Jumat, 22 Januari 2010

ANALISIS PASAL 5, PASAL 6, DAN PASAL 7 UU NO. 20 TAHUN 2001

A. Pasal 5

“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana paling sedikit Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan oleh jabatannya.
(2) Bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau b, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Unsur dari pasal 5 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut :
A. Setiap orang
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001)
B. Memberi atau menjanjikan sesuatu
Yang dimaksud dengan unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu dalam pasal ini adalah bahwa ada suatu hal yang dijanjikan pada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Pemerintahan yang bersangkutan. Jika demikian, maka apa yang dimaksud dengan “sesuatu” dalam pasal ini? Untuk dapat memahaminya kita perlu mengkaji kembali pasal 209 ayat (1) angka 1 KUHP yang merupakan asal dari Pasal 5 ayat (1) angka 1 yang memiliki bunyi pasal yang serupa dengan pasal 5 ayat (1) huruf a UU No.20 tahun 2001 dimana pasal 209 ayat (1) angka 1 KUHP tersebut memiliki kaitan dengan pasal 419 angka 1 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

“Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pegawa negeri:
1.Yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bajwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkanny supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang tidak bertentangan dengan kewajibannya.”

Kemudian bandingkan dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 12 huruf a UU No. 20 tahun 2001 yang berbunyi sebagai berikut :

“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertetangan dengan kewajibannya.”

Maka kita akan mendapati bahwa apa yang dimaksud dengan “sesuatu” dari unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu” tersebut adalah hadiah. Dalam kaitannya dengan hal di atas, Hoge Raad dalam putusannya tertanggal 25 April 1916 menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan “hadiah” adalah segala sesuatu yang memiliki arti. Dari hal tersebut maka kita akan sampai pada kesimpulan dimana “hadiah” tersebut bukanlah terbatas pada suatu benda berwujud.
Dalam memberikan sebuah penjelasan lebih detail mengenai unsur “memberikan atau menjanjikan sesuatu”, ada 2 Yurisprudensi yang dapat digunakan untuk memberikan kejelasan atas unsur ini dan apakah suatu perbuatan yang memiliki unsur “memberikan atau menjanjikan sesuatu” tersebut dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. Yurisprudensi itu meliputi:
a. Putusan MARI No. 145 K/Kr/1955
Tidak mensyaratkan apakah sesuatu tersebut diterima atau ditolak oleh PNS atau Penyelenggara Negara yang diberi atau dijanjikan tersebut. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa percobaan untuk memberi atau menjanjikan sesuatu (dalam kata lain adalah menyuap) sudah cukup untuk membuat tindakan pelaku tindak pidana korupsi yang bersangkutan sebagai suatu tindak pidana.
b. Putusan MARI No. 39 K/Kr/1963
Pemberian tersebut tidak perlu dilakukan di waktu pegawai negeri yang bersangkutan sedang melakukan dinasnya, melainkan dapat dilakukan dimanapun juga sebagai kenalan.
C.Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
C.1. Pegawai Negeri
Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah :
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian.
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP.
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
Orang yang menerima gaji atau upah suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau
Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
C.2. Penyelenggara Negara
Yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara dalam hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 UU No. 28 tahun 1999 meliputi :
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
Menteri
Gubernur
Hakim
Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
D. Dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Dalam hukum pidana, unsur ini disebut sebagai “maksud selanjutnya” dimana suatu perbuatan tidak harus menunggu hingga pelaku tindak pidana selesai melakukan tindak pidananya., tetapi tetap harus dibuktikan dalam pengadilan.
Seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dalam menjalankan tugasnya dinyatakan bertentangan dengan kewajibannya apabila:
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara telah berbuat sesuatu tetapi sesuatu yang dilakukannya tersebut tidak merupakan kewajiban yang terdapat atau melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.
Pegawai Negeri atau Penyelengara Negara telah tidak berbuat sesuatu, padahal tidak berbuat sesuatu tersebut tidak merupakan kewajiban yang melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.

Sedangkan pasal 5 ayat (1) huruf b memiliki unsur pasal sebagai berikut :
A. Setiap orang
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001)
B. Memberi sesuatu
Yang dimaksud dengan “memberi sesuatu” dalam hal ini adalah berkaitan dengan apa yang dimaksud dalam pasal 12 huruf b UU No. 20 tahun 2001:


“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertetangan dengan kewajibannya.
b. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya.”

adalah berkaitan dengan “hadiah”, yaitu sesuatu yang memiliki arti,
C. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
C.1. Pegawai Negeri
Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah :
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian.
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP.
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
Orang yang menerima gaji atau upah suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau
Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
C.2. Penyelenggara Negara
Yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara dalam hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 UU No. 28 tahun 1999 meliputi :
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
Menteri
Gubernur
Hakim
Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
D. Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Adapun tujuan dari unsur ini adalah agar para Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara bertindak sesuai dengan wewenangnya masing-masing berdasarkan peraturan yang berlaku.

Dan unsur dari pasal 5 ayat 2 meliputi :
A. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Pemerintahan
A.1. Pegawai Negeri
Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah :
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang kepegawaian.
Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP.
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
Orang yang menerima gaji atau upah suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau
Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
A.2. Penyelenggara Negara
Yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara dalam hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 UU No. 28 tahun 1999 meliputi :
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
Menteri
Gubernur
Hakim
Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
B. Menerima pemberian atau janji dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Dalam hukum pidana, unsur ini disebut sebagai “maksud selanjutnya” dimana suatu perbuatan tidak harus menunggu hingga pelaku tindak pidana selesai melakukan tindak pidananya., tetapi tetap harus dibuktikan dalam pengadilan.
Seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dalam menjalankan tugasnya dinyatakan bertentangan dengan kewajibannya apabila:
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara telah berbuat sesuatu tetapi sesuatu yang dilakukannya tersebut tidak merupakan kewajiban yang terdapat atau melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.
Pegawai Negeri atau Penyelengara Negara telah tidak berbuat sesuatu, padahal tidak berbuat sesuatu tersebut tidak merupakan kewajiban yang melekat pada jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang bersangkutan.
C. Menerima sesuatu karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan oleh jabatannya.
Adapun tujuan dari unsur ini adalah agar para Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara bertindak sesuai dengan wewenangnya masing-masing berdasarkan peraturan yang berlaku.

B. Pasal 6

“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau
b. Memberi atau menjanjikan kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Apabila diteliti lebih lanjut, unsur dari pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 20 tahun 2001 adalah sebagai berikut :
A. Setiap orang
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001)
B. Memberi atau menjanjikan sesuatu
Yang dimaksud dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dalam hal ini adalah berkaitan dengan pasal 12 huruf a UU No.20 tahun 2001 yang merujuk “sesuatu” pada “hadiah” yang dijanjikan.
C. Hakim
Berdasarkan pada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 angka 8 KUHAP, maka :

“Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili.”

Dan apabila merujuk pada ketentuan yang tertuang dalam pasal 2 UU No. 4 tahun 2004 dan UU No. 24 tahun 2003, maka yang dimaksud dengan hakim adalah :
1.Hakim pada semua lingkungan Peradilan, baik peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
2.Hakim agung pada MA
3.Hakim konstitusi pada MK
Tetapi tidak termasuk arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 30 tahun 1999 :

“Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase;”

D. Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Merupakan unsur “maksud selanjutnya” dalam hukum pidana dimana dalam pelaksanaanya, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak harus sudah terpenuhi terlebih dahulu. Akan tetapi hal ini juga tetap harus dibuktikan dalam proses pengadilan.

Sedangkan unsur dari pasal 6 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut:
A. Setiap orang
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001).
B. Memberi atau menjanjikan sesuatu
Yang dimaksud dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dalam hal ini adalah berkaitan dengan pasal 12 huruf a UU No.20 tahun 2001 yang merujuk “sesuatu” pada “hadiah” yang dijanjikan.
C. Advokat
Berdasarkan pada penjelasa pasal 12 huruf d UU No. 20 tahun 2001, yang dimaksud dengan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dalam hal ini adalah UU No.18 tahun 2003).
D. Dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan padanya untuk diadili.
Merupakan “maksud selanjutnya” dimana tidak menjadi syarat apakah advokat yang bersangkutan itu terpengaruh atau tidak. Akan tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan “nasihat dan pendapat” adalah berkaitan dengan kliennya baik di dalam maupun di luar persidangan.

Dan unsur dari pasal 6 ayat (2) adalah:
A. Hakim
Merujuk pada ketentuan yang tertuang dalam pasal 2 UU No. 4 tahun 2004 dan UU No. 24 tahun 2003, maka yang dimaksud dengan hakim adalah :
1.Hakim pada semua lingkungan Peradilan, baik peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
2.HakimHakim agung pada MA
3.Hakim konstitusi pada MK
B. Menerima pemberian atau janji dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Adapun tujuan dari unsur ini adalah agar para Hakim bertindak sesuai dengan wewenangnya masing-masing berdasarkan peraturan yang berlaku.

ATAU

A. Advokat
Berdasarkan pada penjelasa pasal 12 huruf d UU No. 20 tahun 2001, yang dimaksud dengan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dalam hal ini adalah UU No.18 tahun 2003).
B. Menerima pemberian atau janji dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Adapun tujuan dari unsur ini adalah agar para Advokat bertindak sesuai dengan wewenangnya masing-masing berdasarkan peraturan yang berlaku.

C. Pasal 7

“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1). “

Unsur dari Pasal 7 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut :
A. Pemborong; ahli bangunan pada waktu membuat bangunan; penjual bahan bangunan pada waktu menyerahkan bahan bangunan
A.1. Pemborong
Yang dimaksud dengan pemborong adalah pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian pemborongan pekerjaan untuk menyelenggarakan suatu bangunan bagi pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
A.2. Ahli Bangunan
Yang dimaksud dengan ahli bangunan adalah orang yang oleh pemborong diserahi tugas untuk membuat gambar dan/atau yang bertanggung jawab untuk mengerjakan sebuah bangunan. (Tetapi terkadang pemborong dapat merangkap ahli bangunan).
A.3. Penjual bahan bangunan pada waktu menyerahkan bahan bangunan
Yang dimaksud dengan penjual bahan bangunan dalam hal ini adalah pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian jual beli untuk menyerahkan bahan bangunan dengan menerima harga yang telah ditentukan.
B. Perbuatan Curang
Perbuatan curang adalah perbuatan yang tidak memenuhi sebagian atau seluruh syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian. Unsur ini agaknya memiliki persamaan dengan wanprestasi dalam hukum perdata.
C. Dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi yang bersangkutan tidak sebatas pada perbuatan curang, tetapi juga menyangkut bahaya terhadap keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang. Perbuatan ini tidak harus terjadi terlebih dahulu untuk dapat dikatakan sebagai sebuah tindak pidana korupsi.

Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf b :
A. Setiap orang;
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001).
B. Bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan;
C. Membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselematan negara dalam keadaan perang.
Yang menjadi titik berat dalam hal ini ada pada pemberian peluang bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf c :
A. Setiap orang;
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001).
B. Pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara RI
C. Melakukan perbuatan curang.
Perbuatan curang adalah perbuatan dari “setiap orang” yang tidak memenuhi seluruh atau sebagian dari syarat-syarat yang telah ditentukan dalam perjanjian pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian RI.
D. Dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
Yang menjadi titik berat dalam hal ini ada pada pemberian peluang bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf d :
A. Setiap orang;
Yang dimaksud dengan unsur “setiap orang” dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi (Pasal 1 angka 3 UU No. 20 tahun 2001).
B. Bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian Negara RI
C. Membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselematan negara dalam keadaan perang.
Yang menjadi titik berat dalam hal ini ada pada pemberian peluang bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

Sedangkan unsur dari Pasal 7 ayat (2) :
A. Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian RI.
Yang dimaksud dengan orang dalam hal ini adalah orang perseorangan dan dapat juga korporasi yang telah ditunjuk atau karena jabatan dan kewenangan yang melekat padanya menjadikannya berhak untuk menerima penyerahan barang tersebut.
B. Membiarkan perbuatan curang yang dilakukan oleh penjual bahan bangunan pada waktu menyerahkan bangunan, atau “setiap orang” pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan/atau Kepolisian RI.
Yang menjadi titik berat dalam hal ini ada pada pemberian peluang bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
C. Perbuatan curang membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

D. Perbandingan Dengan UU Tindak Pidana Korupsi Negara Lain
Adapun dalam kaitannya dengan pasal-pasal yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, ada baiknya untuk mengenal UU tindak pidana korupsi negara lain, yang mana dalam analisa berikut mengambil perbandingan 2 negara, yaitu :
a. Afrika Selatan ( Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004)
b. Korea Selatan ( Act No. 6494, 2001)
Dimana dari kedua perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, kita akan menemukan bahwa UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya memuat suatu hal yang sama dengan kedua undang-undang tersebut, hanya saja di balik kesamaan tersebut ada beberapa hal yang membedakannya di samping perbedaan negara yang secara jelas telah membuatnya berbeda.
Pertama-tama adalah baik kiranya jika kita membandingkan Undang-undang No.20 tahun 2001 dengan Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 milik Afrika selatan. Berbeda dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 mengatur segala hal tentang tindak pidana korupsi secara mendetail dimana tidak seperti UU No. 20 tahun 2001 yang hanya memuat tentang jenis tindakan serta hukumannya, Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 juga membahas mengenai cara persidangan yang harus dilakukan dalam menangani perkara yang bersangkutan. Pada tiap pasalnya juga tidak tertulis secara tegas tentang besarnya hukuman yang harus dijatuhkan. Besarnya hukuman yang harus dijatuhkan pada setiap kategori tindak pidana Korupsi pada Undang-undang tersebut dimuat dalam satu bagian tersendiri ( dimana dalam hal ini adalah bab 5, pasal 26).
Lalu bagaimana dengan pasal 5, 6, 7 UU No. 20 tahun 2001? Apakah pada Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 juga memuat hal yang serupa? Jawabannya adalah “ya” tetapi tidak sepenuhnya. Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 memiliki pasal yang pada dasarnya adalah serupa. Yaitu meliputi:
A. Pasal 4 ayat 1 Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 yang berbunyi sebagai berikut :

“4. ( 1 ) Any--
(a) public officer who, directly or indirectly. accepts or agrees or offers to accept any gratification from any other person, whether for the benefit of himself or herself or for the benefit of another person; or
(b) person who. directly or indirectly, gives or agrees or offers to give any gratification to a public officer, whether for the benefit of that public officer or 55 for the benefit of another person, in order to act, personally or by influencing another person so to act, in a manner-
(i) that amounts to the-
(aa) illegal, dishonest. unauthorised, incomplete, or biased: or
(bb) misuse or selling of information or material acquired in the course of the. exercise, carrying out or performance of any powers, duties or functions 5 arising out of a constitutional, statutory, contractual or any other legal obligation;
(ii) that amounts to--
(aa) the abuse of a position of authority;
(bb) a breach of trust; or I 0
(cc) the violation of a legal duty or a set of rules;
(iii) designed to achieve an unjustified result: or
(iv) that amounts to any other unauthorised or improper inducement to do or not to do anything.
Is guilty of the offence of corrupt activities relating to public officers. “

Bandingkan dengan pasal 5 UU No. 21 tahun 2001 yang bunyinya adalah sebagai berikut :

“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau pidana paling sedikit Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,- (Dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dengan maksud supaya Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan oleh jabatannya.
(2) Bagi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau b, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Dari kedua hal di atas kita akan mendapati adanya kesamaan antara 2 hal tersebut dimana hal tersebut berkaitan dengan menjanjikan sesuatu pada seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara. Meski demikian ada satu hal yang perlu untuk dipahami dalam hal ini, yaitu menyangkut definisi dari seorang “public officer” dalam Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 sebagaimana yang termuat dalam pasal 1 angka 24 yang berbunyi sebagai berikut:

“(xxiv) “public officer” means any person who is a member, an officer. an employee
or a servant of a public body, and includes-
(a) any person in the public service contemplated in section X( 1) of the Public Service Act. 1994 (Proclamation No. 103 of 1994):
(b) any person receiving any remuneration from public funds: or
(c) where the public body is a corporation, the person who is incorporated as such,
but does not include any-
(a) member of the legislative authority;
(b) judicial officer; or
(c)member of the prosecuting authority; “

Maka kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa definisi dari seorang pejabat publik (yang mana dalam hal ini setara dengan definisi “pegawai negeri atau penyelenggara negara”) dalam Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 tidak mencakup orang dalam lembaga legislatif, petugas hukum dan jaksa.

B. Pasal 8 ayat 1 Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 :

“8. ( 1 ) Any-
(a) judicial officer who. directly or indirectly. accepts or agrees or offers to accept any gratification from any other person. whether for the benefit of himself or herself or for the benefit of another person: or
(b) person who, directly or indirectly. gives or agrees or offers to give any gratification to a judicial officer. whether for the benefit of that judicial officer or for the benefit of another person,
in order to act, personally or by influencing another person so to act. in a manner-
(i) that amounts to the-
(aa) illegal, dishonest, unauthorised. incomplete, or biased: or
(bb) misuse or selling of information or material acquired in the course of the. exercise. carrying out or performance of any powers. duties or functions arising out of a constitutional, statutory. contractual or an} other legal obligation;
(ii) that amounts to-
(aa) the abuse of a position of authority;
(bb) a breach of trust; or
(cc) the violation of a legal duty or a set of rules;
(iii) designed to achieve an unjustified result: or
(iv) that amounts to any other unauthorised or improper inducement to do or not to do anything,
is guilty of the offence of corrupt activities relating to judicial officers. “

Yang mana memiliki kesamaan dengan pasal 6 UU No. 20 tahun 2001:

“(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang:
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau
b. Memberi atau menjanjikan kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Akan tetapi ada sedikit perbedaan dengan definisi tentang petugas hukum, dimana menurut pasal 1 angka 11 Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004, yang dimaksud dengan Judicial Officer itu meliputi :

“(xi) “judicial officer” means-
(a) any constitutional court judge or any other judge as defined in section 1 of the Judges‘ Remuneration and Conditions of Employment Act, 200 I (Act No. 47 of 2001);
(b) a judge of the Labour Court appointed under section 153( l)(a) or (b). (4)or (5) of the Labour Relations Act, 1995 (Act No. 66 of 1995):
(c) the President or judge of the Land Claims Court appointed under section 22(3), (4) or (8) of the Restitution of Land Rights Act, 1994 (Act No. 32 of 1994);
(d) any judge of the Competition Appeal Court appointed under section 36(2) of the Competition Act, 1998 (Act No. 89 of 1998);
(e) a judge or additional member appointed under section 7 of the Special
Investigating Units and Special Tribunals Act, 1996 (Act No. 73 of 1996), to a Special Tribunal established in terms of section 2 of that Act;
(f) the presiding officer or member of the court of marine enquiry. the maritime court and the court of survey referred to in sections 267( 1). 271 (1) and 276( 1) of the Merchant Shipping Act, 1951 (Act No. 57 of 1951), respectively;
(g) any presiding officer appointed under section 10(3)(b) of the Administration Amendment Act, 1929 (Act No. 9 of 1929). to a divorce court established in terms of section 10( 1) of that Act;
(h) any regional magistrate or magistrate defined in section 1 of the Magistrates Act, 1993 (Act No. 90 of 1993);
(i) any commissioner appointed under section 9 of the Small Claims Courts Act, 1984 (Act No. 61 of 1984);
(j) any arbitrator, mediator or umpire, who in terms of any law presides at arbitration or mediation proceedings for the settlement by arbitration or mediation of a dispute which has been referred to arbitration or mediation;
(k) any adjudicator appointed under section 6 of the Short Process Courts and Mediation in Certain Civil Cases Act, 1991 (Act No. 103 of 1991):
(l) where applicable, any assessor who assists a judicial officer;
(m) any other presiding officer appointed to any court or tribunal established under any statute and who has the authority to decide causes or issues between parties and render decisions in a judicial capacity;
(n) any other person who presides at any trial, hearing, commission. committee or any other proceedings and who has the authority to decide causes or issues between parties and render decisions in a judicial capacity: or
(0) any person contemplated in paragraphs (a) to (n) who has been appointed in an acting or temporary capacity; “

Dimana dari hal di atas, diketahui bahwa tidak seperti UU No. 20 tahun 2001, makna “Judicial Officer” dalam Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 juga mencakup arbitrase yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa alternatif.

Tetapi Prevention and Combating of Corrupt Activities Act, 2004 tidak memiliki ketentuan sebagaimana pasal 7 UU No. 20 tahun 2001 yang berkaitan dengan perbuatan curang dalam penyerahan barang yang dilakukan oleh :
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan kepolisian atau angkatan bersenjata
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan kepolisian atau angkatan bersenjata.
Secara spesifik.

Kemudian bagaimana dengan Act No. 6494, 2001 yang merupakan Undang-undang anti korupsi Korea Selatan? Berbeda dengan UU No. 20 tahun 2001 dan undang-undang anti korupsi Afrika Selatan, Act No. 6494, 2001 justru sama sekali tidak mencantumkan perihal tindakan yang bagaimana yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. Act No. 6494, 2001 justru memuat ketentuan yang cukup unik yang lebih menjelaskan mengenai instrumen-instrumen penting dalam pemberantasan korupsi.
Untuk dapat memahaminya, adalah lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu struktur dari Act No. 6494, 2001, yaitu:
- Bab 1 : Ketentuan umum.
- Bab II : Komisi Pemberantasan Korupsi Korea Selatan
- Bab III : Reporting of Acts of Corruption and Protection of Whistleblowers, etc.
- Bab IV : Pemeriksaan berdasarkan permintaan masyarakat
- Bab V : Ketentuan tambahan
- Bab VI : Penal Provision
Adapun ketentuan pemidanaan diatur dalam Bab VI tidak memuat kategori korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 20 tahun 2001melainkan hanya memuat beberapa ketentuan-ketentuan berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran pada ketentuan yang terkandung dalam bab-bab Undang-undang pemberantasan korupsi yang bersangkutan (yang mana lebih cenderung menuliskan tugas dan kewajiban petugas pemerintah, Komisi pemberantasan korupsi dan peran serta masyarakat).

Tidak ada komentar: