Kontrol yuridis merupakan bagian dari perkembangan hukum dalam kehidupan bernegara dari awal, hingga abad modern ini. Pemikiran zaman dahulu sampai dengan abad ke XVIII yang lebih mengutamakan hukum alam yang menyatakan bahwa : 'segala-galanya berasal dari Tuhan dan alam tela menghasilkan suatu bentuk kekuasaan yang absolut. Kekuasaan yang demikian telah membuat hakim juga menjadi absolut dimana apapun yang diputuskan oleh hakim menjadi hukum dan segala yang dikatakan oleh hakim mengenai putusan-putusannya juga menjadi hukum. Akibat dari hal itu adalah timbulnya absolutisme hakim.
Dalam perkembangan berikutnya, muncul reaksi-reaksi terhadap absolutisme hakim tersebut sehingga timbullah pemikiran bahwa hal itu harus dicegah. Kekuasaan hakim perlu untuk dibatasi guna menghindari suatu kesewenang-wenangan, akibatnya adalah muncul suatu pemikiran tentang pembagian kekuasaan. Dalam pemikiran itu, kekuasaan negara dibagi menjadi 3, yaitu : eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dalam pelaksanaan pembagian kekuasaan itu, ketiga kekuasaan itu haruslah berada di tangan-tangan yang terpisah tetapi tidak ditutup suatu kemungkinan dimana organ-organ itu juga melaksanakan kedua fungsi-fungsi yang lainnya. Hal itu berakibat pada kurang maksimalnya kinerja lembaga-lembaga itu demi memenuhi kepentingan rakyat.
Perkembangan ilmu hukum juga memunculkan aliran positivisme hukum yang menghendaki agar segala sesuatu tentang hukum harus dituangkan dalam suatu kaidah tertulis atau kodifikasi. Pada aliran ini, hakim hanya berlaku sebagai corong undang-undang. Paham ini hidup dan berkembang di Eropa Kontinental yang disebut dengan sistem hukum Civil Law, sementara di negara-negara Anglo Saxon, perkembangannya menjadi berbeda dengan Eropa Kontinental dimana sistem yang berlaku justru adalah kebalikan dari Civil Law.
Dalam sistem yang disebut dengan Common Law, pengaruh dari hukum tertulis tidaklah begitu populer karena hukum diperoleh dari proses pengadilan (yurisprudensi).
PTUN Dalam Sistem Hukum Civil Law dan Common Law
Perkembangan sistem hukum pada Negara Civil Law berbeda dengan perkembangan pada Negara Common Law. Negara-negara penganut Civil Law mempunyai pengadilan administrasi sebagai pranata tersendiri, contoh dari hal ini adalah Prancis.
Prancis menggunakan suatu pranata khusus pengadilan administratif yang dikenal dengan nama Tribunal Administratif. Mereka berdasarkan ada hukum administratif. Adapun berbicara mengenai hal ini, perlu diketahu sekilas mengenai sejarahnya yang berawal dari lembaga penasihat kerajaan sebelum menjadi republik yang disebut Counseil D'Etat (semacam DPA) yang tugasnya adalah untuk mengawasi aparat-aparat kerajaan yang berbuat sewenang-wenang kepada rakyat. Dalam perkembangannya sendiri, lembaga ini kemudian berkembang menjadi Tribunal Administratif yang berpuncak pada Counsel D'Etat sebagai peradilan kasasi.
Belanda sendiri memiliki bentuk peradilan yang serupa, yaitu Administratif Rechtpraak yang berpuncak pada Raad van Staat sementara di Italia adalah pada Counseil D'Etat. DI negara-negara tersebut peradilan kasasi untuk sengketa-sengketa administratif, adalah berbeda denan peradilan kasasi untuk sengketa-sengketa peradilan umum.
Sementara di Indonesia, peradilan kita menganut sistem tunggal dimana pada tingkat kasasi hanya ada MA untuk semua perkara, atau dengan kata lain adalah hanya satu puncak peradilan saja, akan tetapi pada tingkatan pertama dan banding menganut sistem duality of jurisdiction.
Dalam negara dengan sistem hukum Common Law, mereka tetap mempertahankan trias politica dimana masalah-masalah yang menyangkut sengketa hukum termasuk sengketa administrasi adalah tetap merupakan wewenang pengadilan. Penyelesaian sengketa hukum mereka tetap satu baik dalam tingkat pertama, banding maupun kasasi, yaitu melalui peradilan umum, tetapi mereka mengenal berbagai kuasi pengadilan di berbagai sektor pemerintahan untuk menyelasaikan sengketa administratif di tingkat awal.
Pada tingkat pertama, sengketa administrasi diselesaikan di dalam berbagai kuasi-kuasi peradilan atau di lingkungan administrasi itu sendiri, dengan prosedur keberatan administrai dan banding administrasi. Yang bisa diselesaikan di peradilan umum hanya yang menyangkut judicial review saja, sedangkan yang dimaksud dengan merits review bukan merupakan wewenang dari pengadilan umum. Dalam hal ini, hakim harus memegang suatu prinsip bahwa hakim harus membatasi dirinya sendiri, tidak boleh terlalu jauh dari kursi pemerintahan, hakim tidak boleh bertindak seolah-olah menjadi atasan pemerintah dan sebagainya. Hal tersebut dikenal dengan 'batas-batas penilaian hakim' yang secara garis besar mengatakan bahwa hakim hanya berwenang pada segi yuridis tetapi tidak boleh meninjau kebijaksanaan pemerintah dari segi kebijakan.
Red and Green Light Theory
Red Light Theory berasal dari suatu tradisi politik di abad ke 19 yang menjunjung tinggi paham Laissez faire yang menghendaki agar peran pemerintah dilakukan seminim mungkin terhadap hak-hak dan kegiatan-kegiatan individu. Penganut teori ini menghendaki agar sanksi-sanksi hukum diterapkan manakala telah terjadi penyalah gunaan kekuasaan yang tidak terkontrol lagi dan benar-benar mengancam kebebasan semua pihak.
Sementara itu, green light theory berasal dari tradisi utilitarian yang berpendapat bahwa pengaruh-pengaruh politik dan sosiologi terhadap hukum tidak dapat dihindari. Penganut teori ini meragukan kualitas hakim pengadilan umum untuk menyidangkan suatu sengketa administrasi karena mereka tidak mendapatkan suatu pelatihan khusus tentang masalah-masalah pemerintahan. Mereka dapat memutus perkara administrasi jauh dari tujuan yang dikehendaki sehingga persoalan yang ada menjadi rumit. Dalam teori ini kewenangan pemerintah diperluas untuk membuat peraturan-peraturan sendiri, maupun pengawasan pengawasan sendiri, karena pembuat undang-undang (legislatif) dalam kenyataannya dianggap gagal untuk itu.
Instrumen-instrumen Hukum di PTUN
1. Pengertian Sengketa Tata Usaha Negara (STUN)
a. Dalam undang-undang
Yang dmaksud dengan kata sengketa dalam segi tata bahasa adalah 'sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan yang menjadi pertikaian dan perselisihan bahkan hingga menjadi perkara di pengadilan. Philipus M. Hadjon mengatakan jika sengketa di bidang hukum administrasi negara adalah sengketa yang lahir dari atau sebagai akibat pelaksanaan hukum administrasi negara oleh pemerintah. Atau, kompetensi peradilan administrasi negara adalah menyangkut perkara-perkara administrasi negara.
Di dalam pengertian sengketa, tentunya ada pihak-pihak yang bersengketa baik dalam perkara perdata maupun dalam TUN. Dalam TUN disebut sebagai pihak penggugat dan tergugat. Dalam PTUN pihak penggugat terdiri dari orang atau badan hukum perdata, sedangkan pihak tergugat badan atau pejabat TUN. Kedua pihak tersebut mempunyai posisi yang permanen, artinya penggugat selalu orang atau badan hukum perdata sementara pihak tergugat selalu pihak pemerintah, tidak pernah sebaliknya. Oleh karena itu dalam PTUN tidak pernah ada gugatan rekonpensi yang memungkinkan pihak lawan untuk menjadi penggugat.
STUN diatur dalam pasal 4 butir (4) UU no.5/1986. Dalam pasal tersebut, istilah sengketa yang dimaksud memiliki arti khusus sesuai dengan fungsi peradilan tata usaha negara, yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum. Dalam asas hukum tata usaha negara, kepada yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan dan dalam pasal itu, juga harus diingat bahwa sebenarnya tidak ada sengketa dalam PTUN tetapi yang ada adalah perbedaan pendapat dalam hal penerapan hukum.
b. Berbagai perkembangan dalam praktik
Dalam praktik di lapangan. Setelah terbentuknya PTUN, hakim-hakim berusaha untuk memperluas pengertian STUN dengan menafsirkan arti kata 'melaksanakan urusan pemerintahan' dari bunyi pasal 1 butir (2) UU no.5/1986 tersebut. Indroharto, S.H. Mengatakan bahwa tidak semua urusan pemerintahan itu dilakukan sendiri oleh pemerintah. Pemerintah tidak sanggup melaksanakan semua urusan pemerintahan. Semakin modern sebuah negara, semakin banyak urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada lembaga swasta dan bukan pemerintah.
2. Gugatan Tata Usaha Negara (GTUN)
Dalam PTUN, gugatan hanya ditujukan kepada badan atau pejabat tata usaha negara saja dan hanya mengenai KTUN. Namun, gugatan harus memenuhi unsur kepentingan. Tanpa adanya kepentingan tersebut, seseorang tidak dapat menggugat orang atau pihak lain di pengadilan.
a. Alasan-alasan gugatan
Alasan-alasan gugatan diatur dalam pasal 53 butir (2) UU no.5 /1986.
b. Landasan Hukum
Dasar hukum penggunaan AAUPB oleh hakim adalah pasal 14 ayat 1 UU no.14/1970 jo. No. 35/1999, yang melarang hakim untuk menolak semua perkara dengan alasan hukum tidak jelas. Pasal tersebut dihubungkan lagi dengan pasal 27 UU yang sama, yang mengatakan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat telah memberikan kewenangan bagi hakim untuk menggunakan hukum yang tidak tertulis.
Adapun penggunaan hukum yang tidak tertulis itu diatur dalam AAUPB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar