Sabtu, 17 Januari 2009

Isu Palestina: Solidaritas atau Kampanye politik

category           : Opinion

oleh                   : Rudi Hartono


Agresi militer Israel terhadap palestina mengundang kecaman internasional. Berbagai protes dilancarkan pemimpin-pemimpin dunia, bahkan berbagai organisasi sosial dari berbagai spectrum politik melancarkan aksi protes dimana-mana. Protes tidak hanya dijumpai dalam negeri-negeri islam, tetapi nampak cukup massif dilancarkan di eropa, Amerika latin, Australia, dan juga beberapa negara asia. masalahnya adalah kemanusiaan, sehingga penyikapannya pun adalah bentuk solidaritas kemanusiaan.

Di Indonesia, kecaman datang dari berbagai kelompok sosial masyarakat. Namun sejak awal, protes dan mobilisasi massa sudah didominasi oleh ormas-ormas dan partai-partai Islam, terutama PKS. Dalam mobilisasi ini, mereka bukan saja menunjukkan bentuk-bentuk keprihatinan dan solidaritas, tetapi yang cukup menonjol adalah symbol-simbol dan bendera-bendera partai yang kebetulan adalah kontestan pemilu 2009. Pihak Bawaslu sendiri menilai mobilisasi massa PKS untuk palestina sudah masuk kategori kampanye politik terbuka, padahal kampaye pemilu secara terbuka seyogyanya baru dimulai 15 maret 2009.


Kerangka Solidaritas Palestina

Pada saat Israel menggempur Gaza, pada dasarnya ahli militer dan otoritas Israel sudah menyakini bahwa tindakan ini tidak akan mengakhiri perlawanan kelompok militan Palestina. Apalagi jika waktu yang diperhitungkan cukup singkat. Seperti diketahui, Israel sendiri sebentar lagi memasuki arena pemilu, dan isu mengenai palestina merupakan isu yang sangat sensitif dan tak dapat dihindari oleh kekuatan politik manapun di Israel. Menurut Jonathan Cook, seorang analis dan wartawan yang berbasis di Nazareth, Israel, serangan Israel ke Palestina bukan hanya untuk mengakhiri serangan mortar gerilayawan Palestina, tetapi juga untuk mengembalikan moral militer Israel setelah dikalahkan secara memalukan oleh Hezboullah pada tahun 2006. 

Sedangkan bagi Shir Herver, seorang ekonomis yang bekerja di Alternative Information Centre (AIC), maksud serangan Israel ini memiliki beberapa pengertian; pertama, secara politik adalah untuk menjatuhkan pemerintahan Hamas yang sulit diajak bekerjasama. Seperti diketahui, Hamas merupakan faksi politik Palestina yang punya komitmen tegas memerangi Israel, dan daerah Gaza merupakan basis pendukung terbesar bagi Hamas. Kedua, secara ekonomis, Israel berkehendak memastkan Gaza yang dikendalikan Hamas dapat mengadopsi neoliberalisme, seperti juga daerah-daerah palestina lainnya yang berada di bawah control patah.

Michel Chossudovsky, dalam sebuah analisisnya di majalah Global Research menyatakan, invasi yang begitu terencana oleh otoritas Israel ke jalur Gaza adalah terkait dengan perebutan ladang gas di lepas pantai Gaza, Palestina. Kematian Arafat yang moderat dan kenaikan hamas ke puncak kekuasaan merupakan ancaman bagi kepentingan Israel atas control gas-gas itu. Ketika Aril Sharon terpilih sebagai presiden pada tahun 2001, ia mengatakan; “otoritas Israel tidak akan pernah membeli gas dari palestina”. Hal itu menandaskan bahwa seolah-olah ladang gas di wilayah Gaza tersebut telah dimiliki Israel secara de facto. Pihak Inggris sendiri (British Gas-BG Group) punya kepentingan besar untuk memenangkan kontrak gas di lepas pantai gaza tersebut, tentunya dengan menggunting kepentingan Mesir.

Serangan Israel ini juga kelihatan dirancang lama dengan pencarian momentum yang tepat. Baru-baru ini, dunia dilanda krisis ekonomi yang bersumber pada negara-negara pusat imperialisme, yakni AS dan kemudian Eropa. Meminjam analisis Marxisme, perang merupakan salah satu pertimbangan untuk solusi krisis kapitalisme. Waktu penyerangan dipilih bertepatan dengan fase transisi kepemimpinan di Gedung Putih, dimana diluar AS tak ada lagi otoritas yang dipatuhi AS untuk menerima tawaran gencatan senjata atau perundingan.

Sehingga, kerangka solidaritas terhadap palestina adalah penghentian perang, penolakan pemberlakuan neoliberalisme, serta jaminan masyarakat internasional atas kelansungan pemerintahan hamas yang terpilih secara demokratis.

Solidaritas Yang Bermuatan Politis

Menurut saya, dukungan besar dari berbagai kelompok Islam di Indonesia, terutama partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak berkontribusi pada penghentian kepentingan ekonomi dan politik Israel di wilayah Pelestina. Perang terhadap “Zionisme” ataupun “yahudi” hanya merupakan penciptaan musuh yang diraba-raba, namun tidak menyerang atau berhadapan dengan musuh sebenarnya; imperialisme Israel dan kepentingan neoliberalisme.

Di Indonesia, PKS merupakan partai pendukung neoliberalisme, yakni sebuah sistem ekonomi yan ditolak Hamas, dan hendak dipaksakan Israel di seluruh teritori palestina. Bulan lalu, PKS mendukung pengesahan UU BHP dan minerba yang pro-neoliberal dalam proses legislasi di parlemen. Selain itu, PKS yang merupakan salah satu pendukung pemerintahan SBY-JK tidak juga merumuskan sikap tegas terhadap campur tangan AS di negara-negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia. 

Dari sudut pandang sikap politik Internasional, politik PKS juga tidak konsisten, karena berbagai kejahatan imperialisme di daerah-daerah yang beragama islam lainnya, seperti di Iran, Darfur (Sudan), Afghanistan, Lebanon, dan sebagainya kurang mendapat perhatian. Di dalam negeri, PKS sendiri tidak berani bersikap ketika pemerintahan megawati memberlakukan DOM di Aceh. 

Ketika saudara-saudara kita petani Suluk Bongkal di perlakukan tidak manusiawi oleh aparat polda Riau, dimana 700 rumah hangus, dua orang tertembak, dua balita tewas, dan ratusan orang tertangkap, fraksi PKS di parlemen tidak bersikap sedikitpun. Demikian pula, ketika saudara-saudara kita di Monokwari, Papua, meradang akibat gempa bumi mereka (PKS) tidak juga memperlihat solidaritas yang memadai. Lantas, kita bertanya; “solidaritas anda sebenarnya murni atau tidak? Pantas, jika ada kecurigaan bahwa ini adalah kampanye untuk pemilu 2009. 


Penulis adalah Pengelola Jurnal Arah Kiri dan Pemimpin redaksi Berdikari Online.
dikutip dari : http://www.arahkiri2009.blogspot.com/