Jumat, 29 Januari 2010

Kudeta (Lain)

Oleh : Rudi Hartono

Disadur dari : http://arahkiri2009.blogspot.com/2010/01/kudeta-lain.html

Beredar isu mengenai kudeta pada tanggal 28 Januari nanti. Tidak jelas siapa yang menghembuskan, namun diketahui jelas bahwa ini hanya isu murahan. Secara histories, setiap pergantian kekuasaan di Indonesia selalu rentang dengan isu semacam itu, meskipun kemudian banyak yang tidak terbukti.


Di sini, saya tidak berbicara soal isu rencana kudeta dari kelompok-kelompok politik oposisi, yang menurut selebaran pendukung SBY, akan dilakukan oleh kelompok yang kalah dalam pemilu, pejabat yang kecewa, dan jenderal purnawirawan yang haus kekuasaan. (http://bandung.detik.com/read/2010/01/23/172508/1284592/486/garap-kecam-isu-kudeta-28-januari).

Saya akan berbicara soal kudeta yang dilakukan oleh teknokrat pro-barat, yaitu para intelektual didikan barat, yang telah mengambil peran begitu besar dalam kebijakan politik dan ekonomi di negeri ini.

Hasil Perjuangan Anti Kolonial

Negara seperti Indonesia, yang berbeda dengan negeri kapitalis di Eropa, adalah hasil perjuangan anti-kolonial yang panjang. Sejak awal, negeri semacam ini mempromosikan pola hubungan egaliter dengan bangsa-bangsa lain, sesuatu yang sangat dekat pola pembangunan ala “sosialisme”. Dalam kaitan ini, mereka juga hendak meniadakan bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme, antara lama dan baru.

Sehingga, pada awalnya, Indonesia mempromosikan kemandirian ekonomi terhadap modal-modal metropolitan, dan memang harus seperti itu pilihannya. Indonesia sendiri menjadi penggagas Konferensi Asia-Afrika, pertemuan multipolar pertama yang menegaskan sikap anti-imperialisme secara tegas, dan gerakan non-blok.

Mao Tze Tung, dalam tulisan berjudul The Chinese Revolution and the Communist Party of China, membedakan dua tipe borjuis di negeri jajahan; borjuis besar (komprador) dan borjuis nasional. Para borjuis besar komprador menjadi pelayan bagi kapitalis, yang, pada gilirannya, akan memelihara eksistensi modalnya di negeri colonial. Sementara borjuis nasional tertindas oleh imperialism, dan perkembangannya di dalam negeri dibatasi oleh syarat-syarat feodalisme.

Michael Kalecki, seorang ekonom terkenal, berusaha menjelaskan perbedaan di negeri dunia ketiga ini, Negara bekas jajahan. Negara dunia ketiga, menurut Kalecki, dihasilkan bukan oleh kebanyakan kaum borjuis mereka, melainkan kalangan borjuis kecil progressif. Menurutnya, borjuis sendiri lebih senang berintegrasi dengan imperialisme atau capital metropolitan. Negara paska-kolonial, pendek kata, merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan dari warisan perjuangan anti-kolonialnya.

Kalangan borjuis tadi, yang kebanyakan menghendaki “satu lintasan” dengan modal metropol, akhirnya mencari segala macam cara untuk merapatkan Negara paska-kolonial dengan modal metropol. Salah satu caranya adalah melalui ilmu ekonomi. Ketika sudah merdeka, maka borjuis “tanpa keringat” itu minta jatah dalam porsi besar dalam struktur Negara baru. Ini pilihan terbaik untuk menjaga kelangsungan modal mereka, dan mengundang kembali kedatangan modal metropolitan.

Menyadari arti penting ketergantungan dunia ketiga terhadap Negara-metropolitan, kaum borjuis itu kemudian mengirimkan anak-anak mereka, pemuda-pemuda polos, dan intelektual pilihan mereka untuk menimbah ilmu di Barat. Mereka bukan saja mempelajari perkembangan teknik dan ilmu pengetahuan, tetapi mendapat pendidikan khusus soal bagaimana mengambil alih “keputusan” ekonomi di negeri dunia ketiga. Di Indonesia, mereka diberi cap sebagai “mafia Barkeley”.

Setelah kembali dari Eropa, para teknokrat baru ini mulai ditempatkan di pos-pos penting pemerintahan, dan mereka mulai mendesakkan usul “reformasi” ekonomi. Mereka membangun klik dengan para borjuis “tanpa keringat” tadi, dan dibelakang mereka telah berdiri kepentingan Negara-negara imperialis.

Kudeta “Lain”

Pada kenyataannya, para teknokrat ini telah melancarkan “kudeta” tertutup terhadap kekuasaan politik formal, bukan dengan todongan senjata dan mengerahkan tank-tank militer, tetapi pengambilan “tongkat komando” ekonomi. Selama kekuasaan Orde baru hingga saat ini, para teknokrat ini benar-benar menjadi dictator dalam kehidupan ekonomi, baik secara akademis maupun politis.

Warisan perjuangan anti-kolonial telah dicampakkan, dimasukkan dalam peti museum sejarah, dan ideology serupa dicap ‘dekaden” dan ketinggalan jaman. Ada begitu banyak keputusan ekonomi berada di luar lembaga politik formal (eksekutif dan parlemen), melainkan diputuskan oleh semacam “senat virtual”—demikian Noam Chomsky menyebutnya. Sebagian besar keputusan-keputusan penting tidak lagi diadopsi oleh parlemen, melainkan oleh entitas2 yang berada di luar kontrolnya: agen-agen finansial internasional yang besar (IMF, World Bank), bank sentral yang otonom, korporasi transnasional besar dan organisasi keamanan nasional.

Anda tentu menyadari, bahwa konstitusi kita masih menyisakan watak anti-kolonial-nya, seperti pasal 33 UUD 1945 itu. Akan tetapi, sejak dahulu, pasal-pasal anti-kolonial ini telah dicampakkan oleh para teknokrat pro-barat ini ke “keranjang sampah”. Sejak awal, perilaku dan tindak-tanduk mereka telah inkonstitusional. Namun mereka membayar ahli hukum untuk membenarkan tindakannya, meskipun masih ada banyak ahli hukum yang tak mau di bayar dan menentang. Untuk itu, seperti dikatakan Hebert Adam, manipulasi legalitas dapat mengantarkan seseorang atau kelompok politik untuk berkuasa, plus dengan dukungan hukum.

Kalau kediktatoran politik ala Orde Baru berdiri selama 32 tahun, maka kediktatoran para teknokrat pro-barat ini masih berjalan efektif hingga saat ini. Hanya saja, paska pilpres kemaren, hegemoni mereka mulai diguncang oleh intelektual progressif—demikian saya menyebutnya.

Anda tentu menyaksikan dalam rapat Pansus; bagaimana ekonom-ekonom pro-barat yang sudah berkuasa sejak puluhan tahun, mulai ditentang dan dikuliti kebusukannya oleh ekonom-ekonom yang, sedikit dan banyaknya, mewarisi semangat anti-kolonial. Ini, tentu saja, merupakan gejala mengeroposnya dinding tebal “hegemoni” ekonom arus utama—Neoklasik.

Meskipun ini hanya di bidang ekonomi, tetapi apa bedanya dengan kudeta militer di bidang politik, toh korban dari pilihan kebijakan ekonomi ini tidaklah sedikit; seluruh rakyat Indonesia, selama puluhan tahun, dan---mengutip Budiono-- berdampak sistemik.

Penulis adalah peneliti di Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin Redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.

Demokrasi versus Media Mainstream

oleh : Rudi Hartono

Disadur dari : http://arahkiri2009.blogspot.com/2010/01/demokrasi-versus-media.html

Teman saya pernah mengatakan: “ media itu suka membeserkan masalah-masalah kecil dan remeh temeh, namun seringkali mengecilkan persoalan-persoalan besar. Dan, menurut saya, ini semakin nampak ketika media berdiri melakukan pembelaan terhadap kekuatan-kekuatan besar di belakangnya; relasi pemilik media dan kekuasaan.


Dalam kasus George Aditjondro, misalnya, ketika meluncurkan buku “Gurita Cikeas”, media punya andil besar dalam melemparkan justifikasi bahwa buku ini kurang ilmiah, kurang valid, dan terkesan sekedar mencari sensasi. Ini didapatkan dari teknik media menghadirkan beberapa narasumber yang, dalam beberapa kasus, bertindak sebagai pembela kekuasaan.

Dalam kasus lain, isu bailout Bank Century telah dikunci sedemikian rupa menjadi perdebatan soal apakah Bank Century berdampak sistemik atau tidak. Kenapa tidak membuka perdebatan untuk menelanjangi apakah bailout satu-satunya pilihan antisipatif terhadap krisis atau ada pilihan lain, misalnya.

Objektif dan Netral

Posisi media digambarkan sebagai objektif dan netral—tidak memihak dan berada di atas segala kepentingan kekuasaan. Media hanya berusaha menyampaikan kebenaran kepada publik, tidak lebih. Namun begitu, bercermin dengan situasi akhir-akhir ini, superioritas moral media dalam hubungannya dengan politik kelas dan negara adalah mitos terbesar dalam setiap demokrasi kapitalis.

Terkait ini, menurut Edward S Herman dan Noam Chomsky, merupakan bentuk ketundukan media terhadap pemilik media dan klas berkuasa. Ini juga termasuk kontrol penguasa dan bisnis besar dalam bentuk kepemilikan langsung dan ketergantungan secara langsung media terhadap iklan dari pemerintah dan bisnis besar.

Ini, pada akhirnya, mempengaruhi media dalam menggunakan narasumber untuk menjelaskan atau memposisikan sebuah persoalan krusial, seperti isu politik, ekonomi, dan persoalan sosial. Mereka seringkali menggunakan narasumber dari pejabat pemerintah, pengamat ‘independen’, dan think-thank kelas penguasa.

Propoganda bisa efektif, kata Michael Parenti, sangat dipengaruhi oleh, antara lain, kemampuan membungkus kepalsuan. Pengaturan nada bicara, pakaian, pemaparan berita, pilihan fhoto, efek visual dapat menjadi unsur pendukung untuk mengontrol dan mengendalikan emosi pemirsa agar menyakini kebenaran informasi media.

“Netral dan bebas dari kepentingan politik”, ini merupakan bentuk penyelundupan terhadap nilai-nilai yang kondusif bagi kepentingan bisnis dan kelompok politik yang dekat dengan mereka. Ini sekaligus menjadi mekanisme penyaringan (filter) terhadap isu-isu kontroversial yang perlu diangkat dan mana yang dikesampingkan.

Dengan kepemilikan media di tangan segelintir tangan, yang juga merupakan turunan oligopoly media internasional, peran mereka semakin dominan dalam mengontrol akses informasi terhadap masyarakat. Di Indonesia, saluran informasi telah dimonopoli oleh segelintir tangan yang mengendalikan saluran TV besar dan Koran-koran cetak.

Membunuh Demokrasi

Bagi kaum demokrat, kontrol media di segelintir tangan dan keterkaitan mereka dengan ideologi kelas berkuasa adalah sebuah bencana. Demokrasi sangat bergantung kepada akses informasi dan pendidikan umum. Namun, ketika berada di bawah kontrol oligopolies dan oligarkhi, media telah menjadi senjata untuk memanipulasi informasi dan memberangus fikiran kritis di tengah masyarakat.

Seperti dikatakan James Madison, “ Pemerintahan populer tanpa informas yang populer, atau cara memperolehnya, hanyalah sebuah prolog untuk sebuah “lelucon” atau “tragedy”, bahkan keduanya. Dari pengertian ini, kita coba balikkan, bahwa sebuah pemerintahan gagal dapat menjadikan berhasil, kalau media bisa mengubur informasi mengenai kegagalannya dan hanya menampakkan prestasi yang dibuat-buat.

Dalam beberapa tahun terakhir, Menurut Noam Chomsky, keberhasilan demokrasi borjuis tidak lepas dari jasa media untuk menyakinkan masyarakat, bahwa gambaran dunia saat ini merupakan bentuk terbaik dan tidak ada pilihan lain yang lebih baik –There is Not Alternative (TINA). Di tangan media, sebuah propaganda besar-besaran disusun untuk mendiskreditkan ideologi atau fikiran-fikiran yang menawarkan masa depan. Mereka memvonis fikiran-fikiran tersebut sebagai ekstremisme, irasional, dan mesianik.

Melalui kotak yang bernama televisi, ajaran-ajaran liberalisme disebar-luaskan kepada massa rakyat, berupa pola hidup, filosofi liberalisme, individualisme, sisnisme, dsb, yang, pada prakteknya, benar-benar efektif mendepolitisasi massa rakyat.

Demokrasi jenis apapun, menurut Andrés Pérez Baltodano, selalu membutuhkan konsensus dari mayoritas luas mayarakat, tidak terkecuali demokrasi liberal. Dalam proyek ini, media kapitalis berfungsi sebagai “pabrik konsensus”, dimana berbagai kepentingan politis, ekonomis, dan ideolgis kelas dominan coba dipaksakan diterima secara sukarela oleh kelas-terhisap (mayoritas). Media massa di tangan segelintir elit, kata semiologist Buen Fernando, pasukan ideologi dari klas berkuasa, bersenjatakan fitnah, kebohongan, dan manipulasi informasi.

Media Alternatif

Kontrol segelintir elit terhadap media merupakan hasil perampasan elit-elit komersil terhadap sarana komunikasi. Akibatnya, mayoritas rakyat kehilangan akses terhadap sarana-sarana berkomunikasi yang massal, seperti TV, Radio, Koran, dsb. Lebih jauh lagi, klas berkuasa telah memperkuat persenjataan ideologisnya, sementara mayoritas kaum terhisap kehilangan saran untuk menyuarakan kepentingannya. Ini adalah makna penting media alternatif, yakni sebagai alat pertahanan ideologis rakyat kita menghadapi ideologi hegemonik klas berkuasa.

Di Uruguay, lagi-lagi kita bercermin ke sana, gerakan progressif berhasil menghidupkan mesin-mesin propaganda, khususnya media massa, baik dalam perjuangan melawan kediktatoran maupun melawan neoliberalisme. FA memiliki sebuah koran berwarna bernama “La Juventud” (Pemuda). La Juventud diprakarsai oleh Gerakan 26 Maret (M 26), sebuah partai marxist di dalam Frente Amplio, dengan mengintegrasikan laporan sosial dan politik dengan fitur-fitur populer, seperti cuaca, sepak bola, hiburan, dan acara TV. Mereka sangat menonjolkan sepak bola, karena olahraga ini telah menjadi kegemaran rakyat di seluruh negeri.

MLM, salah satu sayap dalam FA, juga berhasil mengorganisasikan radio alternative, yaitu CX 44 Radio Panamericana. Meskipun berhadapan dengan lisensi dan pembredelan pemerintah, radio ini tetap eksis sebagai jaringan radio bawah tanah (clandestein). Selain itu, FA juga masih memiliki jaringan radio lain, Radio 36 Centenary, yang aktif membuat diskusi dan sajian-sajian acara populer di telinga rakyat. Dengan kehadiran media-media alternative ini, sedikit 3,1 juta orang rutin menerima aksi berita dari kalangan pergerakan.

Di El Salvador, gelora perjuangan media alternative juga cukup menggelora, dan punya andil dalam menemani perjuangan gerilya. Diario Co-Latina, sebuah majalah populer, sudah berkali-kali mengalami pembakaran, pemboman, dan akhirnya diambil alih pihak militer. Majalah ini sangat digemari pembaca, terutama karena bahasa-bahasa populer dan sajian yang menarik bagi kalangan bawah.

Media lainnya, Radio Venceremos ( "Kami akan menang"), adalah radio yang sangat berkontribusi dalam perjuangan Sandinista. Radio ini bukan hanya menjadi penghubung bagi gerakan gerilya, tetapi juga bagi dunia internasional. Karena radio ini dapat disiarkan dalam lima bahasa.

Saat ini, media-media alternatif tumbuh subur di berbagai kawasan perlawanan di Amerika Latin, seperti radio komunitas, surat kabar, jaringan penjual DVD perjuangan sosial, TV, dan lain sebagainya. Di Chili, pada bulan Juli 2009, telah berdiri jaringan media rakyat, yang mengaitkan berbagai media alternatif, seperti surat kabar, situs web, radio, dan Televisi.

*) Penulis adalah Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), Pemimpin redaksi Berdikari Online, dan Pengelola Jurnal Arah Kiri.

Prinsip Sistem Peradilan Indonesia

Secara pokok ada dua prinsip yang biasa dipandang sangat pokok dalam sistem peradilan, yaitu:
1.The Principle of judicial independence
    Diwujudkan dalam sikap hakim yang bebas dalam memutus suatu perkara yang dihadapinya
2.The Principle of judicial impartiality
    Diwujudkan dengan sikap hakim yang netral atau tidak memihak dalam menghadapi suatu         perkara dimana sikap imparsial tersebut tidak terbatas pada tindakan hakim tetapi                     bagaimana sikap hakim tersebut dalam menjalankan tugasnya.
Adapun kedua prinsip itu merupakan suatu prasyarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum modern, meski demikian dari perspektif hakim sendiri berkembang pula pemikiran mengenai prinsip-prinsip lain yang dianggap penting. Salah satu perkembangan atas prinsip-prinsip itu adalah apa yang tertuang dalam The Bangalore Principles yang meliputi:
     1.Indepedensi
     2.Ketidakberpihakan
     3.Integritas
         Merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian                  setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara yang menjalankan tugas                          jawabannya.
     4.Kepantasan dan sopan santun
     5.Kesetaraan
         Merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang.
     6.Kecakapan dan keseksamaan

Sejarah Sistem Peradilan Indonesia

Sistem peradilan nasional adalah suatu keseluruhan komponen peradilan nasional baik dari segi pihak-pihak dalam proses peradilan, hirarki kelembagaan peradilan maupun aspek-aspek lain yang bersifat prosedural dimana seluruh komponen tersebut saling berkait dengan sedemikian rupa, sehingga terwujud suatu keadilan hukum
            Adapun tujuan dari adanya suatu sistem peradilan nasional adalah untuk mewujudkan keadilan hukum bilamana sistemnya berfungsi dengan baik. Komponen-komponen itu antara lain sebagai berikut :
a. Materi hukum materiil dan hukum acara.
Hukum materiil berisi himpunan peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah ataupun larangan-larangan, sedangkan yang dimaksud dengan hukum acara adalah himpunan peraturan yang memuat tata cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil dengan kata lain, suatu perkara ke muka pengadilan dan tata cara hakim memberi keputusan.
b. Prosedural
Yakni proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam pengadilan
        c. Budaya hukum
              Para pihak yang berkait dalam proses peradilan 
        d. Hirarki
              Kelembagaan peradilan merupakan susunan lembaga peradilan yang secara hirarki                       memiliki fungsi dan kewenangan sesuai dengan lingkungan peradilan masing- masing.

Sejarah

Sejarah sistem peradilan Indonesia dapat dibagi dalam beberapa tahap:
1. Masa Kerajaan
  - Sistem peradilan dikuasai sepenuhnya oleh raja karena konsep Trias Politica belum dikenal       (kekuasaan raja masih absolut) dengan hukum adat daerah masing-masing sebagai hukum          yang berlaku.
  - Perubahan terhadap sistem peradilan terjadi pada abad VII hingga abad XIV dimana                    penggunaan hukum adat juga ditambah dengan hukum agama Hindu. Pada masa ini mulai          dikenal suatu bentuk pemisahan di antara peradilan raja dengan peradilan yang dilakukan          oleh pejabat tertentu. Peradilan yang dilakukan oleh pejabat tertentu itu meliputi perkara          pradata (perkara yang menjadi urusan raja) dan perkara padu (bukan urusan raja).
  - Perubahan berikutnya terjadi pada abad XIV dimana hukum di Indonesia mendapat                      pengaruh dari hukum Islam. Hukum Islam pada masa itu mulai menggantikan kedudukan          hukum Hindu. Tempat pengadilan pada masa ini adalah di serambi Mesjid Agung. Perkara          pada urusan pengadilan ini disebut kisas. Pimpinan pengadilan pada masa ini beralih dari            raja pada penghulu sebagai perpanjangan tangan raja dengan dibantu oleh beberapa alim            ulama sebagai anggotanya. Penyelesaian masalah dilakukan dengan cara musyawarah                  mufakat pada masa ini dan raja akan mengambil keputusan sesuai dengan usulan dari                  pengadilan.
2.Masa Kolonial Belanda
Dibagi dalam 2 daerah :
      a. Daerah langsung
          Merupakan daerah yang diperintah langsung oleh Belanda. Peradilan itu meliputi :
             1. Landraad
             2. Raad van Justitie--> peradilan tingkat banding (tingkat pertama untuk orang Eropa)
             3. Hooggerechtshof-->peradilan tingkat kasasi
      b. Daerah tidak langsung
          Merupakan daerah pemerintahan tidak langsung Belanda yang diwakili oleh raja-raja.                 Lembaga peradilannya meliputi:
               1.Peradilan gubernemen
               2.Peradilan swapraja
Terhadap orang Indonesia, ada tiga peradilan pemerintah meliputi:
               1.Peradilan distrik
                  Untuk perkara ringan
               2.Peradilan kabupaten
                  Untuk perkara yang lebih besar
               3.Landraad
                  Ada suatu dualisme sistem peradilan.
3.Masa pendudukan Jepang
Berdasarkan pada UU No. 14 tahun 1942, pemerintahan pendudukan Jepang mendirikan pengadilan-pengadilan sipil yang mengadili perkara pidana dan perdata. Pengadilan-pengadilan sipil itu antara lain:
               1. Gunsei Hooin (pengadilan pemerintahan balatentara)
                   Berlaku untuk semua penduduk Hindia Belanda
               2.Semua badan pengadilan dan pengadilan dari pemerintah Hindia Belanda kecuali                          beberapa diantaranya yang diubah, seperti:
                           - Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)
                           - Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Hakim kepolisian)
                           - Regentscahgerecht menjadi Ken Hooin (pengadilan kabupaten)
Dan berdasarkan UU No.34 tahun 1942 (Osamu Seirei), dibentuk pula :
               1. Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi)
               2. Saikoo Hooin (pengadilan Agung)
Akan tetapi sistem peradilan pada saat itu tidak dapat berlangsung dengan sebagaimana mestinya karena kebanyakan orang yang ditangkap oleh pemerintah pendudukan Jepang saat itu tidak pernah melalui proses pengadilan.
4.Masa Kemerdekaan
Wilayah peradilan terbagi 3, yaitu:
     - Daerah yang dikuasai Republik
         Berdasarkan UU No.19 tahun 1948, peradilan Indonesia terdiri dari:
          a. Peradilan umum
          b. Peradilan TUN
          c. Peradilan ketentaraan
        Dilengkapi dengan kejaksaan dalam peradilan umum yang terdiri dari:
             a. Kejaksaan negeri
             b. Kejaksaan tinggi
             c. Kejaksaan agung
    - Daerah yang dikuasai Belanda
       Lembaga pengadilan yang dibentuk adalah berupa Landrechter- landrechter untuk                        menangani masalah-masalah perkara pidana sipil
    - Daerah negara-negara bagian:
              a. Negara Pasundan
                   Lembaga peradilannya terdiri dari Pengadilan Negara dan Mahkamah Negara
              b.Negara Sumatra Timur
                   Lembaga peradilannya terdiri dari Pengadilan Negara dan Mahkamah negara
              c. Negara Indonesia Timur
                   Lembaga peradilannya terdiri dari :
                       - Negorijrechtbanken
                       - Districtsgerechten
                       - Pengadilan Negara
                       - Mahkamah Justitie

Jumat, 22 Januari 2010

Analisis Putusan MA No. 1226 K/Sip/1977

Putusan MA No. 1226 K/Sip/1977
Tanggal 22 Mei 1978

A. Kaidah Hukum : Soal besarnya ganti rugi (karena meninggalnya anak penggugat oleh tidak hati- hatinya tergugat) dalam soal ini pada hakikatnya lebih merupakan soal kelayakan
dan kepatutan, yang tidak dapat didekati dengan suatu hukum;

B. Identitas Para Pihak :
1.Penggugat :
a. Nama : A. Thamrin
b. Alamat : Jln. Kebon Kosong 20 No. 5, Jakarta
2.Tergugat :
a. Tergugat 1 :
Nama : PT. Merantama;
Alamat : Jln. Garuda No. 30, Jakarta;
b. Tergugat II :
Nama : Harun Al Rasjid;
Alamat : Jln. Menteng Belakang No. 62, Bogor;

C. Duduk Perkara :
Bahwa pada tanggal 22/4/1971 pada jam 10.15 anak Penggugat yang pada waktu itu sedang mengendarai sepeda di Jln. Keramat Raya di depan gang Lontar di muka rumah No. 87 telah ditabrak oleh bus Meratama milik Tergugat I yang dalam hal ini dikendarai oleh Tergugat II;
Bahwa akibat kejadian itu, anak Penggugat meninggal seketika di tempat kejadian;
Bahwa pada tanggal 19 September 1973 Tergugat II telah dihukum secara pidana akibat perbuatannya tersebut;
Bahwa anak Penggugat adalah seorang anak yang diharapkan oleh keluarganya, dan karenanya pihak Penggugat merasa sangat dirugikan sehingga mengajukan gugatan ganti rugi;

D. Putusan PN :
a. Putusan :
Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;
Menghukum Tergugat I dan II secara tanggung renteng untuk membayar ganti kerugian pada Penggugat sebesar Rp 10.000.000,- ditambah dengan bunga sebesar 6% setahun sejak perkara ini diajukan di pengadilan sampai di bayar lunas;
Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada banding kasasi dan perlawanan lainnya;
Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara;
b. Pertimbangan Hukum :
Bahwa nyawa manusia tidak dapat diukur dengan apapun dan mengenai masalah ganti kerugian itu hanya sekedar suatu bentuk kelayakan semata;

E. Putusan PT :
a. Putusan :
Menerima permohonan banding;
Menguatkan Putusan PN Jakarta Pusat;
Mengabulkan gugatan terbanding penggugat untuk sebagian;
Menghukum pembanding dahulu Tergugat I dan turut terbanding dahulu Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi kepada terbanding dahulu penggugat sebesar Rp 1.500.000,- ditambah dengan bunga sebesar 6% setahun sejak perkara ini diajukan di Pengadilan sampai dibayar lunas;
Menolak gugatan selebihnya;
Menghukum pembanding dahulu gugatan I untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkatan;
b. Pertimbangan Hukum :
Bahwa menyebabkan matinya orang lain adalah suatu perbuatan melawan hukum, walaupun peristiwa itu terjadi secara tidak sengaja;
Tujuan lembaga ganti kerugian dalam hukum adat adalah untuk memulihkan perimbangan hukum;
Bahwa ganti rugi dapat diminta dalam bentuk uang;
Majikan bertanggung jawab atas perbuatan pegawainya dalam lingkup pekerjaan;

F. Putusan MA (Kasasi) :
a. Alasan Pengajuan Kasasi :
1.Penggugat :
- Bahwa meskipun Putusan PT sama dengan PN, kenapa jumlah ganti
ruginya hanya sebesar Rp 1.500.000,-
- Bahwa keputusan hukum terhadap Tergugat II bukanlah suatu pemulihan
terhadap keseimbangan dalam hukum adat;
2.Tergugat I :
- Bahwa PN dan PT tidak memperhatikan memori banding Tergugat bahwa :
- Tidak ada hubungan kerja antara Tergugat I dan Tergugat II;
- Tidak ada perbuatan melawan hukum dalam tabrakan tersebut;
- Tidak jelas apakah Tergugat II dapat dipertanggung jawabkan;
- Bahwa tidak tepat putusan PT mendasarkan putusan pada hukum adat;
- Bahwa PT salah dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa tidak perlu dipersoalkan lagi soal menyebabkan matinya orang lain adalah perbuatan melawan hukum;
- Bahwa PN salah dalam keputusannya bahwa karena tidak disangkal
kemudian dianggap terbukti (dalam hubungan kerja antara Tergugat I dan II);
- Bahwa PN salah karena telah menyimpulkan adanya perbuatan melawan hukum atas dasar Tergugat II telah dihukum penjara 8 bulan dengan masa percobaan 2 tahun;
- Bahwa karena tabrakan itu soal kecelakaan maka kesalahan hanya dapat ditimpakan pada sopir saja;
b. Putusan Kasasi :
Menolak permohonan kasasi dari Penggugat dan Tergugat I dengan perbaikan putusan PT Jakarta Pusat tanggal 10 Januari 1977 No. 77/1976/PT. Perdata sehingga menjadi :
- Menghukum Tergugat I dan II secara tanggung renteng untuk membayar ganti
kerugian pada Penggugat sebesar Rp 10.000.000,- ditambah dengan bunga sebesar
6% setahun sejak perkara ini diajukan di pengadilan sampai di bayar lunas;
Menghukum Tergugat I untuk membayar biaya perkara untuk kasasi;
c. Pertimbangan Hukum :
Penggugat :
- Soal besarnya ganti rugi dalam soal ini pada hakikatnya lebih merupakan soal
kelayakan dan kepatutan, yang tidak dapat didekati dengan ukuran apapun;
Tergugat I :
- Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat tidak salah dalam menerapkan hukum

G. Analisis
Yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain (pasal 1365 KUHPer). Perbuatan melawan hukum memiliki 3 kategori, yaitu:
Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
Perbuatan melawan hukum tanpa unsur kesalahan
Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Dan perlu dipahami juga apabila perbuatan melawan hukum tidak disebabkan oleh wanprestasi kontrak.
Dalam kasus ini, dapat kita lihat bahwasannya jika kasus ini disebabkan oleh perbuatan melawan hukum karena kelalaian yang dilakukan oleh Tergugat II yang saat itu terikat hubungan kerja dengan Tergugat I hingga menabrak anak dari Penggugat I. Seperti yang kita ketahui bahwa suatu bentuk kelalaian yang menyebabkan matinya seseorang telah diatur dalam KUHP, lantas jika memang demikian, apa hubungannya dengan perbuatan melawan hukum.
Oleh karena itu perlu kita lihat unsur pasal 1365 KUHPer:
Setiap perbuatan
Bahwa yang dimaksud dengan perbuatan dalam hal ini tidak terbatas semata pada hal perdata tetapi juga menyangkut perbuatan lain apabila perbuatan itu dirasa bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku di masyarakat
Melanggar hukum
Membawa kerugian bagi orang lain
Bahwa dalam hal ini ada pihak lain yang dirugikan oleh karena perbuatan tersebut
Ganti Kerugian
Oleh karena kerugiannya yang ditanggung, pihak yang mengalami kerugian dalam meminta ganti rugi pada pelaku perbuatan tersebut secara perdata.
Dilihat dari unsur pasal di atas, maka jelas bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat II termasuk dalam perbuatan melawan hukum dan dalam hal ini, putusan Pengadilan Tinggi menegaskannya.
Dan melihat secara keseluruhan putusan ketiga lembaga pengadilan tersebut (PN, banding dan kasasi), dapat dikatakan jika ketiganya telah menerapkan hukum dengan benar (dimana dalam hal ini saya katakan jika saya setuju). Bahwa benar jika tujuan lembaga ganti kerugian dalam hukum adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan hukum. Dalam hal ini saya tegaskan bahwa bukankah itu adalah salah satu dari tujuan dari hukum itu sendiri, terlepas dari apakah itu hukum adat atau hukum negara.
Bahwa dengan dibawanya Tergugat I sebagai salah satu pihak Tergugat juga adalah tepat karena hal ini juga sesuai dengan pasal 1367 KUHPer dimana dikatakan terutama sekali pada ayat (3) yang menyatakan bahwa :
“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka didalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.”
Perlu diingat dalam hal ini saya menggunakan kaidah hukum yang lama dimana UU Ketenagakerjaan belum ada dan berlaku sebagai undang-undang. Unsur dari pasal itu adalah sebagai berikut:
Majikan-majikan
Dalam hal ini Tergugat I berperan sebagai majikan yang mempekerjakan Tergugat II sebagai seorang supir.
Mengangkat orang lain
Mewakili urusan-urusan mereka
Dalam hal ini Tergugat II mewakili kepentingan Tergugat I dalam melakukan pekerjaannya dalam bidang transportasi
Bertanggung jawab atas kerugian
Bawahan selama melakukan pekerjaan
Dalam hal ini Tergugat II melakukan kesalahan dengan menabrak anak Penggugat
Jadi dari hal-hal yang saya sebutkan di atas, tampak jelas jika keterlibatan Tergugat I dalam hal ini adalah jelas sehingga apakah soal Tergugat I adalah pantas untuk menjadi Tergugat tidak usah dipertanyakan lagi.
Dan juga adalah benar apabila ganti rugi itu tidak terbatas pada bentuk tertentu selama bentuk ganti rugi itu tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Mengenai kaidah hukum yang dijadikan dasar baik oleh Pengadilan pada tingkat PN, banding dan kasasi bahwa :
“Soal besarnya ganti rugi (karena meninggalnya anak penggugat oleh tidak hati-hatinya tergugat) dalam soal ini pada hakikatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan, yang tidak dapat didekati dengan suatu hukum”
Hal itu adalah tepat sebab memang tidak ada suatu peraturan khusus yang menentukan besarnya jumlah ganti kerugian tersebut dan jika memang demikian, bagaimana cara menentukan besarnya jumlah ganti rugi tersebut? Tentunya kita tidak akan bisa menggunakan hukum oleh karenanya karena semuanya kembali pada masalah kepatutan dan kelayakan yang kiranya dapat diterima oleh kedua belah pihak.

PERANAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI

Ter Haar menyatakan bahwa untuk suatu kaidah hukum harus terlebih dahulu diakui sebagai suatu kebiasaan di dalam masyarakat, sehingga sudah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat yang bersangkutan. Pandangan seperti ini kiranya adalah sesuai dengan suatu pemikiran yang mengatakan bahwa hukum selalu tertatih-tatih mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat. Ketidakberdayaan tersebut juga meliputi kekurangmampuan hukum dalam mengikuti perkembangan ekonomi yang ada dan memperngaruhi masyarakat.
Hal ini selanjutnya akan membawa kita pada pertanyaan akan kebenaran dari perkataan yang telah diajukan di atas, apakah memang benar demikian adanya? Dalam menanggapi hal ini, Roscoe Pound tidak sependapat dengan pendapat sebelumnya dengan teorinya yang berkata bahwa hukum adalah “hukum adalah alat perubahan social”.
Berdasarkan teori tersebut, Roscoe Pound hendak menjelaskan bahwa sesungguhnya dalam masyarakat, hukum juga dapat mendahului perubahan yang ada, ia bahkan juga bisa merekayasa suatu keadaan yang tidak ada menjadi ada. Ada 4 macam fungsi hukum :
Hukum sebagai pemelihara ketertiban
Hukum sebagai sarana pembangunan
Hukum sebagai sarana penegak keadilan
Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat
Beranjak dari keempat fungsi hukum yang diatas, dimana keempat fungsi itu sesungguhnya saling berkaitan satu dengan yang lain. Hukum telah menjadi suatu sarana yang cukup penting dalam proses pembangunan. Kajian atas peranan hukum dalam pembangunan ekonomi itu sendiri kiranya terbagi dalam 2 kelompok, yaitu :
1.Satu kelompok yang hanya membahas norma-norma hukum yang berhubungan dengan ekonomi dan norma-norma hukum itu dikelompokkan dalam satu kelompok sebagai hukum ekonomi
2.Kelompok yang membahas bagaimana hukum itu berperan dalam pembangunan ekonomi tanpa mempersoalkan mana saja kelompok hukum yang termasuk dalam kelompok hukum ekonomi.
Sarjana hukum Indonesia kirannya lebih banyak termasuk dalam kelompok pertama seperti :
1.Dr. Sunaryati Hartono, S.H.
Hukum ekonomi merupakan penjabaran dari Hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi social sehingga hukum ekonomi memiliki 2 aspek:
a.Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi dalam arti peningkatan kehidupan ekonomi secara keseluruhan
b.Aspek pengaturan usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara merata di seluruh lapisan masyarakat.
2.Dr Rochmat Soemitro, S.H.
Hukum ekonomi adalah keseluruhan norma-norma yang dibuat oleh masyarakat sebagai satu personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan ekonomi di mana kepentingan individu dan kepentingan masyarakat saling berhadapan.
3.Sumantoro
Hukum ekonomi adalah seperangkat norma-norma yang mengatur hubungan kegiatan ekonomi, dan secara substansional sangat dipengaruhi oleh system ekonomi yang digunakan oleh Negara yang bersangkutan.
4.Dr. Daoed Joesoef
Hukum ekonomi adalah peraturan dan ketentuan umum yang menghadapkan kekuasaan pemerintah dengan pihak swasta yang menghendaki ekonomi bebas.
Lantas bagaimana dengan kelompok kedua? Dalam hal ini, Hans D. Jarass memberikan penekanan pada definisi regulation. Menurutnya, regulation sering dipakai dalam arti sebagai aktivitas pemerintahan yang berhubungan dengan ekonomi, sehingga de-regulation akan berarti pemerintah melepaskan keikutsertaannya dalam ekonomi.
Menurut Jarass, instrumen kebijakan ekonomi itu meliputi :
1.Uniateral regulation of private activity
Hukum adalah instrumen kebijakan yang mengikat
2.Taxation of private activity
Pengenaan pajak untuk kontrol aktivitas ekonomi
3.Consensual constrains
4.Removal or relaxation of unilateral regulation
5.Other public benefits
6.Public sector management
7.Information

Kontrol Yuridis Dalam Perkembangan Pemikiran Hukum

Kontrol yuridis merupakan bagian dari perkembangan hukum dalam kehidupan bernegara dari awal, hingga abad modern ini. Pemikiran zaman dahulu sampai dengan abad ke XVIII yang lebih mengutamakan hukum alam yang menyatakan bahwa : 'segala-galanya berasal dari Tuhan dan alam tela menghasilkan suatu bentuk kekuasaan yang absolut. Kekuasaan yang demikian telah membuat hakim juga menjadi absolut dimana apapun yang diputuskan oleh hakim menjadi hukum dan segala yang dikatakan oleh hakim mengenai putusan-putusannya juga menjadi hukum. Akibat dari hal itu adalah timbulnya absolutisme hakim.
Dalam perkembangan berikutnya, muncul reaksi-reaksi terhadap absolutisme hakim tersebut sehingga timbullah pemikiran bahwa hal itu harus dicegah. Kekuasaan hakim perlu untuk dibatasi guna menghindari suatu kesewenang-wenangan, akibatnya adalah muncul suatu pemikiran tentang pembagian kekuasaan. Dalam pemikiran itu, kekuasaan negara dibagi menjadi 3, yaitu : eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dalam pelaksanaan pembagian kekuasaan itu, ketiga kekuasaan itu haruslah berada di tangan-tangan yang terpisah tetapi tidak ditutup suatu kemungkinan dimana organ-organ itu juga melaksanakan kedua fungsi-fungsi yang lainnya. Hal itu berakibat pada kurang maksimalnya kinerja lembaga-lembaga itu demi memenuhi kepentingan rakyat.
Perkembangan ilmu hukum juga memunculkan aliran positivisme hukum yang menghendaki agar segala sesuatu tentang hukum harus dituangkan dalam suatu kaidah tertulis atau kodifikasi. Pada aliran ini, hakim hanya berlaku sebagai corong undang-undang. Paham ini hidup dan berkembang di Eropa Kontinental yang disebut dengan sistem hukum Civil Law, sementara di negara-negara Anglo Saxon, perkembangannya menjadi berbeda dengan Eropa Kontinental dimana sistem yang berlaku justru adalah kebalikan dari Civil Law.
Dalam sistem yang disebut dengan Common Law, pengaruh dari hukum tertulis tidaklah begitu populer karena hukum diperoleh dari proses pengadilan (yurisprudensi).

PTUN Dalam Sistem Hukum Civil Law dan Common Law

Perkembangan sistem hukum pada Negara Civil Law berbeda dengan perkembangan pada Negara Common Law. Negara-negara penganut Civil Law mempunyai pengadilan administrasi sebagai pranata tersendiri, contoh dari hal ini adalah Prancis.
Prancis menggunakan suatu pranata khusus pengadilan administratif yang dikenal dengan nama Tribunal Administratif. Mereka berdasarkan ada hukum administratif. Adapun berbicara mengenai hal ini, perlu diketahu sekilas mengenai sejarahnya yang berawal dari lembaga penasihat kerajaan sebelum menjadi republik yang disebut Counseil D'Etat (semacam DPA) yang tugasnya adalah untuk mengawasi aparat-aparat kerajaan yang berbuat sewenang-wenang kepada rakyat. Dalam perkembangannya sendiri, lembaga ini kemudian berkembang menjadi Tribunal Administratif yang berpuncak pada Counsel D'Etat sebagai peradilan kasasi.
Belanda sendiri memiliki bentuk peradilan yang serupa, yaitu Administratif Rechtpraak yang berpuncak pada Raad van Staat sementara di Italia adalah pada Counseil D'Etat. DI negara-negara tersebut peradilan kasasi untuk sengketa-sengketa administratif, adalah berbeda denan peradilan kasasi untuk sengketa-sengketa peradilan umum.
Sementara di Indonesia, peradilan kita menganut sistem tunggal dimana pada tingkat kasasi hanya ada MA untuk semua perkara, atau dengan kata lain adalah hanya satu puncak peradilan saja, akan tetapi pada tingkatan pertama dan banding menganut sistem duality of jurisdiction.
Dalam negara dengan sistem hukum Common Law, mereka tetap mempertahankan trias politica dimana masalah-masalah yang menyangkut sengketa hukum termasuk sengketa administrasi adalah tetap merupakan wewenang pengadilan. Penyelesaian sengketa hukum mereka tetap satu baik dalam tingkat pertama, banding maupun kasasi, yaitu melalui peradilan umum, tetapi mereka mengenal berbagai kuasi pengadilan di berbagai sektor pemerintahan untuk menyelasaikan sengketa administratif di tingkat awal.
Pada tingkat pertama, sengketa administrasi diselesaikan di dalam berbagai kuasi-kuasi peradilan atau di lingkungan administrasi itu sendiri, dengan prosedur keberatan administrai dan banding administrasi. Yang bisa diselesaikan di peradilan umum hanya yang menyangkut judicial review saja, sedangkan yang dimaksud dengan merits review bukan merupakan wewenang dari pengadilan umum. Dalam hal ini, hakim harus memegang suatu prinsip bahwa hakim harus membatasi dirinya sendiri, tidak boleh terlalu jauh dari kursi pemerintahan, hakim tidak boleh bertindak seolah-olah menjadi atasan pemerintah dan sebagainya. Hal tersebut dikenal dengan 'batas-batas penilaian hakim' yang secara garis besar mengatakan bahwa hakim hanya berwenang pada segi yuridis tetapi tidak boleh meninjau kebijaksanaan pemerintah dari segi kebijakan.

Red and Green Light Theory

Red Light Theory berasal dari suatu tradisi politik di abad ke 19 yang menjunjung tinggi paham Laissez faire yang menghendaki agar peran pemerintah dilakukan seminim mungkin terhadap hak-hak dan kegiatan-kegiatan individu. Penganut teori ini menghendaki agar sanksi-sanksi hukum diterapkan manakala telah terjadi penyalah gunaan kekuasaan yang tidak terkontrol lagi dan benar-benar mengancam kebebasan semua pihak.
Sementara itu, green light theory berasal dari tradisi utilitarian yang berpendapat bahwa pengaruh-pengaruh politik dan sosiologi terhadap hukum tidak dapat dihindari. Penganut teori ini meragukan kualitas hakim pengadilan umum untuk menyidangkan suatu sengketa administrasi karena mereka tidak mendapatkan suatu pelatihan khusus tentang masalah-masalah pemerintahan. Mereka dapat memutus perkara administrasi jauh dari tujuan yang dikehendaki sehingga persoalan yang ada menjadi rumit. Dalam teori ini kewenangan pemerintah diperluas untuk membuat peraturan-peraturan sendiri, maupun pengawasan pengawasan sendiri, karena pembuat undang-undang (legislatif) dalam kenyataannya dianggap gagal untuk itu.

Instrumen-instrumen Hukum di PTUN
1. Pengertian Sengketa Tata Usaha Negara (STUN)
a. Dalam undang-undang
Yang dmaksud dengan kata sengketa dalam segi tata bahasa adalah 'sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan yang menjadi pertikaian dan perselisihan bahkan hingga menjadi perkara di pengadilan. Philipus M. Hadjon mengatakan jika sengketa di bidang hukum administrasi negara adalah sengketa yang lahir dari atau sebagai akibat pelaksanaan hukum administrasi negara oleh pemerintah. Atau, kompetensi peradilan administrasi negara adalah menyangkut perkara-perkara administrasi negara.
Di dalam pengertian sengketa, tentunya ada pihak-pihak yang bersengketa baik dalam perkara perdata maupun dalam TUN. Dalam TUN disebut sebagai pihak penggugat dan tergugat. Dalam PTUN pihak penggugat terdiri dari orang atau badan hukum perdata, sedangkan pihak tergugat badan atau pejabat TUN. Kedua pihak tersebut mempunyai posisi yang permanen, artinya penggugat selalu orang atau badan hukum perdata sementara pihak tergugat selalu pihak pemerintah, tidak pernah sebaliknya. Oleh karena itu dalam PTUN tidak pernah ada gugatan rekonpensi yang memungkinkan pihak lawan untuk menjadi penggugat.
STUN diatur dalam pasal 4 butir (4) UU no.5/1986. Dalam pasal tersebut, istilah sengketa yang dimaksud memiliki arti khusus sesuai dengan fungsi peradilan tata usaha negara, yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum. Dalam asas hukum tata usaha negara, kepada yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan dan dalam pasal itu, juga harus diingat bahwa sebenarnya tidak ada sengketa dalam PTUN tetapi yang ada adalah perbedaan pendapat dalam hal penerapan hukum.

b. Berbagai perkembangan dalam praktik
Dalam praktik di lapangan. Setelah terbentuknya PTUN, hakim-hakim berusaha untuk memperluas pengertian STUN dengan menafsirkan arti kata 'melaksanakan urusan pemerintahan' dari bunyi pasal 1 butir (2) UU no.5/1986 tersebut. Indroharto, S.H. Mengatakan bahwa tidak semua urusan pemerintahan itu dilakukan sendiri oleh pemerintah. Pemerintah tidak sanggup melaksanakan semua urusan pemerintahan. Semakin modern sebuah negara, semakin banyak urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada lembaga swasta dan bukan pemerintah.

2. Gugatan Tata Usaha Negara (GTUN)
Dalam PTUN, gugatan hanya ditujukan kepada badan atau pejabat tata usaha negara saja dan hanya mengenai KTUN. Namun, gugatan harus memenuhi unsur kepentingan. Tanpa adanya kepentingan tersebut, seseorang tidak dapat menggugat orang atau pihak lain di pengadilan.

a. Alasan-alasan gugatan
Alasan-alasan gugatan diatur dalam pasal 53 butir (2) UU no.5 /1986.

b. Landasan Hukum
Dasar hukum penggunaan AAUPB oleh hakim adalah pasal 14 ayat 1 UU no.14/1970 jo. No. 35/1999, yang melarang hakim untuk menolak semua perkara dengan alasan hukum tidak jelas. Pasal tersebut dihubungkan lagi dengan pasal 27 UU yang sama, yang mengatakan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat telah memberikan kewenangan bagi hakim untuk menggunakan hukum yang tidak tertulis.
Adapun penggunaan hukum yang tidak tertulis itu diatur dalam AAUPB.

ANALISIS PASAL 5, PASAL 6, DAN PASAL 7 UU NO. 20 TAHUN 2001

A. Pasal 5

“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana paling sedikit Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan oleh jabatannya.
(2) Bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau b, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Unsur dari pasal 5 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut :
A. Setiap orang
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001)
B. Memberi atau menjanjikan sesuatu
Yang dimaksud dengan unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu dalam pasal ini adalah bahwa ada suatu hal yang dijanjikan pada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Pemerintahan yang bersangkutan. Jika demikian, maka apa yang dimaksud dengan “sesuatu” dalam pasal ini? Untuk dapat memahaminya kita perlu mengkaji kembali pasal 209 ayat (1) angka 1 KUHP yang merupakan asal dari Pasal 5 ayat (1) angka 1 yang memiliki bunyi pasal yang serupa dengan pasal 5 ayat (1) huruf a UU No.20 tahun 2001 dimana pasal 209 ayat (1) angka 1 KUHP tersebut memiliki kaitan dengan pasal 419 angka 1 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

“Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pegawa negeri:
1.Yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bajwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkanny supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang tidak bertentangan dengan kewajibannya.”

Kemudian bandingkan dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 12 huruf a UU No. 20 tahun 2001 yang berbunyi sebagai berikut :

“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertetangan dengan kewajibannya.”

Maka kita akan mendapati bahwa apa yang dimaksud dengan “sesuatu” dari unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu” tersebut adalah hadiah. Dalam kaitannya dengan hal di atas, Hoge Raad dalam putusannya tertanggal 25 April 1916 menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan “hadiah” adalah segala sesuatu yang memiliki arti. Dari hal tersebut maka kita akan sampai pada kesimpulan dimana “hadiah” tersebut bukanlah terbatas pada suatu benda berwujud.
Dalam memberikan sebuah penjelasan lebih detail mengenai unsur “memberikan atau menjanjikan sesuatu”, ada 2 Yurisprudensi yang dapat digunakan untuk memberikan kejelasan atas unsur ini dan apakah suatu perbuatan yang memiliki unsur “memberikan atau menjanjikan sesuatu” tersebut dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. Yurisprudensi itu meliputi:
a. Putusan MARI No. 145 K/Kr/1955
Tidak mensyaratkan apakah sesuatu tersebut diterima atau ditolak oleh PNS atau Penyelenggara Negara yang diberi atau dijanjikan tersebut. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa percobaan untuk memberi atau menjanjikan sesuatu (dalam kata lain adalah menyuap) sudah cukup untuk membuat tindakan pelaku tindak pidana korupsi yang bersangkutan sebagai suatu tindak pidana.
b. Putusan MARI No. 39 K/Kr/1963
Pemberian tersebut tidak perlu dilakukan di waktu pegawai negeri yang bersangkutan sedang melakukan dinasnya, melainkan dapat dilakukan dimanapun juga sebagai kenalan.
C.Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
C.1. Pegawai Negeri
Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah :
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian.
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP.
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
Orang yang menerima gaji atau upah suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau
Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
C.2. Penyelenggara Negara
Yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara dalam hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 UU No. 28 tahun 1999 meliputi :
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
Menteri
Gubernur
Hakim
Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
D. Dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Dalam hukum pidana, unsur ini disebut sebagai “maksud selanjutnya” dimana suatu perbuatan tidak harus menunggu hingga pelaku tindak pidana selesai melakukan tindak pidananya., tetapi tetap harus dibuktikan dalam pengadilan.
Seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dalam menjalankan tugasnya dinyatakan bertentangan dengan kewajibannya apabila:
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara telah berbuat sesuatu tetapi sesuatu yang dilakukannya tersebut tidak merupakan kewajiban yang terdapat atau melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.
Pegawai Negeri atau Penyelengara Negara telah tidak berbuat sesuatu, padahal tidak berbuat sesuatu tersebut tidak merupakan kewajiban yang melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.

Sedangkan pasal 5 ayat (1) huruf b memiliki unsur pasal sebagai berikut :
A. Setiap orang
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001)
B. Memberi sesuatu
Yang dimaksud dengan “memberi sesuatu” dalam hal ini adalah berkaitan dengan apa yang dimaksud dalam pasal 12 huruf b UU No. 20 tahun 2001:


“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertetangan dengan kewajibannya.
b. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya.”

adalah berkaitan dengan “hadiah”, yaitu sesuatu yang memiliki arti,
C. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
C.1. Pegawai Negeri
Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah :
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian.
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP.
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
Orang yang menerima gaji atau upah suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau
Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
C.2. Penyelenggara Negara
Yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara dalam hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 UU No. 28 tahun 1999 meliputi :
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
Menteri
Gubernur
Hakim
Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
D. Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Adapun tujuan dari unsur ini adalah agar para Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara bertindak sesuai dengan wewenangnya masing-masing berdasarkan peraturan yang berlaku.

Dan unsur dari pasal 5 ayat 2 meliputi :
A. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Pemerintahan
A.1. Pegawai Negeri
Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah :
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian.
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP.
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
Orang yang menerima gaji atau upah suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau
Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
A.2. Penyelenggara Negara
Yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara dalam hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 UU No. 28 tahun 1999 meliputi :
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
Menteri
Gubernur
Hakim
Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
B. Menerima pemberian atau janji dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Dalam hukum pidana, unsur ini disebut sebagai “maksud selanjutnya” dimana suatu perbuatan tidak harus menunggu hingga pelaku tindak pidana selesai melakukan tindak pidananya., tetapi tetap harus dibuktikan dalam pengadilan.
Seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dalam menjalankan tugasnya dinyatakan bertentangan dengan kewajibannya apabila:
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara telah berbuat sesuatu tetapi sesuatu yang dilakukannya tersebut tidak merupakan kewajiban yang terdapat atau melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.
Pegawai Negeri atau Penyelengara Negara telah tidak berbuat sesuatu, padahal tidak berbuat sesuatu tersebut tidak merupakan kewajiban yang melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.
C. Menerima sesuatu karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan oleh jabatannya.
Adapun tujuan dari unsur ini adalah agar para Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara bertindak sesuai dengan wewenangnya masing-masing berdasarkan peraturan yang berlaku.

B. Pasal 6

“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau
b. Memberi atau menjanjikan kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Apabila diteliti lebih lanjut, unsur dari pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 20 tahun 2001 adalah sebagai berikut :
A. Setiap orang
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001)
B. Memberi atau menjanjikan sesuatu
Yang dimaksud dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dalam hal ini adalah berkaitan dengan pasal 12 huruf a UU No.20 tahun 2001 yang merujuk “sesuatu” pada “hadiah” yang dijanjikan.
C. Hakim
Berdasarkan pada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 angka 8 KUHAP, maka :

“Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili.”

Dan apabila merujuk pada ketentuan yang tertuang dalam pasal 2 UU No. 4 tahun 2004 dan UU No. 24 tahun 2003, maka yang dimaksud dengan hakim adalah :
1.Hakim pada semua lingkungan Peradilan, baik peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
2.Hakim agung pada MA
3.Hakim konstitusi pada MK
Tetapi tidak termasuk arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 30 tahun 1999 :

“Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase;”

D. Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Merupakan unsur “maksud selanjutnya” dalam hukum pidana dimana dalam pelaksanaanya, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak harus sudah terpenuhi terlebih dahulu. Akan tetapi hal ini juga tetap harus dibuktikan dalam proses pengadilan.

Sedangkan unsur dari pasal 6 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut:
A. Setiap orang
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001).
B. Memberi atau menjanjikan sesuatu
Yang dimaksud dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dalam hal ini adalah berkaitan dengan pasal 12 huruf a UU No.20 tahun 2001 yang merujuk “sesuatu” pada “hadiah” yang dijanjikan.
C. Advokat
Berdasarkan pada penjelasa pasal 12 huruf d UU No. 20 tahun 2001, yang dimaksud dengan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dalam hal ini adalah UU No.18 tahun 2003).
D. Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan padanya untuk diadili.
Merupakan “maksud selanjutnya” dimana tidak menjadi syarat apakah advokat yang bersangkutan itu terpengaruh atau tidak. Akan tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan “nasihat dan pendapat” adalah berkaitan dengan kliennya baik di dalam maupun di luar persidangan.

Dan unsur dari pasal 6 ayat (2) adalah:
A. Hakim
Merujuk pada ketentuan yang tertuang dalam pasal 2 UU No. 4 tahun 2004 dan UU No. 24 tahun 2003, maka yang dimaksud dengan hakim adalah :
1.Hakim pada semua lingkungan Peradilan, baik peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
2.HakimHakim agung pada MA
3.Hakim konstitusi pada MK
B. Menerima pemberian atau janji dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Adapun tujuan dari unsur ini adalah agar para Hakim bertindak sesuai dengan wewenangnya masing-masing berdasarkan peraturan yang berlaku.

ATAU

A. Advokat
Berdasarkan pada penjelasa pasal 12 huruf d UU No. 20 tahun 2001, yang dimaksud dengan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dalam hal ini adalah UU No.18 tahun 2003).
B. Menerima pemberian atau janji dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Adapun tujuan dari unsur ini adalah agar para Advokat bertindak sesuai dengan wewenangnya masing-masing berdasarkan peraturan yang berlaku.

C. Pasal 7

“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1). “

Unsur dari Pasal 7 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut :
A. Pemborong; ahli bangunan pada waktu membuat bangunan; penjual bahan bangunan pada waktu menyerahkan bahan bangunan
A.1. Pemborong
Yang dimaksud dengan pemborong adalah pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian pemborongan pekerjaan untuk menyelenggarakan suatu bangunan bagi pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
A.2. Ahli Bangunan
Yang dimaksud dengan ahli bangunan adalah orang yang oleh pemborong diserahi tugas untuk membuat gambar dan/atau yang bertanggung jawab untuk mengerjakan sebuah bangunan. (Tetapi terkadang pemborong dapat merangkap ahli bangunan).
A.3. Penjual bahan bangunan pada waktu menyerahkan bahan bangunan
Yang dimaksud dengan penjual bahan bangunan dalam hal ini adalah pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian jual beli untuk menyerahkan bahan bangunan dengan menerima harga yang telah ditentukan.
B. Perbuatan Curang
Perbuatan curang adalah perbuatan yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian. Unsur ini agaknya memiliki persamaan dengan wanprestasi dalam hukum perdata.
C. Dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi yang bersangkutan tidak sebatas pada perbuatan curang, tetapi juga menyangkut bahaya terhadap keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang. Perbuatan ini tidak harus terjadi terlebih dahulu untuk dapat dikatakan sebagai sebuah tindak pidana korupsi.

Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf b :
A. Setiap orang;
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001).
B. Bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan;
C. Membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselematan negara dalam keadaan perang.
Yang menjadi titik berat dalam hal ini ada pada pemberian peluang bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf c :
A. Setiap orang;
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001).
B. Pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara RI
C. Melakukan perbuatan curang.
Perbuatan curang adalah perbuatan dari “setiap orang” yang tidak memenuhi seluruh atau sebagian dari syarat-syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian RI.
D. Dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
Yang menjadi titik berat dalam hal ini ada pada pemberian peluang bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf d :
A. Setiap orang;
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001).
B. Bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara RI
C. Membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselematan negara dalam keadaan perang.
Yang menjadi titik berat dalam hal ini ada pada pemberian peluang bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

Sedangkan unsur dari Pasal 7 ayat (2) :
A. Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian RI.
Yang dimaksud dengan orang dalam hal ini adalah orang perseorangan dan dapat juga korporasi yang telah ditunjuk atau karena jabatan dan kewenangan yang melekat padanya menjadikannya berhak untuk menerima penyerahan barang tersebut.
B. Membiarkan perbuatan curang yang dilakukan oleh penjual bahan bangunan pada waktu menyerahkan bangunan, atau “setiap orang” pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian RI.
Yang menjadi titik berat dalam hal ini ada pada pemberian peluang bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
C. Perbuatan curang membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

D. Perbandingan Dengan UU Tindak Pidana Korupsi Negara Lain
Adapun dalam kaitannya dengan pasal-pasal yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, ada baiknya untuk mengenal UU tindak pidana korupsi negara lain, yang mana dalam analisa berikut mengambil perbandingan 2 negara, yaitu :
a. Afrika Selatan ( Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004)
b. Korea Selatan ( Act No. 6494, 2001)
Dimana dari kedua perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, kita akan menemukan bahwa UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya memuat suatu hal yang sama dengan kedua undang-undang tersebut, hanya saja di balik kesamaan tersebut ada beberapa hal yang membedakannya di samping perbedaan negara yang secara jelas telah membuatnya berbeda.
Pertama-tama adalah baik kiranya jika kita membandingkan Undang-undang No.20 tahun 2001 dengan Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 milik Afrika selatan. Berbeda dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 mengatur segala hal tentang tindak pidana korupsi secara mendetail dimana tidak seperti UU No. 20 tahun 2001 yang hanya memuat tentang jenis tindakan serta hukumannya, Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 juga membahas mengenai cara persidangan yang harus dilakukan dalam menangani perkara yang bersangkutan. Pada tiap pasalnya juga tidak tertulis secara tegas tentang besarnya hukuman yang harus dijatuhkan. Besarnya hukuman yang harus dijatuhkan pada setiap kategori tindak pidana Korupsi pada Undang-undang tersebut dimuat dalam satu bagian tersendiri ( dimana dalam hal ini adalah bab 5, pasal 26).
Lalu bagaimana dengan pasal 5, 6, 7 UU No. 20 tahun 2001? Apakah pada Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 juga memuat hal yang serupa? Jawabannya adalah “ya” tetapi tidak sepenuhnya. Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 memiliki pasal yang pada dasarnya adalah serupa. Yaitu meliputi:
A. Pasal 4 ayat 1 Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 yang berbunyi sebagai berikut :

“4. ( 1 ) Any--
(a) public officer who, directly or indirectly. accepts or agrees or offers to accept any gratification from any other person, whether for the benefit of himself or herself or for the benefit of another person; or
(b) person who. directly or indirectly, gives or agrees or offers to give any gratification to a public officer, whether for the benefit of that public officer or 55 for the benefit of another person, in order to act, personally or by influencing another person so to act, in a manner-
(i) that amounts to the-
(aa) illegal, dishonest. unauthorised, incomplete, or biased: or
(bb) misuse or selling of information or material acquired in the course of the. exercise, carrying out or performance of any powers, duties or functions 5 arising out of a constitutional, statutory, contractual or any other legal obligation;
(ii) that amounts to--
(aa) the abuse of a position of authority;
(bb) a breach of trust; or I 0
(cc) the violation of a legal duty or a set of rules;
(iii) designed to achieve an unjustified result: or
(iv) that amounts to any other unauthorised or improper inducement to do or not to do anything.
Is guilty of the offence of corrupt activities relating to public officers. “

Bandingkan dengan pasal 5 UU No. 21 tahun 2001 yang bunyinya adalah sebagai berikut :

“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana paling sedikit Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan oleh jabatannya.
(2) Bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau b, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Dari kedua hal di atas kita akan mendapati adanya kesamaan antara 2 hal tersebut dimana hal tersebut berkaitan dengan menjanjikan sesuatu pada seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara. Meski demikian ada satu hal yang perlu untuk dipahami dalam hal ini, yaitu menyangkut definisi dari seorang “public officer” dalam Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 sebagaimana yang termuat dalam pasal 1 angka 24 yang berbunyi sebagai berikut:

“(xxiv) “public officer” means any person who is a member, an officer. an employee
or a servant of a public body, and includes-
(a) any person in the public service contemplated in section X( 1) of the Public Service Act. 1994 (Proclamation No. 103 of 1994):
(b) any person receiving any remuneration from public funds: or
(c) where the public body is a corporation, the person who is incorporated as such,
but does not include any-
(a) member of the legislative authority;
(b) judicial officer; or
(c)member of the prosecuting authority; “

Maka kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa definisi dari seorang pejabat publik (yang mana dalam hal ini setara dengan definisi “pegawai negeri atau penyelenggara negara”) dalam Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 tidak mencakup orang dalam lembaga legislatif, petugas hukum dan jaksa.

B. Pasal 8 ayat 1 Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 :

“8. ( 1 ) Any-
(a) judicial officer who. directly or indirectly. accepts or agrees or offers to accept any gratification from any other person. whether for the benefit of himself or herself or for the benefit of another person: or
(b) person who, directly or indirectly. gives or agrees or offers to give any gratification to a judicial officer. whether for the benefit of that judicial officer or for the benefit of another person,
in order to act, personally or by influencing another person so to act. in a manner-
(i) that amounts to the-
(aa) illegal, dishonest, unauthorised. incomplete, or biased: or
(bb) misuse or selling of information or material acquired in the course of the. exercise. carrying out or performance of any powers. duties or functions arising out of a constitutional, statutory. contractual or an} other legal obligation;
(ii) that amounts to-
(aa) the abuse of a position of authority;
(bb) a breach of trust; or
(cc) the violation of a legal duty or a set of rules;
(iii) designed to achieve an unjustified result: or
(iv) that amounts to any other unauthorised or improper inducement to do or not to do anything,
is guilty of the offence of corrupt activities relating to judicial officers. “

Yang mana memiliki kesamaan dengan pasal 6 UU No. 20 tahun 2001:

“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau
b. Memberi atau menjanjikan kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Akan tetapi ada sedikit perbedaan dengan definisi tentang petugas hukum, dimana menurut pasal 1 angka 11 Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004, yang dimaksud dengan Judicial Officer itu meliputi :

“(xi) “judicial officer” means-
(a) any constitutional court judge or any other judge as defined in section 1 of the Judges‘ Remuneration and Conditions of Employment Act, 200 I (Act No. 47 of 2001);
(b) a judge of the Labour Court appointed under section 153( l)(a) or (b). (4)or (5) of the Labour Relations Act, 1995 (Act No. 66 of 1995):
(c) the President or judge of the Land Claims Court appointed under section 22(3), (4) or (8) of the Restitution of Land Rights Act, 1994 (Act No. 32 of 1994);
(d) any judge of the Competition Appeal Court appointed under section 36(2) of the Competition Act, 1998 (Act No. 89 of 1998);
(e) a judge or additional member appointed under section 7 of the Special
Investigating Units and Special Tribunals Act, 1996 (Act No. 73 of 1996), to a Special Tribunal established in terms of section 2 of that Act;
(f) the presiding officer or member of the court of marine enquiry. the maritime court and the court of survey referred to in sections 267( 1). 271 (1) and 276( 1) of the Merchant Shipping Act, 1951 (Act No. 57 of 1951), respectively;
(g) any presiding officer appointed under section 10(3)(b) of the Administration Amendment Act, 1929 (Act No. 9 of 1929). to a divorce court established in terms of section 10( 1) of that Act;
(h) any regional magistrate or magistrate defined in section 1 of the Magistrates Act, 1993 (Act No. 90 of 1993);
(i) any commissioner appointed under section 9 of the Small Claims Courts Act, 1984 (Act No. 61 of 1984);
(j) any arbitrator, mediator or umpire, who in terms of any law presides at arbitration or mediation proceedings for the settlement by arbitration or mediation of a dispute which has been referred to arbitration or mediation;
(k) any adjudicator appointed under section 6 of the Short Process Courts and Mediation in Certain Civil Cases Act, 1991 (Act No. 103 of 1991):
(l) where applicable, any assessor who assists a judicial officer;
(m) any other presiding officer appointed to any court or tribunal established under any statute and who has the authority to decide causes or issues between parties and render decisions in a judicial capacity;
(n) any other person who presides at any trial, hearing, commission. committee or any other proceedings and who has the authority to decide causes or issues between parties and render decisions in a judicial capacity: or
(0) any person contemplated in paragraphs (a) to (n) who has been appointed in an acting or temporary capacity; “

Dimana dari hal di atas, diketahui bahwa tidak seperti UU No. 20 tahun 2001, makna “Judicial Officer” dalam Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 juga mencakup arbitrase yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa alternatif.

Tetapi Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 tidak memiliki ketentuan sebagaimana pasal 7 UU No. 20 tahun 2001 yang berkaitan dengan perbuatan curang dalam penyerahan barang yang dilakukan oleh :
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan kepolisian atau angkatan bersenjata
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan kepolisian atau angkatan bersenjata.
Secara spesifik.

Kemudian bagaimana dengan Act No. 6494, 2001 yang merupakan Undang-undang anti korupsi Korea Selatan? Berbeda dengan UU No. 20 tahun 2001 dan undang-undang anti korupsi Afrika Selatan, Act No. 6494, 2001 justru sama sekali tidak mencantumkan perihal tindakan yang bagaimana yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. Act No. 6494, 2001 justru memuat ketentuan yang cukup unik yang lebih menjelaskan mengenai instrumen-instrumen penting dalam pemberantasan korupsi.
Untuk dapat memahaminya, adalah lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu struktur dari Act No. 6494, 2001, yaitu:
- Bab 1 : Ketentuan umum.
- Bab II : Komisi Pemberantasan Korupsi Korea Selatan
- Bab III : Reporting of Acts of Corruption and Protection of Whistleblowers, etc.
- Bab IV : Pemeriksaan berdasarkan permintaan masyarakat
- Bab V : Ketentuan tambahan
- Bab VI : Penal Provision
Adapun ketentuan pemidanaan diatur dalam Bab VI tidak memuat kategori korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 20 tahun 2001melainkan hanya memuat beberapa ketentuan-ketentuan berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran pada ketentuan yang terkandung dalam bab-bab Undang-undang pemberantasan korupsi yang bersangkutan (yang mana lebih cenderung menuliskan tugas dan kewajiban petugas pemerintah, Komisi pemberantasan korupsi dan peran serta masyarakat).