i) that amounts to the-<br /> (aa) illegal, dishonest. unauthorised, incomplete, or biased: or<br /> (bb) misuse or selling of information or material acquired in the course of the. exercise, carrying out or performance of any powers, duties or functions 5 arising out of a constitutional, statutory, contractual or any other legal obligation;<br /> (ii) that amounts to--<br /> (aa) the abuse of a position of authority;<br /> (bb) a breach of trust; or I 0<br /> (cc) the violation of a legal duty or a set of rules;<br /> (iii) designed to achieve an unjustified result: or<br /> (iv) that amounts to any other unauthorised or improper inducement to do or not to do anything. <br /> Is guilty of the offence of corrupt activities relating to public officers. “<br /> <br /> Bandingkan dengan pasal 5 UU No. 21 tahun 2001 yang bunyinya adalah sebagai berikut :<br /><br />“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun <br /> dan/atau pidana paling sedikit Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp<br /> 250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: <br /> a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau<br /> b. Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan oleh jabatannya.<br /> (2) Bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji <br /> sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau b, dipidana dengan pidana yang sama <br /> sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”<br /> <br /> Dari kedua hal di atas kita akan mendapati adanya kesamaan antara 2 hal tersebut dimana hal tersebut berkaitan dengan menjanjikan sesuatu pada seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara. Meski demikian ada satu hal yang perlu untuk dipahami dalam hal ini, yaitu menyangkut definisi dari seorang “public officer” dalam Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 sebagaimana yang termuat dalam pasal 1 angka 24 yang berbunyi sebagai berikut:<br /><br /> “(xxiv) “public officer” means any person who is a member, an officer. an employee<br /> or a servant of a public body, and includes-<br /> (a) any person in the public service contemplated in section X( 1) of the Public Service Act. 1994 (Proclamation No. 103 of 1994):<br /> (b) any person receiving any remuneration from public funds: or<br /> (c) where the public body is a corporation, the person who is incorporated as such,<br /> but does not include any-<br /> (a) member of the legislative authority;<br /> (b) judicial officer; or<br />(c)member of the prosecuting authority; “<br /><br /> Maka kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa definisi dari seorang pejabat publik (yang mana dalam hal ini setara dengan definisi “pegawai negeri atau penyelenggara negara”) dalam Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 tidak mencakup orang dalam lembaga legislatif, petugas hukum dan jaksa.<br /><br /> B. Pasal 8 ayat 1 Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 :<br /><br /> “8. ( 1 ) Any-<br /> (a) judicial officer who. directly or indirectly. accepts or agrees or offers to accept any gratification from any other person. whether for the benefit of himself or herself or for the benefit of another person: or<br /> (b) person who, directly or indirectly. gives or agrees or offers to give any gratification to a judicial officer. whether for the benefit of that judicial officer or for the benefit of another person,<br /> in order to act, personally or by influencing another person so to act. in a manner-<br /> (i) that amounts to the-<br /> (aa) illegal, dishonest, unauthorised. incomplete, or biased: or<br /> (bb) misuse or selling of information or material acquired in the course of the. exercise. carrying out or performance of any powers. duties or functions arising out of a constitutional, statutory. contractual or an} other legal obligation;<br /> (ii) that amounts to-<br /> (aa) the abuse of a position of authority;<br /> (bb) a breach of trust; or<br /> (cc) the violation of a legal duty or a set of rules;<br /> (iii) designed to achieve an unjustified result: or<br /> (iv) that amounts to any other unauthorised or improper inducement to do or not to do anything,<br /> is guilty of the offence of corrupt activities relating to judicial officers. “<br /><br /> Yang mana memiliki kesamaan dengan pasal 6 UU No. 20 tahun 2001:<br /><br />“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima <br /> belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta<br /> rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang<br /> yang:<br /> a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau<br /> b. Memberi atau menjanjikan kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.<br /> (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf <br /> a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) <br /> huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”<br /><br /> Akan tetapi ada sedikit perbedaan dengan definisi tentang petugas hukum, dimana menurut pasal 1 angka 11 Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004, yang dimaksud dengan Judicial Officer itu meliputi :<br /><br /> “(xi) “judicial officer” means-<br /> (a) any constitutional court judge or any other judge as defined in section 1 of the Judges‘ Remuneration and Conditions of Employment Act, 200 I (Act No. 47 of 2001);<br /> (b) a judge of the Labour Court appointed under section 153( l)(a) or (b). (4)or (5) of the Labour Relations Act, 1995 (Act No. 66 of 1995):<br /> (c) the President or judge of the Land Claims Court appointed under section 22(3), (4) or (8) of the Restitution of Land Rights Act, 1994 (Act No. 32 of 1994);<br /> (d) any judge of the Competition Appeal Court appointed under section 36(2) of the Competition Act, 1998 (Act No. 89 of 1998);<br /> (e) a judge or additional member appointed under section 7 of the Special<br /> Investigating Units and Special Tribunals Act, 1996 (Act No. 73 of 1996), to a Special Tribunal established in terms of section 2 of that Act;<br /> (f) the presiding officer or member of the court of marine enquiry. the maritime court and the court of survey referred to in sections 267( 1). 271 (1) and 276( 1) of the Merchant Shipping Act, 1951 (Act No. 57 of 1951), respectively;<br /> (g) any presiding officer appointed under section 10(3)(b) of the Administration Amendment Act, 1929 (Act No. 9 of 1929). to a divorce court established in terms of section 10( 1) of that Act;<br /> (h) any regional magistrate or magistrate defined in section 1 of the Magistrates Act, 1993 (Act No. 90 of 1993);<br /> (i) any commissioner appointed under section 9 of the Small Claims Courts Act, 1984 (Act No. 61 of 1984);<br /> (j) any arbitrator, mediator or umpire, who in terms of any law presides at arbitration or mediation proceedings for the settlement by arbitration or mediation of a dispute which has been referred to arbitration or mediation;<br /> (k) any adjudicator appointed under section 6 of the Short Process Courts and Mediation in Certain Civil Cases Act, 1991 (Act No. 103 of 1991):<br /> (l) where applicable, any assessor who assists a judicial officer;<br /> (m) any other presiding officer appointed to any court or tribunal established under any statute and who has the authority to decide causes or issues between parties and render decisions in a judicial capacity;<br /> (n) any other person who presides at any trial, hearing, commission. committee or any other proceedings and who has the authority to decide causes or issues between parties and render decisions in a judicial capacity: or<br /> (0) any person contemplated in paragraphs (a) to (n) who has been appointed in an acting or temporary capacity; “<br /><br /> Dimana dari hal di atas, diketahui bahwa tidak seperti UU No. 20 tahun 2001, makna “Judicial Officer” dalam Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 juga mencakup arbitrase yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa alternatif.<br /><br />Tetapi Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 tidak memiliki ketentuan sebagaimana pasal 7 UU No. 20 tahun 2001 yang berkaitan dengan perbuatan curang dalam penyerahan barang yang dilakukan oleh :<br /> a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; <br /> b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; <br /> c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan kepolisian atau angkatan bersenjata <br /> d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan kepolisian atau angkatan bersenjata.<br />Secara spesifik.<br /><br />Kemudian bagaimana dengan Act No. 6494, 2001 yang merupakan Undang-undang anti korupsi Korea Selatan? Berbeda dengan UU No. 20 tahun 2001 dan undang-undang anti korupsi Afrika Selatan, Act No. 6494, 2001 justru sama sekali tidak mencantumkan perihal tindakan yang bagaimana yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. Act No. 6494, 2001 justru memuat ketentuan yang cukup unik yang lebih menjelaskan mengenai instrumen-instrumen penting dalam pemberantasan korupsi.<br /> Untuk dapat memahaminya, adalah lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu struktur dari Act No. 6494, 2001, yaitu:<br /> - Bab 1 : Ketentuan umum.<br /> - Bab II : Komisi Pemberantasan Korupsi Korea Selatan<br /> - Bab III : Reporting of Acts of Corruption and Protection of Whistleblowers, etc.<br /> - Bab IV : Pemeriksaan berdasarkan permintaan masyarakat<br /> - Bab V : Ketentuan tambahan<br /> - Bab VI : Penal Provision<br /> Adapun ketentuan pemidanaan diatur dalam Bab VI tidak memuat kategori korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 20 tahun 2001melainkan hanya memuat beberapa ketentuan-ketentuan berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran pada ketentuan yang terkandung dalam bab-bab Undang-undang pemberantasan korupsi yang bersangkutan (yang mana lebih cenderung menuliskan tugas dan kewajiban petugas pemerintah, Komisi pemberantasan korupsi dan peran serta masyarakat).Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-66784244181661606452009-12-02T20:39:00.000+07:002009-12-02T20:41:08.153+07:00Putusan MA No. 2744 K/Pid/2006<div align="justify"> Putusan MA No. 2744 K/Pid/2006<br /> Tanggal, 31 Januari 2007<br /><br />A. Kaidah Hukum : Apabila jaksa / penuntut umum tidak dapat membuktikan bahwa uang negara dalam tindak pidana korupsi telah digunakan untuk kepentingan terdakwa, maka tuntutan perihal uang pengganti atas kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang bersangkutan tidak dapat dikabulkan oleh MA<br /><br /><br />B. Identitas Terdakwa :<br />Nama : Adi Nursyah<br />Umur : 37 tahun<br />Alamat : Jalan Abdul Hamid Hakim No. 52, Padang Panjang, Kecamatan Padang Panjang Barat.<br />Pekerjaan/ Jabatan : Mantan Direktur Perusahaan Daerah Tuah Saiyo Padang Panjang.<br /> <br />C. Pasal dan Kerugian Anggaran<br />Pasal yang Didakwakan :<br /> a. Kesatu : <br /> - Primair : Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP ; <br /> - Subsidair : Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang- Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP<br /> 2. Kerugian Keuangan :<br /> a. Jumlah : Rp. 685.000.000,- (enam ratus delapan puluh lima juta rupiah)<br /> b. Berasal dari : Penyelewengan dana penyertaan modal II dari Pemda Padang Panjang yang seharusnya digunakan untuk pembiayaan Perusahaan Daerah Tuah Saiyo Padang Panjang.<br /> <br />D. Kasus Posisi :<br />Bahwa Perusahaan Daerah Tuah Saiyo Padang Panjang didirikan pada tanggal 11 Juli 1995 dengan dasar Perda Kota Madya Daerah Padang Panjang Tk.II Nomor : 8 Tahun 1995 yang kemudian diubah dengan Perda Nomor : 8 Tahun 2004 dengan nama Perusahaan Daerah Tuah Saiyo, yang bertujuan untuk mengelola dan memanfaatkan potensi daerah, sebagai sarana pengembangan perekonomian dalam rangka pembangunan daerah dan keuangan daerah serta menyerap tenaga kerja dan memupuk kekayaan/mencari keuangan dengan memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi ;<br />Modal Perusahaan Daerah Tuah Saiyo Padang Panjang terdiri dari Penyertaan Modal Pemerintah Padang Panjang yang merupakan aset yang diserahkan, dan Penyertaan Modal Pihak Ketiga dengan persetujuan Kepala Daerah ; <br />Bahwa penyusunan APBD Kota Padang Panjang tahun 2005, Terdakwa sebagai Direktur Perusahaan Daerah Tuah Saiyo mengajukan permohonan kepada Walikota Padang Panjang untuk minta dana penyertaan modal dari Pemko Padang Panjang yang disetujui sebesar Rp. 1.000.000.000,- yang digunakan untuk penguatan modal lancar guna operasional perusahaan dalam mendapatkan profit, dalam hal ini adalah untuk melaksanakan program kerja dalam bidang produksi dan pemasaran kulit serta pemasaran batu kapur berikut pengadaan timbangan elektronik untuk batu kapur ; <br />Adapun tugas dan tanggung jawab Terdakwa selaku direktur adalah sesuai dengan pasal 9 Perda No.9 tahun 2004;<br />Bahwa Dana Penyertaan Modal untuk Perusahaan Daerah Tuah Saiyo sebesar Rp. 1.000.000.000,- yang dianggarkan pada APBD tahun 2005 dimasukkan pada pos pembiayaan dimana dana tersebut dicairkan dalam dua tahap yaitu tahap I tanggal 24 Maret 2005 sebesar Rp. 600.000.000,- dan tahap II tanggal 12 Juli 2005 sebesar Rp. 400.000.000,-;<br />Proses pencairan Dana Penyertaan Modal tahap I sebesar Rp.600.000.000,- dilakukan Terdakwa dengan cara mengajukan permohonan pencairan dana penyertaan modal kepada Walikota Padang Panjang berupa Proposal tertanggal 3 Maret 2005 melalui Bagian Perekonomian Pemko Padang Panjang. Proposal tersebut disetujui oleh Walikota Padang Panjang dan dana penyertaan modal tersebut dicairkan melalui bagian Keuangan yang menerbitkan SPMU untuk mencairkan dana tersebut di Kas Daerah (Bank Nagari) pada tanggal 24 Maret 2005. Dana tersebut langsung ditransfer ke rekening perusahaan; <br />Pencairan Dana Penyertaan Modal tahap II sebesar Rp 400.000.000,- dilakukan Terdakwa dengan cara mengajukan permohonan pada tanggal 30 Mei 2005 kepada Walikota melalui Kabag Perekonomian lalu Kabag Perekonomian membuat telaahan staf kepada Walikota dan laporan tersebut dinaikkan kepada Asisten III yang ditanggapi dengan telaahan staf dan rekomendasi bahwa uang di perusahaan masih ada lebih kurang Rp.422.000.000,- kalau perusahaan membutuhkan uang agar dilampirkan Proposal untuk apa penggunaan dana yang Rp. 400.000.000,- lagi dan rekomendasi tersebut disetujui oleh Walikota pada tanggal 28 Juni 2005 yang pada intinya menolak permohonan Terdakwa . Karena permohonan tersebut ditolak maka Terdakwa menemui Walikota untuk meminta agar dana Penyertaan Modal dicairkan, atas pertemuan tersebut Walikota meminta agar Kabag Perekonomian untuk menemui Walikota keesokan harinya di kantor. Kemudian keesokan harinya Kabag Perokonomian menemui Walikota tapi telaahan staf dari Asisten III ditarik Terdakwa dan tidak diberikan kepada Kabag Perekonomian, sehingga dana tersebut disetujui pada tanggal 29 Juni 2005 oleh Walikota untuk dicairkan oleh Terdakwa pada Bagian Keuangan Pemko Padang Panjang tanggal 12 Juli 2005 tanpa diketahui Walikota bahwa permohonan itu telah ditolak sebelumnya;<br />Bahwa Dana Penyertaan Modal yang diterima Perusahaan Daerah Tuah Saiyo sebesar Rp, 1.000.000.000,- sesuai Program kerja yang diajukan Terdakwa diperuntukkan guna membiayai program kerja Perusahaan Daerah Tuah Saiyo yaitu untuk meningkatkan Kinerja lndustri yang sudah ada terutama dalam bidang kulit dan batu kapur dengan beberapa program yang telah direalisasikan oleh Terdakwa selama penggunaannya.<br />Bahwa dalam menggunakan dana perusahaan.Terdakwa melakukan tanpa sepengetahuan atau seizin Badan Pengawas Perusahaan Daerah Tuah Saiyo. Hal ini bertentangan dengan Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 9 huruf c Perda Kota Padang Panjang No. 9 Tahun 2004, hal ini tampak dari fakta bahwa tidak seluruh dana digunakan untuk membiayai program kerja dimaksud tetapi digunakan untuk hal lain di luar kepentingan Program kerja yaitu kepentingan pihak ke 3 yang tidak ada kaitan dengan Perusahaan Daerah Tuah Saiyo dan dalam pengeluaran dana tersebut dari kas perusahaan Terdakwa lakukan dengan prosedur yang salah yang tidak lazim dalam pengelolaan uang perusahaan (uang negara). yaitu pada tanggal 17 Mei 2005 Terdakwa mengaku menerima telpon HP dari seseorang yang mengaku sebagai Walikota Padang Panjang Suir Syam untuk meminjam dana tersebut. Atas permintaannya Terdakwa memerintahkan saksi MUNZIR untuk mengambil uang di rekening Bank Nagari Padang Panjang sebesar Rp. 30.000.000.- yang slip pengambilan uang tersebut ditandatangani oleh Terdakwa kemudian Terdakwa perintahkan untuk mentransfer uang tersebut ke rekening An. Mayun Winangun oleh saksi MUNZIR melalui Bank BNI Padang Panjang atas nama Suir Syam ;<br />Kemudian pada tanggal 18 Mei 2005 Terdakwa memerintahkan saksi MUNZIR untuk mengambil uang ke Bank Nagari Padang Panjang sebesar Rp. 50.000.000,-. Slip pengambilan uang tersebut ditandatangani oleh Terdakwa, kemudian Terdakwa memerintahkan MUNZIR untuk mengirim uang tersebut ke rekening An. Heru Henrianto melalui Bank BNI Padang Panjang atas nama Suir Syam ;<br />Masih pada tanggal 18 Mei 2006 kembali Terdakwa memerintahkan saksi MUNZIR untuk mengambil uang dari rekening perusahaan sebesar Rp. 100.000.000,- slip pengambilan uang tersebut ditandatangani oleh Terdakwa dan transfer uang tersebut sebenarnya dilakukan Terdakwa sendiri tetapi karena ramai, Terdakwa meminta isterinya untuk mengisi aplikasi dan mentransfer uang tersebut ke rekening An. Teguh Riyanto sebesar Rp. 50.000.000,- dan rekening An Mayun Winangun sebesar Rp. 50.000.000,- ;<br />Selanjutnya pada tanggal 19 Mei 2005 Terdakwa memerintahkan saksi MUNZIR untuk mengambil uang dari rekening perusahaan di Bank Nagari An. Teguh Riyanto sebesar Rp. 130.000.000,-. Pengambilan uang tersebut dilakukan melalui slip pengambilan yang ditandatangani oleh Terdakwa dan pengambilan dilakukan 2 kali, yang pertama sebesar Rp. 100.000.000,- dan yang kedua sebesar Rp. 30.000.000,- dan kemudian Terdakwa perintahkan saksi MUNZIR untuk mentransfer uang melalui Bank BNI Padang Panjang ke rekening An. Heru Henrianto sebesar Rp. 50.000.000,- atas nama H.M. Tamrin dan ke rekening Teguh Riyanto sebesar Rp. 30.000.000,- atas nama H.M. Tamrin dan ke rekening An. Mayun Winangun sebesar Rp. 50.000.000,- dengan pengirim Suir Syam ; <br />Kemudian pada tanggal 20 Mei 2005 Terdakwa memerintahkan saksi MUNZIR untuk mengambil uang dari rekening Bank Nagari Padang Panjang sebesar Rp. 50.000.000,- pengambilan uang tersebut melalui slip pengambilan uang yang Terdakwa tanda tangani sendiri dan kemudian Terdakwa perintahkan saksi MUNZIR untuk mentransfer uang tersebut ke rekening Teguh Riyanto sebesar Rp. 50.000.000,- atas nama HM. Tamrin ;<br />Selanjutnya pada tanggal 26 Mei 2005 Terdakwa memerintahkan Munzir untuk mengambil uang dari rekening perusahaan sebesar Rp. 15.000.000,- pengambilan uang dilakukan melalui slip pengambilan uang yang ditandatangani oleh Terdakwa sendiri dan kemudian Terdakwa memerintahkan saksi MUNZIR untuk mentransferkan uang tersebut ke rekening An. Teguh Riyanto sebesar Rp 15.000.000,- atas nama Suir Syam;<br />Kemudian pada tanggal 13 Juli 2005 Terdakwa perintahkan saksi Munzir untuk mengambil uang dari rekening perusahaan sebesar Rp. 150.000.000,- pengambilan uang tersebut melalui slip pengambilan uang yang ditandatangani oleh Terdakwa dan kemudian Terdakwa perintahkan stafnya yaitu Erita Syahminan untuk mentransfer melalui BNI Padang Panjang ke rekening An. Eddy Mulyono sebesar Rp. 55.000.000,- atas nama Suir Syam dan ke rekening An. Heru Henrianto sebesar Rp.55.000.000,- Atas nama Suir Syam. Sisa uang sebesar Rp 40.000.000,- dimasukkan ke rekening perusahaan oleh Terdakwa melalui Erita Syahminan;<br />Pada tanggal 14 Juli 2005 pagi harinya Terdakwa transfer uang bersama saksi Erita Syahminan ke rekening An. IDRIS dengan cara pemindah bukuan dari rekening perusahaan di Bank BNI Padang Panjang sebesar Rp. 50.000.000,-;<br />Kemudian pada tanggal 14 Juli 2005 setelah mentransfer uang ke IDRIS Terdakwa perintahkan saksi MUNZIR untuk mengambil uang dari rekening perusahaan di Bank Nagari sebesar Rp. 150.000.000,- pengambilan uang tersebut melalui slip pengambilan uang yang ditandatangani sendiri oleh Terdakwa kemudian Terdakwa bersama saksi Erita Syahminan pergi ke BNI Bukittinggi untuk mentransfer uang ke rekening An. Eddy Mulyono sebesar Rp. 50.000.000,- dengan pengirim An. Suir Syam, kemudian ke rekening An. Heru Henrianto sebesar Rp. 50.000.000,- dan ke rekening An. Agustina sebesar Rp. 50.000.000,- atas nama Suir Syam, sedangkan aplikasi pengiriman uang yang ditandatangani oleh Terdakwa; <br />Bahwa Terdakwa telah mentransfer sejumlah uang (dana perusahaan) ke beberapa nomor rekening tertentu, tanpa tujuan yang jelas dan tanpa konfirmasi terlebih dahulu kepada Walikota Padang Panjang sebagai orang yang diakui Terdakwa telah memintanya melalui HP untuk mentransfer, padahal Terdakwa tahu Nomor HP yang masuk tersebut bukan Nomor HP Walikota Padang Panjang yang lazim, melainkan nomor yang lain yang menurut Terdakwa diperoleh dari orang lain dan naifnya lagi perbuatan tersebut dilakukan oleh Terdakwa berulang-ulang sampai 15 kali pengiriman ke 6 nomor rekening dalam rentang waktu antara tanggal 17 Mei sampai 14 Juli 2005 yang merupakan jangka waktu 2 bulan merupakan jangka waktu yang panjang dan jangka waktu yang cukup untuk berfikir dan konfirmasi. Mengingat bahwa apabila dilihat jarak antara Kantor Terdakwa dengan Kantor Walikota Padang Panjang adalah suatu hal yang mustahil Terdakwa tidak bertemu atau tidak sempat bertemu dengan Walikota Padang Panjang untuk melakukan konfirmasi, sehingga dipandang sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan oleh Terdakwa selaku Direktur Perusahaan Daerah dan melanggar prinsip " Prudencial " yaitu prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan uang Negara ;<br />Bahwa berdasarkan Pasal 9 huruf f dan h perda Kota Padang Panjang No. 9 Tahun 2004 tentang pembentukan organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah Tuah Saiyo Padang Panjang yang mana Direktur wajib menyampaikan laporan berkala mengenai seluruh kegiatan termasuk neraca dan perhitungan laba rugi Perusahaan Daerah setiap tahun. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh Terdakwa ; <br />Bahwa perbuatan Terdakwa juga bertentangan dengan Perda Nomor 8 tahun 2004 tentang perubahan atas Perda Kodya Tk.II Kota Padang dan berdasarkan ketentuan yang lazim, penyimpanan dana di Bank tersebut atas nama Rekening Perusahaan. Dana di Bank tersebut atas nama Rekening Perusahaan Daerah dan Specimentnya ditanda tangani oleh Direktur dan bagian keuangan untuk menghindari pengeluaran/penarikan uang yang dilakukan orang pribadi, tetapi hal tersebut tidak dilakukan oleh Terdakwa;<br />Akibat perbuatan Terdakwa, negara dirugikan sebesar Rp 685.000.000,-;<br /> <br />E. Dakwaan<br /> - Primair : Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP ; <br /> - Subsidair : Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang- Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang<br /> Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP<br /><br />F. Tuntutan :<br /> 1. Menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama.<br /> 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Adi Nursyah dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dengan perintah agar Terdakwa ditahan. Menghukum Terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan kurungan ; Menghukum Terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp. 685.000.000,- (enam ratus delapan puluh lima juta rupiah) dan jika terpidana tidak membayar uang pengganti dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun<br /> 3. Menyatakan barang bukti untuk dikembalikan pada yang berhak;<br /> 4. Menetapkan supaya terdakwa dibebani biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah);<br /><br />G. Putusan PN <br /> a. Putusan :<br /> - Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Secara bersama-sama melakukan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut”;<br /> - Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama 4 tahun;<br /> - Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, akan dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan ;<br /> - Menghukum Terdakwa dengan hukuman denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar, maka kepada Terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan ;<br /> - Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;<br /> - Memerintahkan agar barang bukti dikembalikan kepada PD. Tuah Saiyo.<br /> - Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp 5.000,-<br /> b. Pertimbangan Hukum : -<br /><br />H. Putusan PT<br /> a. Putusan :<br />Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum dan Terdakwa;<br />Menguatkan putusan PN Padang Panjang tanggal 10 Agustus 2006 No. 22/PID.B/2006/PN.PP;<br />Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan;<br />Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa pada dua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding ini saja ditetapkan Rp 1.000,- <br /> b. Pertimbangan Hukum : -<br /><br />I. Putusan MA (kasasi) :<br /> a. Alasan-Alasan Pengajuan Kasasi :<br /> 1. Pemohon kasasi I :<br />Bahwa hakim PN Sumatra Barat tidak menerapkan hukum dengan sebagai mana mestinya dimana hukuman tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 685.000.000,- tidak dikabulkan dalam putusan PN Sumatra Barat.<br />Bahwa tujuan uang pengganti tersebut adalah dalam rangka ganti kerugian atas keuangan negara.<br /> 2. Pemohon kasasi II :<br />Bahwa PN Sumatra Barat tidak menerapkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan sebagaimana mestinya.<br />Bahwa baik PN Sumatra Barat dan PT Padang telah keliru dalam menerapkan unsur merugikan keuangan negara;<br />Bahwa pengadilan telah juga salah dalam menerapkan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.<br /> b. Putusan :<br /> Menolak permohonan kasasi baik dari Pemohon Kasasi I/ Jaksa Penuntut Umum maupun permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/ Terdakwa;<br /> c. Pertimbangan Hukum :<br /> 1. Terhadap permohonan pemohon Kasasi I<br /> Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Factie sudah tepat dan benar, yaitu tidak salah menerapkan hukum, sebab Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat membuktikan bahwa uang sebesar Rp. 685.000.000,- (enam ratus delapan puluh lima juta rupiah) telah digunakan untuk kepentingan Terdakwa ;<br /> 2. Terhadap permohonan pemohon Kasasi II<br /> Bahwa alasan-alasan ini tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti sudah tepat dan benar, yaitu tidak salah menerapkan hukum, lagi pula alasan- alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, keberatan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang No. 8 Tahun 1981) ;<br /><br />K. Analisis :<br />Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri sendiri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang telah dipercayakan oleh rakyat kepada mereka.<br /><br />Unsur-unsur dakwaan Primair jaksa penuntut umum dalam perkara No.2744 K/Pid/2006, antara lain:<br />Pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001<br /><br /> “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah)”<br /><br />Adapun yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma keadilan yang berlaku dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Perlu dipahami jika perbuatan tindak pidana korupsi itu merupakan delik formil.<br />Adapun unsur-unsur yang harus dibuktikan adalah sebagai berikut :<br /> <br />Setiap orang<br />Perbuatan melawan hukum<br />Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi<br />Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara<br /><br /> A. Setiap orang<br /> Yang dimaksud dengan setiap orang dalam hal ini adalah pegawai negeri. Pegawai Negeri itu meliputi :<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang kepegawaian<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah<br /> atau<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.<br />Dalam hal ini, Terdakwa adalah seorang Direktur Perusahaan Daerah Tuah Saiyo Padang Panjang yang merupakan sebuah BUMD pada saat melakukan tindak pidana korupsinya. Jadi unsur ini telah terbukti.<br /> B. Perbuatan melawan hukum<br />Dalam hal ini, perbuatan melawan hukum yang dimaksud itu mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan materiil. Jadi, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi jika perbuatan itu dirasa melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat, perbuatan itu dapat dikenakan pidana.<br />Unsur ini telah terpenuhi mengingat dalam melakukan tindak pidananya, Terdakwa telah melanggar beberapa ketentuan yang tercantum dalam Perda Padang Panjang dan beberapa tindakan lain yang dianggap bertentangan seperti menarik telaah staf dari Asisten III, mentransfer dana perusahaan dengan tujuan yang tidak jelas dan tanpa konfirmasi terlebih dahulu serta melanggar prinsip Prudencial.<br /> C. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi<br /> Maksud dari unsur ini adalah menambah kekayaan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Unsur ini telah terpenuhi mengingat dalam melakukan tugasnya sebagai<br /> Direktur sebuah BUMD, Terdakwa telah memperkaya dirinya sendiri dan orang lain<br /> sebab dana yang berasal dari rekening BUMD yang bersangkutan telah dipindahkan<br /> secara melawan hukum ke beberapa rekening, seperti :<br />Rekening An. Nayun Winangun (Rp 130.000.000,-)<br />Rekening An. Teguh Riyanto (Rp 145.000.000,-)<br />Rekening An. Heru Harianto (Rp 205.000.000,-)<br />Rekening An. Eddy Mulyono (Rp 105.000.000,-)<br />Rekening An. Idris (Rp 50.000.000,-)<br />Rekening An. Agustina (Rp 50.000.000,-)<br />Dan Terdakwa juga telah menikmati uang dari hasil tipikorya yang tampak dari aktivitas Terdakwa yang sering melakukan penarikan dana dari ATM.<br /> D. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara<br /> Yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam hal ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun.<br /> Dalam hal ini, perlu diingat bahwa Perusahaan Daerah Tuah Saiyo Padang Panjang<br /> adalah sebuah BUMD yang merupakan milik pemerintah daerah. Jadi jelas jika perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa telah merugikan keuangan daerah mengingat dana yang seharusnya digunakan untuk memajukan perekonomian daerah telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi Terdakwa dan rekan-rekannya (yang dalam hal ini berjumlah sebesar Rp 635.000.000,-)<br /> 2. Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001<br /><br /> “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :<br /> a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang barang tersebut.<br /> b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.”<br /><br /> Dalam hal ini perlu adanya alat-alat bukti lain antara lain keterangan ahli yang dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.<br /><br /> 3. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP<br /> <br /> “Dipidana sebagai pembuat delik :<br />1.Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan <br /> perbuatan.<br />2.Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan<br /> menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau<br /> penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja<br /> menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”<br /><br /> Dalam hal ini, penggunaan pasal ini adalah tepat karena dalam kasus ini, terdakwa telah terlibat secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.<br /><br /> 4. Pasal 64 ayat (1) KUHP <br /><br />“Jika ada beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.”<br /><br />Dapat dilihat jika pasal ini mengatur tentang perbuatan berlanjut dan apabila kita kaitkan dengan kasus ini, maka unsur ini adalah terpenuhi karena selama melakukan tindak pidananya, Terdakwa telah melakukan serangkaian perbuatan melawan hukum ( penarikan telaah ekonomi, menarik dana tidak sesuai prosedur, melanggar Perda, melanggar prinsip Prudencial, dll)<br /><br />Unsur-unsur dakwaan Subsidair jaksa penuntut umum dalam perkara No.2744 K/Pid/2006, antara lain:<br /> 1. Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 20 tahun 2001<br /> <br /> “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan / atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)”<br /><br />Adapun unsur dalam pasal ini meliputi :<br /> A. Setiap orang<br /> Yang dimaksud dengan setiap orang dalam hal ini adalah pegawai negeri. Pegawai Negeri itu meliputi :<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang kepegawaian<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah<br /> atau<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.<br />Dalam hal ini, Terdakwa adalah seorang Direktur Perusahaan Daerah Tuah Saiyo Padang Panjang yang merupakan sebuah BUMD pada saat melakukan tindak pidana korupsinya. Jadi unsur ini telah terbukti.<br /> <br /> B. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi<br /> Maksud dari unsur ini adalah menambah kekayaan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Unsur ini telah terpenuhi mengingat dalam melakukan tugasnya sebagai<br /> Direktur sebuah BUMD, Terdakwa telah memperkaya dirinya sendiri dan orang lain<br /> sebab dana yang berasal dari rekening BUMD yang bersangkutan telah dipindahkan<br /> secara melawan hukum ke beberapa rekening, seperti :<br />Rekening An. Nayun Winangun (Rp 130.000.000,-)<br />Rekening An. Teguh Riyanto (Rp 145.000.000,-)<br />Rekening An. Heru Harianto (Rp 205.000.000,-)<br />Rekening An. Eddy Mulyono (Rp 105.000.000,-)<br />Rekening An. Idris (Rp 50.000.000,-)<br />Rekening An. Agustina (Rp 50.000.000,-)<br />Dan Terdakwa juga telah menikmati uang dari hasil tipikorya yang tampak dari aktivitas Terdakwa yang sering melakukan penarikan dana dari ATM.<br /><br /> C. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.<br />Yang dimaksud dengan wewenang adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik.<br />Sedangkan yang dimaksud dengan kesempatan adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi, peluang mana tercantum di dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi, peluang mana tercantum di dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi.<br />Sarana adalah cara kerja atau metode kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi.<br />Adapun unsur dari pasal ini terbukti dengan adanya pelanggaran terhadap Pasal 9 Perda No.9 Tahun 2004 dimana wewenang seorang direktur adalah sebagai berikut:<br /> a. Memimpin, mengurus dan membina perusahaan daerah menurut kebijaksanaan<br /> yang digariskan Badan Pengawas dan Kepala Daerah ; <br /> b. Menyampaikan rencana kerja lima tahunan clan rencana kerja anggaran<br /> Perusahaan Daerah tahunan kepada Badan Pengawas untuk mendapat<br /> pengesahan ; <br /> c. Melakukan perubahan terhadap program kerja setelah mendapat persetujuan<br /> Badan Pengawas ;<br /> d. Membina Pegawai Perusahaan Daerah ; <br /> e. Mengurus dan mengelola kekayaan Perusahaan Daerah ; <br /> f. Menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan ;<br /> g. Mewakili Perusahaan Daerah baik di dalam maupun di luar Pengadilan ;<br /> h. Menyampaikan laporan berkala mengenai seluruh kegiatan termasuk neraca dan<br /> perhitungan laba rugi Perusahaan Daerah setiap tahun ; <br />Tetapi Terdakwa tidak melakukannya.<br /><br /> D. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara<br /> Yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam hal ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun.<br /> Dalam hal ini, perlu diingat bahwa Perusahaan Daerah Tuah Saiyo Padang Panjang<br /> adalah sebuah BUMD yang merupakan milik pemerintah daerah. Jadi jelas jika perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa telah merugikan keuangan daerah mengingat dana yang seharusnya digunakan untuk memajukan perekonomian daerah telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi Terdakwa dan rekan-rekannya (yang dalam hal ini berjumlah sebesar Rp 635.000.000,-)<br /><br /> 2. Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001<br /><br /> “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :<br /> a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang barang tersebut.<br /> b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.”<br /><br /> Dalam hal ini perlu adanya alat-alat bukti lain antara lain keterangan ahli yang dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.<br /><br /> 3. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP<br /> <br /> “Dipidana sebagai pembuat delik :<br />1.Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan <br /> perbuatan.<br />2.Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan<br /> menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau<br /> penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja<br /> menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”<br /><br /> Dalam hal ini, penggunaan pasal ini adalah tepat karena dalam kasus ini, terdakwa telah terlibat secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.<br /><br /> 4. Pasal 64 ayat (1) KUHP <br /><br />“Jika ada beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.”<br /><br />Dapat dilihat jika pasal ini mengatur tentang perbuatan berlanjut dan apabila kita kaitkan dengan kasus ini, maka unsur ini adalah terpenuhi karena selama melakukan tindak pidananya, Terdakwa telah melakukan serangkaian perbuatan melawan hukum ( penarikan telaah ekonomi, menarik dana tidak sesuai prosedur, melanggar Perda, melanggar prinsip Prudencial, dll)<br /><br />Analisis putusan Pengadilan<br />Putusan PN :<br /> 1. Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana<br /> “Secara bersama-sama melakukan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan sebagai <br /> perbuatan berlanjut”; Tepat sebab perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur-<br /> unsur dari pasal yang didakwakan dan memang benar jika Terdakwa telah<br /> melakukan tipikor dalam serangkaian perbuatan yang berlanjut.<br /><br /> 2. Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama 4 tahun; Penjatuhan pidana <br /> telah tepat tetapi lamanya dirasa kurang sebab tidak sesuai dengan perbuatan yang <br /> telah Terdakwa lakukan.<br /><br /> 3. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan sebelum putusan ini <br /> mempunyai kekuatan hukum tetap, akan dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara <br /> yang dijatuhkan ; Tepat karena sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-<br /> undangan yang berlaku.<br /><br /> 4. Menghukum Terdakwa dengan hukuman denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus <br /> juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar, maka kepada <br /> Terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 3 (tiga)<br /> bulan ; Sebenarnya kurang tepat apabila dibandingkan dengan total kerugian <br /> negara yang diakibatkan oleh perbuatan Terdakwa.<br /><br /> 5. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;<br /><br /> 6. Memerintahkan agar barang bukti dikembalikan kepada PD. Tuah Saiyo Agar <br /> barang yang dijadikan barang bukti tersebut dapat segera digunakan sesuai dengan <br /> tujuan PD Tuah Saiyo.<br /><br />Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp 5.000,-<br /><br />Putusan PT :<br />Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum dan Terdakwa;<br /><br />Menguatkan putusan PN Padang Panjang tanggal 10 Agustus 2006 No. 22/PID.B/2006/PN.PP;<br /><br />Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan;<br /><br />Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa pada dua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding ini saja ditetapkan Rp 1.000,- <br /><br />Putusan MA :<br /><br /> Menolak permohonan kasasi baik dari Pemohon Kasasi I/ Jaksa Penuntut Umum maupun permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/ Terdakwa;<br /><br />Melihat putusan yang telah dijatuhkan di atas, maka kita akan melihat suatu hal yang cukup unik dalam putusan MA ini dimana hal yang unik tersebut berkenaan pada pengenaan pemberian hukuman uang pengganti terhadap Terdakwa.<br /> Sebenarnya jika kita cermati pada putusan-putusan yang telah dikeluarkan oleh MA sebelumnya, bukan untuk kali pertamanya kewajiban untuk membayar uang pengganti tidak dikenakan pada Terdakwa, seperti halnya yang terjadi pada Yurisprudensi MA No. 849 K/Pid/2004. Dalam putusan tersebut tidak ada suatu kewajiban yang dibebankan pada Terdakwa untuk membayar uang pengganti jika Penuntut umum tidak bisa membuktikan jika uang hasil tindak pidana korupsi tersebut telah digunakan untuk kepentingan Terdakwa.<br /> Beranjak dari hal tersebut, apakah putusan MA yang demikian adalah tepat? Dalam hal ini, tidak bisa dikatakan mana yang benar dan mana yang salah, sebab untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman, tentunya segalanya harus berdasarkan fakta-fakta yang telah ditemukan selama persidangan.<br /> Tidak dijelaskan secara rinci bagaimana hal ini bisa terjadi. Tidak ada kesalahan terhadap dakwaan yang telah dikenakan terhadap Terdakwa. Maka berdasarkan hal tersebut, penulis hanya akan memberikan suatu penjelasan singkat terhadap pengenaan kewajiban untuk mengembalikan uang hasil korupsi.<br /> Ketentuan mengenai pengembalian uang hasil tindak pidana korupsi sebenarnya diatur dalam pasal 18 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 sebagaimana yang diatur dalam UU No. 20 tahun 2001 yang bunyinya sebagai berikut:<br /><br /> “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang hukum pidana, sebagai pidana tambahan adalah :<br /> a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;<br /> b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;<br /> c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;<br /> d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana;”<br /><br />Kembali dalam hal ini penulis akan kembali memberikan penjelasan perihal pidana tambahan berdasarkan pasal yang didakwakan (dalam hal ini adalah Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 20 tahun 2001) perihal pengenaan uang pengganti terhadap Terdakwa. Dalam hal ini penentuan besarnya uang pengganti yang dapat dikenakan tidak bisa begitu saja dibebankan kepada Terdakwa melainkan harus berdasarkan pada bukti yang kuat tentang hal itu (dalam hal ini adalah keterangan ahli) yang dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsinya. Dikatakan demikian sebab pelaksanaan pidana tambahan ini hanya sebatas hingga sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi.<br /> Meskipun demikian perihal “harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi” tidak terbatas pada harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi yang masih dikuasai oleh terpidana pada waktu pengadilan menjatuhkan keputusannya, melainkan juga termasuk harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi yang penguasaannya telah dialihkan pada orang lain. Hal yang serupa juga terjadi pada kasus ini, dimana pidana tambahan dapat dibebankan sesuai dengan jumlah yang secara nyata telah diterima dan dinikmati oleh Terdakwa.<br /> Jadi, seperti yang kita ketahui bahwa tujuan diberlakukannya UU Tipikor adalah untuk memberantas korupsi dan menyelamatkan uang negara yang hilang akibat tindak pidana yang bersangkutan. Jika dikaitkan dengan kasus ini, kita mendapatkan suatu hal baru bahwa meskipun Terdakwa bersalah karena tindakan yang dilakukannya, berkaitan dengan uang pengganti masih harus dibuktikan apakah Terdakwa menggunakan uang tersebut secara utuh atau tidak (dalam hal ini seperti dinikmati bersama dengan orang lain). Semua ini kembali pada prinsip keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles yang lebih mengutamakan kelayakan dalam tindakan manusia, dimana hukuman yang dijatuhkan haruslah sepadan dengan apa yang dilakukan sehingga ia pantas untuk dihukum demikian disamping mengejar efek jera pada pelaku tindak pidana yang bersangkutan.<br /><br />H. Daftar Pustaka<br /><br />Amrullah, M. Arief, Dr., S.H., M.Hum., Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering,Malang : Bayumedia, 2004.<br />Ginting, Jamin, S.H., M.H., Analisis dan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Ri Tindak Pidana Korupsi (I), Tangerang : Universitas Pelita Harapan Press, 2009.<br />Ginting, Jamin, S.H., M.H., Analisis dan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Ri Tindak Pidana Korupsi (II), Tangerang : Universitas Pelita Harapan Press, 2009.<br />Hartanti, Evi, S.H., Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2007.<br />Prinst, Darwan, S.H., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2002<br />Wiyono, R, S.H., Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2009.<br /><br /><br /><br /></div>Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-75227663198096163002009-12-02T20:38:00.001+07:002009-12-02T20:42:44.963+07:00Putusan MA No. 2471 K/Pid/2006<div align="justify"> Putusan MA No. 2471 K/Pid/2006<br /> Tanggal 15 Maret 2007<br /><br />A. Kaidah Hukum : Walaupun ”hukuman percobaan” sah menurut hukum berdasarkan pasal 14 KUHP, untuk menentukan hukuman apa yang patut dijatuhkan kepada Terdakwa, perlu dipertimbangkan sifat perbuatan Terdakwa, disamping hal-hal yang memberatkan dan meringankan;<br /><br />B. Identitas terdakwa :<br />Nama : Ir. HARIS FADILAH bin H.IMAM HAMBALI;<br />Umur : 39 tahun;<br />Alamat : Perum Korpri Blok C IX No. 16 Sukarame, Bandar Lampung;<br />Pekerjaan / jabatan : Mantan Kasubag Program Kerja bagian Pembangunan / PNS pada Pemda Kabupaten<br />Way Kanan;<br /><br />C. Pasal dan Kerugian Anggaran :<br />a. Pasal yang didakwakan :<br />Primair : Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31<br />Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ;<br />Subsidair : Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal<br />55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana;<br />b. Kerugian Anggaran :<br />Jumlah : Rp. 556.111.712,18 (lima ratus lima puluh enam juta seratus sebelas ribu tujuh ratus dua belas rupiah delapan belas sen)<br />Berasal dari : penyelewengan dana proyek pengadaan obat Kabupaten Way Kanan<br /><br />D. Kasus Posisi :<br />Dalam tahun anggaran 2001 Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan memperoleh Anggaran Belanja Tambahan (AST) sebesar Rp 804.580.000,- yang dialokasikan guna Proyek Pengadaan Obat dan Pelayanan Kesehatan Dasar (POPKD) untuk pembelian obat-obatan dasar yang akan didistribusikan ke puskesmas-puskesmas di Kabupaten Way Kanan dan untuk pelaksanaannya ditunjuk Srikandi sebagai Pimpro (Pimpinan Proyek) dan Retna Sawitri sebagai Bendahara Proyek dengan Surat Keputusan Bupati Way Kanan Nomor : B/235-a/KU/WK/HK/2001 tanggal 22 Oktober 2001 tentang Penunjukkan dan Penetapan Pimpinan Proyek dan Bendaharawan Proyek ABT Kabupaten Way Kanan tahun Anggaran 2001<br />Bahwa dalam perencanaan pengadaan Obat-obatan ini pada saat diajukan untuk disetujui DPRD Kabupaten Way Kanan melibatkan Bagian Pembangunan Pemerintah Daerah Way Kanan yang pada saat itu Terdakwa selaku Kepala Sub Bagian Program Kerja Bagian Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Way Kanan, kemudian pada saat Anggaran Biaya Tambahan tersebut disetujui DPRD Kabupaten Way Kanan, untuk pengadaan obat-obatan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan, ternyata Terdakwa selaku Kepala Sub Bagian Program Kerja Bagian Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Way Kanan yang bertugas melaksanakan dan mengkoordinasikan penyusunan pedoman dan Petunjuk Teknis Pembinaan serta Administrasi Pembangunan, namun ternyata Terdakwa mengambil alih seluruh pelaksanaan Administrasi Proyek maupun pengadaan obat-obatan tersebut yang bukan tugas dan wewenangnya tetapi tugas dan wewenang Pemimpin Proyek, sehingga Terdakwa tidak berwenang atas pelaksanaan Proyek tersebut;<br />Mula-mula pada bulan Desember 2001, Terdakwa dan Raden Arianto bin Muhammad Zaini mendatangi rumah Sudiyono (belum tertangkap) selaku Direktur CV. 939 di Kampung Simpang Asam Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan dan maksud kedatangan Terdakwa bersama-sama dengan Raden Aryanto bin Muhammad Zaini untuk meminjam/menunjuk Perusahaan milik Sudiyono yang bernama CV. 939 yang bergerak dibidang Pengadaan Barang dan Jasa Konstruksi untuk melaksanakan proyek pengadaan obat farmasi, sedangkan perusahaan tersebut tidak mempunyai Sertifikasi dan Klasifikasi untuk pengadaan obat Farmasi, karena perusahaan yang dapat melaksanakan pengadaan obat pelayanan kesehatan dasar adalah penyedia barang PBF (Pedagang Besar Farmasi) yang mempunyai Sertifikasi dan klasifikasi seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 442/Menkes-Kesos/SK/V/2001 tanggal11 Mei 2001 dan KEPPRES 18 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang I Jasa Instansi Pemerintah;<br />Namun Terdakwa dan Raden Arianto bin Muhammad Zaini tetap memakai perusahaan tersebut dan mendapatkan kelengkapan Administrasi CV. 939 dari Sudiyono berupa antara lain foto copy akte pendirian Perusahaan, Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Surat Izin Untuk Perusahaan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP) , Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Sertifikasi Perusahaan dan kertas Kop CV. 939 yang kosong yang sudah ditandatangani dan di stempel sebanyak 7 lembar, selanjutnya setelah mendapatkan blanko-blanko tersebut, Terdakwa menyodorkan Surat Perjanjian Kerja Nomor : 442/3/III.05.WK/POPKD/2001 tanggal 10 Desember 2001 yang telah dipersiapkan untuk ditandatangani oleh Sudiyono sebagai Direktur CV. 939 dan saksi Srikandi sebagai Pemimpin Proyek (PIMPRO), lalu melengkapinya dengan Administrasi proyek lainnya untuk dapat diterbitkan Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) kepada CV. 939, serta meminta Sudiyono untuk menandatangani berkas-berkas kelengkapan proyek lainnya yang sudah disiapkan berupa Penawaran Proyek, Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK), Berita Acara Penyerahan Pekerjaan, Berita Acara Pembayaran dan Bukti Kas Pengeluaran serta meminta foto copy KTP;<br />Kemudian setelah terbit Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) dan kelengkapan surat untuk pencairan dana tersebut, lalu Terdakwa membuat Surat Kuasa dari Sudiyono selaku Direktur CV 939 yang memberikan kuasa kepada Raden Aryanto untuk mencairkan termin Proyek Pengadaan Obat pada Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan sebesar Rp. 804.580.000,- kemudian surat kuasa tersebut dari Terdakwa diserahkan kepada Raden Aryanto untuk mencairkan uang tersebut, lalu pada tanggal 28 Desember 2001 Raden Aryanto bin Muhammad Zaini bersama-sama Terdakwa mencairkan uang tersebut pada Bank Lampung Cabang Pembantu Bukit Kemuning, setelah dipotong PPh dan PPn dana tersebut cair sebesar Rp. 738.371.226.00,- dan setelah uang tersebut dapat dicairkan oleh Raden Aryanto, kemudian uang tersebut diserahkan kepada Terdakwa dan dititipkan pada Bank Lampung Cabang Pembantu Bukit Kemuning ,sedangkan Terdakwa tidak berhak atas uang tersebut, selanjutnya pada tanggal 2 Januari 2002 Terdakwa menarik uang titipan tersebut dan memasukan ke Bank BNI Cabang Kota Bumi dan membuka 2 rekening atas nama Terdakwa dengan setoran tunai masing-masing sebesar Rp 720.000.000,- dan Rp 10.500.000,-<br />Selanjutnya rekening pada Bank BNI Cabang Kota Bumi tersebut ditarik oleh Terdakwa yaitu pada tanggal 29 Januari 2002 Terdakwa menarik dana dari Bank BNI Cabang Kota Bumi sebesar Rp. 500.000.000.00,- , tanggal 04 Pebruari 2002 Terdakwa menarik dana dari Bank BNI Cabang Kota Bumi sebesar Rp 100.000.000.00,- , tanggal 08 Pebruari 2002 Terdakwa menarik dana dari Bank BNI Cabang Kota Bumi sebesar Rp.10.000.000.00,- , 13 Pebruari 2002 Terdakwa menarik dana dari Bank BNI Cabang Kota Bumi sebesar Rp.120.000.000.00,- , sedangkan dana tersebut oleh Terdakwa hanya sebagian kecil saja yang dibelikan obat-obatan, dan obat-obatan tersebut dikirim pada Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan dengan menggunakan Surat Pengantar CV Teguh Pratama yang diterima oleh Herman Hamid pada tanggal 31 Januari 2002, sehingga tidak sesuai dengan Surat Perjanjian Kerja yaitu seharusnya obat-obatan yang dibeli sebanyak 137 jenis dengan total jumlah obat sebanyak 63.717 jenis obat dengan total harga Rp. 804.580.000.00,- namun hanya dibelikan obat-obatan sebanyak 91 jenis dengan jumlah total 11.310,80 satuan, sehingga diperoleh selisih jumlah obat sebanyak 52.406.20 satuan;<br />Akibat perbuatan Terdakwa dan teman-temannya. Negara mengalami kerugian sebesar Rp. Rp. 556.111.712,18,-<br /><br />E. Dakwaan :<br />Primair : Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ;<br />Subsidair : Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana;<br /><br />F. Tuntutan :<br />Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan “bersama-sama melakukan Tindak Pidana Korupsi.” ;<br />Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp.50.000.000.-(lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan;<br />Membebankan kepada Terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp. 556.111.712,18 (lima ratus lima puluh enam juta seratus sebelas ribu tujuh ratus dua belas rupiah delapan belas sen) dengan ketentuan apabila dalam tempo selama 1 (satu) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, uang pengganti tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa, maka Terdakwa dipidana penjara selama 6 (enam) bulan ;<br />Menyatakan agar barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp 29.000.000,- dirampas untuk negara<br />Menyatakan barang bukti sebagaimana yang dimaksud (no.2 s/d no.16) untuk tetap dalam berkas perkara sementara barang bukti berupa obat-obatan agar dikembalikan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan;<br />Menyatakan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,-<br /><br />G. Putusan PN<br />a. Putusan :<br />Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan primair;<br />Membebaskan Terdakwa dari dakwaan primair tersebut;<br />Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melkukan tindak pidana Korupsi dalam dakwaan subsidair;<br />Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun;<br />Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani Terdakwa akan dikurangkan dengan pidana yang dijatuhkan tersebut yaitu untuk tahanan Rutan akan dikurangkan seluruhnya dan untuk tahanan Kota akan diperhitungkan 1/5 (seperlima);<br />Menetapkan supaya Terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.512.394.819,- (lima ratus dua belas juta tiga ratus sembilan puluh empat ribu delapan ratus sembilan belas rupiah) dengan ketentuan bilamana Terdakwa dalam tenggang waktu satu bulan tidak membayar uang peng- ganti tersebut sesudah putusan Pengadilan Negeri mempunyai kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut atau bilamana Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan;<br />Menyatakan agar barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp 29.000.000,- dirampas untuk dikembalikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Way Kanan;<br />Barang bukti sebagaimana yang dimaksud (no.2 s/d no.16 agar dilampirkan dalam berkas perkara;<br />Menyatakan agar barang bukti berupa obat-obatan untuk dikembalikan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan;<br />Menyatakan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,-<br />b. Pertimbangan Hukum : -<br /><br />H. Putusan PT<br />a. Putusan :<br />Menerima permintaan banding dari Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum;<br />Mengubah putusan PN yang dimintakan banding tersebut sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa sehingga amar putusannya menjadi :<br />- Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan <br /> Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan primair;<br />- Membebaskan Terdakwa dari dakwaan primair;<br />- Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah <br /> melakukan tindak pidana Korupsi;<br />- Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 1<br /> tahun;<br />- Memerintahkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali kemudian <br />dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa Terpidana <br /> sebelum waktu percobaan selama 2 (dua) tahun berakhir telah bersalah<br /> melakukan sesuatu tindak pidana;<br />- Menyatakan agar barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp 29.000.000,-<br /> dirampas untuk dikembalikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Way<br /> Kanan;<br />- Barang bukti sebagaimana yang dimaksud (no.2 s/d no.16 agar dilampirkan<br />dalam berkas perkara;<br />- Menyatakan agar barang bukti berupa obat-obatan untuk dikembalikan <br />kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan;<br />- Menyatakan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,-<br />b. Pertimbangan Hukum : -<br /><br />H. Putusan MA (Kasasi) :<br />a. Alasan-alasan Pengajuan Kasasi :<br />Bahwa PT Tanjungkarang telah menjatuhkan putusan yang melanggar Pasal 3<br />Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 dimana UU No.20 tahun 2001 tidak mengatur tentang hukuman percobaan.<br />Bahwa hukuman yang dijatuhkan dalam putusan PT Tanjungkarang tersebut terlalu ringan dan salah menerapkan peraturan dimana dalam hal ini tidak sesuai dengan kehendak dari pembuat undang-undang yang dalam hal ini tampak dalam hal ini tampak dalam putusan PT yang menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali kalau kemudian dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa Terpidana sebelum waktu percobaan selama 2 (dua) tahun berakhir telah bersalah melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini Hakim Pengadilan Tinggi telah menerapkan peraturan dengaan tidak semestinya.<br />b. Putusan :<br />Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Jaksa Penuntut Umum;<br />Membatalkan putusan PT Tanjungkarang No. 90/Pid/2005/PT.TK, tanggal 23 April 2006<br />Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan primair;<br />Membebaskan Terdakwa dari dakwaan primair tersebut;<br />Menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana Korupsi;<br />Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun;<br />Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, akan dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan dan untuk tahanan kota akan diperhitungkan 1/5 (seperlima) ;<br />Menghukum pula Terdakwa dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp.512.394.819,- (lima ratus dua belas juta tiga ratus sembilan puluh empat ribu delapan ratus sembilan belas rupiah) dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan mem- punyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dan jika tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan ;<br />Menyatakan agar barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp 29.000.000,- dirampas untuk dikembalikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Way Kanan;<br />Barang bukti sebagaimana yang dimaksud (no.2 s/d no.16) agar dilampirkan dalam berkas perkara;<br />Menyatakan agar barang bukti berupa obat-obatan untuk dikembalikan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan;<br />Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,-<br />c. Pertimbangan Hukum :<br />Bahwa Pengadilan Tinggi salah dalam menerapkan hukum karena uang sebesar Rp.512.394.819,- (lima ratus dua belas juta tiga ratus sembilan puluh empat ribu delapan ratus sembilan belas rupiah) ternyata digunakan/dinikmati oleh Terdakwa (putusan Pengadilan Negeri hal. 69, 70) maka sudah tepat ditetapkan sebagai uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ;<br />Bahwa Ketentuan mengenai hukuman percobaan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi, adalah sah menurut hukum sebagai berikut :<br />- Undang-undang tindak pidana korupsi sebagai lex specialis tidak mengatur<br /> secara khusus tentang hukuman percobaan sehingga demikian berlaku ketentuan <br /> umum sebagaimana yang diatur dalam pasal 14 KUHP;<br />- Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana<br /> Korupsi adalah tentang ”tindak pidana percobaan”, yang merupakan suatu jenis<br /> tindak pidana. Bukan tentang ”hukuman percobaan” yang merupakan suatu<br /> jenis hukuman ;<br />- Adanya ketentuan khusus tentang ancaman pidana minimum dalam Undang-<br /> UndangTindak Pidana Korupsi yang tingginya berbeda dengan ketentuan dalam<br /> KUHP tidak dapat ditafsirkan bahwa seolah-olah ”hukuman percobaan” tidak<br /> dapat diberlakukan, sebab tidak ada dasar hukumnya dalam KUHP walaupun<br /> ada ketentuan tentang ancaman pidana minimum 1 hari, ketentuan tentang<br /> hukuman percobaan juga berlaku;<br />Bahwa namun demikian, walaupun ”hukuman percobaan” sah menurut hukum, untuk menentukan hukuman apa yang patut dijatuhkan kepada Terdakwa, perlu dipertimbangkan sifat perbuatan Terdakwa, disamping hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Dalam perkara ini, pertimbangan Pengadilan Negeri Blambangan Umpu sudah tepat dan benar, sehingga akan diambil alih sebagai pertimbangan Mahkamah Agung ;<br /><br />I. Analisis<br />Korupsi dikategorikan sebagai suatu bentuk tindak pidana khusus. Faktor-faktor penyebab korupsi adalah sebagai berikut :<br />Lemahnya pendidikan dan etika.<br />Kolonialisme.<br />Kurangnya pendidikan (meski tidak selalu demikian).<br />Kemiskinan.<br />Tidak adanya sanksi yang keras.<br />Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku antikorupsi.<br />Struktur pemerintahan.<br />Perubahan radikal (korupsi sebagai suatu penyakit transisional).<br />Keadaan masyarakat.<br /><br />Unsur-unsur dakwaan Primair jaksa penuntut umum dalam perkara No. 2471 K/Pid/2006 antara lain :<br /><br />Pasal 2 ayat (1) UU No. 31Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001<br /><br />Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah)<br /><br />Adapun unsur-unsur yang harus dibuktikan dalam pasal itu meliputi:<br /> A. Setiap orang<br /> Yang dimaksud dengan setiap orang dalam hal ini adalah pegawai negeri. Pegawai Negeri itu meliputi :<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang<br /> kepegawaian<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah<br /> atau<br /> Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang<br /> mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.<br />Dalam hal ini, Terdakwa adalah seorang Mantan Kasubag Program Kerja bagian Pembangunan/ PNS pada Pemda Kabupatan Way Kanan; Jadi dalam hal ini, unsur setiap orang tersebut telah terpenuhi.<br /> B. Perbuatan melawan hukum<br /> Dalam hal ini, perbuatan melawan hukum yang dimaksud itu mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan materiil. Jadi, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi jika perbuatan itu dirasa melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat, perbuatan itu dapat dikenakan pidana.<br /> Unsur ini telah terbukti dimana perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dengan melakukan tindak pidana korupsi bersama-samaberupa penyelewengan dana proyek pengadaan obat-obatan Kabupaten Way Kanan.<br /> C. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi<br /> Maksud dari unsur ini adalah menambah kekayaan diri sendiri, orang lain atau korporasi.<br /> Unsur ini terbukti sebab Terdakwa telah menempatkan uang yang seharusnya dibelikan obat-obatan pada kedua rekening miliknya dan menarik uang tersebut berkali-kali untuk kepentingannya sehingga hanya sedikit dari jumlah uang tersebut yang digunakan untuk membeli obat-obatan sehingga jumlahnya tidak sesuai.<br /> D. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara<br /> Yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam hal ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun.<br /> Dalam hal ini, Negara mengalami kerugian sebesar Rp. 556.111.712,18,- akibat perbuatan terdakwa. Jadi unsur ini telah terbukti.<br /><br />Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP<br /><br /> “Dipidana sebagai pembuat delik :<br />1.Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta <br /> melakukan perbuatan.<br />2.Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan<br /> menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau<br /> penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja<br /> menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”<br /><br />Dalam hal ini, penggunaan pasal ini adalah tepat karena dalam kasus ini, terdakwa telah terlibat secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.<br /><br />Unsur-unsur dakwaan Subsidair jaksa penuntut umum dalam perkara No. 2471 K/Pid/2006 antara lain :<br /><br />1. Pasal 3 UU No. 31Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001<br /><br /> “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan / atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)”<br /><br />Adapun unsur dalam pasal ini meliputi :<br /> a. Setiap orang<br /> Yang dimaksud dengan setiap orang dalam hal ini adalah pegawai negeri. Pegawai Negeri itu meliputi :<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang kepegawaian<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah<br /> atau<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.<br /> Dalam hal ini, Terdakwa adalah seorang Mantan Kasubag Program Kerja bagian Pembangunan/ PNS pada Pemda Kabupatan Way Kanan; Jadi dalam hal ini, unsur setiap orang tersebut telah terpenuhi.<br /><br /> b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi<br /> Maksud dari unsur ini adalah menambah kekayaan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Dalam hal ini, unsur ini terbukti sebab Terdakwa telah menempatkan uang yang seharusnya dibelikan obat-obatan pada kedua rekening miliknya dan menarik uang tersebut berkali-kali untuk kepentingannya sehingga hanya sedikit dari jumlah uang tersebut yang digunakan untuk membeli obat-obatan sehingga jumlahnya tidak sesuai.<br /><br /> c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.<br />Dalam hal ini tampak jelas suatu bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh terdakwa selaku pada saat menjalankan tugasnya sebagai Kasubag Program Kerja bagian Pembangunan/ PNS pada Pemda Kabupaten Way Kanan dalam rangka pengadaan obat- obatan dimana Terdakwa telah mengambil alih semua tugas Administrasi Proyek yang bukan wewenangnya dan menunjuk sebuah perusahaan yang tidak tersertifikasi dalam pengadaan obat-obatan tersebut hingga berujung pada dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukannya.<br /><br /> e. Dapat merugikan keuangan negara<br /> Yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam hal ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun. Dalam hal ini, unsur tersebut dipenuhi karena akibat perbuatan terdakwa dan beberapa orang yang lain, negara dirugikan sebesar Rp. 556.111.712,18,-.<br />2. Pasal 14 KUHP<br /><br />“ Terpidana yang dijatuhi pidana penjara wajib menjalankan segala pekerjaan yang dibebankan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan pasal 29.”<br /><br />Adapun berkaitan dengan pasal ini, perlu diketahui bahwa ketentuan pasal ini juga perlu memperhatikan ketentuan pasal 14a hingga pasal 14f KUHP yang memberikan penjelasan tentang hukuman percobaan lebih lanjut. <br /><br />3. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP<br /><br /> “Dipidana sebagai pembuat delik :<br />1.Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta <br /> melakukan perbuatan.<br />2.Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan<br /> menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau<br /> penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja<br /> menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”<br /><br />Dalam hal ini, penggunaan pasal ini adalah tepat karena dalam kasus ini, terdakwa telah terlibat secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.<br /><br />Analisis Putusan PN:<br /> 1. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan primair;--> tidak tepat benar, sebab melihat dari kasus posisi yang ada dan dari pasal yang didakwakan Terdakwa jelas telah melakukan tindak pidana korupsi.<br /><br />2. Membebaskan Terdakwa dari dakwaan primair tersebut;<br /><br />3. Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana Korupsi dalam dakwaan subsidair;-->benar sebab Terdakwa memang telah terbukti melakukan tindak pidana demikian<br /><br />4. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun--><br /> kurang tepat sebab dilihat dari jumlah kerugian negara, hukuman tersebut seharusnya <br /> lebih berat lagi guna memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat dan memberikan efek<br /> jera bagi pelaku.<br /><br />5. Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani Terdakwa akan dikurangkan dengan pidana yang dijatuhkan tersebut yaitu untuk tahanan Rutan akan dikurangkan seluruhnya dan untuk tahanan Kota akan diperhitungkan 1/5 (seperlima); -->Benar sebab telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br /><br />6. Menetapkan supaya Terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.512.394.819, (lima ratus dua belas juta tiga ratus sembilan puluh empat ribu delapan ratus sembilan belas rupiah) dengan ketentuan bilamana Terdakwa dalam tenggang waktu satu bulan tidak membayar uang pengganti tersebut sesudah putusan Pengadilan Negeri mempunyai kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut atau bilamana Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan; --> Tepat, sebab salah satu tujuan dari diberlakukannya UU Tipikor adalah untuk menyelamatkan uang negara yang dikorupsi disamping memberantas tindak pidana itu sendiri.<br /><br />7. Menyatakan agar barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp 29.000.000,- dirampas untuk dikembalikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Way Kanan--> tepat sebab sejak semula uang tersebut merupakan uang negara (dalam hal ini adalah Pemda Kabupaten Way Kanan) yang digunakan untuk pembangunan.<br /><br />8. Barang bukti sebagaimana yang dimaksud (no.2 s/d no.16) agar dilampirkan dalam berkas perkara; -->Berguna untuk petunjuk dalam menyelesaikan perkara lain.<br /><br />9. Menyatakan agar barang bukti berupa obat-obatan untuk dikembalikan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan--> agar dapat segera disalurkan pada pihak-pihak yang memang membutuhkan sesuai dengan tujuan awal proyek pengadaan obat obatan itu.<br /><br /> 10. Menyatakan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,-<br /><br />Sedangkan Putusan PT adalah sebagai berikut:<br /> 1. Menerima permintaan banding dari Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum;<br /><br />2. Mengubah putusan PN yang dimintakan banding tersebut sekedar mengenai pidana <br /> yang dijatuhkan kepada Terdakwa sehingga amar putusannya menjadi :<br />- Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan <br /> Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan primair;<br />- Membebaskan Terdakwa dari dakwaan primair;<br />- Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah <br /> melakukan tindak pidana Korupsi;<br />- Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 1<br /> tahun;<br />- Memerintahkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali kemudian <br />dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa Terpidana <br /> sebelum waktu percobaan selama 2 (dua) tahun berakhir telah bersalah<br /> melakukan sesuatu tindak pidana;<br />- Menyatakan agar barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp 29.000.000,-<br /> dirampas untuk dikembalikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Way<br /> Kanan;<br />- Barang bukti sebagaimana yang dimaksud (no.2 s/d no.16 agar dilampirkan<br />dalam berkas perkara;<br />- Menyatakan agar barang bukti berupa obat-obatan untuk dikembalikan <br />kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan;<br /> - Menyatakan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,-<br /><br />Melihat putusan dari PT diatas, maka kita akan menemukan beberapa hal yang berbeda dengan putusan PN yang sebelumnya dimana putusan yang awalnya berbunyi :<br /> - Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun<br /><br />- Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani Terdakwa akan dikurangkan dengan <br /> pidana yang dijatuhkan tersebut yaitu untuk tahanan Rutan akan dikurangkan<br /> seluruhnya dan untuk tahanan Kota akan diperhitungkan 1/5 (seperlima);<br /><br />- Menetapkan supaya Terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.512.394.819, (lima ratus dua belas juta tiga ratus sembilan puluh empat ribu delapan ratus sembilan belas rupiah) dengan ketentuan bilamana Terdakwa dalam tenggang waktu satu bulan tidak membayar uang pengganti tersebut sesudah putusan Pengadilan Negeri mempunyai kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut atau bilamana Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan;<br /><br />Menjadi :<br /><br /> - Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 1<br /> tahun;<br />- Memerintahkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali kemudian <br /> dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa Terpidana <br /> sebelum waktu percobaan selama 2 (dua) tahun berakhir telah bersalah<br /> melakukan sesuatu tindak pidana;<br /><br />Sebenarnya apabila kita mengamati kasus ini secara garis besar, kita akan menemukan jika sebenarnya keputusan baik yang berasal dari PN maupun PT kali ini bukanlah putusan yang tepat, begitu juga dengan apa yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam putusannya. Masalahnya terletak pada besarnya hukuman yang dirasakan terlalu ringan dibandingkan dengan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh Terdakwa.<br />Akan tetapi dalam hal ini, saya akan lebih mencermati putusan PT yang mengenakan hukuman pidana selama 1 tahun dimana terdakwa tidak usah menjalani hukuman tersebut tanpa diwajibkan untuk mengembalikan uang hasil tindak pidana korupsinya. Putusan itu memuat suatu hal yang dinamakan hukuman percobaan.<br />Berbicara mengenai hukuman percobaan. Sebenarnya apabila kita mencermatinya dengan apa yang terjadi dalam berbagai pengadilan tindak pidana korupsi dewasa ini, bukanlah suatu bentuk keanehan lagi jika hukuman pidana percobaan tersebut diterapkan (meskipun sesungguhnya tidak tepat). Yurisprudensi MA No. 1811 K/Pid/2005 bahkan memberlakukan pidana percobaan terhadap Terdakwa pada tahap MA dengan pertimbangan sebagai berikut :<br /><br />“Demi keadilan suatu tujuan pemidanaan maka penjatuhan pidana atas diri Terdakwa juga perlu diperhatikan tentang kesalahan Terdakwa, sehingga putusan hakim dapat memikirkan rasa keadilan masyarakat bukan justru membuat ketidakadilan;”<br /><br />Sebenarnya apa yang dimaksud dengan hukuman percobaan? Yang dimaksud dengan hukuman percobaan adalah suatu bentuk pemidanaan dimana meskipun terdakwa dinyatakan bersalah dan dihukum dengan hukuman penjara, ia tidak perlu dimasukkan ke penjara atau lembaga pemasyarakatan asalkan selama masa percobaan dapat memperbaiki kelakuannya. Hukuman percobaan hanya dapat dijatuhkan terhadap Terdakwa yang diancam pidana paling lama 1 tahun penjara sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam pasa 14 a ayat (1) KUHP yang tertulis sebagai berikut :<br /><br />“Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti, maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.”<br /><br />Lantas jika dilihat dari besarnya hukuman yang dijatuhkan oleh PT (dalam hal ini adalah 1 tahun). Apakah ada suatu kesalahan terhadap hal tersebut? Sebenarnya jika dilihat dari ketentuan pasal 14a ayat (1), tidak ada suatu kesalahan atas hal tersebut. Tetapi hal ini akan membawa kita pada masalah berikutnya dimana kita akan mempertanyakan fungsi dari hukuman percobaan dalam kasus tindak pidana korupsi dengan pertanyaan “apakah tepat jika diterapkan?”.<br />Adapun yang menjadi salah satu pertimbangan penjatuhan hukuman percobaan dalam suatu kasus tindak pidana korupsi tidak terlepas dari satu pikiran yang berkembang bahwa salah satu yang amat diperlukan dalam peradilan tindak pidana korupsi adalah pengembalian uang negara. Penjeraan terdakwa tidak sekedar memasukkan orang dalam penjara karena penjara bagi koruptor bisa menjadi tempat yang nyaman untuk bersembunyi. Jelas jika titik berat pemikiran seperti ini lebih menempatkan pengembalian kerugian negara sebagai titik berat.<br />Meski demikian hal itu akan sangatlah tidak tepat untuk diterapkan dalam tindak pidana korupsi yang telah dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa. Menghukum pelaku tindak pidana korupsi dengan hukuman percobaan tentunya akan sangat bertentangan dengan tujuan dibuatnya UU Tindak Pidana Korupsi apabila kita menghubungkannya dengan salah satu fungsi hukum yaitu sebagai alat kontrol sosial. Kontrol sosial yang dimaksud dalam hal ini adalah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang bebas korupsi. Putusan hukuman percobaan seperti itu juga selayaknya ditolak karena tidak sesuai juga dengan dua dampak preventif dari hukum, yaitu preventif umum dan khusus. Yang dimaksud dengan preventif umum adalah untuk mencegah agar masyarakat tidak ingin melakukan tindak pidana sedangkan yang dimaksud dengan preventif khusus adalah efek jera pada pelaku tindak pidana yang bersangkutan. Jika demikian, apakah penjatuhan putusan hukuman percobaan dapat menciptakan efek seperti itu dengan efektif? Justru hal ini menunjukkan jika hakim memiiki keraguan dalam menjatuhkan putusannya.<br />Hal Kedua yang akan saya cermati adalah masih berkisar pada putusan PT yang sama sekali tidak mewajibkan Terdakwa untuk membayar pidana pengganti. Dalam hal ini, tidak jelas bagaimana pertimbangan hakim dalam melihat dan memahami perkara yang diberikan padanya untuk diadili. Yurisprudensi MA No 2744 K/Pid/2006 dalam hal ini secara garis besar menyatakan bahwa sekalipun Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, dalam hal uang pengganti atas kerugian negara masih perlu dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Jika hal yang mendasari hakim adalah demikian, maka seharusnya jaksa lebih cermat dalam melakukan penuntutannya sementara hakim sudah seharusnya bersikap lebih hati-hati dalam memberikan keyakinannya atas perkara yang sedang ditanganinya, sebab dalam perkara ini, kita mendapati bahwa dalam perkara ini, pasal 18 UU No. 31Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang bunyinya adalah sebagai berikut :<br /><br />“(1) Selain pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:<br /> a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitupun harga dari barang yang menggantikan barang- barang tersebut.<br /> b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.<br /> c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.<br /> d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.<br />(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.<br />(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b. Maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. “<br />Tidak diterapkan, padahal salah satu tujuan adanya UU Tindak Pidana Korupsi adalah untuk menyelamatkan uang negara yang hilang akibat korupsi (disamping untuk menghilangkan perilaku korup pada masyarakat). Seharusnya dalam menerapkan hukum, hakim dapat membebankan kewajiban untuk membayar uang pengganti pada Terdakwa hanya saja besarnya tersebut harus sesuai dengan apa yang dinikmati dan diperoleh Terdakwa dengan uang hasil tindak pidananya itu.<br />Berdasarkan hal di atas, maka penulis dalam hal ini sepakat dengan putusan MA yang pada dasarnya membenarkan putusan PN (sekalipun putusan PN juga tidak sepenuhnya benar), yaitu :<br /> - Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Jaksa Penuntut Umum;<br />Membatalkan putusan PT Tanjungkarang No. 90/Pid/2005/PT.TK, tanggal 23 April 2006<br />Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan primair;<br />Membebaskan Terdakwa dari dakwaan primair tersebut;<br />Menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana Korupsi;<br />Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun;<br />Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, akan dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan dan untuk tahanan kota akan diperhitungkan 1/5 (seperlima) ;<br />Menghukum pula Terdakwa dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp.512.394.819,- (lima ratus dua belas juta tiga ratus sembilan puluh empat ribu delapan ratus sembilan belas rupiah) dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan mem- punyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dan jika tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan ;<br />Menyatakan agar barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp 29.000.000,- dirampas untuk dikembalikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Way Kanan;<br />Barang bukti sebagaimana yang dimaksud (no.2 s/d no.16) agar dilampirkan dalam berkas perkara;<br />Menyatakan agar barang bukti berupa obat-obatan untuk dikembalikan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Way Kanan;<br /> - Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,-<br />Untuk dapat memahaminya, kita akan melihat dasar pertimbangannya:<br /> - Bahwa Pengadilan Tinggi salah dalam menerapkan hukum karena uang sebesar Rp.512.394.819,- (lima ratus dua belas juta tiga ratus sembilan puluh empat ribu delapan ratus sembilan belas rupiah) ternyata digunakan/dinikmati oleh Terdakwa (putusan Pengadilan Negeri hal. 69, 70) maka sudah tepat ditetapkan sebagai uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ;<br />- Bahwa Ketentuan mengenai hukuman percobaan dalam perkara Tindak Pidana <br />Korupsi, adalah sah menurut hukum sebagai berikut :<br />- Undang-undang tindak pidana korupsi sebagai lex specialis tidak mengatur<br /> secara khusus tentan hukuman percobaan sehingga demikian berlaku ketentuan <br /> umum sebagaimana yang diatur dalam pasal 14 KUHP;<br />- Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana<br /> Korupsi adalah tentang ”tindak pidana percobaan”, yang merupakan suatu jenis<br /> tindak pidana. Bukan tentang ”hukuman percobaan” yang merupakan suatu<br /> jenis hukuman ;<br />- Adanya ketentuan khusus tentang ancaman pidana minimum dalam Undang-<br /> UndangTindak Pidana Korupsi yang tingginya berbeda dengan ketentuan dalam<br /> KUHP tidak dapat ditafsirkan bahwa seolah-olah ”hukuman percobaan” tidak<br /> dapat diberlakukan, sebab tidak ada dasar hukumnya dalam KUHP walaupun<br /> ada ketentuan tentang ancaman pidana minimum 1 hari, ketentuan tentang<br /> hukuman percobaan juga berlaku;<br /> - Bahwa namun demikian, walaupun ”hukuman percobaan” sah menurut hukum, <br /> untuk menentukan hukuman apa yang patut dijatuhkan kepada Terdakwa, perlu<br /> dipertimbangkan sifat perbuatan Terdakwa, disamping hal-hal yang memberatkan<br /> dan meringankan. Dalam perkara ini, pertimbangan Pengadilan Negeri Blambangan<br /> Umpu sudah tepat dan benar, sehingga akan diambil alih sebagai pertimbangan<br /> Mahkamah Agung ;<br /><br />Tiada yang salah dalam pertimbangan hukum tersebut (kecuali dalam hal hukuman percobaan yang telah dijelaskan sebelumnya). Akan tetapi kembali seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa penulis sebenarnya tidak begitu sependapat dengan PN (kecuali dalam hal menentukan perihal uang pengganti dan mengenai bersalah atau tidaknya terdakwa), ketidak sesuaian pendapat ini lebih didasari pada besarnya pidana yang dijatuhkan pada Terdakwa yang dianggap terlalu ringan dibandingkan dengan besarnya uang yang telah dikorupsi. Pengadilan seharusnya lebih bijak lagi dalam menentukan besarnya hukuman terhadap suatu tindak pidana yang seharusnya bisa menjatuhkan suatu pemidanaan yang sepadan sebagaimana yang telah ditulis MA dalam pendapatnya yang telah tercantum dalam Yurisprudensi No. 1500 K/Pid/2006 yang pada intinya mengatakan bahwa tujuan pemidanaan bukanlah suatu hal yang sifatnya balas dendam tetapi untuk memberikan pelajaran pada yang lain. Jadi pada akhirnya kembali pada fungsi preventif hukum yang seharusnya bisa diterapkan dalam setiap putusan pengadilan.<br /><br />H. Daftar Pustaka<br /> <br />Ginting, Jamin, S.H., M.H., Analisis dan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Ri Tindak<br />Pidana Korupsi (I), Tangerang : Universitas Pelita Harapan Press, 2009.<br />Ginting, Jamin, S.H., M.H., Analisis dan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Ri Tindak<br />Pidana Korupsi (II), Tangerang : Universitas Pelita Harapan Press, 2009.<br />Hartanti, Evi, S.H., Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2007.<br />Prinst, Darwan, S.H., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti,<br />2002<br />Wiyono, R, S.H., Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi<br />Kedua, Sinar Grafika, 2009.<br /><br /><br /><br /><br /></div>Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-54262853989911390402009-12-02T20:36:00.002+07:002009-12-02T20:43:34.796+07:00Putusan MA No. 81 PK/Pid/2005<div align="justify"> Putusan MA No. 81 PK/Pid/2005<br /> Tanggal. 28 Februari 2007<br /><br />A. Kaidah Hukum : - Pemindahbukuan RAK antar bank yang dilakukan oleh <br />pengawai bank adalah perbuatan tindak pidana pencucian uang.<br />- Mengambil uang untuk kepentingan pribadi sehingga merugikan keuangan negara merupakan tindak pidana korupsi.<br />B. Identitas Terdakwa<br />1. Nama : Dolfie Christian Efraim Palar alias Dolfi<br />2. Umur : 35 tahun<br /> 3. Alamat : Desa Rumengkor Dusun IV, Kecamatan Tombulu,<br /> Kabupaten Minahasa<br />4. Pekerjaan/Jabatan : Karyawan PT. Bank Sulawesi Utara Cabang Kawangkoan<br /><br />C. Pasal dan Kerugian Anggaran<br /> 1. Pasal yang Didakwakan :<br /> a. Pertama :<br /> - Primair : Pasal 2 jo. Pasal 18 ayat (1) a dan b, ayat (2) dan ayat (3)<br />Undang-Undang No. 31Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ;<br /> - Subsidair : Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) a dan b ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang<br /> Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ;<br /> b. Kedua : Pasal 3 ayat (1) a dan c Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ;<br />2. Kerugian Keuangan Anggaran :<br /> a. Jumlah : Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).<br /> b. Berasal dari : Penyelewengan dana transaksi pada Bank Sulut Cabang<br /> Kawangkoan.<br /><br />D. Kasus Posisi :<br />Bahwa sebelum waktu kejadian atau tepatnya pada tanggal 16 Februari 2004 Terdakwa selaku Pegawai Bank Sulut Cabang Kawangkoan dan juga sebagai Bendahara Gereja Katolik ST. Rumengkor telah mengajukan permohonan menjadi penabung Tabungan Rakyat Pedesaan (Tabrades) pada Bank Sulut Cabang Kawangkoan dengan nomor rekening 02-11- 008059.7 ;<br />BahwaTerdakwa mengajukan permohonan dan mendapatkan rekening dimaksud adalah tanpa sepengetahuan Pengurus Gereja Katolik ST. Rumengkor selaku pemilik rekening, sehingga keberadaan dan penggunaan rekening yang dipegang oleh Terdakwa tersebut tidak pernah diketahui oleh pihak pengurus Gereja ;<br />Bahwa pada hari Jumat tanggal 7 Oktober 2005 Terdakwa selaku Pegawai Bank Sulut Cabang Kawangkoan setelah memeriksa dan melihat daftar rekonsiliasi rekening yang terbuka ternyata masih ada dana transaksi yang belum diselesaikan, lalu Terdakwa melakukan transaksi pemindahbukuan dari Rekening Antar Kantor (RAK) langsung ke rekening Gereja Katolik ST. Rumengkor dengan cara mengambil 2 (dua) lembar slip pemindahbukuan, lalu Terdakwa menulis slip tersebut dengan tangan yaitu slip yang pertama sebesar Rp. 400.000.000,- dan slip kedua sebesar Rp. 200.000.000,- , sehingga total dana yang dipindahbukukan seluruhnya Rp. 600.000.000,- ;<br />Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa telah bertentangan dengan praktek perbankkan karena Rekening Antar Kantor (RAK) hanya digunakan untuk transaksi antara Kantor Pusat maupun Kantor Cabang lainnya bila ada tagihan ataupun kewajiban melalui proses Antar Kantor di lingkungan Bank Sulut dan bukan transaksi langsung dengan nasabah ;<br />Bahwa atas perbuatan Terdakwa telah merugikan keuangan negara dalam hal ini PT. Bank Sulut Cq. Pemda Sulut selaku pemegang saham PT. Bank Sulut sebesar Rp. 600.000.000,- dan telah dimasukkannya ke rekening Tabungan Rakyat Pedesaan (Tabrades) atas nama Gereja Katolik ST. Rumengkor Cq. Dolfy Palar dengan Nomor : 02-11- 008059-7, kemudian Terdakwa telah melakukan beberapa kali transaksi penarikan melalui kas secara tunai seluruhnya sebesar Rp. 379.500.000,- dan melalui ATM sebesar Rp. 16.300.000,-, pada bank yang ada di lingkungan PT. Bank Sulut sehingga total seluruhnya sebesar Rp. 395.800.000,- dimana uang tersebut telah Terdakwa pergunakan untuk memperkaya diri Terdakwa yaitu untuk membeli sebidang tanah kebun di Desa Rumengkor sebesar Rp. 16.000.000,- untukservis kendaraan pribadi Terdakwa sebesar Rp. 30.000.000,- , sedangkan selebihnya Terdakwa pergunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari dan berfoya-foya di pub-pub, kemudian sisanya sebesar Rp. 204.200.000,- telah diblokir oleh Bank Sulut Cabang Kawangkoan ;<br />Akibat perbuatan Terdakwa, negara dirugikan sebesar Rp 600.000.000,-<br /><br /><br />E. Dakwaan<br />a. Pertama <br /> - Primair : Pasal 2 jo. Pasal 18 ayat (1) a dan b, ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 31Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ;<br /> - Subsidair : Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) a dan b ayat (2) dan ayat (3)<br /> Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ;<br /> b. Kedua : Pasal 3 ayat (1) a dan c Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ;<br /><br />F. Tuntutan :<br />1. Menyatakan Terdakwa Dolfie Christian Efraim Palar alias Dolfy melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan Dakwaan Kesatu Primair dan melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana yang dimaksud dalam dakwaan Kedua<br />2. Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Dolfie Christian Efraim Palar alias Dolfi selama 5 (lima) tahun dikurangi selama Terdakwa ditahan dengan perintah supaya Terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 6.600.000,- (enam juta enam ratus ribu rupiah), dimana dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan ;<br />3. Menyatakan barang bukti dirampas untuk negara<br />4. Mewajibkan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah)<br /><br />G. Putusan PN<br />a. Putusan :<br />Menyatakan Terdakwa Dolfie Christian Efraim Palar alias Dolfy melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan Dakwaan Kesatu Primair dan melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana yang dimaksud dalam dakwaan Kedua<br />Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Dolfie Christian Efraim Palar alias Dolfi selama 5 (lima) tahun dikurangi selama Terdakwa ditahan dengan perintah supaya Terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 6.600.000,- (enam juta enam ratus ribu rupiah), dimana dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan ;<br />Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;<br />Menetapkan barang bukti berupa :<br /> - 9 (sembilan) lembar slip penarikan uang dari rekening No. 02.11.008059.7 atas nama Gereja Katolik St. Rumengkor ;<br /> - 1 (satu) buah ATM No. 6271.0900.60005008 atas nama DEBBY PALAR ;<br /> - Surat Permohonan menjadi penabung, 1 (satu) slip setoran tunai atas nama Dolfie Palar ke rekening nomor : 02.11.003349.6 Rp. 175.000.000,- (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) ;<br /> - Daftar transaksi Simpeda Rekening No. 0211.008059.7 ;<br /> - 2 (dua) lembar bukti setoran uang ;<br /> - 1 (satu) lembar berita acara penyerahan uang berjumlah Rp. 64.900.000,- (enam puluh empat juta sembilan ratus ribu rupiah) ;<br /> tetap terlampir dalam berkas perkara ;<br />Menetapkan barang bukti berupa :<br /> - 1 (satu) unit Kendaraan Roda empat jenis Kia Carens DB 2985 AA warna biru muda methalik bersama STNK, BPKB dan kunci kontak ;<br /> - Uang tunai sebesar Rp. 99.900.000,- (sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus ribu rupiah) dengan pecahan : @ Rp. 50.000,- sebanyak 1998 lembar<br />- Tabungan atas nama : Gereja Katholik St. Rumengkor Cq. Dolfie Palar No.<br /> Rekening 006.02.11.008059-7 sebesar Rp. 204.200.000,- (dua ratus empat<br /> juta dua ratus ribu rupiah) ;<br /> - Tabungan pribadi atas nama : Dolfie Palar Nomor Rekening 006.0211.003349-6 sebesar Rp. 185.000.000,- (seratus delapan puluh lima juta rupiah) ;<br /> - Gaji Terdakwa sebesar Rp. 14.300.000,- (empat belas juta tiga ratus ribu rupiah) yang telah diblokir oleh Bank Sulut Cabang Kawangkoan ;<br /> Dirampas untuk Negara ;<br />Mewajibkan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah)<br />b. Pertimbangan Hukum : -<br /><br />H. Putusan PT<br />a. Putusan :<br />Menerima permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum.<br />Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Tondano tanggal 7 Agustus 2006 Nomor : 58/PID.B/2006/PN.TDO, yang dimohonkan banding tersebut sepanjang yang mengenai penjatuhan pidana kepada Terdakwa dan yang mengenai putusan tentang barang bukti yang menyangkut gaji Terdakwa, sehingga amar selengkapnya berbunyi<br /> sebagai berikut :<br />Menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana 'korupsi' dan 'pencucian uang'.<br />Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dan denda sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) subsidair 5 (lima) bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 6.600.000,- (enam juta enam ratus ribu rupiah) dimana dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan ;<br />Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;<br />Menyatakan agar terdakwa tetap ditahan;<br />Menetapkan barang bukti berupa :<br /> • 9 (sembilan) lembar slip penarikan uang dari rekening No. 02.11.008059-7 atas nama gereja Katolik St. Rumengkor ;<br /> • 1 (satu) buah ATM No. 6271.0900.60005008 an. DEBBY PALAR ;<br /> • Surat permohonan menjadi penabung, 1 (satu) slip setoran tunai an. DOLFIE PALAR ke rekening No. 02.11.003349.6 Rp.<br /> 175.000.000,- (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) ;<br /> • Daftar transaksi Simpeda Rekening No. 02.11.008059-7 ;<br /> • 2 (dua) lembar bukti setoran uang ;<br /> • 1 (satu) lembar berita acara penyerahan uang berjumlah Rp. 64.900.000,- (enam puluh empat juta sembilan ratus ribu rupiah) ;<br /> tetap terlampir dalam berkas perkara ;<br />Menetapkan barang bukti berupa :<br /> • 1 (satu) unit kendaraan roda empat jenis KIA CAREENS DB 2985 AA <br /> warna biru muda methalik bersama STNK, BPKB dan kunci kontak ;<br /> • Uang tunai sebesar Rp. 99.900.000,- (sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus ribu rupiah) dengan pecahan : @ Rp. 50.000,- sebanyak 1998 lembar dirampas oleh Negara ;<br /> • Tabungan atas nama Gereja katholik St. Rumengkor Cq. DOLFIE PALAR No. Rekening 006.021.11.008059-7 sebesar Rp. 204.200.000,- (dua ratus empat juta dua ratus ribu rupiah) ;<br /> • Tabungan pribadi atas nama DOLFIE PALAR nomor Rekening 006.0211.003349-6 sebesar Rp. 185.000.000,- (seratus delapan puluh lima juta rupiah) ;<br /> Dirampas untuk Negara, dan mengembalikan gaji Terdakwa sebesar Rp 14.300.000,- yang telah diblokir oleh Bank Sulut Cabang Kawangkoan kepada Terdakwa<br />Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (seribu <br /> rupiah)<br />b. Pertimbangan Hukum : -<br /><br />I. Putusan MA (kasasi) :<br />a. Alasan-Alasan Pengajuan Kasasi :<br />Bahwa judex facti telah memutus perkara a quo dengan tidak cukup pertimbangannya. Bahwa pertimbangan pertimbangan judex facti mengenai penetapan status barang bukti berupa gaji terdakwa bukan merupakan hasil korups dan bukanlah perbuatan melawan hukum tentunya hal ini dapat diterima tetapi bagaimana dengan barang bukti lain berupa satu unit kendaraan roda empat jenis KIA Carens DB 2985 AA warna biru muda metalik, apakah benda itu diperoleh dari hasil korupsi atau tidak?<br />Bahwa judex facti kurang dasar pertimbangan tentang pemberatan hukuman kepada terdakwa dari putusan PN Tondano, 3 tahun penjara, denda Rp 50.000.000,- menjadi 9 tahun penjara, denda Rp 300.000.000,-.<br />b. Putusan :<br /> - Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : DOLFIE<br /> CHRISTIAN EFRAIM PALAR DOLFI;<br /> - Membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam<br /> tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;<br />c. Pertimbangan Hukum :<br />- Mengenai alasan 1 :<br /> Bahwa alasan ini tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti sudah tepat<br /> dan benar, yaitu telah mempertimbangkan dengan cukup alat-alat bukti,<br /> keterangan saksi dan Terdakwa sendiri ;<br />- Mengenai alasan 2 :<br /> Bahwa alasan ini juga tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti sudah<br /> tepat dan benar, yaitu tidak salah menerapkan hukum/menerapkan hukum<br /> sebagaimana mestinya ;<br /><br />J. Analisis :<br />Secara harafiahnya, korupsi dapat berupa kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran (S. Wojowasito—W.JS. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit: Hasta, Bandung). Korupsi dapat terjadi di berbagai bidang, yakni yang menyangkut tentang masalah penyuapan, ekonomi, dan kepentingan umum. Adapun terhadap tindak pidana korupsi itu dapat dibagi menjadi dua menurut sifatnya, yaitu :<br />Korupsi yang bermotif terselubung<br />Korupsi yang bermotif ganda<br /><br />Unsur-unsur dakwaan Primair jaksa penuntut umum dalam perkara No. 81 PK/Pid/2005, antara lain:<br /><br />Pasal 2 Undang-Undang No. 31Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang- Undang No. 20 Tahun 2001<br /><br /> “ (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah);<br /> (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”<br /><br />Adapun unsur-unsur yang harus dibuktikan dalam pasal itu meliputi:<br /> A. Setiap orang<br /> Yang dimaksud dengan setiap orang dalam hal ini adalah pegawai negeri. Pegawai Negeri itu meliputi :<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang kepegawaian<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah<br /> atau<br /> Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.<br /> Dalam hal ini, Terdakwa adalah seorang karyawan dari PT. Bank Sulawesi Utara Cabang Kawangkoan yang menerima gaji atau upah dari keuangan daerah. Jadi dalam hal ini, unsur setiap orang tersebut telah terpenuhi.<br /> B. Perbuatan melawan hukum<br /> Dalam hal ini, perbuatan melawan hukum yang dimaksud itu mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan materiil. Jadi, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi jika perbuatan itu dirasa melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat, perbuatan itu dapat dikenakan pidana.<br /> Unsur ini telah terbukti dimana perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa dengan melakukan transaksi pemindahbukuan dari Rekening Antar Kantor (RAK) langsung ke rekening Gereja Katolik ST. Rumengkor yang bertentangan dengan praktek perbankan karena RAK hanya dapat dilakukan untuk menangani transaksi antara kantor pusat dengan kantor cabang.<br /> C. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi<br /> Maksud dari unsur ini adalah menambah kekayaan diri sendiri, orang lain atau korporasi.<br /> Unsur ini telah terbukti karena dalam kasus ini, Terdakwa telah mempergunakan uang hasil tindak pidana korupsinya untuk membeli sebidang tanah, servis kendaraan pribadi dan untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan berfoya-foya.<br /> D. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara<br /> Yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam hal ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun.<br /> Dalam hal ini, perlu diingat bahwa PT. Bank Sulut adalah sebuah BUMD yang merupakan milik pemerintah daerah. Jadi jelas jika perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa telah merugikan keuangan daerah dengan memasukkan sejumlah uang yang seharusnya menjadi hak pemerintah daerah ke dalam rekening miliknya sebesar Rp 600.000.000,-<br /><br />Pasal 18 ayat (1) a dan b, ayat (2) dan ayat (3)<br /><br /> “(1) Selain pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:<br /> a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau<br />barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitupun harga dari barang yang menggantikan barang- barang tersebut.<br /> b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.<br /> c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.<br /> d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.<br />Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.<br />Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b. Maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. “<br /><br /> Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang salah satunya mengatakan bahwa : <br /> <br /> Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Dolfie Christian Efraim Palar alias Dolfi selama 5 (lima) tahun dikurangi selama Terdakwa ditahan dengan perintah supaya Terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 6.600.000,- (enam juta enam ratus ribu rupiah), dimana dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan ;<br /><br /> maka penerapan pasal ini sudah tepat.<br /><br />Unsur-unsur dakwaan Subsidair jaksa penuntut umum dalam perkara No. 81 PK/Pid/2005, antara lain:<br /><br />1. Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi<br /><br />“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan / atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)”<br /><br /> Adapun unsur-unsur yang harus dibuktikan dalam pasal ini adalah :<br /> a. Setiap orang<br /> Yang dimaksud dengan setiap orang dalam hal ini adalah pegawai negeri. Pegawai Negeri itu meliputi :<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang kepegawaian<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah<br /> atau<br /> Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.<br />Dalam hal ini, Terdakwa adalah seorang karyawan dari PT. Bank Sulawesi Utara Cabang Kawangkoan yang menerima gaji atau upah dari keuangan daerah. Jadi dalam hal ini, unsur setiap orang tersebut telah terpenuhi.<br /><br /> b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi<br />Maksud dari unsur ini adalah menambah kekayaan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Unsur ini telah terbukti karena dalam kasus ini, Terdakwa telah mempergunakan uang hasil tindak pidana korupsinya untuk membeli sebidang tanah, servis kendaraan pribadi dan untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan berfoya-foya.<br /><br /> c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.<br />Dalam hal ini, Terdakwa telah menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya sebagai salah satu karyawan PT. Bank Sulawesi Utara dengan melakukan transaksi pemindahbukuan dari Rekening Antar Kantor (RAK) yang tidak sesuai dengan praktek perbankan untuk kepentingan pribadinya.<br /><br /> d. Dapat merugikan keuangan negara<br />Yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam hal ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun.<br />Dalam hal ini, perlu diingat bahwa PT. Bank Sulut adalah sebuah BUMD yang merupakan milik pemerintah daerah. Jadi jelas jika perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa telah merugikan keuangan daerah dengan memasukkan sejumlah uang yang seharusnya menjadi hak pemerintah daerah ke dalam rekening miliknya sebesar Rp 600.000.000,-<br /><br />2. Pasal 18 ayat (1) a dan b, ayat (2) dan ayat (3)<br /><br /> “(1) Selain pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:<br /> a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau<br />barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitupun harga dari barang yang menggantikan barang- barang tersebut.<br /> b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.<br /> c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.<br /> d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.<br />Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.<br />Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b. Maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. “<br /><br /> Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang salah satunya mengatakan bahwa : <br /> <br /> Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Dolfie Christian Efraim Palar alias Dolfi selama 5 (lima) tahun dikurangi selama Terdakwa ditahan dengan perintah supaya Terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 6.600.000,- (enam juta enam ratus ribu rupiah), dimana dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan ;<br /><br /> maka penerapan pasal ini sudah tepat.<br /><br />Analisis Dakwaan Kedua jaksa penuntut umum dalam perkara No. 81 PK/Pid/2005, antara lain:<br /><br />Pasal 3 ayat (1) a dan c Undang-undang No.15 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003<br /><br /> “Setiap orang yang dengan sengaja :<br /> a. Menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain.<br /> b. Mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain.<br /> c. Membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain.<br /> d. Menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain.<br /> e. Menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya <br /> merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama <br /> pihak lain.<br />f. Membawa ke luar negri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut <br />diduganya merupakan hasil tindak pidana denga mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketauinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima ) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000, 00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000, 00 (lima belas miliar rupiah).”<br /><br />Adapun unsur dari pasal 3 ayat (1) a UU No.15 tahun 2002 yang telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 adalah sebagai berikut :<br />Setiap orang<br />Yang dimaksud dalam unsur setiap orang ini adalah setiap orang yang telah dianggap cakap menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br />Adapun dalam kasus ini, unsur itu telah terpenuhi sebab Terdakwa adalah seorang<br /> yang telah cakap secara hukum.<br />Sengaja<br />Ada unsur kesengajaan dalam perbuatan yang telah dilakukan. Terhadap kasus ini,<br />unsur sengaja juga telah terbukti sebab Terdakwa telah dengan sadar melakukan Pemindahbukuan TAK antar bank yang tidak sesuai dengan praktek perbankan.<br />Menempatkan harta kekayaan hasil tindak pidana<br />Ada penempatan harta kekayaan milik suatu pihak dimana harta kekayaan yang dimaksud merupakan hasil dari suatu tindak pidana.<br />Unsur ini terbukti sebab Terdakwa telah terbukti menempatkan uang yang berasal dari transaksi yang belum terselesaikan oleh bank ke dalam rekening Gereja Katolik ST. Rumengkor, padahal seharusnya uang tersebut merupakan hak dari dimana Terdakwa bekerja.<br />Penyedia Jasa Keuangan<br />Adapun maksud dari unsur ini tidak lain adalah adanya keterlibatan penyedia jasa keuangan dalam pelaksanaan tindak pidana (dalam hal ini adalah bank. Unsur ini terpenuhi sebab dalam melaksanakan tindak pidananya, terdakwa menggunakan sebuah rekening atas nama Gereja Katolik ST. Rumengkor dalam melakukan tindak pidananya.<br />Nama sendiri atau atas nama pihak lain<br />Maksud dari unsur ini adalah bahwa pelaku menggunakan nama pihak lain atau namanya sendiri dalam melakukan tindak pidana pencucian uang yang bersangkutan. Unsur tersebut telah terbukti sebab dalam melaksanakan tindak pidananya, Terdakwa menggunakan rekening atas nama Gereja Katolik ST. Rumengkor dalam melaksanakan tindak pidananya.<br /><br />Dan unsur dari pasal 3 ayat (1) c UU No.15 tahun 2002 yang telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 adalah sebagai berikut :<br />Setiap orang<br />Yang dimaksud dalam unsur setiap orang ini adalah setiap orang yang telah dianggap cakap menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun dalam kasus ini, unsur itu telah terpenuhi sebab Terdakwa adalah seorang yang telah cakap secara hukum.<br />Sengaja<br />Ada unsur kesengajaan dalam perbuatan yang telah dilakukan. Terhadap kasus ini, unsur sengaja juga telah terbukti sebab Terdakwa telah dengan sadar melakukan Pemindahbukuan RAK antar bank yang tidak sesuai dengan praktek perbankan.<br />Membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan hasil tindak pidana<br />Bahwa yang dimaksud dalam unsur ini adalah adanya suatu bentuk penggunaan dari harta kekayaan hasil tindak pidana pencucian uang yang bersangkutan. Unsur ini telah terbukti sebab Terdakwa telah menggunakan uang hasil tindak pidananya untuk berbagai macam keperluan seperti membelanjakannya untuk membeli sebidang tanah, reparasi mobil, keperluan sehari-hari dan berfoya-foya.<br />Nama sendiri atau atas nama pihak lain<br />Maksud dari unsur ini adalah bahwa pelaku menggunakan nama pihak lain atau namanya sendiri dalam melakukan tindak pidana pencucian uang yang bersangkutan. Unsur tersebut telah terbukti sebab dalam melaksanakan tindak pidananya, Terdakwa menggunakan rekening atas nama Gereja Katolik ST. Rumengkor dalam melaksanakan tindak pidananya.<br /><br />Dalam kasus ini, penerapan pasal telah tepat karena terdakwa telah menempatkan uang hasil tindak pidana (dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi) ke dalam sebuah rekening atas nama Pengurus Gereja Katolik ST. Rumengkor yang rupa-rupanya keberadaan rekening itu sendiri tidak diketahui oleh gereja yang bersangkutan.<br />Huruf c dalam pasal ini juga telah tepat diterapkan mengingat Terdakwa telah pula menggunakan uang hasil tindak pidananya itu untuk kepentingan pribadinya (dalam hal ini adalah dengan membelanjakannya untuk membeli sebidang tanah, reparasi mobil, keperluan sehari-hari dan berfoya-foya).<br /><br />Analisis Putusan Pengadilan Negeri<br />Menyatakan Terdakwa Dolfie Christian Efraim Palar alias Dolfy melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan Dakwaan Kesatu Primair dan melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana yang dimaksud dalam dakwaan Kedua. --> benar karena Terdakwa memang telah melakukan tindak pidana demikian.<br /><br />Menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Dolfie Christian Efraim Palar alias Dolfi selama 5 (lima) tahun dikurangi selama Terdakwa ditahan dengan perintah supaya Terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 6.600.000,- (enam juta enam ratus ribu rupiah), dimana dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan ;--> benar apabila dibandingkan dengan asas proporsionalitas dimana pidana yang dijatuhkan haruslah sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya.<br /><br />Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;<br /><br /> 4. Menetapkan barang bukti berupa :<br /> - 9 (sembilan) lembar slip penarikan uang dari rekening No. 02.11.008059.7 atas nama Gereja Katolik St. Rumengkor ;<br /> - 1 (satu) buah ATM No. 6271.0900.60005008 atas nama DEBBY PALAR ;<br /> - Surat Permohonan menjadi penabung, 1 (satu) slip setoran tunai atas nama Dolfie Palar ke rekening nomor : 02.11.003349.6 Rp. 175.000.000,- (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) ;<br /> - Daftar transaksi Simpeda Rekening No. 0211.008059.7 ;<br /> - 2 (dua) lembar bukti setoran uang ;<br /> - 1 (satu) lembar berita acara penyerahan uang berjumlah Rp. 64.900.000,- (enam puluh empat juta sembilan ratus ribu rupiah) ; <br /> Tetap terlampir dalam berkas perkara; --> Berguna sebagai petunjuk dalam menyelesaikan perkara lain.<br /><br /> 5. Menetapkan barang bukti berupa :<br /> - 1 (satu) unit Kendaraan Roda empat jenis Kia Carens DB 2985 AA warna biru muda methalik bersama STNK, BPKB dan kunci kontak ;<br /> - Uang tunai sebesar Rp. 99.900.000,- (sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus ribu rupiah) dengan pecahan : @ Rp. 50.000,- sebanyak 1998 lembar<br />- Tabungan atas nama : Gereja Katholik St. Rumengkor Cq. Dolfie Palar No.<br /> Rekening 006.02.11.008059-7 sebesar Rp. 204.200.000,- (dua ratus empat juta<br /> dua ratus ribu rupiah) ;<br /> - Tabungan pribadi atas nama : Dolfie Palar Nomor Rekening 006.0211.003349-6 sebesar Rp. 185.000.000,- (seratus delapan puluh lima juta rupiah) ;<br /> - Gaji Terdakwa sebesar Rp. 14.300.000,- (empat belas juta tiga ratus ribu rupiah) yang telah diblokir oleh Bank Sulut Cabang Kawangkoan ;<br />Dirampas untuk Negara ; --> putusan ini tidak sepenuhnya tepat jika mempertimbangakn asas proporsionalitas, mengingat dalam hal ini, negara ikut menyita harta kekayaan pribadi milik Terdakwa yang bukan merupakan hasil dari tindak pidana korupsi (dalam hal ini adalah 1 unit kendaraan Kia Carens dan gaji milik terdakwa).<br /><br />Mewajibkan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah)<br /><br />Sedangkan putusan PT adalah sebagai berikut :<br />Menerima permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum.<br />Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Tondano tanggal 7 Agustus 2006 Nomor : 58/PID.B/2006/PN.TDO, yang dimohonkan banding tersebut sepanjang yang mengenai penjatuhan pidana kepada Terdakwa dan yang mengenai putusan tentang barang bukti yang menyangkut gaji Terdakwa, sehingga amar selengkapnya berbunyi<br /> sebagai berikut :<br />Menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana 'korupsi' dan 'pencucian uang'.<br />Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dan denda sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) subsidair 5 (lima) bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp. 6.600.000,- (enam juta enam ratus ribu rupiah) dimana dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan ;<br />Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;<br />Menyatakan agar terdakwa tetap ditahan;<br />Menetapkan barang bukti berupa :<br /> • 9 (sembilan) lembar slip penarikan uang dari rekening No. 02.11.008059-7 atas nama gereja Katolik St. Rumengkor ;<br /> • 1 (satu) buah ATM No. 6271.0900.60005008 an. DEBBY PALAR ;<br />• Surat permohonan menjadi penabung, 1 (satu) slip setoran tunai an.<br />DOLFIE PALAR ke rekening No. 02.11.003349.6 Rp. 175.000.000,- (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) ;<br /> • Daftar transaksi Simpeda Rekening No. 02.11.008059-7 ;<br /> • 2 (dua) lembar bukti setoran uang ;<br /> • 1 (satu) lembar berita acara penyerahan uang berjumlah Rp. 64.900.000,- (enam puluh empat juta sembilan ratus ribu rupiah) ;<br /> tetap terlampir dalam berkas perkara ;<br />Menetapkan barang bukti berupa :<br /> • 1 (satu) unit kendaraan roda empat jenis KIA CAREENS DB 2985 AA <br /> warna biru muda methalik bersama STNK, BPKB dan kunci kontak ;<br /> • Uang tunai sebesar Rp. 99.900.000,- (sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus ribu rupiah) dengan pecahan : @ Rp. 50.000,- sebanyak 1998 lembar dirampas oleh Negara ;<br /> • Tabungan atas nama Gereja katholik St. Rumengkor Cq. DOLFIE PALAR No. Rekening 006.021.11.008059-7 sebesar Rp. 204.200.000,- (dua ratus empat juta dua ratus ribu rupiah) ;<br /> • Tabungan pribadi atas nama DOLFIE PALAR nomor Rekening 006.0211.003349-6 sebesar Rp. 185.000.000,- (seratus delapan puluh lima juta rupiah) ;<br /> Dirampas untuk Negara, dan mengembalikan gaji Terdakwa sebesar Rp 14.300.000,- yang telah diblokir oleh Bank Sulut Cabang Kawangkoan kepada Terdakwa.<br />Menghukum Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah)<br /><br />Dalam hal ini satu hal yang perlu untuk dicermati adalah alasan pengajuan kasasi oleh Tergugat yang tertulis sebagai berikut :<br />Bahwa judex facti telah memutus perkara a quo dengan tidak cukup pertimbangannya. Bahwa pertimbangan pertimbangan judex facti mengenai penetapan status barang bukti berupa gaji terdakwa bukan merupakan hasil korups dan bukanlah perbuatan melawan hukum tentunya hal ini dapat diterima tetapi bagaimana dengan barang bukti lain berupa satu unit kendaraan roda empat jenis KIA Carens DB 2985 AA warna biru muda metalik, apakah benda itu diperoleh dari hasil korupsi atau tidak?<br />Bahwa judex facti kurang dasar pertimbangan tentang pemberatan hukuman kepada terdakwa dari putusan PN Tondano, 3 tahun penjara, denda Rp 50.000.000,- menjadi 9 tahun penjara, denda Rp 300.000.000,-.<br />Dan pertimbangan hukum yang menolak pengajuan kasasi tersebut:<br />- Mengenai alasan 1 :<br /> Bahwa alasan ini tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti sudah tepat<br /> dan benar, yaitu telah mempertimbangkan dengan cukup alat-alat bukti,<br /> keterangan saksi dan Terdakwa sendiri ;<br />- Mengenai alasan 2 :<br /> Bahwa alasan ini juga tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti sudah<br /> tepat dan benar, yaitu tidak salah menerapkan hukum/menerapkan hukum<br /> sebagaimana mestinya ;<br />Sesungguhnya dalam menangani hal ini, MA tidak salah dalam menggunakan wewenangnya dan mengutarakan pertimbangan hukum yang demikian dalam memutus perkara ini. Hal ini sebenarnya telah sesuai dengan kewenangan MA dalam menangani kasasi dimana dalam hal ini, MA hanya bertugas untuk memeriksa penerapan hukum yang dilakukan baik oleh Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi. MA tidak berwenang untuk menangani kasasi dimana dasar pengajuan kasasinya lebih didasarkan pada besarnya pemidanaan yang dikenakan kepada terdakwa.<br />Adapun hal tersebut telah diperkuat dengan adanya Yurisprudensi MA No. 1170 K/Pid/2003 yang berbunyi sebagai berikut :<br /><br />“Mengenai berat ringannya pidana yang dijatuhkan adalah wewenang judex factie tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex factie menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan oleh undang-undang.”<br /><br />Lagipula apakah putusan dari PN dan PT tersebut telah bertentangan dengan Undang-undang? Tidak. Putusan itu sudah tepat mengingat salah satu fungsi hukum adalah untuk memberikan efek jera pada pelakunya dan berdasarkan pada Yurisprudensi MA No. 2350 K/Pid/2005:<br /><br />“Putusan Judex Factie tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut haruslah ditolak.”<br /><br />Maka jelaslah jika tiada kesalahan dalam putusan ini sehingga putusan ini benar adanya dan telah sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku dalam menemukan keadilan berdasarkan hukum.<br /><br /><br />H. Daftar Pustaka<br /><br />Amrullah, M. Arief, Dr., S.H., M.Hum., Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering,Malang : Bayumedia, 2004.<br />Ginting, Jamin, S.H., M.H., Analisis dan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Ri Tindak Pidana Korupsi (I), Tangerang : Universitas Pelita Harapan Press, 2009.<br />Ginting, Jamin, S.H., M.H., Analisis dan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Ri Tindak Pidana Korupsi (II), Tangerang : Universitas Pelita Harapan Press, 2009.<br />Hartanti, Evi, S.H., Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2007.<br />Prinst, Darwan, S.H., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2002<br />Wiyono, R, S.H., Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2009.<br /><br /><br /></div>Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-37216392087361184722009-12-02T20:28:00.002+07:002009-12-02T20:34:23.607+07:00Putusan MA No. 1581 K/Pid/2006<p align="justify"> Putusan MA No. 1581 K/Pid/2006<br /> Tanggal. 2 April 2007<br /><br />A.Kaidah Hukum : Pengajuan Kasasi dengan dasar putusan bebas tidak murni harus didukung dengan alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut;<br /><br />B. Identitas Terdakwa <br /> 1. Nama : Luddin Dg. Nyampa<br /> 2. Umur : 55 tahun<br /> 3. Alamat : Kelurahan Bontonompo, Kecamatan Bontonompo, <br /> Kabupaten Gowa<br /> 4. Pekerjaan : PNS<br /><br />C. Pasal dan Kerugian Anggaran<br /> 1. Pasal yang didakwakan :<br /> a. Primair : Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun1999, yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHPidana<br /> b. Subsidair : Pasal 3 jo. Pasal18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999, yang telah dirubah dngan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana<br /> 2. Kerugian keuangan anggaran :<br /> a. Jumlah : Rp.76.743.261,- (tujuh puluh enam juta tujuh ratus empat puluh tiga ribu dua ratus enam puluh satu rupiah)<br /> b. Berasal dari : Penyelewengan dan dalam penyaluran beras OPK<br /><br />D. Kasus Posisi :<br /> - Bahwa pada pelaksanaan Proyek Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras Pra Sejahtera Tahun 2000 yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat keluarga miskin atau mengatasi rawan pangan karena merosotnya bahan pangan, maka Pemerintah Daerah Kab. Gowa khususnya pemerintah Kecamatan Bontonompo sesuai data keluarga Pra Sejahtera dari BKKBN mengajukan permintaan beras OPK Pra Sejahtera untuk bulan Agustus 2000 sebanyak 44,118 Kg dengan surat Nomor : 463/180/social tanggal 28 Agustus 2000 ;<br /> - Kemudian atas dasar surat yang disebutkan di atas, Kasub Dolog Wilayah VII Panaikang di Makassar membuat 3 lembar Rekap Pengeluaran Beras untuk Kecamatan Bontonompo, masing-masing :<br /> a. Nomor : 068/10/00/112/Brs-Ada/OPK/tanggal 20 Oktober 2000 sebanyak 6.020 Kg ;<br /> b. Nomor : 070/1 0/00/112/Brs-Ada/OPK/ tanggal 21 Oktober 2000 sebanyak 10.580 Kg ;<br /> c. Nomor : 075/10/00/112/Brs-Ada/OPK/ tanggal 23 Oktober 2000 sebanyak 27.518 Kg ;<br /> Yang seluruhnya berjumlah 44.118 Kg ;<br /> - Selanjutnya Terdakwa selaku penanggung jawab di lapangan dalam penyaluran beras OPK Pra Sejahtera untuk Kec. Bontonompo, telah menandatangani Tanda Terima Beras OPK alokasi Bulan Agustus 2000 dari Kontraktor Angkutan Beras (Kaharuddin Dg. Muang) dan membuat Berita Acara Serah Terima (BAST) beras alokasi bulan Agustus 2000 kemudian diajukan kepada Camat Bontonompo untuk ditandatangani seolah-olah beras tersebut telah diterima di titik distribusi, namun kenyataannya tidak pernah ada beras yang diterima atau disalurkan kepada penerima manfaat tanpa alasan yang jelas karena sebelumnya Kaharuddin Dg. Muang selaku Kontraktor Angkutan Beras dan Royke Victor Walewangko selaku Satgas Dolog telah menghubungi Terdakwa lebih dahulu dengan mengatakan bahwa beras alokasi bulan Agustus 2000 tidak bisa keluar apabila tidak ada uang tunai, sehingga atas pemberitahuan tersebut lalu Terdakwa menyampaikan kepada Camat Bontonompo mengenai hal itu dan oleh Camat Bontonompo mengatakan tidak bisa menyanggupi karena tidak mempunyai uang kontan serta menyarankan kepada Terdakwa agar beras itu tidak usah diambil, namun rupanya Terdakwa secara diam-diam tanpa sepengetahuan Camat Bontonompo telah menghubungi Kaharuddin Dg. Muang untuk dicarikan uang kontan dengan jaminan beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 dijual kepada pedagang beras, selanjutnya Kaharuddin Dg. Muang bersama dengan Royke Victor Walewangko menjual beras dimaksud kepada pedagang beras bernama Sanderi seharga Rp. 1.300,-per Kg dengan rincian uang penjualan sebesar Rp.1.000,- per Kg disetorkan kembali ke Dolog sedangkan uang penjualan beras sebesar Rp.300,- per Kg itu dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu uang penjualan beras sebesar Rp. 250.- per Kg diserahkan kepada Terdakwa dan uang penjualan beras sebesar Rp. 50.-per Kg diberikan kepada LSM Yasari, di mana uang hasil penjualan beras sebesar Rp. 250 per Kg yang seluruhnya berjumlah Rp. 11.029.500,- hanya diserahkan kepada Terdakwa Rp. 8.400.000 , sedangkan sisanya Rp. 2.629.500,-diambil oleh Kaharuddin Dg. Muang sebagai biaya angkutan ;<br /> - Bahwa uang sebesar Rp.8.400.000,- yang diterima Terdakwa tersebut lalu diserahkan kepada Camat Bontonompo sebesar Rp. 4.000.000,- dan sisanya sebesar Rp. 4.400.000 langsung dibagi-bagikan kepada Tim Desa/Kelurahan. Adapun mengenai uang sebesar Rp. 4.000.000,- yang telah diserahkan kepada Camat Bontonompo kemudian dibagi-bagikan lagi yaitu Terdakwa dan Sekcam Bontonompo masing-masing mendapat bagian sebesar Rp. 1.000.000,- sedangkan sisanya Rp.2.000.000,- dipakai oleh Camat untuk membuat pagar di kantor Kec. Bontonompo ;<br /> - Atas tindakan Terdakwa yang telah menanedatangani tanda terima beras di titik distribusi dan menyerahkan Berita Acara Serah Terima (BAST) Beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 kepada Camat Bontonompo untuk ditandatangani, maka berdasarkan BAST tersebut kemudian oleh Kaharuddin Dg. Muang dan Royke Victor Walewangko melaporkan kepada Bendaharawan Sub. Dolog Wilayah VII Makassar bahwa beras tersebut telah sampai di titik distribusi atau penerima manfaat, sehingga atas penyampaian tersebut maka negara membayar semua biaya-biaya yang harus dikeluarkan, yang totalnya mencapai Rp.76.743.261,- padahal biaya-biaya tersebut seharusnya tidak dikeluarkan pemerintah karena berasnya tidak sampai kepada penerima manfaat ; <br /> - Akibat perbuatan Terdakwa yang tidak menyalurkan beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 sebanyak 44.118 Kg, maka negara mengalami kerugian sebesar Rp. 76.743.261.-;<br /><br />E. Dakwaan<br /> a. Primair : Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun1999,<br /> yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat<br /> (1) ke- 1 KUHPidana<br /> b. Subsidair : Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999, yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana<br /><br />F. Tuntutan<br /> 1. Menyatakan Terdakwa Luddin Dg. Nyampa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) hurut b UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana (dalam dakwaan primair)<br /> 2. Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan<br /> 3. Menyatakan Terdakwa Luddin Dg. Nyampa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama- sama, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) hurut b UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana (dalam dakwaan subsidair) ;<br /> 4. Menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa Luddin Dg. Nyampa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, denda Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp.2.629.500,- (dua juta enam ratus dua puluh ribu lima ratus rupiah) ;<br /> 5. Menyatakan barang bukti berupa tetap terlampir dalam berkas perkara ;<br /> 6. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) ;<br /><br />G. Putusan PN<br /> a. Putusan :<br /> 1. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kejahatan "Korupsi secara bersama - sama " sebagaimana diatur dalam Dakwaan Primair dan Dakwaan Subsidair ;<br /> 2. Membebaskan Terdakwa dari kedua dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut.<br />3. Memulihkan hak Terdakwa LUDDIN DG. NYAMPA dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya ;<br /> 4. Memerintahkan agar barang bukti tetap dilampirkan dalam berkas perkara;<br /> 5. Membebankan biaya perkara kepada Negara.<br /> b. Pertimbangan hukum : -<br /><br />H. Putusan MA (kasasi) :<br /> a. Alasan pengajuan kasasi :<br />Bahwa Hakim Majelis dalam pertibangannya telah keliru menyatakan Terdakwa tidak bertanggung jawab terhadap tidak tersalurnya beras OPK Pra Sehtera alokasi bulan Agustus 2000 kepada penerima manfaat di Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa dengan alasan Terdakwa selaku PPLKB kecamatan Bontonompo sebagai penanggung jawab di lapangan dalam penyaluran beras OPK Pra Sejahtera di Kecamatan Bontonompo bukan termasuk kategori sebagai suatu jabatan tetapi hanya merupakan penerima mandat dari Camat Bontonompo selaku Ketua Tim Penyaluran beras OPK di tingkat Kecamatan serta Terdakwa bukanlah sebagai pejabat penentu kebijakan atau pengambil keputusan, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian.<br />Bahwa Hakim Majelis dalam pertimbangannya telah keliru yang menyatakan bahwa tidak ditemukan fakta Terdakwa telah menandatangani dan telah membuat BAST beras OPK alokasi bulan Agustus 200 seolah-olah beras tersebut telah diterima oleh penerima manfaat, padahal dalam persidangan Terdakwa telah mengakui pernah menandatangani tanda terima beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 dalam bentuk blangko kosong serta mengaku pula pernah membuat BAST beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 dengan maksud untuk memperlancar keluarnya beras pada bulan - bulan berikutnya<br />Bahwa Hakim Majelis dalam pertimbangannya telah keliru yang menyatakan beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 tidak turun padahal nyata - nyata beras tersebut sudah keluar dari gudang Dolog yakni tanggal 21, 22 dan 23 Oktober 2000 sesuai keterangan saksi-saksi.<br />Bahwa terhadap BAST yang dipermasalahkan oleh Hakim Majelis karena BAST tersebut ada sebelum berasnya turun, dimana berasnya turun atau dikeluarkan dari gudang Dolog tanggal 21, 22 dan 23 Oktober 2000 sedangkan DO beras alokasi bulan Agustus 2000 dibuat tanggal 31 Agustus 2000, sebenarnya hal ini telah dijelaskan oleh para saksi bahwa beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 untuk Kecamatan Bontonompo memang baru dikeluarkan dari gudang Dolog pada tanggal 21, 22 dan 23 Oktober 2000 karena DO-nya sempat ditahan oleh Pimpinan Sub Dolog Wilayah VII Makassar mengingat ada keterlambatan pembayaran beras bulan Juli 2000 yang belum disetor ke Dolog.<br />Bahwa hakim dalam pertimbangannya mengatakan bahwa tidak turunnya beras OPK Pra Sejahtera alokasi bulan Agustus 2000 bukan hanya dialami oleh Kecamatan Bontonompo saja tetapi Kecamatan lain juga yang mengalami. Ini dapat diartikan seolah-olah jatah beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 untuk Kecamatan Bontonompo tidak ada masalah, padahal kenyataannya tidaklah demikian<br />Bahwa alasan Hakim Majelis tidak mempertimbangkan keterangan saksi Kaharuddin Muang (Kontraktor Angkutan) dan saksi Royke Victor Welewangko (Satgas Dolog) dengan alasan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak bisa menghadirkan kedua saksi dan keterangannya yang dibacakan di persidangan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Padahal hal ini bukan murni kesalahan Jaksa Penuntut Umum, tetapi juga karena Ketua Majelis tidak pernah meminta untuk menghadirkan kedua saksi yang bersangkutan dalam persidangan.<br />Dalam kasus yang sama di PN Sungguminasa, Pengadilan telah menjatuhkan keputusan yang berbeda untuk kasus yang sama.<br /><br /> b. Putusan :<br />Menolak permohonan kasasi dari Pemohon kasasi/ Jaksa Penuntut Umum;<br />Membebankan biaya perkara pada tingkat kasasi kepada Negara.<br /> c. Pertimbangan Hukum :<br /> Pemohon Kasasi tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut adalah merupakan pembebasan yang tidak murni, karena Pemohon Kasasi tidak dapat mengajukan alasan- alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut ;<br /><br />I. Analisis<br /> Korupsi berasal dari bahasa latin 'Corruptio” atau “Corruptus” yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis sebagai kata “Corruption”, dalam bahasa Belanda “Korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan “korupsi” (Dr. Andi Hamzah, S.H., 1985: 143). Adapun secara harfiahnya, korupsi berarti sesuatu yang buruk, jahat dan merusak.<br /> Ciri dari perbuatan korupsi adalah sebagai berikut :<br />Melibatkan lebih dari satu orang.<br />Dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembuhkan perbuatannya.<br />Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik<br />Pelaku menyembunyikan perbuatannya di balik pembenaran hukum<br />Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk memperngaruhi keputusan-keputusan itu.<br />Mengandung unsur penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum.<br />Setiap bentuk korupsi adalah penghianatan kepercayaan.<br /><br />Unsur-unsur dakwaan Primair jaksa penuntut umum dalam perkara No.1581 K/Pid/2006, antara lain:<br />Pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001<br /><br /> “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah)”<br /><br />Adapun yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma keadilan yang berlaku dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Perlu dipahami jika perbuatan tindak pidana korupsi itu merupakan delik formil.<br /><br />Adapun unsur-unsur yang harus dibuktikan adalah sebagai berikut :<br /> <br />Setiap orang<br />Perbuatan melawan hukum<br />Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi<br />Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara<br /><br /> A. Setiap orang<br /> Yang dimaksud dengan setiap orang dalam hal ini adalah pegawai negeri. Pegawai Negeri itu meliputi :<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang kepegawaian<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah<br /> atau<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.<br />Dalam hal ini, Terdakwa adalah seorang Pengawas Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB) Kec. Bontonompo dan juga selaku penanggung jawab di lapangan dalam penyaluran beras OPK Pra Sejahtera. Jadi dalam hal ini, terdakwa bekerja sebagai seorang pegawai negeri sehingga unsur ini terbukti.<br /> B. Perbuatan melawan hukum<br />Dalam hal ini, perbuatan melawan hukum yang dimaksud itu mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan materiil. Jadi, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi jika perbuatan itu dirasa melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat, perbuatan itu dapat dikenakan pidana.<br /> Dalam hal ini, tindakan terdakwa selaku penanggung jawab dalam operasi penyaluran beras OPK yang mengakibatkan beras tidak sampai pada tangan yang berhak dianggap sebagai suatu bentuk pelanggaran. Hal ini ditambah dengan turut terlibatnya Terdakwa dalam menikmati uang hasil korupsi tersebut yang secara jelas bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku. Jadi unsur perbuatan melawan hukum dalam hal ini telah terbukti.<br /> C. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi<br />Maksud dari unsur ini adalah menambah kekayaan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Dalam hal ini, terdakwa telah menikmati sebagian uang hasil tindak pidana korupsi itu untuk dirinya sendiri sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Jelas jika unsur ini telah terbukti.<br /> D. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara<br />Yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam hal ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun. Dalam hal ini, unsur tersebut dipenuhi karena akibat perbuatan terdakwa dan beberapa orang yang lain, negara mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar tanpa pernah mencapai sasaran.<br /><br />Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 tahun 2001<br /><br /> “Selain pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:<br /> a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau<br /> barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak <br /> pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana<br /> korupsi dilakukan, begitupun harga dari barang yang menggantikan<br /> barang- barang tersebut.<br /> b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.<br /> c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.<br /> d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh<br /> pemerintah kepada terpidana.”<br /><br />Adapun dalam penerapan pasal ini, sebenarnya agak kurang tepat apabila yang dimaksudkan dari kata “jumlahnya sama” itu diterapkan, mengingat uang yang diterima oleh terdakwa dalam hal ini adalah sebesar Rp 1.000.000,- bukan Rp.2.629.500,- yang merupakan jumlah uang pengganti yang dituntut oleh negara melalui jaksa penuntut umum.<br /><br /> 3. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP<br /> <br /> “Dipidana sebagai pembuat delik :<br />Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan.<br />Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”<br /><br /> Dalam hal ini, penggunaan pasal ini adalah tepat karena dalam kasus ini, terdakwa telah terlibat secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.<br /><br />Dakwaan Subsidair :<br /> 1. Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 20 tahun 2001<br /> <br />“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan / atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)”<br /><br /> Adapun unsur dalam pasal ini meliputi :<br /> a. Setiap orang<br /> Yang dimaksud dengan setiap orang dalam hal ini adalah pegawai negeri. Pegawai Negeri itu meliputi :<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang kepegawaian<br />Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah<br /> atau<br />Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.<br />Dalam hal ini, Terdakwa adalah seorang Pengawas Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB) Kec. Bontonompo dan juga selaku penanggung jawab di lapangan dalam penyaluran beras OPK Pra Sejahtera. Jadi dalam hal ini, terdakwa bekerja sebagai seorang pegawai negeri sehingga unsur ini terbukti.<br /> <br /> b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi<br />Maksud dari unsur ini adalah menambah kekayaan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Dalam hal ini, terdakwa telah terlibat dan turut menikmati sebagian uang hasil tindak pidana korupsi itu untuk dirinya sendiri sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Jelas jika unsur ini telah terbukti.<br /><br /> c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.<br />Dalam hal ini tampak jelas suatu bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh terdakwa selaku Pengawas Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB) Kec. Bontonompo dan juga selaku penanggung jawab di lapangan dalam penyaluran beras OPK Pra Sejahtera dimana terbukti bahwa akibat perbuatan terdakwa, beras OPK tersebut tidak sampai pada orang yang membutuhkan.<br /><br /> e. Dapat merugikan keuangan negara<br />Yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam hal ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun. Dalam hal ini, unsur tersebut dipenuhi karena akibat perbuatan terdakwa dan beberapa orang yang lain, negara mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk beras fiktif yang tidak pernah mencapai sasaran.<br /><br /> 2. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP<br /> <br /> “Dipidana sebagai pembuat delik :<br />1.Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta <br /> melakukan perbuatan.<br />2.Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan<br /> menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau <br /> penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja<br /> menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”<br /><br /> Dalam hal ini, penggunaan pasal ini adalah tepat karena dalam kasus ini, terdakwa telah terlibat secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.<br /><br /><br /><br />Analisis putusan<br /> 1. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan <br /> tindak pidana kejahatan "Korupsi secara bersama - sama " sebagaimana diatur dalam Dakwaan Primair dan Dakwaan Subsidair ;<br /> 2. Membebaskan Terdakwa dari kedua dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut.<br /> 3. Memulihkan hak Terdakwa LUDDIN DG. NYAMPA dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya ;<br /> 4. Memerintahkan agar barang bukti tetap dilampirkan dalam berkas perkara;<br /> 5. Membebankan biaya perkara kepada Negara. <br />Jika diperhatikan secara seksama, maka ada dasarnya putusan itu hanya menyatakan satu hal, yaitu bahwa Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, singkat kata, Terdakwa dinyatakan bebas murni.<br /> Dalam hal putusan pengadilan dalam kasus tindak pidana korupsi, Evi Hartati, S.H. dalam bukunya yang berjudul Tindak pidana korupsi mengemukakan bahwa putusan pengadilan dapat berupa :<br />Putusan yag menyatakan tidak berwenang mengadili.<br /> Putusan ini bersumber pada pasal 156 ayat (2) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:<br /> <br />“Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan , maka sidang dilanjutkan”<br /><br />Hal ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan dengan eksepsi dari pihak Terdakwa melalui penasihat hukumnya.<br />Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum<br />Dapat dijatuhkan dengan memenuhi syarat-syarat yang ada. Syarat tersebut tercantum dalam pasal 153 ayat (4) KUHAP yang rumusannya adalah sebagai berikut:<br /><br />“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”<br /><br />Adapun yang dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dari pasal 153 KUHAP adalah sebagai berikut:<br /><br />“(2) a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang<br /> dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa <br /> dan saksi.<br /> b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang<br /> mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.<br /> (3) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan<br />menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”<br /><br />Hal ini dapat terjadi karena jaksa penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan. Adapun berkenaan dengan putusan ini juga memiliki yurisprudensi, yaitu Putusan MA No. 808/K.Pid/1984 :<br /><br />“Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum”<br /><br />Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima<br /> Putusan ini dapat dijatuhkan karena :<br />Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada.<br />Nebis In Idem<br />Daluarsa.<br />Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum<br />Putusan ini dapat dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa telah terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana sehingga terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (pasal 191 ayat (2) KUHAP). Hal ini disebabkan karena:<br />Materi hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana.<br />Keadaan istimewa, seperti:<br /> a. Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)<br /> b. Overmacht (Pasal 48 KUHP)<br /> c. Adanya pembelaan Terdakwa ( Pasal 49 KUHP)<br /> d. Ketentuan Undang-undang ( Pasal 50 KUHP)<br /> e. Perintah jabatan (Pasal 51 KUHP)<br /> e. Putusan bebas<br /> Ada 2 macam putusan bebas, yaitu :<br />Bebas murni<br />Terdakwa bebas dari segala dakwaan yang dikenakan padanya, dan<br /> 2. Bebas tidak murni<br />Apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim.<br />Putusan Pemidanaan<br /> Apabila Terdakwa dinyatakan bersalah.<br />Berkaitan dengan kasus ini, penulis akan lebih mencermati pada putusan bebas murni yang dijatuhkan pada Terdakwa dalam kasus ini. Perlu diketahui bahwa terhadap putusan bebas (baik murni ataupun tidak murni) pasal 244 KUHAP yang berbunyi :<br /><br />“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas” Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi. Jika dicermati sebenarnya di dalam pasal 244 KUHAP tidak membedakan apakan putusan bebas tersebut murni atau tidak, yang ada hanya “Putusan Bebas”<br /><br /> Hal inilah yang mendasari mengapa Jaksa segera melakukan kasasi tanpa harus melalui tahap banding di Pengadilan Tinggi. Hal ini juga didukung oleh Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan yurisprudensi.”dan juga Yurisprudensi MA No. 1825 K/Pid/ 2005 serta Yurisprudensi MA No. 1294 K/ Pid/ 2005 dimana keduanya menyatakan bahwa:<br /><br /> “- Pembebasan Murni dari segala hukuman yang dijatuhkan adalah membebaskan<br /> terdakwa dari semua dakwaan.<br /> - Fungsi dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi memiliki kesamaan, yaitu judex<br /> factie yang merupakan pengadilan yang memeriksa penerapan hukum dari putusan tingkat pertama. Jadi, pada pembebasan muni tidak perlu melewati pengadilan tinggi.”<br /><br />Dengan demikian sesungguhnya tindakan Jaksa Penuntut umum yang mengajukan kasasi atas putusan bebas tersebut telah sesuai dan telah tepat untuk dilakukan.<br /> Akan tetapi masalah yang kemudian muncul adalah apakah pemberian putusan bebas murni (bebas dari segala dakwaan) tersebut adalah tepat dan sesuai? Sesungguhnya apabila kita mencermati keseluruhan isi putusan, maka kita akan menemukan fakta bahwa penjatuhan putusan tersebut adalah tidak tepat. Hal ini ditunjukkan pada bagian duduk perkara kasus ini dimana yang menjadi dimasalahkan sebagai tindakan korupsi adalah tindakan terdakwa sebagai berikut:<br />Menandatangani tanda terima beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 dan mengajukannya kepada Camat Bontonompo untuk ditandatangani seolah-olah beras tersebut telah diterima di titik distribusi, padahal nyatanya tidak pernah ada beras yang disalurkan tanpa alasan yang jelas.<br />Membantu Kaharudin Dg. Muang bersama dengan Royke Walewangko dalam menjual beras OPK yang seharusnya disalurkan tersebut<br />Turut menikmati hasil perbuatan tindak pidana korupsi yang bersangkutan.<br />Seperti yang kita ketahui bahwa hukum pidana pada hakikatnya adalah untuk mencari suatu kebenaran materiil, maka putusan yang demikian tidak dapat dikatakan sebagai putusan yang tepat. Hakim dalam hal ini kurang bijaksana dalam menerapkan hukum serta mempertimbangkan peran Terdakwa dalam perkara ini, sebab perlu diketahui bahwa dalam perkara ini, Terdakwa adalah seorang penanggung jawab lapangan dari operasi beras OPK, dan juga dengan memahami kasus posisi yang bersangkutan seperti yang tertulis di atas, kita akan menemukan jika Terdakwa memang telah terlibat dalam serangkaian kegiatan korupsi tersebut. Bandingkan dengan Yurisprudensi MA No. 1119K/Pid/2006 dan Yurisprudensi MA No. 1631K/Pid/2006 yang menyatakan bahwa Turut melakukan beberapa perbuatan yang berhubungan satu dengan yang lain, sehingga dapat dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, yang dapat merugikan keuangan negara. Tampak jelas bahwa hakim sama sekali tidak memandang perbuatan Terdakwa dalam proyek OPK sebagaimana tertulis pada kasus posisi sebagai suatu tindak pidana apalagi sebagai suatu tindakan dimana Terdakwa bisa dimintakan pertanggung jawabannya, padahal dalam kenyataannya Terdakwa telah melakukan hal yang telah didakwakan padanya.<br /> Seharusnya apabila putusan bebas tersebut dikarenakan hakim tidak yakin dengan apa yang didapat dan dipahaminya selama persidangan berlangsung, maka seharusnya tidak tepat apabila putusan yang dijatuhkan adalah bebas murni, mengingat apabila dilihat dari duduk perkaranya. Putusan tersebut harusnya sesungguhnya merupakan sebuah putusan bebas tidak murni dan oleh karenanya jaksa harus dapat membuktikan kebenaran dari putusan bebas tidak murni tersebut sesuai dengan pasal 67 KUHAP yang merupakan dasar hukumnya yang berbunyi sebagai berikut :<br /><br />“Terhadap putusan pembebasan tidak dapat dimintakan banding oleh jaksa, kecuali dapat dibuktikan bahwa pembebasan tersebut sebenarnya pembebasan tidak murni, hal ini harus diuraikan jaksa dalam memori bandingnya.<br />Jaksa terlebih dahulu harus dapat membuktikan bahwa sebenarnya putusan pengadilan negeri tidak didasarkan atas pertimbangan bahwa perbuatan yang dituduhkan tidak terbukti melainkan Pengadilan Negeri menganggap perbuatan itu tidak terbukti, akan tetapi kurang tepat dalam memberi sebutan dalam amar putusannya, yang seharusnya ”lepas” dari segala tuntutan hukum, menjadi “bebas” dan karena jaksa ternyata tidak dapat membuktikan hal itu dalam memori bandingnya, seharusnya pengadilan tinggi menyatakan permohonan banding jaksa tidak dapat diterima.”<br /><br />Dan sudah selayaknya Jaksa Penuntut Umum untuk bersikap lebih cermat lagi dalam menangani kasus tindak pidana korupsi seperti ini.<br /><br /> Penegak seharusnya harus dapat melakukan setiap tugasnya dengan cermat dan benar demi menjaga agar kehidupan demokrasi di Indonesia dapat terus terjaga (dalam hal ini memberikan vonis bersalah dengan hukuman yang setimpal) sebab seperti apa yang dimaksud oleh Niccolo Machiavelli dalam karyanya yang berjudul Discourses on the First Ten Books of Titus Livius, untuk dapat menghilangkan korupsi dalam sebuah negara, diperlukan hukum yang baik dan itikad baik pula dari para pembuatnya. Jika hal itu tidak dapat dilakukan, kebebasan rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara itu akan terancam bukan oleh sebuah kepemimpinan yang tidak demokratis, bukan juga karena suatu sistem yang tidak baik melainkan karena perilaku masyarakat (terutama sekali pelaksana pemerintahan) yang korup sehingga membuat segalanya menjadi meyimpang; Dari yang seharusnya untuk kepentingan bersama menjadi untuk kepentingan pribadi. Jika sudah sampai pada tahap demikian, lantas apa guna sebuah negara? Negara tidak akan lagi bisa melakukan tugasnya. Ibarat sebuah pohon, maka negara adalah batang induknya sedangkan semua unsurnya merupakan ranting. Ranting yang membusuk adalah korupsi dan apabila ranting busuk tersebut tidak dapat dibuang, maka ranting itu justru akan membusukkan keseluruhan pohon hingga kering dan mati.<br /><br />H. Daftar Pustaka<br /><br />Andi Hamzah, Dr., S.H., KUHP & KUHAP, Cetakan Ketigabelas Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006.<br />Amrullah, M. Arief, Dr., S.H., M.Hum., Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering,Malang : Bayumedia, 2004.<br />Ginting, Jamin, S.H., M.H., Analisis dan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Ri Tindak Pidana Korupsi (I), Tangerang : Universitas Pelita Harapan Press, 2009.<br />Ginting, Jamin, S.H., M.H., Analisis dan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Ri Tindak Pidana Korupsi (II), Tangerang : Universitas Pelita Harapan Press, 2009.<br />Hartanti, Evi, S.H., Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2007.<br />Prinst, Darwan, S.H., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2002<br />Wiyono, R, S.H., Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2009.<br /><br /><br /></p>Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-81417613769376705252009-06-10T09:43:00.002+07:002009-06-10T09:46:32.345+07:00Tentang UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004<p>Oleh : Roy Sanjaya</p><p>Category : Law</p><p>Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Di Indonesia, peraturan perundang-undangan itu dibagi atas suatu hierarki perundangan, yaitu :<br />1. UUD 1945<br />Peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat Negara yang berwenang dan mengikat secara umum. UUD 1945 adalah hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.<br />2. Undang-undang<br />Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama dengan presiden. Yang harus termuat dalam peraturan perundang-undangan ini adalah :<br />a. Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945, meliputi :<br />- HAM<br />- Hak dan kewajiban warga Negara<br />- Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta<br />pembagian kekuasaan Negara.<br />- Wilayah dan pembagian daerah<br />- Kewarganegaraan dan kependudukan<br />- Keuangan Negara<br />b. Jika UU yang bersangkutan diperintahkan oleh UU lain untuk<br />diatur dalam UU.<br />-Perpu (Peraturan pemerintah pengganti undang-undang)<br />Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.<br />3. Peraturan pemerintah<br />Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan undang-undang dengan sebagaimana mestinya.<br />4. Peraturan presiden<br />Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh presiden . Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU atau materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah.<br />5. Peraturan daerah<br />Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah. Peraturan dalam tingkat ini dibagi menjadi dua, yaitu :<br />Peraturan daerah provinsi<br />Peraturan daerah kabupaten / kotamadya<br />Peraturan desa<br />Adapun tujuan dari adanya Perda adalah untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan.<br />Berbicara tentang sumber dari segala sumber hukum di Indonesia tentunya tidak akan lepas dari pancasila yang berperan sebagai demikian karena ia sebagai sumber ideologi dan filosofis Negara. Jadi seluruh peraturan perundang-undangan yang ada tidak boleh bertentangan dengan pancasila. Bagitu juga yang berlaku dalam hierarki perundang-undangan itu sendiri dimana antara satu peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.<br />Adapun dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia harus melihat beberapa asas, yaitu :<br />Kejelasan tujuan<br />Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas tentang apa yang hendak dicapai.<br />Kelembagaan dan organ pembentuk yang tepat<br />Setiap peraturan perundang-undangan harus dibentuk oleh lembaga yang tepat dan berwenang.<br />Kesesuaian antara jenis materi dan materi muatan<br />Dan materi muatan peraturan perundang-undangan harus memuat asas:<br />Pengayoman<br />Harus dapat memberikan perlindungan dan ketentraman dalam masyarakat.<br />Kemanusiaan<br />Harus mencerminkan perlindungan terhadap HAM<br />Kebangsaan<br />Mencerminkan kepribadian bangsa dan menjaga prinsip NKRI<br />Kekeluargaan<br />Mencerminkan musyawarah mufakat mencapai tujuan<br />Kenusantaraan<br />Memperhatikan kepentingan seluruh rakyat Indonesia<br />Bhinneka Tunggal Ika<br />Keadilan<br />Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan<br />Ketertiban dan kepastian hukum<br />Keseimbangan, keserasian dan keselarasan<br />Asas-asas tertentu<br />DApat dilaksanakan<br />Peraturan efektif di masyarakat baik secara filosofis, yuridis dan sosiologis<br />Kedayagunaan dan kehasilgunaan<br />Bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.<br />Kejelasan rumusan<br />Tidak menimbulkan kesalahan interpretasi<br />Keterbukaan<br />Yang dimaksud dengan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dimulai dari proses antara lain:<br />1. Perencanaan<br />Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam suatu program legislasi nasional, yaitu suatu instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang dilakukan dengan cara yang terencana, terpadu dan sistematis, dimana dalam pelaksanaannya itu dilakukan dalam suatu program legislasi daerah.<br />Adapun penyusunan program legislasi nasional dilakukan oleh DPR dan pemerintah yang dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi sementara di lingkungan pemerinah, penyusunannya dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan.<br />2. Persiapan<br />2.1. Undang-undang<br />RUU bisa berasal dari presidan dan DPR maupun dari DPD (jika berkatian dengan Otoda) dengan disusun berdasarkan program legislasi nasional (tetapi dalam keadaan tertentu bisa diluar program itu). Jika RUU berasal dari presiden, maka RUU itu disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.<br />RUU yang berasal dari presiden diajukan dengan surat presiden kepada pimpinan DPR untuk kemudian dibahas dalam jangka waktu 60 hari sejak surat presiden diterima.<br />Jika berasal dari DPD, RUU diajukan pada DPR.<br />2.2. Perpu, PP, Perpres<br />Perpu harus diajukan kepada DPR pada persidangan berikut dalam bentuk RUU tentang penetapan Perpu.<br />2.3. Perda<br />Rancangan perda bisa berasal dari DPRD (komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi) maupun pemda.<br />Jika berasal dari pemda, maka disampaikan dengan surat pengantar pemda (penyebarluasannya akan dilakukan oleh Sekretariat Daerah) dan jika oleh DPRD, maka disampaikan melalui pimpinan DPRD kepada Pemda dan penyebarluasannya akan dilakukan oleh Sekretariat DPRD. Dan jika dalam penyampaiannya itu, baik dari DPRD dan pemda mengajukan Rancangan perda yang sama, maka yang digunakan adalah rancangan perda dari DPRD (dari Pemda hanya sebagai bahan referensi saja).<br />3. Tekhnik penyusunan<br />4. Perumusan<br />5. Pembahasan<br />6.1. UU<br />Dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan DPR melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. (jika juga menyangkut daerah, juga bisa dengan mengikutkan DPD)<br />Dalam pembahasannya, RUU dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan pemerintah, hal yang sama juga bisa terjadi apabila sudah memasuki tahap pembahasan jika mendapat persetujuan dari DPR dan pemerintah.<br />6.1.1. Perpu<br />Pembahasan tentang PERPU sama saja dengan RUU hanya saja dalam hal ini DPR hanya menerima atau menolak Perpu tersebut. JIka perpu diterima, maka Perpu itu akan menjadi UU tetapi jika ditolak, maka pemerintah (melalui presiden tentunya) harus mengajukan RUU tentang pencabutan perpu.<br />6.2. Perda<br />Dilakukan bersama-sama oleh kepala daerah dan DPRD melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.<br />Dalam pembahasannya, rancangan Perda dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD dan kepala daerah, hal yang sama juga bisa terjadi apabila sudah memasuki tahap pembahasan jika mendapat persetujuan dari DPRD dan kepala daerah.<br />6. Pengesahan<br />6.1. Undang-undang<br />RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden<br />disampaikan oleh DPR kepada presiden dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kepada presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Pembubuhan tanda tangan presiden dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah RUU disetujui, dan jika tidak, UU akan tetap berlaku.<br />PP ditetapkan untuk melaksanakan UU dan batas waktu ditetapkannya diatur dalam UU yang bersangkutan (jika dinyatakan secara tegas)<br />6.2. Perda<br />Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah disampaikan oleh DPRD kepada Kepala daerah dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kepada kepala daerah untuk disahkan menjadi Perda. Pembubuhan tanda tangan kepala daerah dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah Rancangan Perda disetujui, dan jika tidak, Perda akan tetap berlaku.<br />7. Pengundangan<br />Agar setiap orang mengetahuinya, peraturan perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam :<br />a. Lembaran Negara RI (UU/Perpu, PP, Perpres / jika ditetapkan lain)<br />Tambahan lembaran Negara berfungsi untuk penjelasan atas peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam lembaran Negara. Pengundangannya dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab.<br />b. Berita Negara RI (jika ditetapkan demikian)<br />Tambahan berita Negara berfungsi untuk memuat penjelasan atas peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam berita Negara.<br />c. Lembaran daerah (perda)<br />d. Berita daerah<br />Semua peraturan perundang-undangan mulai dinyatakan berlaku dan<br />mengikat sejak tanggal diundangkan kecuali ditentukan lain.<br />Penyebarluasan<br />Dilakukan melalui lembaran Negara atau lembaran daerah oleh pemerintah yang bersangkutan dan itu adalah suatu bentuk kewajiban.</p><p>Sumber : UU no.10 tahun 2004</p>Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-38006598677359961842009-05-16T19:43:00.000+07:002009-05-16T19:44:09.978+07:00SUAKAKata suaka sebenarnya berasal dari bahasa Yunani, yaitu “asylon” atau “asylum” dalam bahasa latin, yang artinya tempat yang tidak dapat dilanggar di mana seseorang yang dikejar-kejar mencari tempat berlindung. <br /> Sementara itu, pengertian suaka menurut para ahli:<br />1.Dr. Kwan Sik, S.H<br />Suaka adalah perlindungan yang diberikan kepada individu oleh kekuasaan lain atau oleh kekuasaan dari negara lain (negara yang memberikan suaka).<br />2.Oppenheim Lauterpacht<br />Suaka adalah dalam hubungan dengan wewenang suatu negara mempunyai kedaulatan di atas teritorialnya untuk memperbolehkan seorang asing memasuki dan tinggal di dalam wilayahnya dan atas perlindungannya.<br />3.Charles de Visscher<br />Suaka adalah sesuatu kemerdekaan dari suatu negara untuk memberikan suatu suaka kepada orang yang memintanya.<br />4.Gracia Mora<br />Suaka adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh sesuatu negara kepada orang asing yang melawan negara asalnya.<br />5.Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H.,<br />Perlindungan individu di wilayah negara asing tempat ia mencari perlindungan (kediaman asing, kapal asing, dll)<br />6.Sumaryo Suryokusumo<br />Suaka adalah di mana seorang pengungsi/ pelarian politik mencari perlidungan baik di wilayah sesuatu negara lain maupun di dalam lingkungan gedung Perwakilan Diplomatik dari suatu negara. Jika perlindungan yang dicari itu diberikan, pencari suaka itu dapat kebal dari proses hukum dari negara dimana ia berasal.<br /><br />Dari apa yang telah dikatakan sebelumnya di atas, J.G. Starke menegaskan pula bahwa konsepsi suaka hukum internasional adalah mencakup 2 unsur yaitu:<br />1. Penaungan yang lebih daripada pelarian sementara sifatnya.<br />2. Pemberian perlindungan dari pembesar-pembesar yang mengusasi daerah suaka <br /> secara aktif.<br />Dan dari batasan-batasan yang telah didapatkan sebelumnya tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa suaka adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada individu yang memohonkannya dengan berbagai alasan tertentu.<br /><br />Sebelum berbicara mengenai suaka lebih jauh, maka lebih baik apabila kita memahami sejarah dari suaka itu sendiri, Suaka sudah ada sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun yang lalu, bahkan pada zaman primitif-pun suaka telah dikenal dimana-mana. Menurut Enny Soeprapto, masyarakat Yunani Purba telah mengenal lembaga yang disebut dengan “asylia” walaupun agak berbeda dengan maksud dan pengertiannya tentang “suaka” yang kita kenal sekarang.<br /> Pada masa Yunani purba itu, agar seseorang, terutama pedagang yang berkunjung ke negara-negara lainnya, mendapatkan perlindungan, maka antara sesama negara kota di negeri itu diadakan perjanjian-perjanjian untuk maksud demikian.<br /> Dalam perkembangannya, lembaga “asylia” itu kemudian dilengkapi dengan lembaga yang disebut “asphalia” yang tujuannya melindungi benda-benda milik orang yang dilindungi menurut lembaga “asylia”. Dalam perkembangannya sejarah kemudian mengenal kebiasaan dimana rumah-rumah ibadat seperti gereja, merupakan tempat suaka. Demikian juga dengan rumah-rumah sakit yang sering dipandang sebagai tempat suaka.<br /> Dalam kelanjutannya pada awal masehi, suaka berarti suatu tempat pengungsian atau perlindungan terhadap orang yang peribadatannya dihina. Untuk selanjutnya, dalam waktu yang lama, suaka diberikan kepada pelarian pada umumnya terlepas dari sifat perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh pencari suaka yang menyebabkannya dikejar-kejar. Dalam waktu yang lama pelaku tindak pidana biasa-pun, yang mendapat suaka di negara lain, tidak diekstradisikan.<br /> Keadaan ini baru berubah pada abad ke-17, dimana berbagai pakar hukum, termasuk seorang juris Belanda yang terkenal, Hugo Grotius, menggariskan perbedaan antara tindak pidana politik dan tindak pidana biasa dan menyatakan bahwa suaka hanya dapat diklaim oleh mereka yang mengalami tuntutan politis atau keagamaan. Sejak pertengahan abad ke-19 bagian besar perjanjian ekstradisi mengakui prinsip non ekstradisi bagi tindak pidana politik, kecuali yang dilakukan terhadap kepala negara.<br /> Pada bagian sebelumnya telah disinggung bahwa pemberian suaka didasarkan pada beberapa alasan-alasan tertentu, adapun alasan-alasan itu berkaitan dengan :<br />Perikemanusiaan<br />Agama<br />diskriminasi<br />ras<br />politik, dll.<br /> Adapun pemberian dari suaka atas alasan-alasan yang itu bertujuan agar para pencari suaka tersebut dapat terhindar dari penyiksaan oleh pemerintah negara asal milik pemohon. Pasal 1 Convention Against Torture and Other Cruel, Human Or Degarding Treatment Or Punishment memberikan suatu bentuk batasan sebagai berikut :<br />1.For the purposes of this Convention, the term “torture” means any act by which severe<br />pain or suffering, whether physical or mental, is intentionally inflicted on person for such purposes as obtaining from him or a third person information or a confession, punishing him for act the third person has comitted, or intimidating or coercing him or a third person, or for any reason based on discrimination of any kind, when such pain or suffering is inflicted by or at the instigation of or with the concent or acquiescence of a public official or other person acting in an official capacity. It does not pain or suffering arising only from, inherent in or incidental to lawful sanction.<br />2.This article is without prejudice to any international instrument or national legislation which does or may contain provisions or wider application.<br /> Dalam kaitannya dengan pemberian suaka, perlu diketahui bahwa pemberian suaka tidak termasuk perlindungan atas pejabat atau orang-orang yang melakukan perbuatan kriminal di negara asalnya.<br /> Berkenaan dengan hal suaka itu, pihak yang berwenang dan terkait dalam penanganan suaka adalah :<br />Departemen luar negeri<br />Perwakilan diplomatik di luar negeri<br />Departemen dalam negeri<br />Departemen kehakiman dan HAM<br />Departemen sosial<br />Pemda<br />Kepolisian <br />Intelijen<br /><br />Dan mekanismenya pemberian suaka adalah sebagai berikut :<br />Dalam hal diketahui adanya suatu pencari suaka yang ada di suatu daerah, pemda segera<br />memberitahukan deplu untuk mengkoordinasikan langkah-langkah yang diperlukan bersama dengan departemen/ lembaga pemerintahan yang terkait.<br />Berdasarkan dengan hasil koordinasi, deplu akan memberitahu pemerintah negara asal pencari suaka untuk memperoleh upaya penyelesaian.<br />Jika diperlukan, departemen yang terkait dapat membentuk satgas untuk mengupayakan koordinasi dan uapaya penanganan tingkat lanjut.<br />Dalam kaitannya dengan suaka, perlu dibedakan perbedaan antara pencari suaka dan pengungsi, Perbedaan itu ada pada status suakanya. Pada dasarnya kedua pihak adalah orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut yang mendasar dan tidak mungkin untuk kembali lagi. Akan tetapi kedudukan dari seorang pencari suaka dikatakan demikian apabila dalam pengajuan suakanya pada negara lain yang bersangkutan belum diakui status suakanya atau apabila suakanya itu ditolak sementara pengungsi adalah status kelanjutan keberadaannya di luar negeri apabila status suakanya itu diterima oleh negara lain dengan mengacu pada ketentuan hukum internasional yang ada.<br /> Ada 2 jenis suaka :<br />1.Suaka diplomatik<br />Dalam suaka jenis ini, tempat suaka adalah tempat-tempat yang menjadi milik atau yang digunakan untuk keperluan resmi negara pemberi suaka yang memiliki kekebalan dari yurisdiksi negara dimana tempat tersebut berada.<br />Yang termasuk dalam tempat-tempat di atas adalah :<br />- Gedung perwakilan diplomatik<br />- Rumah dinas kepala misi diplomatik atau konsuler<br />- Pangkalan militer <br />- Kapal atau pesawat terbang milik pemerintah yang digunakan untuk tujuan non <br /> komersil.<br />2.Suaka teritorial<br />Tempat suaka adalah wilayah dari negara pemberi suaka itu sendiri, baik darat dan laut.Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-6405779464027372522009-05-16T19:07:00.000+07:002009-05-16T19:09:04.292+07:00ARBITRASEArbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang telah dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.<br /> Ada bebeberapa pengecualian dalam forum arbitrase dimana forum arbitrase tidak menangani permasalah hukum sebagai berikut :<br />Status kewenangan orang atau badan hukum keluarga termasuk kewajiban atau hak-hak<br />pribadi atau finansial antara orang tua atau antara suami istri<br />Permasalahan alimentasi<br />Pewarisan<br />Kepailitan<br />Hak atas benda tidak bergerak<br /> Dan arbitrase memiliki kewenangan yang absolut apabila para pihak memilih arbitrase melalui sistem Factum de compromitendo dan melalui suatu akta kompromis.<br /> Beberapa kelebihan dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase :<br />Kebebasan, kepercayaan dan keamanan<br />Keahlian dari para arbiter<br />Cepat dan hemat biaya<br />rahasia<br />non precedent<br />Kepekaan yang dimiliki oleh arbitrator itu sendiri terhadap permasalahan.Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-43095909754950778302009-05-16T19:06:00.000+07:002009-05-16T19:07:49.989+07:00HUKUM YANG BERLAKU DALAM KONTRAK BISNIS INTERNASIONALDalam membicarakan suatu kontrak dagang yang mengandung foreign elements (unsur internasional), maka dalam pelaksanaannya adalah dapat menimbulkan persoalan sebagai berikut, yaitu :<br /><br /> -Hukum manakah yang berlaku atas perjanjian tersebut?<br /> -Pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili jika terjadi sengketa hukum antar <br /> para pihak dalam perjanjian?<br /><br />Berhubungan dengan pertanyaan yang telah disebutkan di atas, pada prinsipnya hukum yang berlaku dalam kontrak HPI adalah hukum yang dipilih sendiri oleh para pihak, namun apabila pilihan hukum itu tidak ditemukan dalam kontrak, maka dapat digunakan bantuan titik taut sekunder lainnya.<br /><br />Berbicara tentang pilihan hukum, pilihan hukum adalah suatu keadaan dimana para pihak yang terlibat dalam kontrak diberikan kebebasan untuk memilih sendiri hukum yang dipakai dalam kontrak mereka.<br /> Meskipun demikian, pilihan hukum bukan berarti bahwa para pihak tidak boleh sewenang-wenang dan tetap memperhatikan ketertiban umum dan pilihan hukum juga tidak boleh digunakan sebagai suatu sarana dalam melakukan penyelundupan hukum atau dengan kata lain adalah bahwa pilihan hukum itu harus dilaksanakan dengan berdasarkan pada itikad baik para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.<br /> <br />Pilihan hukum tidak sama dengan penyelundupan hukum, perbedaannya ada pada niatan atau itikad yang mendasari perbuatan hukum tersebut. Dalam penyelundupan hukum, individu mengikuti ketentuan yang telah dibuat oleh dirinya sendiri untuk menghindarkan diri atas hukum negaranya. Pilihan hukum, para pihak memilih diantara norma-norma hukum yang berlaku bagi negara-negara yang bersangkutan.<br /><br />Ada 4 macam pilihan hukum, yakni:<br />Secara tegas (pilihan hukum disebutkan jelas dalam kontrak)<br />Secara diam-diam (pilihan hukum tidak disebutkan tetapi menggunakan pasal-pasal dari hukum negara tertentu dalam kontrak)<br />Secara dianggap (tidak pernah disebutkan dan ataupun disinggung dalam kontrak)<br />Secara hipotesis(menggunakan titik taut sekunder untuk menentukan pilihan hukum)<br /><br />Berikut ini adalah berbagai macam titik taut sekunder dalam pilihan hukum :<br />Lex Loci Contractus<br />- Hukum yang berlaku bagi kontrak internasional adalah hukum dimana perjanjian itu <br /> dibuat.<br />- Sulit diterapkan oleh karena perkembangan zaman.<br />Mail Box Theory<br />- Berlaku di negara bersistem hukum Anglo Saxon<br />- Bila kedua pihak tidak saling bertemu muka, maka yang penting adalah saat salah satu <br /> pihak mengirimkan penerimaannya atas penawaran yang diajukan padanya.<br />Theory of Declaration<br />- Berlaku dalam sistem hukum Civil Law<br />- Penerimaan terhadap penawaran oleh yang ditawari harus dinyatakan dan surat <br /> penyataan penerimaan harus sampai pada pihak yang menawarkan dan penerimaan <br /> penawaran tersebut harus diketahui oleh pihak yang menawarkan.<br />Lex Loci Solutionis<br />-Hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah hukum dimana kontrak tersebut <br /> dilaksanakan<br />Most Characteristic Connection<br />-Teori yang dianggap paling baik dalam menyelesaikan sengketa bisnis internasional.<br />-Tolok ukur yang digunakan adalah kewajiban untuk melaksanakan prestasi yang paling <br /> khasHwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-40334686091681675942009-03-17T22:14:00.003+07:002009-03-17T22:22:21.025+07:00Tentang Mafia Berkeley dan Indonesia<p>Berikut ini adalah beberapa tambahan perihal perkembangan ekonomi Indonesia dan Mafia Berkeley yang disampaikan oleh Prof. Jeffrey Winters dalam "Seminar Krisis Ekonomi Indonesia: 53 Tahun Keberhasilan Mafia Berkeley?" pada tanggal 13 Maret 2009 di IBII yang dapat didownload dari situs berikut:</p><p>http://www.sendspace.com/file/9mvabq</p><p></p>Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-21587670820123208672009-03-17T22:08:00.002+07:002009-03-17T22:13:10.362+07:00Mafia Berkeley, Apa dan Bagaimana cara kerjanya?Dewasa ini, istilah mafia Berkeley merupakan sebuah istilah yang cukup asing di telinga kita akan tetapi mulai sering diperbincangkan dalam beberapa forum, pemikiran-pemikiran dan buku-buku. Tentunya setelah kita mendengarkan ucapan-ucapan itu timbul suatu pertanyaan “Apa itu mafia Berkeley?”<br /><br /> Mafia Berkeley adalah sekelompok perumus kebijakan ekonomi Indonesia yang telah dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan asing selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965) yang merupakan bagian dari strategi perang dingin dalam menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di Asia. Dikatakan Mafia Berkeley karena kebanyakan dari generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di Univesitas Berkeley, California, Amerika Serikat. Adalah suatu hal yang aneh mengingat para mahasiswa Universitas Berkeley pada tahun 1960-an adalah sekelompok mahasiswa yang progresif dan mayoritas anti perang Vietnam. Akan tetapi program yang diberikan untuk mafia Berkeley telah dirancang khusus oleh orang Indonesia untuk dipersiapkan kemudian hari sebagai bagian dari hegemoni global Amerika. Dikatakan mafia karena mengambil ide dari bentuk kejahatan terorganisir yang terkenal mengingat fungsi mereka yang secara sistematis dan terorganisir menjadi alat dari hegemoni dan kepentingan global di Indonesia.<br /><br /> Kelompok mafia Berkeley telah mengabdi selama 32 tahun dalam rezim Orde Baru dan terus berlangsung hingga sekarang dimana banyak sekali anggota dan murid-muridnya yang menduduki jabatan penting dalam perekonomian di Indonesia dan menjadi sebuah saluran strategis untuk kebijakan yang dirumuskan oleh IMF, bank dunia dan Depkeu Amerika Serikat. Mafia Berkeley sekaligus merupakan alat untuk memonitor kebijakan ekonomi Indonesia agar searah dengan kebijakan umum dalam bidan ekonomi yang digariskan oleh Washington. Garis kebijakan ini dikenal dengan nama Washington Konsensus. Sekilas kebijakan Washington Konsensus ini tampak wajar dan netral tetapi dibalik program itu tersembunyi kepentingan negara-negara adikuasa. Adapun beberapa kebijakan yang dilakukan oleh kelompok ini adalah sebagai berikut:<br /><br /> Pertama, Kebijakan anggaran ketat, selain ditujukan untuk mengendalikan stabilitas makro dan menekan inflasi, sebetulnya juga dimaksudkan agar tersedia surplus anggaran untuk membayar hutang yang untuk mewujudkannya, penghapusan subsidi untuk rakyat dipaksakan. Pembayaran utang adalah suatu bentuk keharusan, sementara urusan yang lain yang berhubungan dengan pemenuhan dasar kebutuhan rakyat adalah urusan belakangan.<br /><br /> Kedua, liberalisasi keuangan untuk memperlancar transaksi global dan menjamin modal dan dividen setiap saat dapat keluar dari negara berkembang.<br /><br /> Ketiga, liberalisasi industri perdagangan memudahkan negara maju untuk mengekspor barang dan jasa ke nagara berkembang. Tapi negara-negara maju itu sendiri melakukan perlindungan terhadap sektor industri dan pertaniannya melalui kuota, kebijakan anti dumping, export restraint, subsidi dan hambatan non tarif.<br /><br /> Keempat, privatisasi aset-aset milik negara yang dimaksudkan agar peranan negara di dalam bidang ekonomi berkurang sekecil mungkin. Dalam prakteknya, penjualan aset negara itu dilakukan dengan harga yang sangat murah sehingga sering terjadi program privatisasi identik dengan piratization seperti yang diungkapkan oleh Prof. Marshall I. Goldman dari Harvard.<br /><br /> Dalam prakteknya, kebijakan konsensus Washington seringkali dipaksakan sekaligus kepada negara berkembang tanpa suatu tahapan, fleksibilitas dan persiapan untuk memperkokoh kekuatan ekonomi domestik. <br /><br /> Adalah suatu hal yang ironis, pada tahun 1960-an GNP perkapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, RRT nyaris sama, yaitu kurang dari US$ 100 perkapita. Setelah lebih dari 40 tahun, GNP perkapita negara-negara itu mencapai : Indonesia sekitar US$ 1000, Malaysia US$ 4.520, Korsel US$ 14.000, Thailand US$ 2.2490, Taiwan US$ 14.590, RRT US$ 1.500. Dilihat dari data yang ada di atas, peranan Mafia Berkeley di Indonesia tidak mampu membuat perekonomian Indonesia berkembang, jangankan menjadi The next Korea dan The next Malaysia. Indonesia malah berpotensi menjadi sebuah negara negara gagal. Setelah 40 tahun di bawah kendali Mafia Berkeley, Indonesia malah berpotensi untuk menjadi the new Philipines.<br /><br /> Dibawah kuasa mafia Berkeley, utang yang besar dan habisnya sumber daya alam dan hutan yang rusak, ternyata hanya menghasilkan pendapatan per kapita sekitar US$ 1000, dan pemenuhan kebutuhan dasar sangat minimum serta ketergantungan mental maupun finansial terhadap utang luar negeri.<br /><br /> Mafia Berkeley juga bertanggung jawab atas gagalnya usaha reformasi terhadap birokrasi dan justru mendorong pegawai negeri dan ABRI untuk bertindak koruptif karena penetuan standar gaji yang sangat tidak manusiawi. Jika begitu, kemanakah empati mereka? Anggota dan juga murid dari mafia Berkeley sendiri telah direkayasa dengan sedemikian rupa untuk mendapatkan pendapatan yang sangat tinggi lewat penunjukkan mereka sebagai komisaris di BUMN-BUMN, double/ triple billing di BI, Depkeu dan Bappenas sehingga tidak memiliki suatu upaya untuk melakukan reformasi gaji para pegawai negeri dan ABRI.<br /><br /> Salah satu kegagalan penting dari Mafia Berkeley adalah dengan mengundang keterlibatan IMF untuk mengatasi krisis ekonomi pada bulan Oktober 1997 yang justru membuat krisis menjadi semakin parah. <br /><br /> Ironisnya, dalam menjawab berbagai kegagalan yang terjadi, anggota mafia Berkeley umumnya menggunakan alasan klasik yang cenderung menyesatkan, yaitu akibat adanya prilaku mantan presiden Soeharto. Memang benar jika mantan presiden Soeharto melakukan KKN, tetapi semua kegagalan itu tentunya tidak bisa hanya dibebankan pada presiden Soeharto saja. Padahal jika ingin dikaji lebih jauh, para mafia Berkeley inilah yang seharusnya bertanggung jawab karena mereka yang merumuskan strategi, kebijakan dan terlibat dalam implementasinya. Banyak dari berbagai kegagalan tersebut berada pada tataran teknis dan operasional yang tidak dipahami oleh presiden Soeharto pada saat ia menjabat. Adalag sebuah sikap yang sangat tidak bertanggung jawab dan tidak ksatria, bersedia menjadi pejabat selama 32 tahun, ikut menikmati privileges dan eksis selama kekuasaan Orba, tetapi lantas menimpakan segala kegagalan dan kesalahan kepada mantan presiden Soeharto, itupun baru berani dilakukan setelah rezim Orba tidak berkuasa lagi.<br /><br /> Pertanyaan berikut yang mungkin timbul adalah mengapa mafia Berkeley gagal membawa Indonesia menjadi negara sejahtera dan besar di Indonesia walaupun telah berkuasa di negara ini selama nyaris 40 tahun? Itu semua dikarenakan oleh stratei dan kebijakan ekonomi Indonesia yang dirancang oleh Mafia Berkeley akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi dari kepentingan global. Padahal perlu diingat, tidak ada negara manapun yang menjadi berhasil menjadi negara sejahtera dengan mengikuti model Konsensus Washington, contohnya adalah kemerosotan 2 dekade dari tahun 1980-2000 di negara-negara Amerika Latin. Sementara itu di Asia, hanya ada dua negara yang patuh pada Konsensus Washington, yaitu : Indonesia dan Filipina yang justru mengalami kemerostan ekonomi secara terus-menerus, ketergantungan utang yang permanen, ketimpangan pendapatan yang sangat mencolok, kemiskinan merajalela dan kerusakan lingkungan yang parah.<br /><br /> Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan global mengakibatka n Indonesia tidak memiliki suatu bentuk kemandirian dalam perumusa Undang-undang yang merupaka salah satu sumber hukum di Indonesia yang seharusnya digunakan untuk membuat rakyat menjadi lebih baik keadaannya menjadi suatu sarana bagi kepentingan ekonomi global untuk menahan kesejahteraan rakyat negara yang bersangkutan. Hasil tipikal dari model konsensus Washington adalah siklus terus-menerus dari krisis ekonomi dan akumulasi utang. Contoh UU yang lahir dari situasi seperti ini adalah UU tentang privatisasi air, BUMN, Migas dan lain sebagainya yang dari segi ekonominya hanya akan membuka peluang bagi kepentingan ekonomi global untuk melakukan liberalisasi secara ekstrim dan privatisasi yang ugal-ugalan.<br /> <br />MODUS OPERANDI MAFIA BERKELEY<br />Modus operandi utama dari Mafia Berkeley adalah mengabdi pada kekuasaan apapun konsekuensinya terlepas dari apapun bentuk dari pemerintahan yang berkuasa. Dalam berbagai kasus, mafia Berkeley justru menjadi corong public relation di berbagai forum dan media untuk memperlunak dan mempermanis image pemerintah yang otoriter ataupun represif. Efektifitas media relation mafia Berkeley terutama dilakukan dengan memberikan akses khusus dalam bentuk bocoran informasi dan dokumen-dokumen rahasia pada satu media harian dan satu media mingguan yang terkemuka dimana kedua media itu memiliki pandangan yang liberal dalam bidang sospol tetapi konservatif dalam bidang ekonomi.<br /><br /> Pola Rekrutmen mafia Berkeley dilakukan dengan berlandaskan pada prinsip utama loyalitas dan feodalisme di atas kriteria profesionalisme. Mereka diprogram untuk menjadi alat kepentigan global yang justru melecehkan arti penting dari semangat nasionalisme dan kemandirian yang sangat dijunjung tinggi oleh para pendiri negara, dimana dalam program itu, sebagai kompensasi atas loyalitas mereka, para kader Mafia Berkeley ini lantas dilengkapi dengan beberapa sarana seperti perjalanan ke luar negeri, keanggotaan di berbagai komite dan berbagai macam pujian sekaligus penghargaan yang diberikan oleh berbagai lembaga yang sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan ekonomi global itu sendiri dalam berbagai media dan sarana-sarana lain.<br /><br /> Jika ada kebijakan presiden atau menteri lain yang bukan merupakan anggota Mafia Berkeley yang menyimpang dari arahan Konsensus Washington/ IMF-Bank Dunia, USAID. Anggota-anggota dari Mafia Berkeley ini dengan cepat melaporkan kepada perwakilan IMF, Bank Dunia dan USAID untuk dikritik oleh laporan-laporan resmi lembaga-lembaga kreditor. Untuk menjaga agar arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia agar sejalan dengan manifestasi dari Konsesus Washington, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan undang-undang atau peraturan pemerintah yang dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri sehingga sangat terbuka adanya intervensi kepentinga global atas Indonesia.<br /><br /> Meski dalam beberapa kesempatan IMF dan Bank Dunia selaku tuan dari kebijakan ekonomi yang neoliberal pada dekade terakhir ini mengakui berbagai kesalahannya bahwa liberalisasi keuangan yang terlalu cepat telah meningkatkan kemungkinan suatu negara terkena krisis. dan bahkan dalam publikasi terakhirnya (An East Asian Renaissance: Ideas for Growth, 2007), badan-badan itu mengakui bahwa pemerintah harus mengambil suatu tindakan untuk mengoreksi ketidak sempurnaan pasar, terutama dalam meningkatkan skala industri domestik. Dengan kata lain berkata bahwa pasar tidak bisa menyelesaikan segalanya. Mafia Berkeley masih tetap berpedoman pada prinsip itu yang sebenarnya hanya merupakan sebuah bentuk representasi dari kepentingan “tuan” mereka di Washington.<br /><br />Sumber :<br />Seminar Krisis Ekonomi Indonesia: 53 tahun Keberhasilan Mafia Berkeley?, 13 Maret 2009, IBII, Jakarta.Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-62786900347210101352009-03-16T21:49:00.001+07:002009-03-16T21:51:58.807+07:00Berakhirnya hubungan diplomatikBerkaitan dengan berakhirnya hubungan diplomatik, Konvensi Wina 1961 mengatur tentang hal ini pada pasal 43 yang berbunyi sebagai berikut:<br /> “The function of a diplomatic agent comes to an end “inter alia” :<br />1. On notification by the sending state to the receiving state that the function of the<br />diplomatic agent has come to an end.<br />2. On notification by the receiving state to the sending state that, in accordance with paragraph 2 of the article 9, it refuses to recognize the diplomatic agent as a member of the mission.”<br />Artinya yang tertulis dalam pasal itu adalah fungsi seorang pejabat diplomatik adalah jika ada suatu pemberitahuan oleh negara pengirimnya kepada negara penerima bahwa tugasnya telah berakhir dan jika diberitahukan pada negara pengirim bahwa sesuai dengan pasal 9 ayat 2 negara penerima tidak lagi mengakui pejabat diplomatik yang bersangkutan sebagai anggota dari misi diplomatik.<br /> Beranjak dari hal di atas, maka suatu hubungan diplomatik dapat berakhir apabila :<br />1. Berakhirnya misi diplomatik,<br />Berakhirnya misi diplomatik karena :<br />- Pemanggilan kembali oleh negaranya. Surat panggilan itu diserahkan pada kepala <br /> negara atau Menlu dan wakil yang bersangkutan diberikan surat letter de<br /> recreance yang menyetujui pemanggilannya.<br />- Permintaan negara penerima agar wakil yang bersangkutan direcall..<br />- Penyerahan paspor kepada wakil dan staf serta keluarganya saat pecahnya perang<br /> antara negara pengirim dan penerima.<br />- Selesainya tugas misi.<br />- Berakhirnya masa berlakunya surat-surat kepercayaan yang diberikan untuk <br /> jangka waktu yang sudah diterapkan.<br />2. Pemutusan hubungan diplomatik<br />Jika terjadi suatu pemutusan diplomatik, biasanya negara pengirim akan menarik anggota staf perwakilannya di negara penerima. Pemutusan hubungan diplomatik ini merupakan discreationary act suatu negara. Di Indonesia pemutusan hubungan diplomatik suatu negara diatur dalam pasal 22 UU No.37 tahun 1999.<br />Ada beberapa alasan yang menyebabkan pemutusan hubungan diplomatik, umunya karena adanya suatu pertentangan dengan posisi negara lain ataupun kegiatan yang tidak wajar dari personel diplomatik. Pemutusan itu dapat terjadi dalam beberapa bentuk :<br /> a. Down grading :kepala perwakilan dan staf diplomatik ditarik pulang dan yang<br /> tinggal adala charge d'affairs.<br /> b. Penangguhan/pembekuan hubungan diplomatik : perwakilan negara ke tiga diminta<br /> mewakili negara yang mengadakan pembekuan<br /> c. Pemutusan hubungan diplomatik<br /> 3. Hilangnya negara pengirim atau penerima<br /> Sebagai akibatnya, kepala-kepala perwakilan harus memperoleh surat-surat<br /> kepercayaan yang baru dari kepala negara mereka agar dapat meneruskan tugasnya..<br /> Anggota-anggota staf perwakilan lainnya harus dianggap telah mengakhiri fungsinya<br /> dan kemudian meneruskan. kegiatannya melalui penunjukkan yang baru dari negara-<br /> negara pengirim yang diberikannya secara tegas maupun diam-diam.<br /> Akan tetapi semua itu tidak berarti jika negara penerima tidak mengakui hilangnya negara<br /> pengirim.Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7340632055402476481.post-48883997743462654152009-03-15T18:06:00.001+07:002009-03-15T18:09:23.765+07:00renvoiMasalah renvoi timbul karena adanya aneka warna sistem HPI yang berbeda pada masing-masing negara, terutama sekali berhubungan pada status personil seseorang berdasarkan prinsip domisili dan nasionalitas.<br /> Masalah renvoi juga memiliki hubungan yang erat dengan persoalan kwalifikasi. Adapun pertanyaan yang timbul kemudian adalah “Apakah HPI itu merupakan hukum yang sifatnya supra nasional atau yang nasional?”. Jika dianggap sebagai hukum yang sifatnya supra nasional, maka renvoi tidak dapat digunakan karena kaidah HPI semacam itu memiliki kekuatan hukum yang tidak menghiraukan pembuat undang-undang untuk mengoper atau menolak renvoi. Jika kaidah-kaidah HPI semacam ini berasal dari tata tertib hukum yang lebih tinggi daripada tata tertib pembuat undang-undang nasional, maka HPI yang bersifat supra nasionalah yang berlaku.<br /> Berkenaan dengan renvoi, tidak semua penulis setuju dengan adanya renvoi dengan beberapa alasan, yaitu:<br />1.Renvoi dianggap tidak logis<br />Hal ini didasarkan pada suatu penunjukan kembali secara terus menerus, maka yang ada adalah suatu permasalahan yang menggantung karena tidak ada pihak yang mau menanganinya dan terus saling melakukan suatu penunjukkan kembali.<br />Pendapat kalangan penulis yang menolak renvoi ini lantas dibantah oleh pihak yang pro renvoi dengan alasan bahwa baik yang menerima atau yang menolak dua-duanya secara selogis mungkin. Dalam kenyataannya tidak akan ditemui adanya suatu penujukkan tiada akhir melainkan hanya ada satu kali renvoi/ penujukkan kembali.<br />2.Renvoi merupakan penyerahan kedaulatan legislatif.<br />Menurut pandangan yang kontra dengan renvoi, menurut Cheshire dan Meyers, dengan adanya suatu renvoi, maka seolah-olah kaidah-kaidah hakim itu sendiri yang dikorbankan terhadap seuatu hukum asing yang kemudian dianggap berlaku.<br />Sementara itu, pendapat ini dibantah dengan alasan kaidah yang digunakan oleh hakim itu bukan dari sembarang kaidah negara asing, dengan arti hanya sebatas kaidah HPI saja dimana yang menunjuk penggunaannya adalah sang hakim itu sendiri sehingga secara tidak langsung, yang berlaku adalah HPI negaranya sendiri dan bukan HPI dari negara asing.<br />3.Renvoi membawa ketidak pastian hukum<br />Jika renvoi diterima, maka yang ada kemudian adalah penyelesaian HPI itu yang samar-samar, tidak kokoh dan tidak stabil sebagai hukum. Akan tetapi menurut kubu yang pro renvoi mangatakan bahwa justru jika tidak ada renvoi, maka yang ada adalah ketidakpastian itu sendiri.<br /><br /> Sementara itu, alasan-alasan yang digunakan oleh para penulis yang pro dengan adanya renvoi adalah sebagai berikut:<br />1.Renvoi memberikan keuntungan praktis<br />Jika sebuah renvoi itu diterima, maka hukum intern sendiri dari sang hakim yang akan digunakan dan tentunya hal ini akan memberikan keuntungan praktis bagi hakim.<br />2.Jangan bersifat lebih raja daripada raja itu sendiri<br />Justru dengan adanya renvoi, chauvinisme juridis dapat dihindari dan merupakan suatu penghormatan pada hukum asing yang bertautan dengan kasus yang ada.<br />3.Keputusan-keputusan yang berbeda.<br />Untuk menghindari adanya ketidak pastian hukum dalam bentuk keputusan yan berbeda-beda atas perkara yang sama pada dua sistem hukum yang terkait.<br /><br /> Dari hal-hal yang telah disampaikan sebelumnya di atas perihal pro dan kontra pada renvoi, kita mendapati bahwa yang digunakan dalam menilai masalah renvoi ini adalah logika. Kita harus dapat melihatnya berdasarkan pada hukum positif dimana renvoi dipandang sebagai suatu bentuk dari apa yang dinamakan dengan pelembutan hukum, meskipun tidak ditemukan dalam suatu peraturan tertulis di Indonesia, renvoi diterima dalam kaidah hukum positif Indonesia secara nyata yang tercantum secara tidak langsung dalam pasal 16 sampai 18 AB.<br /> Adapun beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan renvoi di Indonesia adalah sebagai berikut:<br />1.Perkara orang Armenia Nasrani tahun 1928<br />2.Perkara palisemen seorang British India tahun 1925<br /><br /> Renvoi juga diatur dalam konvensi-konvensi internasional meliputi :<br />1.Persetujuan Den Haag tentang HPI tahun 1951, 1955<br />Diterima suatu konsep untuk mengatur “perselisihan” antara prinsip nasionalitas dan domisili yang lantas ditindak lanjuti pada tanggal 15 Juni 1955 dengan ditetapkannya konvensi yang bersangkutan.<br />Pasal 1 mengatur bahwa apabila suatu negara di mana orang yang dipersoalkan menganut sistem domisili, memakai sistem nasionalitas sementara negara asal orang itu memakai sistem domisili, maka tiap negara peserta menggunakan Sachornen daripada domisili.<br />2.Persetujuan hukum uniform HPI negara-negara Benelux 1951<br />Persetujuan itu dilakukan antara negara Belgia, Belanda dan Luxemburg. Dalam pasal 1-nya ditentukan bahwa renvoi tidak dapat diterima. Jika tidak ditentukan berlainan, maka dalam persetujuan tersebut diartikan dengan istilah hukum intern daripadanya dan bukan HPI-nya.<br /><br /> Hwang's bloghttp://www.blogger.com/profile/02780928204929411424noreply@blogger.com0