Oleh : Rudi Hartono
Disadur dari : http://arahkiri2009.blogspot.com/2010/01/kudeta-lain.html
Beredar isu mengenai kudeta pada tanggal 28 Januari nanti. Tidak jelas siapa yang menghembuskan, namun diketahui jelas bahwa ini hanya isu murahan. Secara histories, setiap pergantian kekuasaan di Indonesia selalu rentang dengan isu semacam itu, meskipun kemudian banyak yang tidak terbukti.
Di sini, saya tidak berbicara soal isu rencana kudeta dari kelompok-kelompok politik oposisi, yang menurut selebaran pendukung SBY, akan dilakukan oleh kelompok yang kalah dalam pemilu, pejabat yang kecewa, dan jenderal purnawirawan yang haus kekuasaan. (http://bandung.detik.com/read/2010/01/23/172508/1284592/486/garap-kecam-isu-kudeta-28-januari).
Saya akan berbicara soal kudeta yang dilakukan oleh teknokrat pro-barat, yaitu para intelektual didikan barat, yang telah mengambil peran begitu besar dalam kebijakan politik dan ekonomi di negeri ini.
Hasil Perjuangan Anti Kolonial
Negara seperti Indonesia, yang berbeda dengan negeri kapitalis di Eropa, adalah hasil perjuangan anti-kolonial yang panjang. Sejak awal, negeri semacam ini mempromosikan pola hubungan egaliter dengan bangsa-bangsa lain, sesuatu yang sangat dekat pola pembangunan ala “sosialisme”. Dalam kaitan ini, mereka juga hendak meniadakan bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme, antara lama dan baru.
Sehingga, pada awalnya, Indonesia mempromosikan kemandirian ekonomi terhadap modal-modal metropolitan, dan memang harus seperti itu pilihannya. Indonesia sendiri menjadi penggagas Konferensi Asia-Afrika, pertemuan multipolar pertama yang menegaskan sikap anti-imperialisme secara tegas, dan gerakan non-blok.
Mao Tze Tung, dalam tulisan berjudul The Chinese Revolution and the Communist Party of China, membedakan dua tipe borjuis di negeri jajahan; borjuis besar (komprador) dan borjuis nasional. Para borjuis besar komprador menjadi pelayan bagi kapitalis, yang, pada gilirannya, akan memelihara eksistensi modalnya di negeri colonial. Sementara borjuis nasional tertindas oleh imperialism, dan perkembangannya di dalam negeri dibatasi oleh syarat-syarat feodalisme.
Michael Kalecki, seorang ekonom terkenal, berusaha menjelaskan perbedaan di negeri dunia ketiga ini, Negara bekas jajahan. Negara dunia ketiga, menurut Kalecki, dihasilkan bukan oleh kebanyakan kaum borjuis mereka, melainkan kalangan borjuis kecil progressif. Menurutnya, borjuis sendiri lebih senang berintegrasi dengan imperialisme atau capital metropolitan. Negara paska-kolonial, pendek kata, merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan dari warisan perjuangan anti-kolonialnya.
Kalangan borjuis tadi, yang kebanyakan menghendaki “satu lintasan” dengan modal metropol, akhirnya mencari segala macam cara untuk merapatkan Negara paska-kolonial dengan modal metropol. Salah satu caranya adalah melalui ilmu ekonomi. Ketika sudah merdeka, maka borjuis “tanpa keringat” itu minta jatah dalam porsi besar dalam struktur Negara baru. Ini pilihan terbaik untuk menjaga kelangsungan modal mereka, dan mengundang kembali kedatangan modal metropolitan.
Menyadari arti penting ketergantungan dunia ketiga terhadap Negara-metropolitan, kaum borjuis itu kemudian mengirimkan anak-anak mereka, pemuda-pemuda polos, dan intelektual pilihan mereka untuk menimbah ilmu di Barat. Mereka bukan saja mempelajari perkembangan teknik dan ilmu pengetahuan, tetapi mendapat pendidikan khusus soal bagaimana mengambil alih “keputusan” ekonomi di negeri dunia ketiga. Di Indonesia, mereka diberi cap sebagai “mafia Barkeley”.
Setelah kembali dari Eropa, para teknokrat baru ini mulai ditempatkan di pos-pos penting pemerintahan, dan mereka mulai mendesakkan usul “reformasi” ekonomi. Mereka membangun klik dengan para borjuis “tanpa keringat” tadi, dan dibelakang mereka telah berdiri kepentingan Negara-negara imperialis.
Kudeta “Lain”
Pada kenyataannya, para teknokrat ini telah melancarkan “kudeta” tertutup terhadap kekuasaan politik formal, bukan dengan todongan senjata dan mengerahkan tank-tank militer, tetapi pengambilan “tongkat komando” ekonomi. Selama kekuasaan Orde baru hingga saat ini, para teknokrat ini benar-benar menjadi dictator dalam kehidupan ekonomi, baik secara akademis maupun politis.
Warisan perjuangan anti-kolonial telah dicampakkan, dimasukkan dalam peti museum sejarah, dan ideology serupa dicap ‘dekaden” dan ketinggalan jaman. Ada begitu banyak keputusan ekonomi berada di luar lembaga politik formal (eksekutif dan parlemen), melainkan diputuskan oleh semacam “senat virtual”—demikian Noam Chomsky menyebutnya. Sebagian besar keputusan-keputusan penting tidak lagi diadopsi oleh parlemen, melainkan oleh entitas2 yang berada di luar kontrolnya: agen-agen finansial internasional yang besar (IMF, World Bank), bank sentral yang otonom, korporasi transnasional besar dan organisasi keamanan nasional.
Anda tentu menyadari, bahwa konstitusi kita masih menyisakan watak anti-kolonial-nya, seperti pasal 33 UUD 1945 itu. Akan tetapi, sejak dahulu, pasal-pasal anti-kolonial ini telah dicampakkan oleh para teknokrat pro-barat ini ke “keranjang sampah”. Sejak awal, perilaku dan tindak-tanduk mereka telah inkonstitusional. Namun mereka membayar ahli hukum untuk membenarkan tindakannya, meskipun masih ada banyak ahli hukum yang tak mau di bayar dan menentang. Untuk itu, seperti dikatakan Hebert Adam, manipulasi legalitas dapat mengantarkan seseorang atau kelompok politik untuk berkuasa, plus dengan dukungan hukum.
Kalau kediktatoran politik ala Orde Baru berdiri selama 32 tahun, maka kediktatoran para teknokrat pro-barat ini masih berjalan efektif hingga saat ini. Hanya saja, paska pilpres kemaren, hegemoni mereka mulai diguncang oleh intelektual progressif—demikian saya menyebutnya.
Anda tentu menyaksikan dalam rapat Pansus; bagaimana ekonom-ekonom pro-barat yang sudah berkuasa sejak puluhan tahun, mulai ditentang dan dikuliti kebusukannya oleh ekonom-ekonom yang, sedikit dan banyaknya, mewarisi semangat anti-kolonial. Ini, tentu saja, merupakan gejala mengeroposnya dinding tebal “hegemoni” ekonom arus utama—Neoklasik.
Meskipun ini hanya di bidang ekonomi, tetapi apa bedanya dengan kudeta militer di bidang politik, toh korban dari pilihan kebijakan ekonomi ini tidaklah sedikit; seluruh rakyat Indonesia, selama puluhan tahun, dan---mengutip Budiono-- berdampak sistemik.
Penulis adalah peneliti di Lembaga Pembebasan dan Media Ilmu Sosial (LPMIS), pemimpin Redaksi Berdikari Online, dan pengelola Jurnal Arah Kiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar