Senin, 08 September 2008

Sumber-sumber hukum Administrasi

By            : Roy Sanjaya
Category: Law

1. Pancasila sebagai sumber hukum

Sebagai mana yang ditetapkan oleh MPR yang tertuang dalam Tap MPRS No.XX/MPRS/1966, yang masih dinyatakan berlaku oleh Tap MPR No.V/MPR/1973 tentang peninjauan produk-produk yang berupa ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara Republik Indonesia jo. Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 tentang perlunya penyempurnaan yan termaktub dalam pasal 3 ketetapan MPR No.V/MPR/1973, pancasila dinyatakan sebagai sumber dari segala macam sumber hukum. Sebagai sumber dari segala sumber hukum, pancasila mewujudkan dirinya dalam :
1.Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
2.Dekrit 5 Juli 1959
3.Undang-undang dasar proklamasi, dan
4. Surat perintah 11 Maret 1966.
Yang dimaksud dengan Undang-undang dasar proklamasi adalah UUD’45 yang terdiri dari pembukaan, batan tubuh, aturan peralihan, aturan tambahan dan penjelasan.

2. Sumber hukum dalam arti formil

Yang dimaksud dengan sumber hukum dalam arti formal di Indonesia sesuai dengan yang diatur dalam Tap MPR No.XX/MPR/1966 adalah UUD ’45, Undang-Undang/ Perpu, PP, Keppres dan peraturan lain yang berada di bawahnya. Meski demikian, susunan perundang-undangan itu mengalami perubahan dengan dikeluarkannya UU no.10/2004 yang pasal 7-nya mengatur susunan perundangan yang baru, yaitu:
1.UUD’45
2.UU/Perpu
3.PP
4.Peraturan Presiden
5.Perda

2.1 UUD 1945

Undang-undang Dasar 1945 ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan berlaku hingga tanggal 27 Desember 1949 saat berlakunya Konstitusi RIS. UUD’45 baru berlaku kembali pada tahun 1959 seiring dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah satu isinya adalah “Kembali pada UUD’45” sekaligus menyatakan bahwa UUD 1950 tidak berlaku lagi. Hingga saat ini UUD’45 telah mengalami Amandemen sebanyak 4 kali seiring dengan perkembangan dinamika kenegaraan di Indonesia.
Seperti layaknya sebuah konstitusi pada umumnya, UUD’45 mengatur 3 hal yang bersifat pokok dan beberapa di antaranya adalah unsure-unsur berkaitan dengan unsur-unsur dari pembentuk suatu Negara hukum. 3 Unsur dalam UUD’45 itu meliputi:
1. Jaminan atas HAM
2. Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar
3. Pembatasan dan pembagian tugas ketatanegaraan yang sifatnya mendasar..
UUD’45 juga mengatur hal-hal mendasar tentang dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga dapat dikatakan bahwa UUD’45 adalah semacam “streefgrondwet”.

2.2 UU/Perpu

Undang-undang adalah aturan hukum yang digunakan dalam melaksanakan UUD’45. UU adalah produk legislatif presiden dengan DPR, hal ini sesuai dengan pasal 5 ayat (1) jo Pasal 20 UUD’45. UU dapat dibentuk atas inisiatif dari presiden (disebut usulan presiden) maupun DPR (disebut hak inisiatif).
Perpu dikatakan memiliki derajat yang sama dengan UU lebih dikarenakan oleh peran Perpu sebagai substitusi dari UU yang telah ada.Dikarenakan sebagai substitusi karena Perpu adalah sebuah peraturan yang menggantikan peran UU sebagai aturan hukum karena suatu kegentingan pada Negara dimana UU itu berlaku. Pihak yang berhak mengeluarkan perpu adalah presiden dan dalam hal ini DPR tidak dilibatkan dalam pembuatannya.
Perbedaan yang lain antara Perpu dengan UU adalah masa berlaku dari perpu itu sendiri. Masa berlaku dari sebuah perpu adalah selama satu tahun da lebih dari itu, perpu itu akan dicabut hanya saja apabila perpu itu dipandangn sebagai suatu peraturan yang baik. Perpu tersebut dapat diajukan sebagai RUU dan seseudah itu disahkan sebagai sebuah UU yang masa berlakunya tidak dapat ditentukan hingga UU tersebut dicabut.

2.3 PP

Seperti dengan apa yang telah diatur dalam pasal 5 ayat (2) UUD’45, Peraturan Pemerintah atau PP dikeluarkan oleh presiden untuk melaksanakan Undang-undang. Peraturan ini memuat aturan-aturan yang bersifat umum. Meski demikian, MA dalam pemeriksaan tingkat kasasi dapat menyatakan tidak sah. Hal itu dikarenakan PP itu bertentangan dengan peraturan perundangan yang tingkatannya lebih tinggi.

2.4 Peraturan Presiden

Serupa dengan PP, yang berhak mengeluarkan Peraturan presiden adalah presiden. Yang membedakannya adalah isi dari peraturan tersebut yang sifatnya lebih khusus/ teknis daripada PP yang bersifat umum.
Fungsi dari peraturan presiden juga sama dengan PP, yaitu sebagai peraturan pelaksanaan UU.

2.5 Perda (peraturan daerah)

Perda mulai dikenal sejak adanya Otonomi Daerah pada tahun 1999 dengan UU no.25 tahun 1999 dan UU no.22 sebagai dasar hukumnya. Perda adalah peraturan pelaksana kegiatan eksekutif di daerah dimana perda merupakan ketentuan peraturan kenegaraan yang dikeluarkan oleh gubernur / bupati atas persetujuan dari DPRD propinsi dan DPRD kabupaten. Seperti layaknya peraturan hukum lain yang berlaku di Indonesia, perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.

Adapun sumber-sumber hukum lain yang tidak tercantum dalam hierarki perundangan tetapi tetap dianggap sebagai salah satu sumber hukum meliputi yurisprudensi, hukum tidak tertulis, keputusan Tata Usaha Negara dan Dokrin.

2.6 Yurisprudensi

Secara umum, yang dimaksud sebagai yurisprudensi adalah peradilan. Akan tetapi dalam arti sempit, yurisprudensi juga dikenal sebagai ajaran hukum yang tersusun dan berasal dari dan dalam peradilan yang kemudian digunakan sebagai dasar hukum. Arti lain dari yurisprudensi juga dapat dikatakan sebagai himpunan putusan pengadilan yang disusun secara sistematik.
Dasar penerapan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum tertuang dalam pasal 26 UU no.14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman jo Pasal 31 UU no.14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Apabila dalam perkembangannya sebuah PP dinyatakan tidak sah oleh MA dalam sebuah putusan tingkat kasasi, maka PP itu harus dicabut dan digantikan dengan peraturan baru. Dari hal ini tampak jelas bahwa MA adalah lembaga pengujian peraturan di bawah UU.

2.7 Hukum Tidak tertulis

Diakuinya hukum tidak diatur dalam penjelasan umum UUD’45 yang isinya adalah sebagai berikut:
A. UUD suatu Negara hanya sebagian dari hukum dasar Negara itu.
Undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di
samping itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis.
B. Memang untuk menyelidiki hukum dasar suatu Negara tidak cukup
hanya menyelidiki pasal-pasal undang-undang dasarnya saja, akan
tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana
suasana kebatinan undang-undang dasar itu.
Dari hal diatas, maka yang dimaksud dengan hukum tidak tertulis adalah kumpulan kebiasaan yang berlaku dalam kegiatan ketatanegaraan dan kegiatan bermasyarakat (contoh : hukum adat).

2.8 Hukum Internasional

Menurut Mochtar Kusumaatmaja, yang dimaksud dengan hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara, yaitu:
a. antar Negara dengan Negara
b. antar subjek hukum lain bukan Negara satu sama lain.
Sumber-sumber hukum internasional yang tertulis dalam pasal 38 ayat (1) Piagan PBB meliputi:
a. perjanjian-perjanjian internasional
b. Kebiasaan internasional
c. prinsip-prinsip hukum umum
d. keputusan atau ajaran-ajaran dari sarjana terkemuka

2.9 Keputusan Tata Usaha Negara

Ada dua macam perbuatan administratif Negara, yaitu:
1. perbuatan hukum (rechthandelingen)
2. perbuatan nyata (feitelijke handelingen)
Menurut sistem hukum Indonesia yang mengenal hukum privat dengan hukum publik, perbuatan hukum terdiri atas:
1. Perbuatan hukum perdata
2. Perbuatan hukum publik
Perbuatan hukum publik dibedakan menjadi dua macam:
1. Perbuatan hukum publik bersegi 1
2. Perbuatan hukum publik bersegi 2
Yang dimaksud dengan perbuatan hukum publik bersegi satu adalah perbuatan hukum publik yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan kekuasaannya yang istimewa. Perbuatan ini dikenal dengan nama keputusa (beschikking). Keputusan semacam ini dibuat untuk menyelenggarakan hubungan antara alat-alat perlengkapan Negara yang membuatnya dengan seorang partikelir.
Perbuatan hukum bersegi dua dibenarkan oleh beberapa ahli seperti Van det Pot dan A.M Donner. Perbuatan hukum jenis ini merupakan perbuatan hukum yang diadakan oleh seorang partikelir dengan pemerintah selaku pihak yang memberi pekerjaan. Perbuatan seperti ini diatur oleh suatu hukum istimewa ,yaitu HAN.

2.10 Doktrin

Doktrin adalah pendapat-pendapat para pakar dalam bidang keahliannya masing-masing yang berpengaruh. Pendapat ini umumnya sering digunakan sebagai bahan rujukan dalam mengambil keputusan, terutama oleh Hakim dalam memutus suatu perkara.

3. Sumber Hukum dalam Pengertian Sosiogis

Yang mendapat suatu penekanan khusus dalam sumber hukum ini terletak pada factor-faktor apa saja yang menentukan isi yang sesungguhnya dari hukum. Faktor-faktor sosiologis itu ada bermacam-macam, misal:
1. Kondisi sosial-ekonomis menentukan isi perundang-undangan yang
berhubungan dengannya seperti UU naker
2. Kondisi politik Negara menentukan perundang-undangan yang
berhubungan dengannya seperti UU pemilu.

4. Sumber hukum dalam pengertian sejarah

Sumber hukum dalam pengertian sejarah memilii 2 makna :
1. Sebagai sumber pengenal dari hukum yang berlaku pada saat
tertentu.
2. Sebagai sumber tempat asal pembuat undang-undang menggalinya
dalam penyusunan suatu aturan yang berdasarkan undang-undang.
Sumber hukum ini merupakan suatu sumber hukum yang paling dipentingkan

Sumber : Pengantar Hukum Administrasi Negara dan UUD'45

Hukuman Mati, Perlu atau tidak serta apa tujuannya

By             : Roy Sanjaya
Category : Law

Seperti yang kita ketahui bahwa pada saat ini, eksistensi dari apa yang kita namakan sebagai "hukuman mati" menjadi suatu hal yang masih dipertanyakan, ada satu pihak yang mendukung dan ada satu pihak yang menentang akan jenis hukuman ini.

Sebenarnya sebelum kita berbicara pada masalah "Hukuman mati, masih diperlukan atau tidak". maka perlu sebelumnya agar kita memahami apa syarat-syarat dari masalah mendasar yang kita pelajari sehubungan dengan hukuman mati. Masalah itu adalah hukum. Seperti yang kita ketahui dan pelajari pada Pengantar Hukum Indonesia dan Pengantar Ilmu Hukum, hukum adalah seperangkat peraturan yang dibuat oleh penguasa untuk ditaati oleh masyarakat dan memiliki sanksi serta kekuatan yang memaksa pada masyarakat tersebut. dari point ini juga saya akan membawa kita semua pada pertanyaan "Seperti apa syarat-syarat dari hukum itu?" dan "Bagaimana agar suatu hukum dapat menjadi efektif dan ditaati oleh masyarakatnya?"

Syarat-syarat dari apa yang kita namakan hukum itu pada dasarnya mencakup tiga aspek, yaitu :
1. Keadilan
2. Kemanfaatan, dan
3. Kepastian dari hukum itu sendiri.
Yang saya maksudkan dengan keadilan adalah, sampai sejauh mana hukum bisa memberi suatu penyelesaian yang adil bagi para pihak yang bertentangan dan sampai sejauh mana negara, yang dalam hal ini adalah pihak yang diberikan kuasa untuk menggantikan pihak penggugat dalam memberikan sanksi bagi tergugat secara adil.

Aspek yang kedua adalah aspek kemanfaatan, yang dimaksud dengan aspek kemanfaatan adalah sampai sejauh mana hukum itu bisa memberikan manfaat pada :
1. Terdakwa
2. Masyarakat
Aspek manfaat yang bisa diterima oleh seorang terdakwa tentunya adalah efek jera dan suatu penyesalan atas perbuatan baik itu melawan hukum atau melanggar hukum.

Aspek manfaat yang bisa diterima oleh masyarakat dalam hal ini adalah suatu perkataan tidak langsung atau bisa kita sebut sebagai suatu tindakan tidak langsung yang dilakukan oleh pemerintah bagi warganya agar tidak melakukan hal yang serupa atau jika masih dilakukan maka hukuman semacam inilah yang menunggu para pelaku pada akhirnya.

Aspek ketiga dari suatu hukum juga adalah aspek kepastian, bahwa hukum bisa memberikan suatu kepastian, atau saya sebut sebagai suatu jaminan atas ketertiban umum dan rasa aman yang ada pada masyarakat.

Jika ketiga aspek itu tidak bisa dipenuhi oleh suatu hukum, maka hukum tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hukum yang efektif, sebab hukum yang efektif adalah hukum yang bisa dipatuhi oleh masyarakat dan bisa memberikan apa yang diharapkan oleh ketiga aspek hukum itu.

Kembali saya membicarakan tentang topik utama dari pembahasan kali ini. Jujur saja, bahwa saya secara pribadi adalah satu orang yang berpandangan bahwa hukuman mati itu perlu masih dibutuhkan sebagai sanksi dalam beberapa macam perkara, terutama pada perkara pidana. Adapun pandangan saya ini berdasar pada ketiga aspek hukum yang telah saya utarakan sebelumnya.

Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya tentang aspek keadilan bahwa hukum itu dikatakan efektif jika hukum itu bisa memberikan suatu penyelesaian yang adil pada para pihak yang berkepentingan. Dalam kaitannya dengan hukuman mati ini, saya masih melihat bahwa aspek itu masih diperhatikan. untuk mempermudah penjelasannya, saya akan menggunakan sebuah contoh:

A membunuh B dengan menyusun rencana sebelumnya, dalam pelaksanaan rencana pembunuhannya itu. A memutuskan untuk mendatangi rumah B dengan membawa sebuah pisau. A masuk dan melaksanakan rencananya untuk membunuh B dengan cara menusuknya dengan pisau dan memutilasi kepalanya dan beberapa potongan tubuh B, akan tetapi dalam menuntaskan niatnya itu, C yang merupakan istri B melihat kejadian itu. Karena kalap A juga turut membunuh C dan akibat dari perbuatan A itu, C meninggal. A akhirnya menuntaskan perbuatannya dengan membawa potongan tubuh B dan membuang potongan tubuh itu ke beberapa lokasi yang berbeda. Perbuatan A itu baru diketahui oleh tetangga B yang mencium bau busuk yang berasal dari rumah B. A tertangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan atas perbuatannya itu, padahal A masih mempunyai seorang istri dan 2 orang anak yang masih kecil. Sedangkan itu, anak B yang masih bayi akhirnya menjadi yatim piatu dan dirawat di rumah sakit karena sakit sebab beberapa hari terlantar tanpa perawatan di rumah B.

Dari perkara di atas, apakah hukuman mati itu layak untuk dijatuhkan? Bisakah kita pikirkan logika kita, Apakah A memiliki perasaan saat menghabisi B dan C? Apakah A memikirkan hak hidup B dan C? dan apakah A masih dikatakan "manusia" saat melakukan perbuatannya itu.

Sekarang masalah yang timbul kedua adalah, bagaimana jika A hanya dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa remisi? Apakah itu adil bagi korban? dan bagaimana dengan keluarga A? Saya dalam hal ini melihat dari sudut pandang korban dan tidak dari sudut pandang orang umum. Kenapa? sebab pihak korban adalah pihak yang secara langsung menderita kerugian akibat perbuatan pelaku. Coba kita bayangkan. Jika orang yang sepantasnya dihukum mati tidak dihukum mati, ia masih bisa melihat hari esok, ia masih bisa melihat keluarganya, ia masih bisa memperbaiki hidup dan bahkan bebas akibat remisi berkelakuan baik padahal tidak menutup kemungkinan bahwa pihak korban saat itu masih menderita kerugian secara menyeluruh (misal hidup sengsara karena ulah pelaku.)

Jadi karena hal ini, saya masih bisa memancang bahwa hukuman mati itu masih perlu. Lalu perlu kita pahami bahwa unsur efektivitas hukum itu adalah suatu unsur yang saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan.

Kembali kita ke topik pembahasan sebelumnya. Aspek hukum kedua adalah aspek manfaat, dengan adanya hukuman mati (terutama pada pelaku kejahatan berat), tentu kita mengenal akan adanya suatu shock therapy bagi masyarakat yang hendak melakukannya. Hal ini dirasa sebagai suatu hal yang penting dalam penerapan pidana mati, terutama sekali pada anggota kelompok separatis / pemberontak, jika tidak ada penerapan seperti itu, maka akan tercipta suatu pola pikir dalam masyarakat seperti ini "lakukan karena kau tidak akan mati" dan hal ini tentunya akan membuat wibawa negara menjadi lemah dan perlu kita ingat bahwa negara adalah organisasi kewibawaan. Negara yang tidak memiliki wibawa tidak akan ditakuti oleh rakyatnya dan tidak akan dihormati atau didukung oleh rakyatnya sendiri dan tentunya akan berbahaya bagi eksistensi dari negara itu sebagai organisasi kekuasaan, kenapa? karena hukum yang ada tidak bisa memberikan kepastian hukum yang seharusnya dimiliki oleh hukum yang dibuat oleh negara yang bersangkutan sehingga yang ada adalah rakyat yang tidak simpatik, tidak takut oleh negara dan bahkan melakukan makar bagi negara (dan hal itu adalah hal yang biasa terjadi terutama pada negara yang masyarakatnya belum memiliki kesadaran hukum yang tinggi seperti Indonesia.)

Setelah berbicara panjang lebar tentunya pertanyaan yang akan keluar tentunya adalah apa dasar hukum yang saya gunakan untuk dapat mengatakan hal-hal seperti ini. Sebelum saya berbicara lagi lebih jauh, maka yang akan saya bicarakan adalah apa yang menjadi sumber perdebatan dari hukuman mati ini. Tentunya adalah sebuah rahasia umum bahwa banyak orang maupun pihak-pihak yang berpendapat bahwa hukuman mati itu adalah bertentangan dengan HAM terutama pada bagian yang dinamakan sebagai hak untuk hidup. Berbicara tentang hak untuk hidup, sedikit penjelasan bahwa ini ada kaitannya dengan 3 unsur negara.
Salah satu unsur negara adalah adanya jaminan atas apa yang dinamakan sebagai Hak Asasi Manusia dan tentunya banyak orang berpikir bahwa akan sangat ironis jika negara tidak bisa menjamin hak asasi dari rakyatnya sendiri. Semua hal ini juga banyak terkait dengan hukuman mati dengan beranjak dari pendapat bahwa sejahat-jahatnya manusia, ia tetaplah manusia. Tetapi bagaimana dengan para pelaku pelanggaran HAM dan jika beranjak dari hal hak hidup. Kenapa PBB masih memberlakukan hukuman mati pada beberapa pelaku kejahatan perang? Hal ini tentunya juga berhubungan dengan Kenapa Indonesia masih memberlakukan hukuman mati.

Jika kita mengkaji lebih jauh, gagasan dan kenapa hukuman mati itu masih ada bisa kita lihat dari ideologi negara Indonesia yang tentunya sudah kita kenal dan pelajari sedari dulu, yaitu Pancasila. Tentu kita masih ingat pada sila kedua:
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”
Sebenarnya makna ini mengandung makna sebagai berikut:
Kemanusiaan bagi manusia yang bisa bersikap adil dan kemanusiaan bagi manusia yang beradab.
Dan dengan ini, apa yang kita dapati kemudian adalah pedoman bahwa kemanusiaan yang dalam hal ini adalah perlindungan HAM hanya bisa diberikan dan diakui hanya jika manusia itu bisa berlaku baik dan manusiawi bagi sesama manusia yang ada disekitarnya. Dalam hal ini dapat kita lihat suatu hubungan timbal balik antara satu individu dengan individu lain, jika satu individu telah dengan lancangnya melanggar HAM milik manusia lain, maka yang ada berikutnya adalah sifat ‘pembalasan’ yang dberikan oleh negara sebagai pengganti pihak korban guna menghindari apa yang dinamakan sebagai ‘pengadilan rakyat’ tentunya tak ada seorangpun yang menghendaki hal itu bukan?

Dasar hukum yang kedua adalah ketentuan dari piagam Hak Asasi Manusia itu sendiri yang dibuat dan diberlakukan oleh PBB pada negara anggotanya yang salah satu ketentuannya pada intinya adalah bahwa piagam tersebut tunduk pada peraturan negara yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan ketentuan yang ada dalam piagam itu tunduk dan disesuaikan dengan hukum negara anggota. Melalui ketentuan ini maka dapat dikatakan bahwa hukuman mati pada dasarnya adalah sah-sah saja jika dilakukan di negara anggota itu, jika menurut hukum yang berlaku tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM dan justru dianggap sebagai sarana perlindungan HAM (dan saya melihat hal ini berlaku di Indonesia) maka tidak ada yang salah dalam pelaksanaan hukuman mati, hanya saja yang tidak saya setujui adalah waktu pelaksanaan atau eksekusi yang tidak tentu (bahkan ada yang sampai 20 tahun dipenjara tanpa kepastian eksekusi) sehingga memperberat penderitaan terpidana. Hukuman mati seharusnya dilaksanakan sesegera mungkin setelah vonis dijatuhkan, apalagi setelah keputusan yang berkekuatan hukum tetap dikeluarkan mengingat semakin dini putusan itu dilaksanakan, makin efektif sanksi itu dalam penegakkan hukum itu sendiri.

Pada akhirnya, saya mengatakan bahwa hukuman mati itu masih dianggap perlu untuk diterapkan di Indonesia dan tidak bisa dianggap sebagai suatu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara atas rakyatnya.