By : Roy Sanjaya
Category : Law
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi yang buruk. Hal itu terjadi disebabkan karena pihak debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya.
Dikenal empat macam wanprestasi, yaitu :
• Tidak melakukan apa yang disanggupi atau dilakukannya.
• Melakukan apa yang diwajibkan padanya, tapi tidak semestinya.
• Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
• Melakukan sesuatu yang oleh perjanjian yang bersangkutan tidak boleh dilakukan olehnya.
Tentunya terhadap pihak yang melakukan wanprestasi dapat dikenakan sanksi, ada empat macam sanksi terhadap wanprestasi :
• Meminta ganti kerugian.
• Pembatalan perjanjian.
• Peralihan resiko.
• Membayar biaya perkara jika sampai disampaikan di depan hakim.
Dalam memahami perihal suatu wanprestasi telah terjadi, tentunya semua itu menuntut adanya pembuktian untuk mengindikasikan hal tersebut, dalam hal ini apabila perjanjian itu tidak ditulis kapan waktu pelaksanaan prestasinya, maka untuk dapat menuntut pelaksanaan dari prestasi itu terhadap pihak kreditur harus terlebih dahulu ditagih.
Adapun maksud dari penagihan itu adalah sebagai peringatan bahwa kepada debitur, kreditur menghendaki pelaksanaan dari perjanjian yang telah terjadi. Jika dalam hal ini, prestasi itu tidak bisa dilaksanakan maka kepada kreditur diberikan jangka waktu yang pantas guna melaksanakan prestasi yang dimintakan padanya.
Semua hal yang telah disebutkan diatas ( perihal jangka waktu) tentunya didasarkan pada ketentuan pada pasal 1238 KUHPer yang berbunyi sebagai berikut :
“Si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat perintah atau dengan
akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus dinanggap
lalai dengan lewatnya waktu yang telah ditentukan.”
Dengan melihat ketentuan pasal yang ada diatas, pertanyaan yang muncul adalah Apa yang dimaksud dengan surat perintah itu? Yang dimaksud dengan surat perintah itu adalah surat peringatan resmi dari seorang juru sita pengadilan. Bentuk surat peringatan itu dapat berbentuk tertulis maupun lisan selama isi surat itu adalah cukup jelas menyatakan agar prestasi dilakukan secepatnya oleh kreditur, meski demikian ada baiknya jika menggunakan bentuk surat tertulis untuk memudahkan pembuktian.
Sebelumnya, telah dijelaskan bahwa ada empat macam sanksi dalam hal wanprestasi. Dalam hal ganti kerugian, ganti kerugia sering diperinci dalam tiga unsur :
• biaya
• rugi
• bunga.
Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Sementara itu, yang dimaksud dengan rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian pihak debitur dan yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian atas hilangnya keuntungan yang telah dihitung oleh kreditur.
Meski demikian, ada beberapa pembatasan yang dapat dikenakan atas apa yang dapat dimintakan ganti kerugian pada debitur, dalam KUHPer ada dua buah ketentuan pasal yang dapat digunakan sebagai pembatasan:
- pasal 1247 :
“ Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang
nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian
dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan
karena suatu tipu daya yang dilakukan olehnya.”
- pasal 1248 :
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena
tipu daya si berutang , penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar
mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan
yang telah terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang
merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian.”
Jadi kesimpulannya adalah, yang dapat dimintakan ganti kerugian adalah hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan kerugian langsung sebagai akibat dari wanprestasi.
Salah satu sanksi dalam wanprestasi adalah berbentuk pembatalan perjanjian. Tujuan dari pengenaan sanksi ini adalah untuk mengembalikan keadaan kreditur dan debitur pada keadaan semula dimana perjanjian yang bersangkutan belum diadakan. Pengaturan tentang pasal ini ada pada pasal 1266 KUHPer tentang perikatan bersyarat yang berisi ketentuan sebagai berikut :
“ Syarat batal dinggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal-balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si penggugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan.”
Sanksi yang ketiga adalah berbentuk peralihan hak, Berdasarkan pada pasal 1237 ayat 2 KUHPer, yang dimaksud dengan resiko adalah :
kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar
kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek
perjanjian.
Hal ini terjadi karena kelalaian dari kreditur itu sendiri.
Sanksi yang terakhir berhubungan dengan wanprestasi adalah tentang pembebanan biaya perkara apabila perkara itu telah sampai di depan hakim, sanksi ini telah tersimpul dalam suatu peraturan hukum acara terutama pada pasal 181 ayat 1 HIR.
Dalam kaitannya dengan pengajuan perkara wanprestasi ke muka peradilan, dengan mengacu pada pasal 1267 KUHPer, ada beberapa macam tuntutan yang dapat diajukan oleh kreditur yaitu:
• Pemenuhan isi perjanjian.
• Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian
• Ganti kerugian
• Pembatalan perjanjian
• Pembatalan disertai ganti kerugian.
Meski demikian, semua itu masih memberikan kesempatan pada pihak debitur untuk memberikan pembelaannya untuk mencegah tuntutan itu dijatuhkan padanya.
Sumber : Hukum Perikatan.