Dikutip dari : http://arahkiri2009.blogspot.com/
Oleh: Rudi Hartono
Ada yang menarik akhir-akhir ini, terutama karena mendekatnya kontestasi pemilu, yaitu iklan-iklan partai yang kian marak di televisi. Kemunculan iklan ini kian gencar, hampir setiap sesi iklan di sela-sela acara TV, dan tumpuk menumpuk dengan iklan komersil. Bedanya, jika iklan komersil menawarkan brand image produk industri, maka iklan politik menawarkan brand image dari kancah politik. Inilah pemasaran politik.
Terkadang, jika dicermati, iklan-iklan ini sekedar mengumbar janji-janji sebagai daya tarik, tetapi kurang ilmiah, kurang objektif, dan kurang jujur dengan kenyataan. Tentu saja, hal semacam ini tidak mengajarkan pendidikan politik yang benar kepada rakyat, apalagi menanamkan kesadaran politik yang ilmiah dan objektif.
Rangsangan Memasang Iklan
Herbert Schiller, seorang tokoh kritis dalam ilmu komunikasi, dalam bukunya “Media ownership and control in the age of convergence”, menggambarkan adanya keterkaitan antara perkembangan media dalam sistim informasi dengan niat sejumlah korporasi yang hendak mengeruk keuntungan dari industri media, setidaknya paska perang dunia kedua. Partisipasi Indonesia (PI), sebuah lembaga survey berbasis di Jakarta, dalam penelitiannya tahun 2007 menemukan bahwa 70% rakyat Indonesia mengakses informasi dari media Audio visual. Peran dominan media dalam mengendalikan pemirsa juga dapat dilihat pada jangkauan media TV swasta nasional yang sudah mencapai 80% rakyat Indonesia.
Dengan “kekuasaan besar” di tangan media, terutama dalam mengarahkan persepsi masyarakat, maka sejumlah partai dan politisi pun tergiat memanfaatkan hal ini. Anggaran yang digelontorkan untuk ini pun tidak sedikit. Merujuk pada survey AC Nielsen, pada awalnya, Gerindra mengeluarkan dana iklan di bawah Rp 1 miliar. Namun, sejak Juli hingga Oktober, biaya iklan Gerindra per bulan mencapai Rp 8 miliar; Pada Juni dukungan terhadap Gerindra yang terekam survei LSI hanya pada tingkatan 1,0 persen. Namun, dukungan terhadap Gerindra meningkat menjadi 3,0 persen dan 4,0 persen pada September dan November. (KOMPAS, December 16, 2008)
Begitu juga dengan Partai Demokrat (PD). Dari Mei hingga Juli 2008, pengeluaran iklan PD di bawah Rp 1 miliar per bulan. Namun, mulai Agustus hingga Oktober, pengeluaran iklan secara konsisten meningkat dari Rp 8,29 miliar (Agustus); Rp 10,08 miliar (September); dan Rp 15,15 miliar (Oktober).
Dari biaya iklan yang besar, melampaui dana alat peraga seperti baliho, poster, dan selebaran, para capres dan partai pendukungnya mendapatkan imbal –balik yang setimpal, berupa lonjakan popularitas.
blank campaign dan pembelokan realitas
Dari berbagai tema iklan yang diangkat partai, terdapat sejumlah keganjalan-keganjalan baik dari isi kampanye dan program, maupun prestasi yang disampaikan ternyata berbeda dengan fakta dan kenyataan sebenarnya. ada dua tipe iklan partai yang perlu dikritisi;
Pertama, Ada iklan dengan isian kampanye yang kosong (Blank Campaign), lebih sloganistik, dan kurang menguraikan konsep dan program jalan keluar. Sebagai misal, iklan gerindra yang terlampau menyederhanakan persoalan, sehingga seolah-olah kemenangan gerindra akan menyelesaikan persoalan bangsa, tanpa mengkorfimasi apakah tawaran program dan kebijakan gerindra memang dapat mengatasi persoalan bangsa.
Kedua, iklan yang disampaikan bersifat membelokkan realitas sebenarnya. Sebagai contoh iklan partai demokrat. Sebagai partai pemerintah, Demokrat boleh saja mati-matian berdiri membela SBY, tetapi tidak boleh melenceng dari koridor; pembelajaran politik kepada rakyat. Iklan Demokrat mengenai prestasi SBY menurunkan BBM dengan mengangsur tiga kali benar-benar pembodohan. Jika SBY konsisten berpatokan pada harga minyak dunia, maka ketika minyak dunia turun 50% lebih, maka seharusnya harga BBM juga turun 50% menjadi 3000-an rupiah, bukan 4.500 yang dibanggakan SBY. Pun dengan menurunkan BBM tiga kali, SBY tetap tidak bisa mengontrol harga kebutuhan pokok yang meroket, tarif angkutan yang tetap tinggi, maupun mencegah ancaman PHK massal terhadap 2 jutaan buruh akibat krisis global.
Demikian pula dengan Iklan PKS yang seolah didukung hampir seluruh kalangan, termasuk anak punk (sub kultur), dan lain-lain. Menurut kami, ini juga membelokkan realitas, karena PKS tidak mungkin didukung semua sektor sosial mengingat PKS adalah partai eksklusif. Buktinya, PKS merupakan motor utama pengesahan UU pornografi yang memaksakan penyeragaman budaya nasional dan penafsiran tunggal terhadap ajaran moral.
Rudi Hartono, Pengelola Jurnal Arah Kiri dan Pemimpin Redaksi Berdikari online.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar