Dewasa ini, istilah mafia Berkeley merupakan sebuah istilah yang cukup asing di telinga kita akan tetapi mulai sering diperbincangkan dalam beberapa forum, pemikiran-pemikiran dan buku-buku. Tentunya setelah kita mendengarkan ucapan-ucapan itu timbul suatu pertanyaan “Apa itu mafia Berkeley?”
Mafia Berkeley adalah sekelompok perumus kebijakan ekonomi Indonesia yang telah dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan asing selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965) yang merupakan bagian dari strategi perang dingin dalam menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di Asia. Dikatakan Mafia Berkeley karena kebanyakan dari generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di Univesitas Berkeley, California, Amerika Serikat. Adalah suatu hal yang aneh mengingat para mahasiswa Universitas Berkeley pada tahun 1960-an adalah sekelompok mahasiswa yang progresif dan mayoritas anti perang Vietnam. Akan tetapi program yang diberikan untuk mafia Berkeley telah dirancang khusus oleh orang Indonesia untuk dipersiapkan kemudian hari sebagai bagian dari hegemoni global Amerika. Dikatakan mafia karena mengambil ide dari bentuk kejahatan terorganisir yang terkenal mengingat fungsi mereka yang secara sistematis dan terorganisir menjadi alat dari hegemoni dan kepentingan global di Indonesia.
Kelompok mafia Berkeley telah mengabdi selama 32 tahun dalam rezim Orde Baru dan terus berlangsung hingga sekarang dimana banyak sekali anggota dan murid-muridnya yang menduduki jabatan penting dalam perekonomian di Indonesia dan menjadi sebuah saluran strategis untuk kebijakan yang dirumuskan oleh IMF, bank dunia dan Depkeu Amerika Serikat. Mafia Berkeley sekaligus merupakan alat untuk memonitor kebijakan ekonomi Indonesia agar searah dengan kebijakan umum dalam bidan ekonomi yang digariskan oleh Washington. Garis kebijakan ini dikenal dengan nama Washington Konsensus. Sekilas kebijakan Washington Konsensus ini tampak wajar dan netral tetapi dibalik program itu tersembunyi kepentingan negara-negara adikuasa. Adapun beberapa kebijakan yang dilakukan oleh kelompok ini adalah sebagai berikut:
Pertama, Kebijakan anggaran ketat, selain ditujukan untuk mengendalikan stabilitas makro dan menekan inflasi, sebetulnya juga dimaksudkan agar tersedia surplus anggaran untuk membayar hutang yang untuk mewujudkannya, penghapusan subsidi untuk rakyat dipaksakan. Pembayaran utang adalah suatu bentuk keharusan, sementara urusan yang lain yang berhubungan dengan pemenuhan dasar kebutuhan rakyat adalah urusan belakangan.
Kedua, liberalisasi keuangan untuk memperlancar transaksi global dan menjamin modal dan dividen setiap saat dapat keluar dari negara berkembang.
Ketiga, liberalisasi industri perdagangan memudahkan negara maju untuk mengekspor barang dan jasa ke nagara berkembang. Tapi negara-negara maju itu sendiri melakukan perlindungan terhadap sektor industri dan pertaniannya melalui kuota, kebijakan anti dumping, export restraint, subsidi dan hambatan non tarif.
Keempat, privatisasi aset-aset milik negara yang dimaksudkan agar peranan negara di dalam bidang ekonomi berkurang sekecil mungkin. Dalam prakteknya, penjualan aset negara itu dilakukan dengan harga yang sangat murah sehingga sering terjadi program privatisasi identik dengan piratization seperti yang diungkapkan oleh Prof. Marshall I. Goldman dari Harvard.
Dalam prakteknya, kebijakan konsensus Washington seringkali dipaksakan sekaligus kepada negara berkembang tanpa suatu tahapan, fleksibilitas dan persiapan untuk memperkokoh kekuatan ekonomi domestik.
Adalah suatu hal yang ironis, pada tahun 1960-an GNP perkapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, RRT nyaris sama, yaitu kurang dari US$ 100 perkapita. Setelah lebih dari 40 tahun, GNP perkapita negara-negara itu mencapai : Indonesia sekitar US$ 1000, Malaysia US$ 4.520, Korsel US$ 14.000, Thailand US$ 2.2490, Taiwan US$ 14.590, RRT US$ 1.500. Dilihat dari data yang ada di atas, peranan Mafia Berkeley di Indonesia tidak mampu membuat perekonomian Indonesia berkembang, jangankan menjadi The next Korea dan The next Malaysia. Indonesia malah berpotensi menjadi sebuah negara negara gagal. Setelah 40 tahun di bawah kendali Mafia Berkeley, Indonesia malah berpotensi untuk menjadi the new Philipines.
Dibawah kuasa mafia Berkeley, utang yang besar dan habisnya sumber daya alam dan hutan yang rusak, ternyata hanya menghasilkan pendapatan per kapita sekitar US$ 1000, dan pemenuhan kebutuhan dasar sangat minimum serta ketergantungan mental maupun finansial terhadap utang luar negeri.
Mafia Berkeley juga bertanggung jawab atas gagalnya usaha reformasi terhadap birokrasi dan justru mendorong pegawai negeri dan ABRI untuk bertindak koruptif karena penetuan standar gaji yang sangat tidak manusiawi. Jika begitu, kemanakah empati mereka? Anggota dan juga murid dari mafia Berkeley sendiri telah direkayasa dengan sedemikian rupa untuk mendapatkan pendapatan yang sangat tinggi lewat penunjukkan mereka sebagai komisaris di BUMN-BUMN, double/ triple billing di BI, Depkeu dan Bappenas sehingga tidak memiliki suatu upaya untuk melakukan reformasi gaji para pegawai negeri dan ABRI.
Salah satu kegagalan penting dari Mafia Berkeley adalah dengan mengundang keterlibatan IMF untuk mengatasi krisis ekonomi pada bulan Oktober 1997 yang justru membuat krisis menjadi semakin parah.
Ironisnya, dalam menjawab berbagai kegagalan yang terjadi, anggota mafia Berkeley umumnya menggunakan alasan klasik yang cenderung menyesatkan, yaitu akibat adanya prilaku mantan presiden Soeharto. Memang benar jika mantan presiden Soeharto melakukan KKN, tetapi semua kegagalan itu tentunya tidak bisa hanya dibebankan pada presiden Soeharto saja. Padahal jika ingin dikaji lebih jauh, para mafia Berkeley inilah yang seharusnya bertanggung jawab karena mereka yang merumuskan strategi, kebijakan dan terlibat dalam implementasinya. Banyak dari berbagai kegagalan tersebut berada pada tataran teknis dan operasional yang tidak dipahami oleh presiden Soeharto pada saat ia menjabat. Adalag sebuah sikap yang sangat tidak bertanggung jawab dan tidak ksatria, bersedia menjadi pejabat selama 32 tahun, ikut menikmati privileges dan eksis selama kekuasaan Orba, tetapi lantas menimpakan segala kegagalan dan kesalahan kepada mantan presiden Soeharto, itupun baru berani dilakukan setelah rezim Orba tidak berkuasa lagi.
Pertanyaan berikut yang mungkin timbul adalah mengapa mafia Berkeley gagal membawa Indonesia menjadi negara sejahtera dan besar di Indonesia walaupun telah berkuasa di negara ini selama nyaris 40 tahun? Itu semua dikarenakan oleh stratei dan kebijakan ekonomi Indonesia yang dirancang oleh Mafia Berkeley akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi dari kepentingan global. Padahal perlu diingat, tidak ada negara manapun yang menjadi berhasil menjadi negara sejahtera dengan mengikuti model Konsensus Washington, contohnya adalah kemerosotan 2 dekade dari tahun 1980-2000 di negara-negara Amerika Latin. Sementara itu di Asia, hanya ada dua negara yang patuh pada Konsensus Washington, yaitu : Indonesia dan Filipina yang justru mengalami kemerostan ekonomi secara terus-menerus, ketergantungan utang yang permanen, ketimpangan pendapatan yang sangat mencolok, kemiskinan merajalela dan kerusakan lingkungan yang parah.
Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan global mengakibatka n Indonesia tidak memiliki suatu bentuk kemandirian dalam perumusa Undang-undang yang merupaka salah satu sumber hukum di Indonesia yang seharusnya digunakan untuk membuat rakyat menjadi lebih baik keadaannya menjadi suatu sarana bagi kepentingan ekonomi global untuk menahan kesejahteraan rakyat negara yang bersangkutan. Hasil tipikal dari model konsensus Washington adalah siklus terus-menerus dari krisis ekonomi dan akumulasi utang. Contoh UU yang lahir dari situasi seperti ini adalah UU tentang privatisasi air, BUMN, Migas dan lain sebagainya yang dari segi ekonominya hanya akan membuka peluang bagi kepentingan ekonomi global untuk melakukan liberalisasi secara ekstrim dan privatisasi yang ugal-ugalan.
MODUS OPERANDI MAFIA BERKELEY
Modus operandi utama dari Mafia Berkeley adalah mengabdi pada kekuasaan apapun konsekuensinya terlepas dari apapun bentuk dari pemerintahan yang berkuasa. Dalam berbagai kasus, mafia Berkeley justru menjadi corong public relation di berbagai forum dan media untuk memperlunak dan mempermanis image pemerintah yang otoriter ataupun represif. Efektifitas media relation mafia Berkeley terutama dilakukan dengan memberikan akses khusus dalam bentuk bocoran informasi dan dokumen-dokumen rahasia pada satu media harian dan satu media mingguan yang terkemuka dimana kedua media itu memiliki pandangan yang liberal dalam bidang sospol tetapi konservatif dalam bidang ekonomi.
Pola Rekrutmen mafia Berkeley dilakukan dengan berlandaskan pada prinsip utama loyalitas dan feodalisme di atas kriteria profesionalisme. Mereka diprogram untuk menjadi alat kepentigan global yang justru melecehkan arti penting dari semangat nasionalisme dan kemandirian yang sangat dijunjung tinggi oleh para pendiri negara, dimana dalam program itu, sebagai kompensasi atas loyalitas mereka, para kader Mafia Berkeley ini lantas dilengkapi dengan beberapa sarana seperti perjalanan ke luar negeri, keanggotaan di berbagai komite dan berbagai macam pujian sekaligus penghargaan yang diberikan oleh berbagai lembaga yang sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan ekonomi global itu sendiri dalam berbagai media dan sarana-sarana lain.
Jika ada kebijakan presiden atau menteri lain yang bukan merupakan anggota Mafia Berkeley yang menyimpang dari arahan Konsensus Washington/ IMF-Bank Dunia, USAID. Anggota-anggota dari Mafia Berkeley ini dengan cepat melaporkan kepada perwakilan IMF, Bank Dunia dan USAID untuk dikritik oleh laporan-laporan resmi lembaga-lembaga kreditor. Untuk menjaga agar arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia agar sejalan dengan manifestasi dari Konsesus Washington, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan undang-undang atau peraturan pemerintah yang dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri sehingga sangat terbuka adanya intervensi kepentinga global atas Indonesia.
Meski dalam beberapa kesempatan IMF dan Bank Dunia selaku tuan dari kebijakan ekonomi yang neoliberal pada dekade terakhir ini mengakui berbagai kesalahannya bahwa liberalisasi keuangan yang terlalu cepat telah meningkatkan kemungkinan suatu negara terkena krisis. dan bahkan dalam publikasi terakhirnya (An East Asian Renaissance: Ideas for Growth, 2007), badan-badan itu mengakui bahwa pemerintah harus mengambil suatu tindakan untuk mengoreksi ketidak sempurnaan pasar, terutama dalam meningkatkan skala industri domestik. Dengan kata lain berkata bahwa pasar tidak bisa menyelesaikan segalanya. Mafia Berkeley masih tetap berpedoman pada prinsip itu yang sebenarnya hanya merupakan sebuah bentuk representasi dari kepentingan “tuan” mereka di Washington.
Sumber :
Seminar Krisis Ekonomi Indonesia: 53 tahun Keberhasilan Mafia Berkeley?, 13 Maret 2009, IBII, Jakarta.