Senin, 15 September 2008

Pembuktian

By                      : Roy Sanjaya and partners
Category           : Law

A. Arti Pembuktian
Yang dimaksud dengan “membuktikan” ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengkataan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanya diperlukan dalam persengketaan atau perkara di muka Hakim atau Pengadilan.
Pembuktian hanyalah diperlukan, apabila timbul suatu perselisihan. Jika tidak ada seseorang yang menyangkal bahwa hak milik seseorang atas tanah yang dimilikinya, maka ia tidak perlu membuktikan bahwa tanah tersebut itu adalah miliknya. Semua perselisihan mengenai hak milik, utang piutang atau warisan dinamakan perselisihan mengenai hak-hak perdata adalah semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang Hakim atau Pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini Hakim atau Pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini Hakim atau Pengadilan Perdata yang merupakan alat kelengkapan dalam suatu Negara Hukum yang ditugaskan untuk menetapkan perhubungan hukum yang sebenarnya antara dua pihak yang terlibat dalam perselisihan atau persengketaan. Hakim mempunyai wewenang untuk menetapkan bahwa tanah yang dimiliki seseorang adalah benar-benar secara sah dan meyakinkan adalah miliknya.
Tugas Hakim atau Pengadilan adalah menetapkan hukum untuk suatu keadaan tertentu melalui dalil-dalil yang diajukan masing-masing pihak untuk kemudian menjadi pertimbangan Hakim untuk memutuskan pihak siapa yang menang dan pihak siapa yang kalah. Dalam memeriksa suatu perkara, Hakim harus mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian yang merupakan Hukum Pembuktian. Ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan akan timbul apabila Hakim, dalam melaksanakan tugasnya diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas keyakinannya. Keyakinan Hakim harus didukung dengan alat bukti dimana masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya yang dikemukakan kepada Hakim yang diwajibkan memutusi perkara mereka itu.
Hukum pembuktian pada dasarnya merupakan suatu bagian daripada Hukum Acara karena ia memberikan aturan-aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka Hakim, akan tetapi tidak pada tempatnya untuk dimasukkan dalam B.W. yang pada dasarnya hanya mengatur hukum materil. Akan tetapi ada suatu pendapat bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materiil dan hukum acara formil (yang memuat aturan-aturan yang benar-benar semata-mata mengenai formalitas saja yang harus diperhatikan di pengadilan atau dengan kata lain bagaimana cara melaksanakan hukum perdata materil yang terdapat di dalam B.W.).Pendapat ini dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan.
Untuk memudahkan kita dalam memahami hal pembuktian yang sedang dibahas saat ini, maka penulis akan memberikan sebuah contoh sebagai berikut, misalnya saja jika seseorang menggugat orang lain agar orang ini dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah yang merupakan harta peninggalan ayahnya, tetapi pendirian ini disangkal oleh pihak tergugat, akibatnya orang yang menggugat diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia adalah ahli waris yang sah dari yang meninggal dan tanah tersebut adalah secara sah milik si pewaris. Jika ia telah berhasil membuktikan hal tersebut dan pihak tergugat masih saja membantah haknya dengan dalil bahwa tanah tersebut dibelinya secara sah melalui akta jual beli tanah maka si tergugat wajib membuktikan adanya jual beli tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1865 B.W. yang menyatakan :

“ Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”

Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat-syarat sebagai berikut :
1. diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti
2. Reability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu)
3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta
4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan

B. Sistem Pembuktian
Pada umumnya dikenal dua sistem pembuktian yaitu sistem negatif sistem positif. Dalam hukum acara pidana dikenal sistem pembuktian negatif dimana yang dicari adalah kebenaran yang materiil atau kebenaran yang sesungguhnya sedangkan dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif di mana yang dicari adalah kebenaran yang formal
Sistem negatif adalah sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh hakim, haruslah memenuhi dua syarat mutlak :
- alat bukti yang cukup, dan
- keyakinan hakim
Dengan demikian, tersedianya alat bukti saja belum cukup untuk menjatuhkan hukuman pada seorang tersangka. Sebaliknya, meskipun hakim sudah cukup yakin akan kesalahan tersangka, jika tidak tersedia alat bukti yang cukup, maka pidana belum dapat dijatuhkan oleh hakim. Sistem pembuktian negatif ini diberlakukan secara eksplisit oleh KUHAP melalui Pasal 183 yang menyatakan sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang saha, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sistem pembuktian perdata berlaku secara positif, maka yang dicari oleh hakim adalah suatu kebenaran formal sehingga jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, hakim harus mempercayainya sehingga unsur keyakinan hakim dalam sistem pembuktian perdata tidak berperan. Dalam sistem pembuktian ini yang dicari adalah kebenaran formal jadi bukan kebenaran yang sesungguhnya, bahkan suatu kebenaran yang bersifat kemungkinan saja sudah mencukupi, maka suatu kebenaran yang sesungguhnya sulit diwujudkan dalam praktik.

C. Macam-Macam Alat Bukti
Dilihat dari segi kedekatan antara alat bukti dan fakta yang akan dibuktikannya, terdapat dua macam alat bukti yaitu :
1. Alat bukti langsung (direct evidence)
Alat bukti langsung adalah alat bukti di mana saksi melihat langsung fakta yang akan dibuktikan sehingga fakta tersebut terbukti langsung (dalam satu tahap saja) dengan adanya alat bukti tersebut. Contohnya adalah manakala saksi melihat langsung bahwa si pelaku kejahatan mencabut pistolnya dan menembak korban, saksi mendengar bunyi letusan dan kemudian melihat langsung korban terkapar

2. Alat bukti tidak langsung (indirect evidence) atau alat bukti sirkumstansial
Alat bukti tidak langsung adalah suatu alat bukti di mana antara fakta yang terjadi dan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat hubungannya setelah ditarik kesimpulan-kesimpulan tertentu. Contohnya adalah manakala di tempat kejadian saksi untuk kasus pembunuhan melihat korban tersungkur dengan darah di perutnya dan di dekatnya terlihat tersangka memegang pisau yang berlumuran darah, dan kemudian pelaku melarikan diri. Jadi, saksi sebenarnya tidak melihat dengan matanya sendiri tentang proses terjadinya pembunuhan tersebut, tetapi dari keterangan dalam kesaksiannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa korban dibunuh oleh tersangka dengan pisau.
Sedangkan dilihat dari segi fisik dari alat bukti, alat bukti tersebut dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu :
1. Alat bukti testimonial,adalah pembuktian yang diucapkan (oral testimony) yang diberikan oleh saksi di depan pengadilan.
2. Alat bukti berwujud (tangible evidence), adalah model-model alat bukti yang dapat dilihat wujudnya/bentuknya, yang pada prinsipnya terdiri atas dua macam, yaitu :
a. alat bukti riil
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan alat bukti riil adalah sejenis alat bukti yang merupakan benda yang nyata ada di tempat kejadian, misalnya pisau yang digunakan untuk membunuh
b. alat bukti demonstratif
Alat bukti yang merupakan benda yang nyata tetapi bukan benda yang ada di tempat kejadian, misalnya alat bantu visual atau audio visual, foto, gambar, grafik, model anatomi tubuh dan sebagainya.
3. Alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial, adalah jenis alat bukti yang merupakan gabungan dari 2 jenis alat bukti sebelumnya. Contoh dari jenis alat bukti ini adalah transkrip dari keterangan saksi atau transkrip dari siding sebelumnya dalam kasus yang lain.
Meskipun dalam kenyataannya, di samping alat bukti konvensional yang sudah lama dikenal seperti alat bukti surat, saksi, pengakuan dan sebagainya sangat banyak modal alat bukti yang non konvensional dimana alat bukti tersebut tidak terantisipasi pada saat H.I.R atau KUHAP terbentuk. Oleh sebab itu dapat atau tidak diterimanya alat bukti tersebut di pengadilan, masih mengandung banyak perdebatan maka agar hukum pembuktian itu tidak tertinggal, alat bukti non konvensional seperti alat bukti elektronik dan sainstifik harus dipertimbangkan hakim untuk diterima sebagai alat bukti di pengadilan. Perlu diketahui karena banyak alat bukti nonkonvensional tersebut yang canggih dan sangat berorientasi pada perkembangan teknologi, maka banyak di antaranya yang dapat memberikan nilai pembuktian yang akura, bahakan melebihi dari keakuratan alat bukti konvensional. Sebagai contoh, model pembuktian kejahatan melalui alat canggih yang disebut dengan tes DNA yang jauh lebih akurat dibandingkan dengan pembuktian konvensional yang menggunakan saksi mata.


D. Bentuk-Bentuk Alat Bukti

Menurut pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas :
a. Bukti tulisan
b. Bukti dengan saksi-saksi
c. Persangkaan-persangkaan
d. Pengakuan, dan
e. Sumpah
Ketentuan tentang alat bukti perdata bersifat hukum memaksa artinya segala jenis alat bukti yang sudah diatur dalam pasal tersebut tidak dapat ditambah maupun dikurangi. Hanya saja, dalam ketentuan hukum perdata terdapat modael alat bukti yang terbuka ujung (open end) yang memungkinkan masuknya berbagai alat bukti baru sesuai dengan perkembangan teknologi, termasuk alat bukti yang sangat bersifat sainstifik dan/atau eksperimental. Alat bukti yang terbuka ujung tersebut adalah alat bukti persangkaan dalam hukum acara perdata dan alat bukti petunjuk dalam hukum acara pidana. Dalam suatu perkara perdata, alat bukti yang utama adalah tulisan sedangkan dalam suatu perkara pidana kesaksian. Keadaan yang demikian dapat dimengerti, dalam lalu lintas keperdataan yaitu dalam jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya, orang-orang memang dengan sengaja membuat alat bukti berhubung dengan kemungkinan diperlukannya bukti-bukti itu di kemudian hari. Oleh sebab itu, dalam suatu masyrakat yang sudah maju, tanda-tanda atau bukti yang paling tepat dalam hal perdata adalah bukti tulisan.
Di samping tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti, ada juga tulisan-tulisan yang dibuat tanpa maksud yang demikian tetapi pada sewaktu-waktu dapat dipakai juga dalam suatu pembuktian, misalnya surat menyurat biasa, catatan-catatan pembukuan dan lain-lain. Contoh tulisan yang dimaksud meliputi kwitansi, surat perjanjian, surat menyurat, surat Hak Milik, surat tanda kelahiran dan sebagainya. Biasanya apabila seorang dimintai surat tanda bukti, maka surat tanda bukti ini dimaksudkan untuk dikemudian hari dipakai terhadap orang yang memberikan tanda bukti tersebut. Jadi kesimpulannya tulisan itu akan menjadi ukti terhadap si penulis.
Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan maka pihak yang diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang-orang yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Orang-orang tersebut disebut sebagai saksi. Adalah mungkn bahwa orang-orang tadi pada waktu terjadi peristiwa tersebut, dengan sengaja telah diminta untuk menyaksikan kejadian yang berlangsung itu. Adapula orang-orang yang secara kebetulan melihat atau mengalami persitiwa yang dipersengketakan itu.
Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, maka diusahakan untuk membuktikan peistiwa-peristiwa lain yang ada hubungan erat dengan peristiwa yang harus dibuktikan tadi. Menyimpulkan terbuktinya suatu peristiwa dari terbuktinya peristiwa lain dinamakan persangkaan. Sebenarnya hal persangkaan ini bukanlah suatu barang bukti, untuk memudahkannya digunakan contoh apabila tidak mungkin untuk membuktikan secara langsung bahwa pasti barang sudah diterima oleh si pembeli, maka diusahakan membuktikan pengiriman barang-barang seperti itu kepada orang lain. Jika peristiwa pengiriman barang dari gudang dan peristiwa penawaran yang dilakukan oleh pembeli kepada orang lain tadi dianggap terbukti oleh hakim, maka Hakim dapat pula menyimpulkan terbuktinya penerimaan barang oleh si pembeli. Dari contoh yang penulis berikan, pihak penjual sebenarnya tidak berhasil atau mampu membuktikan peristiwa penerimaan barang. Ia hanya dapat membuktikan pengiriman barang dan penawaran yang dilakukan oleh pembeli. Meski demikian persangkaan dapat dijadikan bukti dalam beberapa perkara pertada, contoh dari perkara perdata dimana persangkaan dijadikan sebagai bukti adalah peristiwa perzinahan, yang perlu dibuktikan dalam suatu perkara perceraian. Dalam perkara-perkara perceraian semacam itu telah ada suatu yurisprudensi, bahwa dari terbutinya bahwa dua orang, laki-laki dan perempuan menginap dalam suatu kamar di mana hanya ada satu tempat tidur, dapat dianggap terbukti bahwa mereka melakukan suatu perzinahan.
Kalau pembuktian dengan menggunakan tulisan dan kesaksian itu merupakan pembuktian secara langsung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan pembuktian secara tidak langsung. Dari contoh yang telah diberikan sebelumnya, kesimpulan tentang terbuktinya peristiwa yang dipersengketakan ditarik oleh hakim yang sedang memeriksa perkara. Di samping itu ada pula ketentuan-ketentuan undang-undang yang mengambil kesimpulan-kesimpulan seperti yang dilakukan oleh hakim tadi. Ini dinamakan persangkaan Undang-undang sedangkan kesimplan yang ditarik oleh haki tadi dinamakan persangkaan hakim.
Apa yang dinamakan persangkaan-persangkaan hakim dalam perkara perdata itu adalah sama dengan apa yang dinamakan pembuktian dengan petunjuk-petunjuk dalam perkara pidana.
Seorang saksi jika diminta memberikan kesaksian tentang sesuatu harus disumpah untuk menguatkan kesaksian itu. Dalam perkara perdata, sumpah itu juga dapat dibebankan kepada salah satu pihak yang bersengketa. Satu pihak dapat memerintahkan pihak lawannya untuk bersumpah tentang sesuatu hal yang menjadi perselisihan, misalnya hal sudah atau belum dibayarnya suatu utang. Juga Hakim diberikan wewenang untuk membebani sumpah kepada salah satu pihak. Dengan sendirinya pembebanan sumpah tadu baru dilakukan apabila tidak didapatkan bukti-bukti lain.
Penyebutan alat-alat bukti dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak melarang alat-alat bukti lainnya. Tidak dilarang misalnya mengajukan bukti-bukti yang berupa tanda-tanda yang bukan tulisan misalnya Pasal 1887 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata misalnya menyebutkan “tongkat berkelar”.
Perlu kiranya diperhatikan bahwa Undang-Undang Mahkamah Agung yang sudah modern (tahun 1950) dalam hukum acaranya dalam tingkat pertama untuk memeriksa perkara-perkara pidana, dalam pasal 78 menyatakan sebagai alat-alat bukti yang sah :
1. Pengetahuan hakim
2. Keterangan terdakwa
3. Keterangan saksi
4. Keterangan orang ahli
5. Surat-surat

a. Bukti Tulisan
Bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan sering kali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisahan dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berupa tulisan.
Salah satu bukti tulisan adalah akte. Suatu akte adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Dengan demikian unsur-unsur yang penting untuk suatu akte ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatangan tulisan itu Syarat penandatanganan dapat kita lihat pada pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang memuat ketentuan :

“Ketentuan-ketentuan tentang kekuatan pembuktian daripada tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka.”

Dalam pasal-pasal yang dimaksudkan itu, perkataan “ yang ditandatangani ” hanya dituliskan di belakang perkataan “akte” , dan tidak dibelakang “surat-surat, regester-regester, surat-surat rumah tangga dan lain-lain tulisan”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka surat perjanjian jual beli adalah adalah suatu akte. Hal yang serupa juga berlaku pada perjanjian sewa-menyewa. Bahkan sepucuk kuitansi adalah suatu akte, karena ia sebagai bukti dari pelunasan suatu hutang dan ia ditandatangani oleh si berpiutang.
Dengan demikian maka tulisan-tulisan itu dapat dibagi dalam dua golongan: akte dan tulisan-tulisan lain. Yang penting dari suatu akte memang penandatangannya itu. Dengan menaruh tandatangannya, seorang dianggap menanggung tentang kebenaran apa yang ditulis dalam akte itu.
Diantara surat-surat atau tulisan-tulisan yang dinamakan akte tadi, ada suatu golongan yang dinamakan akte otentik.
Suatu akte otentik ialah suatu akte yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana akte itu dibuatnya (pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 165 RIB atau pasal 285 RDS). Akte-akte lainnya, yang jadi yang bukan otentik dinamakan akte di bawah tangan.
Menurut pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu akte otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Akte otentik itu merupakan suatu bukti yang “mengikat” dan ia memberikan sesuatu yang bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian.
Suatu akte otentik sebenarnya memiliki 3 macam kekuatan :
1. Membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte tadi (karena pembuktian formil)
2. Membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang telah disebutkan disitu telah terjadi (kekuatan pembuktian materiel atau yang kita namakan kekuatan pembuktian “mengikat”);
3. Membuktikan tidak saja antara pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akte kedua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum (notaries) dan menerangkan apa yang ditulis dalam akte tersebut.




b. Bukti dengan saksi

Jika bukti tulisan tidak ada, maka dalam perkara perdata orang berusaha mendapatkan saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan di muka sidang hakim.
Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka hakim tadi, ada pula yang memang dulu dengan sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum sedang dilangsungkan, menyaksikan suatu pembagian warisan, menyaksikan suatu pernikahan dan lain sebagainya.
Dulu dalam perundangan-undangan kita ada suatu larangan mengajukan kesaksian untuk membuktikan suatu perjanjian yang mengandung suatu perikatan atau pembebasan utang yang melebihi suatu jumlah, yaitu tiga ratus rupiah. Dengan demikian perjanjian semacam itu hanya boleh dibuktikan secara tertulis, artinya kalau perjanjian disangkal. Pembatasan tersebut sudah dihapuskan sejak tahun 1925. Dalam Code Civil pembatasan yang semacam itu masih ada.
Oleh Pasal 1902 Kitab UndangUndang Hukum Perdata ditetapkan bahwa, dalam segala hal dimana oleh undang-undang diperintahkan suatu pembuktian dengan tulisan, namun itu, jika ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan, diperkenankan pembuktian dengan saksi-saksi, kecuali apabila tiap pembuktian lain selainnya tulisan dikecualikan. Adapun yang dinamakan “permulaan pembuktian dengan tulisan” itu ialah semua akte tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan diajukan yang membenarkan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang diajukan seseorang. Menurut yurisprudensi, perkataan “akte tertulis” di sini harus ditafsirkan sebagai tulisan saja.
Dimaksudkan bahwa seorang saksi itu akan menerangkan tentang apa yang dilihat atau dialaminya sendiri. Dan lagi tiap kesaksian itu harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan itu. Setiap saksi diwajibkan, menurut cara agamanya bersumpah atau berjanji bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. Karena itu menjadi saksi dalam suatu perkara di muka Hakim tidak boleh dianggap sebagai suatu hal yang enteng saja. Terhadap siapa yang dengan sengaja memberikan suatu keterangan palsu di atas sumpah, diancam suatu pidana menurut Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai seorang yang melakukan tindak pidana sumpah palsu.
Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi diwajibkan memberikan kesaksian. Bahwa memberikan itu merupakan suatu kewajiban, dapat kita lihat dari adanya sanksi-sanksi terhadap seorang yang tidak memenuhi panggilan untuk dijadikan saksi. Menurut undang-undang orang itu dapat :
1. Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggil saksi
2. Secara paksa dibawa ke pengadilan
3. Dimasukkan dalam penyanderaan
Namun ada beberapa orang yang karena terlalu dekat hubungannya dengan salah satu pihak atau karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya, dapat dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian. Mereka ini adalah :
1. Siapa yang mempunyai pertalian darah dalam garis samping dalam derajat kedua atau semenda dengan salah satu pihak
2. Siapa yang mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis samping dalam derajat kedua dengan suami atau istri salah satu pihak
3. Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian (Pasal 1909 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
Di samping golongan orang yang tersebut di atas, terdapat segolongan orang yang tidak boleh memberikan kesaksian, karena hubungannya yang terlalu sangat dekat dengan salah satu pihak. Mereka itu adalah para anggota keluarga dan semenda dalam garis lurus dari salah satu pihak dan suami atau istri sekalipun telah bercerai.
Namun orang-orang ini boleh menjadi saksi dalam beberapa macam perkara khusus, yaitu :
1. Perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak
2. Perkara mengenai nafkah, termasuk pembiayaan, pemeliharaan dan pendidikan seorang anak belum dewasa
3. Perkara mengenai pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orangtua atau wali
4. Perkara mengenai suatu persetujuan perburuhan
Dalam perkara-perkara tersebut, malahan orang-orang yang karena hubungan yang terlalu dekat sebenarnya boleh minta pembebasan untuk menjadi saksi, di sini tidak boleh minta pembebasan.(Pasal 1910 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Meskipun tidak ada suatu pasal undang-undang yang menetapkan syarat-syarat untuk dapat diterima sebagai saksi di muka Pengadilan, namun dapat kita simpulkan bahwa undang-undang menghendaki bahwa seseorang saksi harus sudah mencapai usia lima tahun dan berpikiran sehat. Sebab undang-undang dalam pasal 1912 Kitab Undang-undang Hukum Perdata melarang hakim untuk menerima orang sebagai saksi yang belum mencapai usia tersebut dan orang yang tidak berpikiran sehat. Begitu pula dilarang untuk menerima sebagai saksi seorang yang selama perkara sedang berlangsung, atas perintah Hakim telah dimasukkan dalam tahanan.
Namun demikian, Hakim dibolehkan mendengar orang-orang yang tidak memenuhi syarat tadi tanpa penyumpahan, tetapi keterangan-keterangan yang mereka berikan itu hanya dapat dianggap sebagai “penjelasan” dan tidak sekali sebagai suatu kesaksian. Hakim dapat menggunakan penjelasan tadi untuk mengetahui dan mendapatkan petunjuk-petunjuk kea rah peristiwa yang dapat dibuktikan lebih lanjut dengan alat-alat bukti yang biasa.
Menurut Pasal 1905 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain tidak boleh dipercaya di muka Pengadilan. Maksudnya ialah, bahwa jika suatu dalil dibantah di muka Hakim, sedangkan pihak yang mengemukakan dalil itu hanya dapat mengajukan seorang saksi tanpa bukti lainnya, maka tak boleh Hakim menganggap dalil tadi terbukti. Tetapi aturan tersebut tidak melarang Hakim untuk menganggap sesuatu peristiwa yang tidak didalilkan terbukti dengan keterangan seorang saksi. Adanya kemungkinan membuktikan suatu dalil dengan persangkaan-persangkaan dan adanya yang dinamakan pembuktian berantai(Pasal 1906 KUHPer) menunjukkan bahwa menurut undang-undang diperbolehkan untuk membuktikan peristiwa-peristiwa yang berdiri sendiri dengan keterangan satu orang saksi. Saksi dilarang untuk menarik kesimpulan-kesimpulan atau menurut istilah Pasal 1907 KUHPer memberikan “pendapat atau perkiraan-perkiraan”. Jika ada beberapa orang saksi yang menerangkan bahwa mereka mendengar dari tergugat bahwa ia telah membeli tanah sengketa, maka Hakim tidak boleh menganggap pembelian itu terbukti sebab jumlah dari berbagai keterangan yang masing-masing kosong itu amsih tetap nihil.

c. Persangkaan-Persangkaan
Yang dimaksud dengan persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah terkenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal artinya belum terbukti. Bila yang menarik kesimpulan itu Hakim, maka persangkaan itu dinamakan persangkaan Hakim sedangkan apabila yang menarik kesimpulan itu undang-undang maka persangkaan itu dinamakan persangkaan undang-undang. Salah satu contoh persangkaan undang-undang adalah Mengenai pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan nafkah, bungan pinjaman uang dan pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek maka dengan adanya tiga surat tanda pembayaran secara berturut-turut terbitlah suatu persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang lebih dahulu telah dibayar lunas, melainkan jika dibuktikan sebaliknya (Pasal 1394 KUHPer).

d. Pengakuan
Sebenarnya, pengakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu alat bukti, karena apabila dalil-dalil yang dikemukakan oleh suatu pihak diakui oleh pihak lawan , maka pihak yang mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan diakuinya dalil-dalil tadi, pihak yang mengajukan dalil-dalil itu dibebaskan dari pembuktian. Pembuktian itu hanya perlu diadakan terhadap dalil-dalil yang dibantah atau disangkal. Malahan kalau semua dalil yang dikemukakan itu diakui, dapat dikatakan tidak ada suatu perselisihan . Dan dalam perkara perdata itu, tidak menyangkal diartikan sebagai mengakui atau membenarkan dalilnya pihak lawan.
Pengakuan yang dilakukan di muka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seorang yang khusus dikuasakan untuk itu (pasal 1925 KUHPer). Artinya adalah, bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui itu sebagai benar dan meluluskan (mengabulkan) segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut.
Mengingat pengakuan tersebut dilakukan di muka sidang hakim. Pengakuan harus diucapkan oleh tergugat sendiri atau oleh seseorang yang khusus dikuasakan untuk itu dan pengakuan yang telah diucapkan tidak dapat ditarik kembali kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa itu telah dilakukan sebagai akibat dari suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi.
Pengakuan yang dilakukan di luar sidang peradilan tidak merupakan suatu bukti yang mengikat, akan tetapi hanya sebagai bukti bebas (Pasal 1927, 1928 KUHPer). Pengakuan di luar pengadilan dapat dilakukan dengan bentuk tertulis, akan tetapi pengakuan itu tetap hanya sebagai bukti yang mengikat.

“Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang melakukannya.”

Demikian isi dari pasal 1924 ayat 1 KUHPer. Pengakuan yang merupakan bukti mengikat dan sempurna adalah pengakuan yang bulat terhadap dalil-dalil pihak lawan, yang mengandung pula pengakuan terhadap tuntutan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut. Pengakuan yang demikian itu juga dinamakan pengakuan murni. Sebetulnya dalam keadaan yang demikian itu sudah tidak ada perselisihan lagi.
Di sampingnya pengakuan yang bulat atau murni tadi, ada pula pengakuan terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan tetapi disertai dengan suatu uraian yang bertujuan melumpuhkan suatu tuntutan yang didasarkan pada dalil-dalil tadi, yaitu dengan mengajukan peristiwa-peristiwa yang membebaskan dari tuntutan.
Yang dimaksud dengan larangan memisah-misahkan pengakuan adalah larangan untuk memecah-mecah jawaban yang diberikan oleh suatu pihak atas dalil yang dikemukakan oleh pihak lawan. Hal ini dikarenakan bahwa memecah-mecahkan pengakuan dapat merugikan orang yang memberikan jawaban tadi.

e. Sumpah
Dalam perkara perdata, sumpah juga digunakan sebagai alat pembuktian yang dikemukakan oleh salah satu pihak.
Dalam perkara perdata, sumpah yang diangkat oleh salah satu pihak di muka Hakim itu, ada dua macam:
1. Sumpah yang oleh pihak yang satu diperintahkan kepada pihak lawan untuk menggantungkan putusan perkara padanya; sumpah ini dinamakan sumpah pemutus atau decissoir.
2. Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak (pasal 1929 KUHPer).
Sumpah pemutus (Decissoir) dapat diperintahkan tentang segala persengketaan yang berupa apapun juga, selainnya tentang hal-hal yang para pihak tidak berkuasa mengadakan suatu perdamaian atau hal-hal di mana pengakuan mereka tidak boleh diperhatikan.
Sumpah yang diperintahkan oleh hakim dinamakan sumpah suppletoir atau sumpah tambahan karena itu dipergunakan oleh hakim untuk menambah pembuktian yang dianggapnya kurang meyakinkan.
Hakim dapat memerintahkan sumpah tambahan apabila:
1. Tuntutan maupun tangkisan tidak terbukti dengan sempurna
2. Tuntutan maupun tangkisan itu juga tidak sama sekali tak tebukti
Hal di atas sesuai dengan pasal 1941 KUHPer.