Selasa, 20 Januari 2009

Pengertian, Sejarah, dan Sumber Hukum Diplomatik

By                    : Roy Sanjaya, Dimas Anugrah, Jonathan

Category        : Law

A. Pengertian Hukum Diplomatik

 Berbicara mengenai hukum diplomatik tentunya tidak dapat terpisah dari apa yang dinamakan dengan diplomasi. Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. Ada beberapa ahli yang mencoba untuk memberikan definis dari diplomasi, beberapa diantaranya adalah :
1.Random House Dictionary :
“The conduct by goverment officials of negotiations and other relations between nationas; the art of science of conducting such negotiations; skill in managing negotiations, handling of people so that there is little or no ill-will tact”.
2.Sir Ernest Satow :
“Diplomacy is the application of intelligence and tact to the conduct of official relations between the Goverments of Independent States, extending sometimes also to their relations with vassal states; or more briefly still, the conduct of business between States by peaceful means”.
3.Quency Wright ( dalam buku The Study of International Relations) memberikan batasan dalam 2 cara :
a. The employment of tact, shrewdness, and skill in any negotiation or transaction.
b. The art of negotiation in order to achieve the maximum of cost, within a system of politics in which war is a possibility.
4.Harold Nicholson :
a. The management of internal relations by means of negotiation.
b. The method by which these relations are adjusted and manage by ambassadors and 
envoys.
c. The business of art of the diplomatist.
d. Skill or address in the conduct of international intercourse and negotiations.
  5. Brownlie :
 “...diplomacy comprises any means by which states establish or maintain mutual relations, 
 communicate with each other, or carry out political or legal transactions, in each case 
 through their authorized agents”.
 Jika ditinjau dari pengertian secara tradisionalnya, hukum diplomatik digunakan untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang kedudukan dan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-negara yang telah membina hubungan diplomatik. Pengertian hukum diplomatik secara tradisional itu kini telah meluas karena hukum diplomatik sekarang bukan sekedar mencakup hubungan diplomatik dan konsuler antar negara, akan tetapi juga meliputi keterwakilan negara dalam hubungannya dengan organisasi-organisasi internasional.
 Ada beberapa faktor penting yang didapatkan dari pengertian hukum diplomatik yang telah disebutkan sebelumnya diatas, yaitu :
Hubungan antar bangsa untuk merintis kerja sama dan persahabatan.
Hubungan itu dilakukan dengan pertukaran misi diplomatik.
Para pejabat yang bersangkutan harus diakui statusnya sebagai wakil diplomatik.
 Dari faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, maka pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut dituangkan dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional.

B. Perkembangan Kodifikasi Hukum Diplomatik
 Dalam pergaulan masyarakat, negara sudah mengenal semacam misi-misi konsuler dan diplomatik dalam arti yang sangat umum seperti yang dikenal sekarang pada abad ke-16 dan ke-17, dan penggolongan Kepala Perwakilan Diplomatik telah ditetapkan dalam Kongres Wina 1815 sebagai berikut :
1.Duta-duta besar dan para utusan (ambassadors and legate)
2.Minister plenipoteniary dan envoys extraordinary
3.Kuasa Usaha (charge d' affaires)
 Dan setelah PBB didirikan pada tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk Komisi Hukum Internasional. Setelah tiga puluh tahun (1949-1979), komisi telah menangani 27 topik dan subtopik hukum internasional, 7 diantaranya adakah menyangkut hukum diplomatik, yaitu :
1.Pergaulan dan kekebalan diplomatik
2.Pergaulan dan kekebalan konsuler.
3.Misi-misi khusus
4.Hubungan antara negara bagian dan organisasi internasional
5.Masalah perlindungan dan tidak diganggu gugatnya pejabat diplomatik dan orang lain yang memperoleh perlindungan khusus menurut hukum internasional.
6.Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang diikutsertakan pada kurir diplomatik.
7.Hubungan antara negara dengan organisasi internasional

C. Konvensi-konvensi PBB Mengenai Hukum Diplomatik
1. Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik
 Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan secara rinci.
 Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa.
 Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes); pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para diplomat dan keistimewaan bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan pasal 48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi itu.

2. Konvensi Wina 1963 mengenai hubungan konsuler
 Untuk pertama kalinya usaha guna mengadakan kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul telah dilakukan dalam Konverensi negara-negara Amerika tahun 1928 di Havana, Kuba, di mana dalam tahun itu telah disetujui Convention on Consular Agents. Setelah itu, dirasakan belum ada suatu usaha yang cukup serius untuk mengadakan kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan-peraturan tentang hubungan konsuler kecuali setelah Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi Hukum Internasional untuk melakukan kodifikasi mengenai masalah tersebut.

3. Konvensi New York 1969 mengenai misi khusus
 Konvensi ini Wina tahun 1961 dan 1963 telah mengutamakan kodifikasi dari hukum kebiasaan yang ada, sementara konvensi ini bertujuan untuk memberi peraturan yang lebih mengatur mengenai misi-misi khusus yang memiliki tujuan terbatas yang berbeda dengan misi diplomatik yang sifatnya permanen.

4. Konvensi New York mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang-
  orang yang menurut hukum internasional termasuk para diplomat.
 Dalam perkembangannya, hukum diplomatik telah mencatat kemajuan lebih lanjut dengan secara khusus mengharuskan melalui sebuah konvensi, suatu kewajiban penting bagi negara penerima untuk mencegah setiap serangan yang ditujukan pada seseorang, kebebasan dan kehormatan para diplomat serta untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik. Dalam tahun 1971, Organisasi Negara-negara Amerika telah menyetujui suatu konvensi tentang masalah tersebut. Dalam sidangnya yang ke-24 dalam tahun 1971, sehubungan dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan kepada misi diplomatik termasuk juga para diplomatnya, Majelis Umum PBB telah meminta Komisi Hukum Internasional untuk mempersiapkan rancangan pasal-pasal mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi secara hukum internasional. Konvensi mengenai masalah itu akhirnya disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada tanggal 14 Desember 1973 dengan rseolusi 3166(XXVII).
 Dalam mukadimahnya, ditekankan akan pentingnya aturan-aturan hukum internasional mengenai tidak boleh diganggu gugatnya dan perlunya proteksi secara khusus bagi orang-orang yang menurut hukum internasional harus dilindungi termasuk kewajiban-kewajiban negara dalam menangani dan mengatasi masalah itu. Konvensi New York 1973 ini terdiri dari 20 pasal dan walaupun hanya beberapa ketentuan tetapi cukup untuk mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan perlindungan dan penghukuman terhadap pelanggaran. 

5. Konvensi Wina 1975 mengenai keterwakilan negara dalam hubungannya dengan  
  Organisasi Internasional yang bersifat universal.
 Pentingnya perumusan konvensi ini sebenarnya didorong dengan adanya situasi dimana pertumbuhan organisasi internasional yang begitu cepatnya baik dalam jumlah maupun lingkup masalah hukumnya yang timbul akibat hubungan negara dengan organisasi internasional.
 Dalam perkembangannya lebih lanjut, ada permasalahan dalam persidangan tahun 1971 yang mengajukan tiga masalah, yaitu :
1.Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti tidak adanya pengakuan, tidak adanya putusan, hubungan diplomatik dan konsuler atau adanya pertikaian senjata di antara anggota-anggota organisasi internasional itu sendiri.
2.Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa
3.Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konferensi.

D. Sumber Hukum Internasional

 Membicarakan perihal sumber hukum diplomatik tentunya tidak dapat dipisahkan dari sumber hukum internasional karena hukum diplomatik pada dasarnya adalah bagian dari hukum internasional itu sendiri.
 Menurut Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, sumber hukum diplomatik meliputi :
 a. Konvensi atau perjanjian internasional.
 b. Kebiasaan internasional.
 c. Prinsip hukum umum
 d. Doktrin hukum.

1. konvensi atau perjanjian internasional.
 Konvensi atau perjanjian internasional dalam arti umum pada hakikatnya melibatkan banyak negara sebagai pihak, oleh karena itu konvensi atau perjanjian secara lazim dikenal memiliki sifat multilateral. Sementara dalam arti khususnya, konvensi dapat terjadi dengan hanya beberapa negara dan apabila hanya antara 2 negara saja, secara umum disebut dengan sifat bilateral.
 Konvensi atau perjanjian internasional secara umum sudah dapat dikenal dan diterima sebagai sumber hukum internasional. Akan tetapi perlu kita ingat bahwa banyak perjanjian internasional tidak menciptakan suatu peraturan umum dalam hukum internasional, melainkan hanya bersifat pernyataan tentang peraturan-peraturan yang sudah ada. Oleh sebab itu, perjanjian internasional yan dapat dikatakan sebagai sumber hukum internasional bukanlah perjanjian internasional biasa, melainkan dalam jenis khusus yang disebut sebagai perjanjian yang menciptakan hukum (law making treaty).
 Akan tetapi juga perlu dipahami jika perjanjian yang sifatnya menciptakan hukum tidak dapat dipaksakan atau tidak memiliki sifat mengikat bagi negara-negara yang melakukan penolakan secara khusus atas perjanjian tersebut. Contoh dari perjanjian internasional yang menciptakan hukum:
1.The final Act of the congress of Vienna (1815) on Diplomatic Ranks.
2.Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocols (1961)
 Disamping konvensi, ada juga resolusi atau deklarasi yang dikeluarkan terutama sekali oleh Majelis Umum PBB yang dapat menimbulkan permasalahan apakah keduanya dapat dianggap memiliki kewajiban-kewajiban hukum yang mengikat. 
 Berkenaan dengan masalah mengenai resolusi itu, secara tradisional, resolusi dan deklarasi yang tidak memiliki sifat seperti perjanjian haruslah dianggap tidak memiliki kekuatan wajib karena tidak menciptakan hukum, akan tetapi disamping pandangan secara tradisional itu, mulai berkembang adanya teori dari kesepakatan sampai pada konsensus yang menjadi dasar bagi negara-negara akan keterikatannya dengan kewajiban-kewajiban hukum yang bersangkutan.
 Meski ada dua pendapat seperti yang telah diajukan di atas, kekuatan mengikat bagi sebuah resolusi memang masih belum jelas batasannya. Persoalan yang ada adalah apabila resolusi itu disetujui oleh mayoritas negara anggota, apakah resolusi itu memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 
 Dalam hal ini, resolusi yang dihasilkan dengan jalan biasa tidak akan menjadikan, merumuskan atau mengubah resolusi itu menjadi hukum internasional. Akan tetapi, resolusi baru benar-benar dikatakan memiliki kekuatan mengikat apabila resolusi itu memperoleh dukungan secara universal, atau Jika Majelis umum PBB memiliki maksud untuk menyatakan resolusi itu menciptakan hukum atau menyatakan sebagai dasar hukum dan jika isi dari resolusi itu tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan umum negara. Contoh dari resolusi yang menjadi sumber hukum internasional Resolusi 3166 (XXVIII).

2. kebiasaan internasional
 Mengenai kedudukan kebiasaan internasional sebagai sumber hukum internasional telah dinyatakan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional dan dianggap sebagai kenyataan dari praktik-praktik umum yang diterima sebagai hukum, Akan tetapi, dasar hukum dari kebiasaan internasional ini sebelumnya telah menimbulkan pertentangan terutama bagi negara yang baru berdiri.
 Masalah mengenai dasar hukum dari kebiasaan internasional ini diperdebatkan di Komisi Hukum Internasional dan di Komite Umum PBB terutama saat merumuskan rancangan Pasal 24 Statuta Komisi Hukum Internasional yang telah disepakati bersama bahwa :
 “a general recogintion among states of a certain practice as obligatory”, the emergence of a 
 principle or rule of customary international law would seem to require presence of the following elements :
  a. Concordant practice by a number of states with reference of a type of situation 
  failing within the domain of interantional relations;
  b. Continuation or repetition of the practice over the considerable period of time;
  c. Conception that the practice is required by, or consistent with, prevailing 
  international law; and
  d. General acquiescence in the practice by other States.
 Kebiasaan dan perjanjian internasional adalah sumber pokok dalam hukum diplomatik, sementara sumber hukum diplomatik lain yang sifatnya adalah subsider adalah :
 a. Prinsip hukum umum.
 b. Doktrin atau Keputusan Mahkamah internasional.
 Yang dimaksudkan dengan prinsip hukum umum adalah prinsip-prinsip umum yang diakui dalam hukum yang diakui oleh negara-negara. Khusus mengenai keputusan Mahkamah, sumber hukum ini pada hakikatnya tidak memiliki kekuatan yang mengikat (seperti halnya prinsip hukum umum) kecuali bagi pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam suatu kasus.

Sabtu, 17 Januari 2009

Isu Palestina: Solidaritas atau Kampanye politik

category           : Opinion

oleh                   : Rudi Hartono


Agresi militer Israel terhadap palestina mengundang kecaman internasional. Berbagai protes dilancarkan pemimpin-pemimpin dunia, bahkan berbagai organisasi sosial dari berbagai spectrum politik melancarkan aksi protes dimana-mana. Protes tidak hanya dijumpai dalam negeri-negeri islam, tetapi nampak cukup massif dilancarkan di eropa, Amerika latin, Australia, dan juga beberapa negara asia. masalahnya adalah kemanusiaan, sehingga penyikapannya pun adalah bentuk solidaritas kemanusiaan.

Di Indonesia, kecaman datang dari berbagai kelompok sosial masyarakat. Namun sejak awal, protes dan mobilisasi massa sudah didominasi oleh ormas-ormas dan partai-partai Islam, terutama PKS. Dalam mobilisasi ini, mereka bukan saja menunjukkan bentuk-bentuk keprihatinan dan solidaritas, tetapi yang cukup menonjol adalah symbol-simbol dan bendera-bendera partai yang kebetulan adalah kontestan pemilu 2009. Pihak Bawaslu sendiri menilai mobilisasi massa PKS untuk palestina sudah masuk kategori kampanye politik terbuka, padahal kampaye pemilu secara terbuka seyogyanya baru dimulai 15 maret 2009.


Kerangka Solidaritas Palestina

Pada saat Israel menggempur Gaza, pada dasarnya ahli militer dan otoritas Israel sudah menyakini bahwa tindakan ini tidak akan mengakhiri perlawanan kelompok militan Palestina. Apalagi jika waktu yang diperhitungkan cukup singkat. Seperti diketahui, Israel sendiri sebentar lagi memasuki arena pemilu, dan isu mengenai palestina merupakan isu yang sangat sensitif dan tak dapat dihindari oleh kekuatan politik manapun di Israel. Menurut Jonathan Cook, seorang analis dan wartawan yang berbasis di Nazareth, Israel, serangan Israel ke Palestina bukan hanya untuk mengakhiri serangan mortar gerilayawan Palestina, tetapi juga untuk mengembalikan moral militer Israel setelah dikalahkan secara memalukan oleh Hezboullah pada tahun 2006. 

Sedangkan bagi Shir Herver, seorang ekonomis yang bekerja di Alternative Information Centre (AIC), maksud serangan Israel ini memiliki beberapa pengertian; pertama, secara politik adalah untuk menjatuhkan pemerintahan Hamas yang sulit diajak bekerjasama. Seperti diketahui, Hamas merupakan faksi politik Palestina yang punya komitmen tegas memerangi Israel, dan daerah Gaza merupakan basis pendukung terbesar bagi Hamas. Kedua, secara ekonomis, Israel berkehendak memastkan Gaza yang dikendalikan Hamas dapat mengadopsi neoliberalisme, seperti juga daerah-daerah palestina lainnya yang berada di bawah control patah.

Michel Chossudovsky, dalam sebuah analisisnya di majalah Global Research menyatakan, invasi yang begitu terencana oleh otoritas Israel ke jalur Gaza adalah terkait dengan perebutan ladang gas di lepas pantai Gaza, Palestina. Kematian Arafat yang moderat dan kenaikan hamas ke puncak kekuasaan merupakan ancaman bagi kepentingan Israel atas control gas-gas itu. Ketika Aril Sharon terpilih sebagai presiden pada tahun 2001, ia mengatakan; “otoritas Israel tidak akan pernah membeli gas dari palestina”. Hal itu menandaskan bahwa seolah-olah ladang gas di wilayah Gaza tersebut telah dimiliki Israel secara de facto. Pihak Inggris sendiri (British Gas-BG Group) punya kepentingan besar untuk memenangkan kontrak gas di lepas pantai gaza tersebut, tentunya dengan menggunting kepentingan Mesir.

Serangan Israel ini juga kelihatan dirancang lama dengan pencarian momentum yang tepat. Baru-baru ini, dunia dilanda krisis ekonomi yang bersumber pada negara-negara pusat imperialisme, yakni AS dan kemudian Eropa. Meminjam analisis Marxisme, perang merupakan salah satu pertimbangan untuk solusi krisis kapitalisme. Waktu penyerangan dipilih bertepatan dengan fase transisi kepemimpinan di Gedung Putih, dimana diluar AS tak ada lagi otoritas yang dipatuhi AS untuk menerima tawaran gencatan senjata atau perundingan.

Sehingga, kerangka solidaritas terhadap palestina adalah penghentian perang, penolakan pemberlakuan neoliberalisme, serta jaminan masyarakat internasional atas kelansungan pemerintahan hamas yang terpilih secara demokratis.

Solidaritas Yang Bermuatan Politis

Menurut saya, dukungan besar dari berbagai kelompok Islam di Indonesia, terutama partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak berkontribusi pada penghentian kepentingan ekonomi dan politik Israel di wilayah Pelestina. Perang terhadap “Zionisme” ataupun “yahudi” hanya merupakan penciptaan musuh yang diraba-raba, namun tidak menyerang atau berhadapan dengan musuh sebenarnya; imperialisme Israel dan kepentingan neoliberalisme.

Di Indonesia, PKS merupakan partai pendukung neoliberalisme, yakni sebuah sistem ekonomi yan ditolak Hamas, dan hendak dipaksakan Israel di seluruh teritori palestina. Bulan lalu, PKS mendukung pengesahan UU BHP dan minerba yang pro-neoliberal dalam proses legislasi di parlemen. Selain itu, PKS yang merupakan salah satu pendukung pemerintahan SBY-JK tidak juga merumuskan sikap tegas terhadap campur tangan AS di negara-negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia. 

Dari sudut pandang sikap politik Internasional, politik PKS juga tidak konsisten, karena berbagai kejahatan imperialisme di daerah-daerah yang beragama islam lainnya, seperti di Iran, Darfur (Sudan), Afghanistan, Lebanon, dan sebagainya kurang mendapat perhatian. Di dalam negeri, PKS sendiri tidak berani bersikap ketika pemerintahan megawati memberlakukan DOM di Aceh. 

Ketika saudara-saudara kita petani Suluk Bongkal di perlakukan tidak manusiawi oleh aparat polda Riau, dimana 700 rumah hangus, dua orang tertembak, dua balita tewas, dan ratusan orang tertangkap, fraksi PKS di parlemen tidak bersikap sedikitpun. Demikian pula, ketika saudara-saudara kita di Monokwari, Papua, meradang akibat gempa bumi mereka (PKS) tidak juga memperlihat solidaritas yang memadai. Lantas, kita bertanya; “solidaritas anda sebenarnya murni atau tidak? Pantas, jika ada kecurigaan bahwa ini adalah kampanye untuk pemilu 2009. 


Penulis adalah Pengelola Jurnal Arah Kiri dan Pemimpin redaksi Berdikari Online.
dikutip dari : http://www.arahkiri2009.blogspot.com/