Putusan MA No. 1581 K/Pid/2006
Tanggal. 2 April 2007
A.Kaidah Hukum : Pengajuan Kasasi dengan dasar putusan bebas tidak murni harus didukung dengan alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut;
B. Identitas Terdakwa
1. Nama : Luddin Dg. Nyampa
2. Umur : 55 tahun
3. Alamat : Kelurahan Bontonompo, Kecamatan Bontonompo,
Kabupaten Gowa
4. Pekerjaan : PNS
C. Pasal dan Kerugian Anggaran
1. Pasal yang didakwakan :
a. Primair : Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun1999, yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHPidana
b. Subsidair : Pasal 3 jo. Pasal18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999, yang telah dirubah dngan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana
2. Kerugian keuangan anggaran :
a. Jumlah : Rp.76.743.261,- (tujuh puluh enam juta tujuh ratus empat puluh tiga ribu dua ratus enam puluh satu rupiah)
b. Berasal dari : Penyelewengan dan dalam penyaluran beras OPK
D. Kasus Posisi :
- Bahwa pada pelaksanaan Proyek Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras Pra Sejahtera Tahun 2000 yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat keluarga miskin atau mengatasi rawan pangan karena merosotnya bahan pangan, maka Pemerintah Daerah Kab. Gowa khususnya pemerintah Kecamatan Bontonompo sesuai data keluarga Pra Sejahtera dari BKKBN mengajukan permintaan beras OPK Pra Sejahtera untuk bulan Agustus 2000 sebanyak 44,118 Kg dengan surat Nomor : 463/180/social tanggal 28 Agustus 2000 ;
- Kemudian atas dasar surat yang disebutkan di atas, Kasub Dolog Wilayah VII Panaikang di Makassar membuat 3 lembar Rekap Pengeluaran Beras untuk Kecamatan Bontonompo, masing-masing :
a. Nomor : 068/10/00/112/Brs-Ada/OPK/tanggal 20 Oktober 2000 sebanyak 6.020 Kg ;
b. Nomor : 070/1 0/00/112/Brs-Ada/OPK/ tanggal 21 Oktober 2000 sebanyak 10.580 Kg ;
c. Nomor : 075/10/00/112/Brs-Ada/OPK/ tanggal 23 Oktober 2000 sebanyak 27.518 Kg ;
Yang seluruhnya berjumlah 44.118 Kg ;
- Selanjutnya Terdakwa selaku penanggung jawab di lapangan dalam penyaluran beras OPK Pra Sejahtera untuk Kec. Bontonompo, telah menandatangani Tanda Terima Beras OPK alokasi Bulan Agustus 2000 dari Kontraktor Angkutan Beras (Kaharuddin Dg. Muang) dan membuat Berita Acara Serah Terima (BAST) beras alokasi bulan Agustus 2000 kemudian diajukan kepada Camat Bontonompo untuk ditandatangani seolah-olah beras tersebut telah diterima di titik distribusi, namun kenyataannya tidak pernah ada beras yang diterima atau disalurkan kepada penerima manfaat tanpa alasan yang jelas karena sebelumnya Kaharuddin Dg. Muang selaku Kontraktor Angkutan Beras dan Royke Victor Walewangko selaku Satgas Dolog telah menghubungi Terdakwa lebih dahulu dengan mengatakan bahwa beras alokasi bulan Agustus 2000 tidak bisa keluar apabila tidak ada uang tunai, sehingga atas pemberitahuan tersebut lalu Terdakwa menyampaikan kepada Camat Bontonompo mengenai hal itu dan oleh Camat Bontonompo mengatakan tidak bisa menyanggupi karena tidak mempunyai uang kontan serta menyarankan kepada Terdakwa agar beras itu tidak usah diambil, namun rupanya Terdakwa secara diam-diam tanpa sepengetahuan Camat Bontonompo telah menghubungi Kaharuddin Dg. Muang untuk dicarikan uang kontan dengan jaminan beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 dijual kepada pedagang beras, selanjutnya Kaharuddin Dg. Muang bersama dengan Royke Victor Walewangko menjual beras dimaksud kepada pedagang beras bernama Sanderi seharga Rp. 1.300,-per Kg dengan rincian uang penjualan sebesar Rp.1.000,- per Kg disetorkan kembali ke Dolog sedangkan uang penjualan beras sebesar Rp.300,- per Kg itu dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu uang penjualan beras sebesar Rp. 250.- per Kg diserahkan kepada Terdakwa dan uang penjualan beras sebesar Rp. 50.-per Kg diberikan kepada LSM Yasari, di mana uang hasil penjualan beras sebesar Rp. 250 per Kg yang seluruhnya berjumlah Rp. 11.029.500,- hanya diserahkan kepada Terdakwa Rp. 8.400.000 , sedangkan sisanya Rp. 2.629.500,-diambil oleh Kaharuddin Dg. Muang sebagai biaya angkutan ;
- Bahwa uang sebesar Rp.8.400.000,- yang diterima Terdakwa tersebut lalu diserahkan kepada Camat Bontonompo sebesar Rp. 4.000.000,- dan sisanya sebesar Rp. 4.400.000 langsung dibagi-bagikan kepada Tim Desa/Kelurahan. Adapun mengenai uang sebesar Rp. 4.000.000,- yang telah diserahkan kepada Camat Bontonompo kemudian dibagi-bagikan lagi yaitu Terdakwa dan Sekcam Bontonompo masing-masing mendapat bagian sebesar Rp. 1.000.000,- sedangkan sisanya Rp.2.000.000,- dipakai oleh Camat untuk membuat pagar di kantor Kec. Bontonompo ;
- Atas tindakan Terdakwa yang telah menanedatangani tanda terima beras di titik distribusi dan menyerahkan Berita Acara Serah Terima (BAST) Beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 kepada Camat Bontonompo untuk ditandatangani, maka berdasarkan BAST tersebut kemudian oleh Kaharuddin Dg. Muang dan Royke Victor Walewangko melaporkan kepada Bendaharawan Sub. Dolog Wilayah VII Makassar bahwa beras tersebut telah sampai di titik distribusi atau penerima manfaat, sehingga atas penyampaian tersebut maka negara membayar semua biaya-biaya yang harus dikeluarkan, yang totalnya mencapai Rp.76.743.261,- padahal biaya-biaya tersebut seharusnya tidak dikeluarkan pemerintah karena berasnya tidak sampai kepada penerima manfaat ;
- Akibat perbuatan Terdakwa yang tidak menyalurkan beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 sebanyak 44.118 Kg, maka negara mengalami kerugian sebesar Rp. 76.743.261.-;
E. Dakwaan
a. Primair : Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun1999,
yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat
(1) ke- 1 KUHPidana
b. Subsidair : Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999, yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana
F. Tuntutan
1. Menyatakan Terdakwa Luddin Dg. Nyampa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) hurut b UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana (dalam dakwaan primair)
2. Terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan
3. Menyatakan Terdakwa Luddin Dg. Nyampa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama- sama, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) hurut b UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana (dalam dakwaan subsidair) ;
4. Menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa Luddin Dg. Nyampa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, denda Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp.2.629.500,- (dua juta enam ratus dua puluh ribu lima ratus rupiah) ;
5. Menyatakan barang bukti berupa tetap terlampir dalam berkas perkara ;
6. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) ;
G. Putusan PN
a. Putusan :
1. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kejahatan "Korupsi secara bersama - sama " sebagaimana diatur dalam Dakwaan Primair dan Dakwaan Subsidair ;
2. Membebaskan Terdakwa dari kedua dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut.
3. Memulihkan hak Terdakwa LUDDIN DG. NYAMPA dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya ;
4. Memerintahkan agar barang bukti tetap dilampirkan dalam berkas perkara;
5. Membebankan biaya perkara kepada Negara.
b. Pertimbangan hukum : -
H. Putusan MA (kasasi) :
a. Alasan pengajuan kasasi :
Bahwa Hakim Majelis dalam pertibangannya telah keliru menyatakan Terdakwa tidak bertanggung jawab terhadap tidak tersalurnya beras OPK Pra Sehtera alokasi bulan Agustus 2000 kepada penerima manfaat di Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa dengan alasan Terdakwa selaku PPLKB kecamatan Bontonompo sebagai penanggung jawab di lapangan dalam penyaluran beras OPK Pra Sejahtera di Kecamatan Bontonompo bukan termasuk kategori sebagai suatu jabatan tetapi hanya merupakan penerima mandat dari Camat Bontonompo selaku Ketua Tim Penyaluran beras OPK di tingkat Kecamatan serta Terdakwa bukanlah sebagai pejabat penentu kebijakan atau pengambil keputusan, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian.
Bahwa Hakim Majelis dalam pertimbangannya telah keliru yang menyatakan bahwa tidak ditemukan fakta Terdakwa telah menandatangani dan telah membuat BAST beras OPK alokasi bulan Agustus 200 seolah-olah beras tersebut telah diterima oleh penerima manfaat, padahal dalam persidangan Terdakwa telah mengakui pernah menandatangani tanda terima beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 dalam bentuk blangko kosong serta mengaku pula pernah membuat BAST beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 dengan maksud untuk memperlancar keluarnya beras pada bulan - bulan berikutnya
Bahwa Hakim Majelis dalam pertimbangannya telah keliru yang menyatakan beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 tidak turun padahal nyata - nyata beras tersebut sudah keluar dari gudang Dolog yakni tanggal 21, 22 dan 23 Oktober 2000 sesuai keterangan saksi-saksi.
Bahwa terhadap BAST yang dipermasalahkan oleh Hakim Majelis karena BAST tersebut ada sebelum berasnya turun, dimana berasnya turun atau dikeluarkan dari gudang Dolog tanggal 21, 22 dan 23 Oktober 2000 sedangkan DO beras alokasi bulan Agustus 2000 dibuat tanggal 31 Agustus 2000, sebenarnya hal ini telah dijelaskan oleh para saksi bahwa beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 untuk Kecamatan Bontonompo memang baru dikeluarkan dari gudang Dolog pada tanggal 21, 22 dan 23 Oktober 2000 karena DO-nya sempat ditahan oleh Pimpinan Sub Dolog Wilayah VII Makassar mengingat ada keterlambatan pembayaran beras bulan Juli 2000 yang belum disetor ke Dolog.
Bahwa hakim dalam pertimbangannya mengatakan bahwa tidak turunnya beras OPK Pra Sejahtera alokasi bulan Agustus 2000 bukan hanya dialami oleh Kecamatan Bontonompo saja tetapi Kecamatan lain juga yang mengalami. Ini dapat diartikan seolah-olah jatah beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 untuk Kecamatan Bontonompo tidak ada masalah, padahal kenyataannya tidaklah demikian
Bahwa alasan Hakim Majelis tidak mempertimbangkan keterangan saksi Kaharuddin Muang (Kontraktor Angkutan) dan saksi Royke Victor Welewangko (Satgas Dolog) dengan alasan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak bisa menghadirkan kedua saksi dan keterangannya yang dibacakan di persidangan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Padahal hal ini bukan murni kesalahan Jaksa Penuntut Umum, tetapi juga karena Ketua Majelis tidak pernah meminta untuk menghadirkan kedua saksi yang bersangkutan dalam persidangan.
Dalam kasus yang sama di PN Sungguminasa, Pengadilan telah menjatuhkan keputusan yang berbeda untuk kasus yang sama.
b. Putusan :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon kasasi/ Jaksa Penuntut Umum;
Membebankan biaya perkara pada tingkat kasasi kepada Negara.
c. Pertimbangan Hukum :
Pemohon Kasasi tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut adalah merupakan pembebasan yang tidak murni, karena Pemohon Kasasi tidak dapat mengajukan alasan- alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut ;
I. Analisis
Korupsi berasal dari bahasa latin 'Corruptio” atau “Corruptus” yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis sebagai kata “Corruption”, dalam bahasa Belanda “Korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan “korupsi” (Dr. Andi Hamzah, S.H., 1985: 143). Adapun secara harfiahnya, korupsi berarti sesuatu yang buruk, jahat dan merusak.
Ciri dari perbuatan korupsi adalah sebagai berikut :
Melibatkan lebih dari satu orang.
Dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembuhkan perbuatannya.
Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik
Pelaku menyembunyikan perbuatannya di balik pembenaran hukum
Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk memperngaruhi keputusan-keputusan itu.
Mengandung unsur penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum.
Setiap bentuk korupsi adalah penghianatan kepercayaan.
Unsur-unsur dakwaan Primair jaksa penuntut umum dalam perkara No.1581 K/Pid/2006, antara lain:
Pasal 2 ayat (1) UU No.31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000, 00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000, 00 (satu miliar rupiah)”
Adapun yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma keadilan yang berlaku dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Perlu dipahami jika perbuatan tindak pidana korupsi itu merupakan delik formil.
Adapun unsur-unsur yang harus dibuktikan adalah sebagai berikut :
Setiap orang
Perbuatan melawan hukum
Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi
Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
A. Setiap orang
Yang dimaksud dengan setiap orang dalam hal ini adalah pegawai negeri. Pegawai Negeri itu meliputi :
Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang kepegawaian
Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah
Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah
atau
Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Dalam hal ini, Terdakwa adalah seorang Pengawas Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB) Kec. Bontonompo dan juga selaku penanggung jawab di lapangan dalam penyaluran beras OPK Pra Sejahtera. Jadi dalam hal ini, terdakwa bekerja sebagai seorang pegawai negeri sehingga unsur ini terbukti.
B. Perbuatan melawan hukum
Dalam hal ini, perbuatan melawan hukum yang dimaksud itu mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan materiil. Jadi, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi jika perbuatan itu dirasa melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat, perbuatan itu dapat dikenakan pidana.
Dalam hal ini, tindakan terdakwa selaku penanggung jawab dalam operasi penyaluran beras OPK yang mengakibatkan beras tidak sampai pada tangan yang berhak dianggap sebagai suatu bentuk pelanggaran. Hal ini ditambah dengan turut terlibatnya Terdakwa dalam menikmati uang hasil korupsi tersebut yang secara jelas bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku. Jadi unsur perbuatan melawan hukum dalam hal ini telah terbukti.
C. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi
Maksud dari unsur ini adalah menambah kekayaan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Dalam hal ini, terdakwa telah menikmati sebagian uang hasil tindak pidana korupsi itu untuk dirinya sendiri sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Jelas jika unsur ini telah terbukti.
D. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam hal ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun. Dalam hal ini, unsur tersebut dipenuhi karena akibat perbuatan terdakwa dan beberapa orang yang lain, negara mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar tanpa pernah mencapai sasaran.
Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 tahun 2001
“Selain pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitupun harga dari barang yang menggantikan
barang- barang tersebut.
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana.”
Adapun dalam penerapan pasal ini, sebenarnya agak kurang tepat apabila yang dimaksudkan dari kata “jumlahnya sama” itu diterapkan, mengingat uang yang diterima oleh terdakwa dalam hal ini adalah sebesar Rp 1.000.000,- bukan Rp.2.629.500,- yang merupakan jumlah uang pengganti yang dituntut oleh negara melalui jaksa penuntut umum.
3. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
“Dipidana sebagai pembuat delik :
Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan.
Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”
Dalam hal ini, penggunaan pasal ini adalah tepat karena dalam kasus ini, terdakwa telah terlibat secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.
Dakwaan Subsidair :
1. Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 20 tahun 2001
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan / atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)”
Adapun unsur dalam pasal ini meliputi :
a. Setiap orang
Yang dimaksud dengan setiap orang dalam hal ini adalah pegawai negeri. Pegawai Negeri itu meliputi :
Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang kepegawaian
Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah
Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah
atau
Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Dalam hal ini, Terdakwa adalah seorang Pengawas Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB) Kec. Bontonompo dan juga selaku penanggung jawab di lapangan dalam penyaluran beras OPK Pra Sejahtera. Jadi dalam hal ini, terdakwa bekerja sebagai seorang pegawai negeri sehingga unsur ini terbukti.
b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi
Maksud dari unsur ini adalah menambah kekayaan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Dalam hal ini, terdakwa telah terlibat dan turut menikmati sebagian uang hasil tindak pidana korupsi itu untuk dirinya sendiri sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Jelas jika unsur ini telah terbukti.
c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Dalam hal ini tampak jelas suatu bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh terdakwa selaku Pengawas Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PPLKB) Kec. Bontonompo dan juga selaku penanggung jawab di lapangan dalam penyaluran beras OPK Pra Sejahtera dimana terbukti bahwa akibat perbuatan terdakwa, beras OPK tersebut tidak sampai pada orang yang membutuhkan.
e. Dapat merugikan keuangan negara
Yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam hal ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun. Dalam hal ini, unsur tersebut dipenuhi karena akibat perbuatan terdakwa dan beberapa orang yang lain, negara mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk beras fiktif yang tidak pernah mencapai sasaran.
2. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
“Dipidana sebagai pembuat delik :
1.Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta
melakukan perbuatan.
2.Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”
Dalam hal ini, penggunaan pasal ini adalah tepat karena dalam kasus ini, terdakwa telah terlibat secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.
Analisis putusan
1. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana kejahatan "Korupsi secara bersama - sama " sebagaimana diatur dalam Dakwaan Primair dan Dakwaan Subsidair ;
2. Membebaskan Terdakwa dari kedua dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut.
3. Memulihkan hak Terdakwa LUDDIN DG. NYAMPA dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya ;
4. Memerintahkan agar barang bukti tetap dilampirkan dalam berkas perkara;
5. Membebankan biaya perkara kepada Negara.
Jika diperhatikan secara seksama, maka ada dasarnya putusan itu hanya menyatakan satu hal, yaitu bahwa Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, singkat kata, Terdakwa dinyatakan bebas murni.
Dalam hal putusan pengadilan dalam kasus tindak pidana korupsi, Evi Hartati, S.H. dalam bukunya yang berjudul Tindak pidana korupsi mengemukakan bahwa putusan pengadilan dapat berupa :
Putusan yag menyatakan tidak berwenang mengadili.
Putusan ini bersumber pada pasal 156 ayat (2) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:
“Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan , maka sidang dilanjutkan”
Hal ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan dengan eksepsi dari pihak Terdakwa melalui penasihat hukumnya.
Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum
Dapat dijatuhkan dengan memenuhi syarat-syarat yang ada. Syarat tersebut tercantum dalam pasal 153 ayat (4) KUHAP yang rumusannya adalah sebagai berikut:
“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.”
Adapun yang dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dari pasal 153 KUHAP adalah sebagai berikut:
“(2) a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang
dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa
dan saksi.
b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang
mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
(3) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Hal ini dapat terjadi karena jaksa penuntut umum dalam menyusun surat dakwaan. Adapun berkenaan dengan putusan ini juga memiliki yurisprudensi, yaitu Putusan MA No. 808/K.Pid/1984 :
“Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum”
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima
Putusan ini dapat dijatuhkan karena :
Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan tidak ada.
Nebis In Idem
Daluarsa.
Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum
Putusan ini dapat dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa telah terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana sehingga terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (pasal 191 ayat (2) KUHAP). Hal ini disebabkan karena:
Materi hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana.
Keadaan istimewa, seperti:
a. Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)
b. Overmacht (Pasal 48 KUHP)
c. Adanya pembelaan Terdakwa ( Pasal 49 KUHP)
d. Ketentuan Undang-undang ( Pasal 50 KUHP)
e. Perintah jabatan (Pasal 51 KUHP)
e. Putusan bebas
Ada 2 macam putusan bebas, yaitu :
Bebas murni
Terdakwa bebas dari segala dakwaan yang dikenakan padanya, dan
2. Bebas tidak murni
Apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim.
Putusan Pemidanaan
Apabila Terdakwa dinyatakan bersalah.
Berkaitan dengan kasus ini, penulis akan lebih mencermati pada putusan bebas murni yang dijatuhkan pada Terdakwa dalam kasus ini. Perlu diketahui bahwa terhadap putusan bebas (baik murni ataupun tidak murni) pasal 244 KUHAP yang berbunyi :
“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas” Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi. Jika dicermati sebenarnya di dalam pasal 244 KUHAP tidak membedakan apakan putusan bebas tersebut murni atau tidak, yang ada hanya “Putusan Bebas”
Hal inilah yang mendasari mengapa Jaksa segera melakukan kasasi tanpa harus melalui tahap banding di Pengadilan Tinggi. Hal ini juga didukung oleh Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan yurisprudensi.”dan juga Yurisprudensi MA No. 1825 K/Pid/ 2005 serta Yurisprudensi MA No. 1294 K/ Pid/ 2005 dimana keduanya menyatakan bahwa:
“- Pembebasan Murni dari segala hukuman yang dijatuhkan adalah membebaskan
terdakwa dari semua dakwaan.
- Fungsi dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi memiliki kesamaan, yaitu judex
factie yang merupakan pengadilan yang memeriksa penerapan hukum dari putusan tingkat pertama. Jadi, pada pembebasan muni tidak perlu melewati pengadilan tinggi.”
Dengan demikian sesungguhnya tindakan Jaksa Penuntut umum yang mengajukan kasasi atas putusan bebas tersebut telah sesuai dan telah tepat untuk dilakukan.
Akan tetapi masalah yang kemudian muncul adalah apakah pemberian putusan bebas murni (bebas dari segala dakwaan) tersebut adalah tepat dan sesuai? Sesungguhnya apabila kita mencermati keseluruhan isi putusan, maka kita akan menemukan fakta bahwa penjatuhan putusan tersebut adalah tidak tepat. Hal ini ditunjukkan pada bagian duduk perkara kasus ini dimana yang menjadi dimasalahkan sebagai tindakan korupsi adalah tindakan terdakwa sebagai berikut:
Menandatangani tanda terima beras OPK alokasi bulan Agustus 2000 dan mengajukannya kepada Camat Bontonompo untuk ditandatangani seolah-olah beras tersebut telah diterima di titik distribusi, padahal nyatanya tidak pernah ada beras yang disalurkan tanpa alasan yang jelas.
Membantu Kaharudin Dg. Muang bersama dengan Royke Walewangko dalam menjual beras OPK yang seharusnya disalurkan tersebut
Turut menikmati hasil perbuatan tindak pidana korupsi yang bersangkutan.
Seperti yang kita ketahui bahwa hukum pidana pada hakikatnya adalah untuk mencari suatu kebenaran materiil, maka putusan yang demikian tidak dapat dikatakan sebagai putusan yang tepat. Hakim dalam hal ini kurang bijaksana dalam menerapkan hukum serta mempertimbangkan peran Terdakwa dalam perkara ini, sebab perlu diketahui bahwa dalam perkara ini, Terdakwa adalah seorang penanggung jawab lapangan dari operasi beras OPK, dan juga dengan memahami kasus posisi yang bersangkutan seperti yang tertulis di atas, kita akan menemukan jika Terdakwa memang telah terlibat dalam serangkaian kegiatan korupsi tersebut. Bandingkan dengan Yurisprudensi MA No. 1119K/Pid/2006 dan Yurisprudensi MA No. 1631K/Pid/2006 yang menyatakan bahwa Turut melakukan beberapa perbuatan yang berhubungan satu dengan yang lain, sehingga dapat dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, yang dapat merugikan keuangan negara. Tampak jelas bahwa hakim sama sekali tidak memandang perbuatan Terdakwa dalam proyek OPK sebagaimana tertulis pada kasus posisi sebagai suatu tindak pidana apalagi sebagai suatu tindakan dimana Terdakwa bisa dimintakan pertanggung jawabannya, padahal dalam kenyataannya Terdakwa telah melakukan hal yang telah didakwakan padanya.
Seharusnya apabila putusan bebas tersebut dikarenakan hakim tidak yakin dengan apa yang didapat dan dipahaminya selama persidangan berlangsung, maka seharusnya tidak tepat apabila putusan yang dijatuhkan adalah bebas murni, mengingat apabila dilihat dari duduk perkaranya. Putusan tersebut harusnya sesungguhnya merupakan sebuah putusan bebas tidak murni dan oleh karenanya jaksa harus dapat membuktikan kebenaran dari putusan bebas tidak murni tersebut sesuai dengan pasal 67 KUHAP yang merupakan dasar hukumnya yang berbunyi sebagai berikut :
“Terhadap putusan pembebasan tidak dapat dimintakan banding oleh jaksa, kecuali dapat dibuktikan bahwa pembebasan tersebut sebenarnya pembebasan tidak murni, hal ini harus diuraikan jaksa dalam memori bandingnya.
Jaksa terlebih dahulu harus dapat membuktikan bahwa sebenarnya putusan pengadilan negeri tidak didasarkan atas pertimbangan bahwa perbuatan yang dituduhkan tidak terbukti melainkan Pengadilan Negeri menganggap perbuatan itu tidak terbukti, akan tetapi kurang tepat dalam memberi sebutan dalam amar putusannya, yang seharusnya ”lepas” dari segala tuntutan hukum, menjadi “bebas” dan karena jaksa ternyata tidak dapat membuktikan hal itu dalam memori bandingnya, seharusnya pengadilan tinggi menyatakan permohonan banding jaksa tidak dapat diterima.”
Dan sudah selayaknya Jaksa Penuntut Umum untuk bersikap lebih cermat lagi dalam menangani kasus tindak pidana korupsi seperti ini.
Penegak seharusnya harus dapat melakukan setiap tugasnya dengan cermat dan benar demi menjaga agar kehidupan demokrasi di Indonesia dapat terus terjaga (dalam hal ini memberikan vonis bersalah dengan hukuman yang setimpal) sebab seperti apa yang dimaksud oleh Niccolo Machiavelli dalam karyanya yang berjudul Discourses on the First Ten Books of Titus Livius, untuk dapat menghilangkan korupsi dalam sebuah negara, diperlukan hukum yang baik dan itikad baik pula dari para pembuatnya. Jika hal itu tidak dapat dilakukan, kebebasan rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara itu akan terancam bukan oleh sebuah kepemimpinan yang tidak demokratis, bukan juga karena suatu sistem yang tidak baik melainkan karena perilaku masyarakat (terutama sekali pelaksana pemerintahan) yang korup sehingga membuat segalanya menjadi meyimpang; Dari yang seharusnya untuk kepentingan bersama menjadi untuk kepentingan pribadi. Jika sudah sampai pada tahap demikian, lantas apa guna sebuah negara? Negara tidak akan lagi bisa melakukan tugasnya. Ibarat sebuah pohon, maka negara adalah batang induknya sedangkan semua unsurnya merupakan ranting. Ranting yang membusuk adalah korupsi dan apabila ranting busuk tersebut tidak dapat dibuang, maka ranting itu justru akan membusukkan keseluruhan pohon hingga kering dan mati.
H. Daftar Pustaka
Andi Hamzah, Dr., S.H., KUHP & KUHAP, Cetakan Ketigabelas Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006.
Amrullah, M. Arief, Dr., S.H., M.Hum., Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering,Malang : Bayumedia, 2004.
Ginting, Jamin, S.H., M.H., Analisis dan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Ri Tindak Pidana Korupsi (I), Tangerang : Universitas Pelita Harapan Press, 2009.
Ginting, Jamin, S.H., M.H., Analisis dan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Ri Tindak Pidana Korupsi (II), Tangerang : Universitas Pelita Harapan Press, 2009.
Hartanti, Evi, S.H., Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2007.
Prinst, Darwan, S.H., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 2002
Wiyono, R, S.H., Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2009.
Rabu, 02 Desember 2009
Putusan MA No. 1581 K/Pid/2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar