Jumat, 07 Januari 2011

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)

A. Pengertian PKPU
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam pasal 222 sampai dengan pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adapun PKPU ini sangat berkaitan erat dengan ketidakmampuan membayar (insolvensi) debitur terhadap hutang-hutangnya kepada pihak kreditor.

Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tundaan pembayaran hutang (suspension of payment atau Surseance van Betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim Pengadilan Niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian dari hutangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi hutangnya tersebut. Jadi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ini pada dasarnya merupakan sejenis legal moratorium (rencana perdamaian).


B. Maksud dan Tujuan PKPU
Adapun yang menjadi maksud dan tujuan PKPU adalah sesuai dengan yang tercantum pada ketentuan pasal 222 ayat (2) dan (3) UU No. 37 Tahun 2004 :


“(2) Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.
(3) Kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat
melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya."


Dimana dari pasal tersebut dapat diartikan bahwa secara umum, maksud dari PKPU adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk memungkinkan seseorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.


C. Jenis-jenis PKPU
Berdasarkan sifatnya, PKPU dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :


PKPU sementara
Merupakan PKPU yang penetapannya dilakukan sebelum sidang dimulai, dan harus dikabulkan oleh pengadilan setelah pendaftaran dilakukan.
PKPU tetap
Merupakan PKPU yang ditetapkan setelah sidang berdasarkan persetujuan dari para kreditor.


D. Para Pihak dalam PKPU
Para pihak yang terkait dalam PKPU antara lain adalah sebagai berikut :


Debitor
Berdasarkan pada ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004, yang dimaksud dengan debitor adalah orang yang mempunyai hutang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan.
Sesuai dengan pasal 222 UU No. 37 tahun 2004, debitor yang mempunyai lebih dari satu kreditor dapat mengajukan PKPU bila ia tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Maksud pengajuan oleh debitor ini ialah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Debitor yang mengajukan ini dapat berupa debitor perorangan ataupun debitor badan hukum-
2. Kreditor
Berdasarkan pada ketentuan pasal 1 angka (2) UU No. 37 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.


Kreditor separatis
Diatur dalam pasal 56 UU No. 37 Tahun 2004. Yang dimaksud dengan kreditor separatis adalah kreditur yang memiliki jaminan hutang kebendaan (hak jaminan), seperti pemegang hak tanggungan, hipotik, gadai, fidusia, dll.
Kreditor preferen
Berdasarkan pada pasal 1139 dan pasal 1149 KUHPer, yang dimaksud dengan kreditor preferen adalah kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas sesuai dengan yang diatur oleh Undang-undang yang bersangkutan.
Kreditor konkuren
Berdasarkan pada Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata. Kreditur golongan ini adalah semua Kreditur yang tidak masuk Kreditur separatis dan tidak termasuk Kreditur preferen.


Berdasarkan pada pasal 222 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya.

3. Bank Indonesia
Apabila debitor adalah sebuah bank, maka bank Indonesia yang berwenang mengajukan PKPU. (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)
4. Badan pengawas pasar modal
Apabila yang menjadi pihak debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)
5. Menteri Keuangan
Apabila yang menjadi debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)
6. Hakim pengawas
Selain mengangkat pengurus, setelah putusan PKPU sementara dikabulkan oleh pengadilan maka pada saat itu juga diangkat Hakim Pengawas. Tugas Hakim Pengawas ini pada dasarnya juga sama dengan tugas Hakim Pengawas dalam kepailitan, yaitu mengawasi jalannya proses PKPU. Apabila diminta oleh pengurus, Hakim pengawas dapat mendengar saksi atau memerintahkan pemerinsaan oleh ahli untuk menjelaskan keadaan yang menyangkut PKPU, dan saksi tersebut dipanggil sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Perdata. Hakim Pengawas setiap waktu dapat memasukkan ketentuan yang dianggap perlu untuk kepentingan Kreditor berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang tetap, berdasarkan:

a. prakarsa Hakim Pengawas

b. permintaan pengurus; atau

c. permintaan satu atau lebih Kreditor.

7. Pengurus
Adapun dengan mengacu pada ketentuan yang terkandung dalam pasal 234 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, yang dapat menjadi pengurus adalah :
Perorangan yang berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta debitur.
Telah terdaftar pada departemen yang bersangkutan
Pengurus harus independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan debitor atau kurator. (Pasal 234 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004)
8.Panitia Kreditor
Menurut Pasal 231, Pengadilan harus mengangkat panitia kreditor apabila :


a. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang
meliputi utang yang bersifat rumit atau banyak kreditor; atau

b. Pengangkatan tersebut dikehendaki oleh kreditor yang
mewakili paling sedikit ½ (satu per dua) bagian dari seluruh tagihan yang diakui.
Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pengurus harus meminta dan mempertimbangkan saran dari panitia kreditor ini.

9. Ahli
Setelah PKPU dikabulkan Hakim Pengawas dapat mengangkat satu atau lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang keadaan harta Debitor dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Laporan ahli harus memuat pendapat yang disertai dengan alasan lengkap tentang keadaan harta Debitor dan dokumen yang telah diserahkan oleh Debitor serta tingkat kesanggupan atau kemampuan Debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada Kreditor, dan laporan tersebut harus sedapat mungkin menunjukkan tindakan yang harus diambil untuk dapat memenuhi tuntutan Kreditor. Laporan ahli harus disediakan oleh ahli tersebut di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma dan penyediaan laporan tersebut tanpa dipungut biaya.


E. Prosedur PKPU

E.1.Permohonan


Permohonan PKPU harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga di daerah tempat kedudukan hukum debitur dengan ketentuan :
Apabila debitur telah meninggalkan wilayah Negara Indonesia, pengadilan yang berwenang untuk menjatuhkan permohonan putusan atas PKPU adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitur.
Apabila debitur adalah persero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang untuk memutuskan.
Apabila debitur tidak berkedudukan di wilayah Negara Indonesia akan tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Indonesia, maka pengadilan yang berwenang memutuskannya adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitur.
Apabila debitur merupakan badan hukum, tempat kedudukannya hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.
Perlu diketahui juga bahwa permohonan ini juga harus dilampiri dengan rencana perdamaian.
Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat :

- Sifat 
- Jumlah piutang
- Jumlah hutang debitor beserta surat bukti secukupnya, 
- Dan apabila yang mengajukan permohonan adalah kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.

E.2. Surat permohonan
Surat permohonan berikut lampirannya (bila ada) harus disediakan di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh setiap orang secara cuma-cuma.
Sistematika dari surat permohonan PKPU itu sendiri paling tidak memuat hal-hal sebagai berikut :

a. Tempat dan tanggal permohonan

b. Alamat pengadilan Niaga yang berwenang
c. Identitas Pemohon dan advokatnya
d. Uraian tentang alasan permohonan PKPU

e. Permohonan 

Berisikan antara lain :
Mengabulkan permohonan pemohon

Menunjuk Hakim Pengawas dan Pengurus


f. Tanda tangan debitor dan advokatnya

Sementara kelengkapan berkas yang harus disiapkan sebagai syarat permohonan PKPU pada Pengadilan Niaga, meliputi :


a. Surat permohonan bermeterai yang ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Niaga
b. Identitas diri debitur
c. Permohonan harus ditandatangani oleh Debitur dan Penasehat
Hukumnya
d. Surat kuasa khusus yang asli (penunjukkan kuasa pada orangnya
bukan kepada Law Firmnya)
e. Ijin Penasehat Hukum/Kartu Penasehat Hukum
f. Nama dan tempat tinggal/kedudukan para kreditur konkuren disertai
jumlah tagihannya masing-masing pada debitur
g. Neraca pembukuan terakhir
h. Rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh

atau sebagian utang kepada Kreditur Konkuren (Jika ada).

E.3. Pemeriksaan
Apabila permohonan PKPU dan kepailitan diperiksa pada saat yang bersamaan, maka permohonan PKPU haruslah diputus terlebih dahulu.

E.4. PKPU sementara
Sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 225 UU No. 37 Tahun 2004. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam PKPU sementara adalah sebagai berikut :
Dalam hal permohonan diajukan oleh debitor, pengadilan dalam waktu paling lambat 3 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan PKPU sementara dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor.
Dalam hal permohonan diajukan oleh kreditor, pengadilan dalam waktu paling lambat 20 hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan PKPU utang sementara dan harus menunjuk hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor.
Segera setelah putusan PKPU sementara diucapkan, pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitor dan kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan. Dalam hal Debitor tidak hadir dalam sidang penundaan kewajiban pembayaran utang sementara berakhir dan Pengadilan wajib menyatakan Debitor Pailit dalam sidang yang sama.
Pengurus wajib segera mengumumkan putusan PKPU sementara dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2 surat kabar harian yang ditunjuk oleh hakim pengawas dan pengumuman tersebut juga harus memuat undangan untuk hadir pada persidangan yang merupakan rapat permusyawaratan hakim berikut tanggal, tempat, dan waktu sidang tersebut, nama hakim pengawas dan nama serta alamat pengurus. Apabila pada waktu PKPU sementara diucapkan sudah diajukan rencana perdamaian oleh debitor, hal ini harus disebutkan dalam pengumuman tersebut, dan pengumuman tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 hari sebelum tanggal sidang yang direncanakan. PKPU sementara berlaku sejak tanggal putusan PKPU tersebut diucapkan dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang.
Pada hari sidang Pengadilan harus mendengar Debitor, Hakim Pengawas, pengurus dan Kreditor yang hadir, wakilnya, atau kuasanya yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa. Dalam sidang itu setiap Kreditor berhak untuk hadir walaupun yang bersangkutan tidak menerima panggilan untuk itu.
Apabila rencana perdamaian dilampirkan pada PKPU sementara atau telah disampaikan oleh debitor sebelum sidang dilangsungkan, maka pemungutan suara tentang rencana perdamaian dilakukan, sepanjang belum ada putuan pengadilan yang menyatakan bahwa PKPU tersebut berakhir. jika kreditor belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian, atas permintaan debitor, kreditor harus menentukan pemberian atau penolakan PKPU tetap dengan maksud untuk memungkinkan Debitor, pengurus, dan Kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya.

E.5. PKPU tetap
Adapun beberapa hal yang berkaitan dengan prosedur PKPU tetap adalah sebagai berikut :
Bila PKPU tetap tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan Niaga, maka dalam jangka waktu 45 hari terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan, maka debitor demi hukum dinyatakan pailit.
Setelah dilakukan pemeriksaan, Majelis Hakim dapat mengabulkan PKPU sementara menjadi PKPU tetap dengan syarat sebagai berikut :
Disetujui lebih dari 1/2 jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
Disetujui lebih dari 1/2 jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.

F. Akibat Hukum dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Sejak diterimanya pemohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang oleh debitur, maka terjadilah beberapa akibat hukum terhadap debitur yang bersangkutan. Akibat hukum tersebut adalah sebagai berikut :

Debitur Kehilangan Independensinya
Berbeda dengan kepailitan dimana debitor menyerahkan kewenangan pengurusan harta kekayaan kepada kurator. Dalam PKPU, kewenangan dalam kepengurusan harta tersebut masih berada di tangan debitor itu sendiri. Hanya saja kebebasan debitor memang dibatasi dengan keberadaan pengurus selaku pengawas (Pasal 240 UU No. 37 Tahun 2004)
Jika Debitur Telah Minta Dirinya Pailit, Dia Tidak Dapat Lagi Minta Penundaan Pembayaran Hutang
Apabila dalam persidangan debitur sudah langsung meminta dirinya untuk dipailitkan, maka ia tidak bisa lagi meminta PKPU untuk dilaksanakan.
Jika Penundaan Pembayaran Hutang Berakhir, Debitur Langsung Pailit
Berdasarkan pada Pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga harus menyatakan debitur pailit selambat-lambatnya hari berikutnya (tanpa hak untuk mengajukan kasasi atau peninjauan kembali) apabila :
Jangka waktu PKPU sementara berakhir karena kreditur konkuren tidak menyetujui pemberian PKPU secara tetap.
Perpanjangan PKPU telah diberikan, akan tetapi sampai dengan tanggal batas terakhir penundaan pembayaran hutang (maksimum 270 hari) belum juga tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian.
Debitur Tidak Dapat Dipaksa Membayar Hutang dan Pelaksanaan Eksekusi DItangguhkan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 242 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 bahwa selama berlangsungnya PKPU, maka debitur tidak dapat dipaksa untuk membayar hutang-hutangnya serta semua tindakan eksekusi yang telah dimulai guna mendapatkan pelunasan hutang tersebut juga harus ditangguhkan.
Perkara yang Sedang Berjalan Ditangguhkan
Berdasarkan pada Pasal 243 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, sebenarnya secara prinsip PKPU tidak menghentikan perkara yang sudah mulai diperiksa ataupun menghalangi pengajuan perkara yang baru. Akan tetapi, terhadap perkara yang semata-mata mengenai tuntutan pembayaran suatu piutang yang telah diakui oleh debitur, sementara kreditur tidak mempunyai kepentingan untuk mendapatkan suatu putusan guna melaksanakannya kepada pihak ketiga setelah dicatatnya pengakuan tersebut, maka hakim dapat menangguhkan pengambilan keputusan mengenai hal tersebut hingga berakhirnya PKPU.
Debitur Tidak Boleh Menjadi Penggugat atau Tergugat
Berdasarkan pada Pasal 243 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, Debitur yang telah ditunda kewajibannya pembayaran hutangnya tidak boleh beracara di peradilan baik sebagai penggugat ataupun sebagai tergugat dalam perkara yang berhubungan dengan harta kekayaannya, kecuali dengan bantuan dari pihak pengurus.
Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku Bagi Kreditur Preferens
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 244 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 bahwa PKPU tidak berlaku bagi tagihan dari kreditur separatis, atau terhadap tagihan yang diistimewakan terhadap barang-barang tertentu milik debitur. Maka jelas bahwa terhadap debitur dengan hak istimewa, debitur juga harus membayar hutangnya secara penuh. Apabila pembayaran hutang tidak mencukupi dari jaminan tersebut, kreditur preferen masih mendapatkan haknya sebagai kreditur konkuren, termasuk di dalamnya hak untuk mengeluarkan suara selama PKPU.
Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku terhadap Beberapa Jenis Biaya Penting
Dalam Pasal 244 dikatakan bahwa PKPU tidak berlaku terhadap beberapa jenis biaya tertentu (misal : tagihan yang dijamin dengan gadai)
Hak Retensi yang DIpunyai oleh Kreditur Tetap Berlaku
Bahwa terhadap barang-barang yang ditahan oleh pihak kreditur wajib dikembalikan ke dalam harta pailit dengan membayar terhadap hutang yang bersangkutan jika hal tersebut menguntungkan harta pailit. (Pasal 245 UU No. 37 tahun 2004)
Berlaku Masa Penangguhan Eksekusi Hak Jaminan
Seperti halnya kepailitan, PKPU juga mengenal apa yang disebut dengan masa penangguhan pelaksanaan eksekusi hak jaminan hutang. Hanya saja lama pelaksanaan masa penangguhannya berbeda dimana apabila kepailitan adalah selama 90 hari, maka lama masa penangguhan dalam PKPU adalah 270 hari (maksimum).
Diatur dalam pasal 246 UU No. 37 Tahun 2004.
Bisa Dilakukan Kompensasi
Berdasarkan pada Pasal 247 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, kreditur dapat melakukan kompensasi atas hutang dan piutangnya terhadap debitur asalkan hutang piutang tersebut sudah terjadi sebelum mulai berlakunya PKPU.
Kepastian terhadap Perjanjian Timbal Balik
Dalam PKPU, kreditur dapat meminta kepastian mengenai kelanjutan pelaksanaan perjanjian yang sifatnya timbal balik dalam waktu tertentu. Akan tetapi perlu juga diingat bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi perjanjian timbal balik yang prestasinya harus dilakukan sendiri oleh pihak debitur.
Perjanjian di Bursa Komoditi Berakhir
Berdasarkan pada Pasal 250 UU No. 37 Tahun 2004, apabila telah dibuat suatu kontrak komoditi di bursa komoditi sementara penyerahan barang akan dilakukan di waktu tertentu dimana debitur telah mengajukan PKPU, maka kontrak tersebut menjadi hapus akan tetapi tidak menghilangkan hak bagi lawan untuk mengajukan klaim ganti rugi.
Debitur Dapat Mengakhiri Sewa-Menyewa
Apabila keputusan pengadilan niaga tentang PKPU sementara , pihak debitur sebagai penyewa dapat mengakhiri sewa tersebut asalkan dilakukan pemberitahuan untuk pemutusan sewa dengan jangka waktu sebagai berikut (Pasal 251 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 :
Jangka waktu pemberitahuan sesuai dengan kontrak yang berlaku atau jika tidak ada dalam kontrak, maka
Jangka waktu pemberitahuan sesuai dengan kelaziman setempat, atau
Jangka waktu 3 bulan sudah dianggap cukup
Akan tetapi perlu diingat bahwa ketentuan ini hanya berlaku jika debitur adalah pihak penyewa.
Dapat Dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja
Pasal 252 UU No. 37 Tahun 2004 mengatur tentang pemutusan hubungan kerja dalam hal PKPU. Adapun ini ditujukan untuk membantu debitor dalam melangsungkan kegiatan usahanya selama PKPU dilakukan.
Pembayaran kepada Debitur yang Telah Memperoleh Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Membebaskan Harta Kekayaan
Salah satu akibat hukum dari PKPU adalah dalam hal pembayaran yang dilakukan kepada debitur yang ditunda kewajiban pembayaran hutangnya. Untuk hal itu berlaku kewajiban sebagai berikut :
Pembayaran atas hutang yang timbul sebelum putusan PKPU sementara dijatuhkan, tetapi pembayarannya dilakukan setelah putusan PKPU dan tapi diumumkan. Maka dalam hal ini tidak membebaskan si pembayar tersebut dari harta kekayaan, kecuali :
Dapat dibuktikan bahwa si pembayar tersebut tidak mengetahui tentang telah adanya putusan PKPU tersebut
Pembayaran tersebut sejauh membawa keuntungan terhadap harta kekayaan tersebut
Apabila hutang itu telah dibayarkan setelah adanya putusan PKPU sementara, tetapi setelah adanya pengumuman sesuai dengan peraturan yang berlaku, si pembayar juga tidak dibebaskan dari kewajibannya terhadap harta kekayaan, kecuali :
Pembayar tidak mengetahui pengumuman PKPU sementara tersebut
Pembayaran tersebut sejauh membawa keuntungan bagi harta kekayaan.
Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku untuk Peserta Debitur dan Kreditur
Berdasarkan pada Pasal 254 UU No. 37 Tahun 2004, sejauh yang menyangkut dengan para peserta debitur dan garantor (penjamin), maka putusan PKPU dinyatakan tidak berlaku. Artinya garantor tetap berkewajiban penuh sebagai garantor, demikian juga dengan pihak peserta debitur untuk berkewajiban penuh sesuai kontrak dan / atau peraturan perundang-undangan yang berlaku
Tidak ada Actio Pauliana
Berdasarkan pada Pasal 1341 KUHPerdata, yang dimaksud dengan Actio Pauliana adalah hak kreditor untuk mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang tidak wajib dilakukan oleh debitor dengan nama apapun yang merugikan para kreditor sepanjang dapat dibuktikan bahwa ketika perbuatan itu dilakukan baik debitor maupun pihak dengan atau untuk siapa debitor itu berbuat mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan para kreditor.
Adapun dalam hal PKPU, Actio Pauliana tidak dapat dilakukan.
Perbuatan Debitur Tidak Dapat DIbatalkan oleh Kurator
Dalam hal PKPU, selama debitur diberikan kewenangan oleh pengurus sesuai dengan pasal 240 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, maka setelah debitur tersebut dinyatakan pailit, perbuatan debitur tersebut haruslah dianggap sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh kurator dan mengikat harta pailit.
Penundaan Kewajban Pembayaran Hutang Dapat Dilakukan Berkali-kali
Tidak ada larangan untuk melakukan penundaan hutang lebih dari satu kali bagi debitur yang sama. Bahkan, apabila PKPU diajukan dalam 2 bulan semenjak berakhirnya PKPU yang pertama, berlaku ketentuan sebagai berikut :
Jangka waktu penangguhan eksekusi barang jaminan oleh pihak kreditur separatis seperti yang dimaksud dalam PAsal 42 dan Pasal 44 UU No. 37 Tahun 2004 berlaku terhitung sejak permulaan berlakunya PKPU yang pertama.
Perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh debitur atas kewenangan yang diberikan oleh pengurus dalam PKPU yang pertama, tetap berlaku terhadap PKPU yang kedua.
Berlaku Ketentuan Pidana
Apabila debitur nekat atau karena ketidaktahuannya itu melakukan sendiri hal-hal terkait pengurusan harta kekayaan tanpa sepengetahuan pengurus, maka konsekuensinya adalah :
Perbuatan tersebut tidak membawa perngaruh terhadap harta debitur, kecuali membawa manfaat bagi harta debitur tersebut. (Pasal 240 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004)
Debitur dapat diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan karena melakukan pidana yang termasuk dalam pelanggaran terhadap ketertiban umum.

G. Berakhirnya PKPU
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat diakhiri dengan berbagai macam cara, meliputi :

Karena kesalahan debitur
Sekalipun PKPU secara tetap telah disetujui baik oleh kreditur separatis maupun konkuren, PKPU tersebut dalam prosesnya dapat diakhiri oleh pengadilan atas inisiatif atau permohonan dari :


Hakim Pengawas
Pengurus
Satu atau lebih kreditur
Pengadilan Niaga
Dengan alasan sebagai berikut :
- Debitur melakukan pengurusan harta kekayaan dengan itikad buruk
- Debitur mencoba merugikan kreditur


Debitur melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 226 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, yaitu Karena melakukan pengurusan harta tanpa diberikan kewenangan oleh pengurus
Debitur lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan oleh pengadilan niaga pada saat atau setelah PKPU ataupun lalai dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh para pengurus.
Keadaan harta debitur sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan PKPU
Keadaan debitur sudah sedemikian rupa sehingga tidak bisa diharapkan lagi untuk memenuhi kewajiban kepada kreditur.
Dicabut karena keadaan harta debitur sudah membaik
Berdasarkan pada pasal 259 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, apabila selama berlangsungnya PKPU debitur sudah merasa bahwa keadaan hartanya sudah membaik sehingga dia sudah dapat melakukan pembayaran-pembayaran atas hutang-hutangnya, maka debitur tersebut dapat mengajukan kepada pengadilan niaga agar penangguhan kewajiban pembayaran hutang dicabut. Tetapi dalam pencabutannya, Pengadilan niaga juga akan memanggil pengurus berkenaan dengan pengabulan permohonan pencabutan tersebut.
Karena tercapai perdamaian
Diatur dalam pasal 281 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi apabila rencana persetujuan telah disetujui oleh kreditur konkuren dan kreditur separatis dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Karena rencana perdamaian ditolak
Diatur dalam pasal 289 UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi apabila rencana perdamaian ditolak oleh kreditor separatis dan kreditor konkuren.
Karena perdamaian tidak disahkan oleh pengadilan niaga
Diatur dalam pasal 285 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004. Hal ini dapat terjadi apabila :
Harta debitur, termasuk hak retensi, jauh lebih besar dari jumlah yang disetujui dalam perdamaian
Apabila pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin
Perdamaian itu tercapai karena adanya penipuan atau persekongkolan antara satu dengan lain debitur, atau karena upaya-upaya tidak jujur yang lain
Biaya yang telah dikeluarkan oleh pengurus dan para ahli belum dibayar atau tidak diberikan jaminan yang cukup untuk membayarnya.
Karena PKPU dibatalkan
Diatur dalam pasal 291 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi karena debitur lalai dalam melaksanakan isi perdamaian yang telah disepakati.
Masa PKPU terlampaui
Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Apabila hingga batas waktu maksimal PKPU (270 hari), perdamaian belum juga memperoleh kekuatan yang pasti
Tidak tercapai perdamaian
Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Apabila sampai denga hari yang ke-270, rencana perdamaian belum juga disetujui oleh para kreditur.
Karena PKPU secara tetap tidak disetujui oleh kreditur
Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Proses PKPU dapat juga diakhiri apabila setelah jangka waktu 45 hari (jangka waktu untuk penundaan sementara kewajiban pembayaran hutang) para kreditur konkuren tidak menyetujui diberikannya PKPU secara tetap.


DAFTAR PUSTAKA


Fuady, Munir. Dr., S.H., M.H., LL.M., Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek,
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Jono, S.H., Hukum Kepailitan, Jakarta : Sinar Grafika, 2008
Sjahdeini, Sutan Remy. Prof.,Dr.,SH, Hukum Kepailitan Memahami Undang-
Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 2009.
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


POSISI DOMINAN DAN PENYALAHGUNAANNYA

Manakala kita membicarakan posisi dominan, sebenarnya posisi dominan itu tidak dilarang dalam persaingan usaha apabila pencapaiannya diperoleh dengan persaingan usaha yang fair. Adapun konsep HPU adalah menjaga persaingan usaha yang sehat tetap terjadi di pasar yang bersangkutan dan mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan melalui persaingan usaha yang sehat dan efektif.

Terdapat beberapa definisi terkait dengan posisi dominan, yang pertama adalah apabila dilihat dari perspektif ekonomi, yang dimaksud dengan posisi dominan adalah posisi yang ditempati oleh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar. Dengan pangsa pasar yang besar tersebut perusahaan memiliki market power. Dan dengan market power tersebut, perusahaan dominan dapat melakukan tindakan atau strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh perusahaan pesaingnya.

Yang kedua adalah sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang larang praktek monopoli dan praktek persaingan usaha tidak sehat. Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan posisi dominan adalah suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak memiliki pesaing yang berarti atau suatu pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi daripada pesaingnya pada pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, akses pada pasokan barang atau penjualan serta kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Adapun jika kita cermati secara baik, ketentuan yang diberikan oleh undang-undang tersebut sebenarnya memberikan 4 syarat yang dimiliki oleh seorang pelaku usaha agar pelaku usaha tersebut harus mempunyai posisi dominan, yaitu pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan :


- Pangsa pasarnya
- Kemampuan keuangannya
- Kemampuan akses pada pasokan atau penjualan
- Kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.


Sehingga menurut hukum, dengan berdasarkan pada syarat-syarat tersebut. Hanya satu pesaing dengan posisi dominanlah yang dapat menguasai pasar bersangkutan. Namun UU No. 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara rinci apakah syarat-syarat tersebut harus dipenuhi secara kumulatif atau tidak. Akan tetapi, salah satu ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah bahwa jika pelaku usaha tersebut dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan secara mandiri tanpa harus memperhitungkan para pesaingnya. Kedudukan seperti ini kepemilikan pangsa pasarnya, atau karena kepemilikan pangsa pasar ditambah dengan kemampuan pengetahuan teknologinya, bahan baku atau modal, sehingga pelaku usaha tersebut mempunyai kekuasaan untuk menentukan harga atau mengontrol produksi atau pemasaran terhadap bagian penting dari produk yang diminta.

Sehingga keadaan suatu pasar yang dapat dipengaruhi oleh satu pelaku usaha secara mandiri, karena pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi daripada pesaingnya dan kemampuan keuangan yang lebih kuat daripada pesaingnya serta mampu menetapkan harga dan mengatur pasokan di pasar yang bersangkutan. Dengan demikian, akibat tindakan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut pasar menjadi terdistorsi. Pelaku usaha tersebut secara independen tanpa mempertimbangkan keadaan pesaingnya dapat mempengaruhi pasar akibat penyalahgunaan posisi dominannya.

Posisi dominan dapat dimiliki oleh satu pelaku usaha (monopolist) dan dapat juga dimiliki oleh dua atau lebih pelaku usaha (oligopoly).

1. Pangsa pasar
Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli atau persentase jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.. Pasal 25 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 menetapkan bahwa satu pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar atau satu jenis barang atau jasa tertentu. Sedangkan dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dinyatakan mempunyai posisi dominan apabila menguasai 75% atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu.


Adapun ketentuan posisi dominan mengenai penguasaan pangsa pasar yang ditetapkan oleh pasal 25 ayat (2) tersebut mensyaratkan bahwa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut dapat mendistorsi pasar baik secara langsung maupun tidak langsung.


Pasal 25 ayat (1) menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominannya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :

- Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas, atau
- Membatasi pasar dan pengembangan teknologi
- Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Perlu diketahui bahwa secara normative ketentuan pasal 25 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 tersebut bersifat per se. Artinya, apabila suatu pelaku usaha sudah menguasai pangsa pasar 50% untuk satu pelaku usaha dan 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha, maka penguasaan pangsa pasar tersebut langsung dilarang. Akan tetapi, dalam prakteknya KPPU telah menerapkan ketentuan pasal 25 ayat (2) tersebut dengan pendekatan rule of reason. Hal ini dikarenakan secara praktis penerapan secara per se pasal 25 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 tersebut akan membatasi pertumbuhan pelaku usaha yang efisien serta inovatif dan kompetetitif di pasar yang bersangkutan.

2. Kemampuan keuangan
Salah satu unsur yang menyatakan bahwa suatu pelaku usaha mempunyai posisi dominan adalah apabila pelaku usaha mempunyai keuangan lebih besar dibandingkan dengan keuangan pelaku usaha pesaingnya. Pengertian kemampuan keuangan suatu pelaku usaha dapat dipahami khususnya kemampuan ekonomi pelaku usaha tersebut yang pada pokoknya mempunyai kemungkinan keuangan. Artinya, kemampuan keuangan yang dimiliki sendiri, untuk melakukan investasi sejumlah uang tertentu dan mempunyai akses menjual kepada pasar modal.

Terdapat beberapa faktor untuk dapat menetapkan pelaku usaha memiliki keuangan yang kuat dapat dilihat dari :


- modal dasar
- cash flow
- omset
- keuntungan
- batas kredit
- Akses ke pasar keuangan nasional dan internasional


3. Kemampuan pada pasokan atau penjualan


Unsur kemampuan mengatur pasokan atau penjualan adalah salah satu cirri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Kemampuan ini dapat dilihat oleh suatu pelaku usaha biasanya, apabila pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa pasar pesaing-pesaingnya.


Jika pangsa pasar pelaku usaha sudah ditetapkan, mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi daripada pesaingnya, maka dapat ditentukan apakah pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar dalam persentase tertentu dapat melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan, yaitu melalui kemampuan pengaturan jumlah pasokan atau penjualan barang tertentu di pasar yang bersangkutan. Kemampuan pengaturan pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu menjadi salah satu bukti bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan. Akibatnya adalah pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan menguasai pasar dan pesaingnya tidak dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan.


4. Kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan
Berdasarkan pada apa yang telah ditetapkan pada Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1999, pada prinsipnya kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan atas suatu barang atau jasa tertentu pada pasar yang bersangkutan mempunyai kesamaan dengan kemampuan mengatur pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu. Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan pada pasar yang bersangkutan. Oleh karena itu, penetapan siapa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan penting untuk dilakukan.


5. Penetapan posisi dominan
Lembaga yang berwenang untuk menetapkan posisi dominan suatu pelaku usaha pada pasar yang bersangkutan adalah KPPU. Sebelum suatu pelaku usaha ditetapkan mempunyai posisi dominan, KPPU terlebih dahulu harus melakukan investigasi terhadap pasar yang bersangkutan dengan pembatasan pasar yang bersangkutan.


Adapun di dalam UU No. 5 Tahun 1999, metode pembatasan pasar yang bersangkutan ditetapkan dalam Pasal 1 No. 10 dimana berdasarkan pada ketentuan tersebut, pembatasan pasar yang bersangkutan untuk menentukan posisi dominan suatu pelaku usaha menggunakan pembatasan pasar berdasarkan :

Pasar produk atau secara obyektif
Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk atau secara obyektif adalah dimana terdapat barang dan atau jasa yang sama atau sejenis, termasuk substitusinya. PAsal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1999 tidak memberikan penjelasan dan tidak ada petunjuk khusus mengenai barang yang sama atau sejenis serta barang substitusi. Untuk dapat menentukan apakah suatu barang dengan barang yang lain dapat dinyatakan sama atau dapat dinyatakan menjadi substitusi terhadap barang tertentu, perlu dilihat dari 4 aspek, yaitu :


Bentuk dan sifat barang
Bentuk dan sifat fisik suatu barang merupakan petunjuk pertama dalam mengindentifikasi apakah suatu produk satu pasar atau satu produk secara obyektif
Fungsi barang
Dilihat dari fungsi barang, apakah suatu barang atau produk dengan barang atau produk lain tersebut memliki fungsi yang sama bagi konsumen.
Harga
Fleksibilitas barang bagi konsumen
Dikenal juga dengan konsep kebutuhan konsumen. Unsur ini berhubungan dengan tingkah laku konsumen manakala apabila barang yang dikonsumsinya tidak ada di pasar, apakah ia mau untuk mengalihkan pemenuhannya pada produk lain yang sejenis / alternatif?
Secara geografis
Berdasarkan pada ketentuan pasal 1 No. 10 UU No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan pasar bersangkutan dari segi daerah adalah jangkauan atau daerah pemasaran tertentu. Pembatasan pasar bersangkutan secara geografis ditentukan sejauh mana produsen memasarkan produknya seluas itulah dihitung produsen yang memasarkan barang / produk di wilayah tersebut. Fungsi pembatasan pasar secara geografis adalah untuk menghitung pangsa pasar bersangkutan secara objektif disekitar wilayah di mana barang tersebut dipasarkan. Oleh karena itu dapat terjadi, bahwa pasar suatu barang tertentu dapat mencapai pasar regional, nasional, internasional dan bahkan pasar global. Akan tetapi UU No. 5 Tahun 1999 sudah membatasi penerapannya hanya di dalam negeri saja.


Akan tetapi KPPU telah menetapkan bahwa jangkauan penerapan UU No. 5 Tahun 1999 tidak sebatas seluas wilayah Indonesia dimana pelaku usaha memiliki kedudukan hukumnya, tetapi juga pelaku usaha yang mempunyai kedudukan hukum di luar wilayah Indonesia, tetapi perilaku pelaku usaha tersebut mempunyai dampak terhadap persaingan usaha di pasar Indonesia.

Setelah ditetapkan pasar produk suatu barang tertentu, kemudian ditetapkan pasar geografis produk tersebut, yaitu seluas mana produk-produk yang sama dan barang penggantinya dipasarkan, maka seluas wilayah itulah dihitung berapa jumlah pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha di wilayah tersebut, dan berapa pangsa pasar masing-masing pelaku usaha. Dari pasar geografis ini dapat disimpulkan pelaku usaha yang mana yang menguasai pangsa pasar di wilayah tersebut, pelaku usaha itulah yang memiliki posisi dominan di wilayah tersebut.

Penyalahgunaan posisi dominan
Pelaku usaha mempunyai posisi dominan tidak dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999, asalkan pencapaian posisi dominan tersebut dilakukan melalui persaingan usaha yang sehat. Yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 adalah manakala pelaku usaha tersebut menyalahgunaan posisi dominannya.


Pasal 25 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk menggunakan posisi dominannya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :


Mencegah atau menghalangi konsumen
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat melakukan suatu tindakan untuk mencegah atau menghalangi konsumen untuk memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat perdagangan.
Membatasi pasar dan perkembangan teknologi
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat membatasi pasar. Pengertian membatasi pasar di dalam ketentuan ini tidak dibatasi. Pengertian membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan sebagai penjual atau pembeli dapat diartikan dimana pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai kemungkinan besar untuk mendistorsi pasar yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya sulit untuk dapat bersaing di pasar yang bersangkutan.
Menghambat pesaing potensial
Di dalam hukum persaingan usaha dikenal apa yang disebut dengan pesaing factual dan pesaing potensial. Pesaing factual adalah pelaku usaha-pelaku usaha yag melakukan kegiatan usaha yang sama di pasar yang bersangkutan. Sedangkan pesaing potensial adalah pelaku usaha yang mempunyai potensi yang ingin masuk ke pasar yang bersangkutan, baik oleh pelaku usaha dalam negeri maupun pelaku usaha dari luar negeri. Hambatan masuk pasar bagi pesaing potensial yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan hambatan masuk pasar oleh karena kebijakan-kebijakan Negara atau pemerintah.
Adapun hambatan-hambatan tersebut dapat berupa perilaku-perilaku diskriminatif baik dalam segi harga dan non harga dan jual rugi.

Hubungan afiliasi dengan pelaku usaha yang lain
Adapun terkait dalam hal ini diatur dalam pasal 26 tentang jabatan rangkap dan pasal 27 tentang kepemilikan saham silang dalam UU No. 37 tahun 1999.


Jabatan rangkap
Pasal 26 melarang komisaris dan direksi suatu perusahaan merangkap jabatan di perusahaan yang lain apabila perusahaan-perusahaan tersebut :
Berada dalam pasar bersangkutan yang sama
Memiliki kaitan erat dalam bidang atau jenis usaha

Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Kepemilikan saham silang
Hubungan afiliasi pelaku usaha yang satu dengan yang lain dapat dilihat dari aspek kepemilikan saham suatu pelaku usaha di dua atau lebih pelaku usaha yang bergerak di bidang usaha yang sama atau dengan pelaku usaha yang lain.
Ketentuan pasal 27 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar yang bersangkutan atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan yang apabila mengakibatkan:
Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu
Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Akan tetapi untuk dapat menentukannya, harus diadakan suatu pembuktian terlebih dahulu. Jika memang terbukti, hal berikutnya yang harus dilakukan adalah dengan membuktikan apakah dengan adanya posisi dominan tersebut, pelaku usaha akan menyalahgunakannya sehingga pasar menjadi terganggu.