Jumat, 29 Januari 2010

Demokrasi versus Media Mainstream

oleh : Rudi Hartono

Disadur dari : http://arahkiri2009.blogspot.com/2010/01/demokrasi-versus-media.html

Teman saya pernah mengatakan: “ media itu suka membeserkan masalah-masalah kecil dan remeh temeh, namun seringkali mengecilkan persoalan-persoalan besar. Dan, menurut saya, ini semakin nampak ketika media berdiri melakukan pembelaan terhadap kekuatan-kekuatan besar di belakangnya; relasi pemilik media dan kekuasaan.


Dalam kasus George Aditjondro, misalnya, ketika meluncurkan buku “Gurita Cikeas”, media punya andil besar dalam melemparkan justifikasi bahwa buku ini kurang ilmiah, kurang valid, dan terkesan sekedar mencari sensasi. Ini didapatkan dari teknik media menghadirkan beberapa narasumber yang, dalam beberapa kasus, bertindak sebagai pembela kekuasaan.

Dalam kasus lain, isu bailout Bank Century telah dikunci sedemikian rupa menjadi perdebatan soal apakah Bank Century berdampak sistemik atau tidak. Kenapa tidak membuka perdebatan untuk menelanjangi apakah bailout satu-satunya pilihan antisipatif terhadap krisis atau ada pilihan lain, misalnya.

Objektif dan Netral

Posisi media digambarkan sebagai objektif dan netral—tidak memihak dan berada di atas segala kepentingan kekuasaan. Media hanya berusaha menyampaikan kebenaran kepada publik, tidak lebih. Namun begitu, bercermin dengan situasi akhir-akhir ini, superioritas moral media dalam hubungannya dengan politik kelas dan negara adalah mitos terbesar dalam setiap demokrasi kapitalis.

Terkait ini, menurut Edward S Herman dan Noam Chomsky, merupakan bentuk ketundukan media terhadap pemilik media dan klas berkuasa. Ini juga termasuk kontrol penguasa dan bisnis besar dalam bentuk kepemilikan langsung dan ketergantungan secara langsung media terhadap iklan dari pemerintah dan bisnis besar.

Ini, pada akhirnya, mempengaruhi media dalam menggunakan narasumber untuk menjelaskan atau memposisikan sebuah persoalan krusial, seperti isu politik, ekonomi, dan persoalan sosial. Mereka seringkali menggunakan narasumber dari pejabat pemerintah, pengamat ‘independen’, dan think-thank kelas penguasa.

Propoganda bisa efektif, kata Michael Parenti, sangat dipengaruhi oleh, antara lain, kemampuan membungkus kepalsuan. Pengaturan nada bicara, pakaian, pemaparan berita, pilihan fhoto, efek visual dapat menjadi unsur pendukung untuk mengontrol dan mengendalikan emosi pemirsa agar menyakini kebenaran informasi media.

“Netral dan bebas dari kepentingan politik”, ini merupakan bentuk penyelundupan terhadap nilai-nilai yang kondusif bagi kepentingan bisnis dan kelompok politik yang dekat dengan mereka. Ini sekaligus menjadi mekanisme penyaringan (filter) terhadap isu-isu kontroversial yang perlu diangkat dan mana yang dikesampingkan.

Dengan kepemilikan media di tangan segelintir tangan, yang juga merupakan turunan oligopoly media internasional, peran mereka semakin dominan dalam mengontrol akses informasi terhadap masyarakat. Di Indonesia, saluran informasi telah dimonopoli oleh segelintir tangan yang mengendalikan saluran TV besar dan Koran-koran cetak.

Membunuh Demokrasi

Bagi kaum demokrat, kontrol media di segelintir tangan dan keterkaitan mereka dengan ideologi kelas berkuasa adalah sebuah bencana. Demokrasi sangat bergantung kepada akses informasi dan pendidikan umum. Namun, ketika berada di bawah kontrol oligopolies dan oligarkhi, media telah menjadi senjata untuk memanipulasi informasi dan memberangus fikiran kritis di tengah masyarakat.

Seperti dikatakan James Madison, “ Pemerintahan populer tanpa informas yang populer, atau cara memperolehnya, hanyalah sebuah prolog untuk sebuah “lelucon” atau “tragedy”, bahkan keduanya. Dari pengertian ini, kita coba balikkan, bahwa sebuah pemerintahan gagal dapat menjadikan berhasil, kalau media bisa mengubur informasi mengenai kegagalannya dan hanya menampakkan prestasi yang dibuat-buat.

Dalam beberapa tahun terakhir, Menurut Noam Chomsky, keberhasilan demokrasi borjuis tidak lepas dari jasa media untuk menyakinkan masyarakat, bahwa gambaran dunia saat ini merupakan bentuk terbaik dan tidak ada pilihan lain yang lebih baik –There is Not Alternative (TINA). Di tangan media, sebuah propaganda besar-besaran disusun untuk mendiskreditkan ideologi atau fikiran-fikiran yang menawarkan masa depan. Mereka memvonis fikiran-fikiran tersebut sebagai ekstremisme, irasional, dan mesianik.

Melalui kotak yang bernama televisi, ajaran-ajaran liberalisme disebar-luaskan kepada massa rakyat, berupa pola hidup, filosofi liberalisme, individualisme, sisnisme, dsb, yang, pada prakteknya, benar-benar efektif mendepolitisasi massa rakyat.

Demokrasi jenis apapun, menurut Andrés Pérez Baltodano, selalu membutuhkan konsensus dari mayoritas luas mayarakat, tidak terkecuali demokrasi liberal. Dalam proyek ini, media kapitalis berfungsi sebagai “pabrik konsensus”, dimana berbagai kepentingan politis, ekonomis, dan ideolgis kelas dominan coba dipaksakan diterima secara sukarela oleh kelas-terhisap (mayoritas). Media massa di tangan segelintir elit, kata semiologist Buen Fernando, pasukan ideologi dari klas berkuasa, bersenjatakan fitnah, kebohongan, dan manipulasi informasi.

Media Alternatif

Kontrol segelintir elit terhadap media merupakan hasil perampasan elit-elit komersil terhadap sarana komunikasi. Akibatnya, mayoritas rakyat kehilangan akses terhadap sarana-sarana berkomunikasi yang massal, seperti TV, Radio, Koran, dsb. Lebih jauh lagi, klas berkuasa telah memperkuat persenjataan ideologisnya, sementara mayoritas kaum terhisap kehilangan saran untuk menyuarakan kepentingannya. Ini adalah makna penting media alternatif, yakni sebagai alat pertahanan ideologis rakyat kita menghadapi ideologi hegemonik klas berkuasa.

Di Uruguay, lagi-lagi kita bercermin ke sana, gerakan progressif berhasil menghidupkan mesin-mesin propaganda, khususnya media massa, baik dalam perjuangan melawan kediktatoran maupun melawan neoliberalisme. FA memiliki sebuah koran berwarna bernama “La Juventud” (Pemuda). La Juventud diprakarsai oleh Gerakan 26 Maret (M 26), sebuah partai marxist di dalam Frente Amplio, dengan mengintegrasikan laporan sosial dan politik dengan fitur-fitur populer, seperti cuaca, sepak bola, hiburan, dan acara TV. Mereka sangat menonjolkan sepak bola, karena olahraga ini telah menjadi kegemaran rakyat di seluruh negeri.

MLM, salah satu sayap dalam FA, juga berhasil mengorganisasikan radio alternative, yaitu CX 44 Radio Panamericana. Meskipun berhadapan dengan lisensi dan pembredelan pemerintah, radio ini tetap eksis sebagai jaringan radio bawah tanah (clandestein). Selain itu, FA juga masih memiliki jaringan radio lain, Radio 36 Centenary, yang aktif membuat diskusi dan sajian-sajian acara populer di telinga rakyat. Dengan kehadiran media-media alternative ini, sedikit 3,1 juta orang rutin menerima aksi berita dari kalangan pergerakan.

Di El Salvador, gelora perjuangan media alternative juga cukup menggelora, dan punya andil dalam menemani perjuangan gerilya. Diario Co-Latina, sebuah majalah populer, sudah berkali-kali mengalami pembakaran, pemboman, dan akhirnya diambil alih pihak militer. Majalah ini sangat digemari pembaca, terutama karena bahasa-bahasa populer dan sajian yang menarik bagi kalangan bawah.

Media lainnya, Radio Venceremos ( "Kami akan menang"), adalah radio yang sangat berkontribusi dalam perjuangan Sandinista. Radio ini bukan hanya menjadi penghubung bagi gerakan gerilya, tetapi juga bagi dunia internasional. Karena radio ini dapat disiarkan dalam lima bahasa.

Saat ini, media-media alternatif tumbuh subur di berbagai kawasan perlawanan di Amerika Latin, seperti radio komunitas, surat kabar, jaringan penjual DVD perjuangan sosial, TV, dan lain sebagainya. Di Chili, pada bulan Juli 2009, telah berdiri jaringan media rakyat, yang mengaitkan berbagai media alternatif, seperti surat kabar, situs web, radio, dan Televisi.

*) Penulis adalah Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), Pemimpin redaksi Berdikari Online, dan Pengelola Jurnal Arah Kiri.

Tidak ada komentar: